Referensi mengenai layanan unggulan:
Konsep Layanan Unggulan di Rumah Sakit dalam Konteks RS Publik
Putu Eka Andayani
Pengantar
Sejak mengelola rumah sakit dianggap sebagai mengelola sebuah lembaga usaha yang harus dapat memenuhi kebutuhan pengguna, upaya untuk meningkatkan daya saing juga semakin inovatif. Ini sesuai dengan prinsip bahwa rumah sakit seperti mahluk hidup yang secara alamiah akan berusaha untuk bertahan hidup dan berkembang. Berbagai hal dilakukan mulai dari meningkatkan kapasitas SDM, memperbaiki proses layanan, berusaha memperoleh pengakuan melalui akreditasi hingga memperbaiki kemasan layanan. Semuanya berujung pada dihasilkannya pengembalian finansial untuk kemampuan hidup dan berkembang dalam jangka panjang organisasi rumah sakit.
Namun dalam konteks RS publik yang tidak mengutamakan keuntungan, bagaimana pengembangan layanan unggulan ini sebaiknya diterapkan? Apakah layanan unggulan adalah sesuatu yang harus menghasilkan kinerja keuangan? Jika suatu layanan sangat dibutuhkan oleh masyarakat (angka kesakitan tinggi dan trend menunjukkan akan angka ini akan terus meningkat), padahal kelompok masyarakat yang membutuhkan layanan tersebut sebagian besar berasal dari kalangan tidak mampu (yang artinya membutuhkan subsidi), mungkinkah layanan tersebut dikembangkan menjadi unggulan RS? Tulisan ini mencoba untuk memaparkan bagaimana konsep layanan unggulan di RS pada umumnya, dan bagaimana hal ini dapat diterapkan di RS publik.
Pengertian Layanan Unggulan
Layanan unggulan (atau dalam istilah internasional dikenal sebagai center of excellent) merupakan suatu layanan yang penuh dengan inovasi, didukung oleh teknologi terbaik dibidangnya, biasanya komprehensif pada layanan klinik yang fokus pada suatu penyakit tertentu, serta tidak dimiliki oleh pesaing. Untuk mendukung terjadinya suatu layanan unggulan, biasanya layanan ini didukung oleh fasilitas fisik, dimana suatu layanan unggulan merupakan satu unit tersendiri yang seolah-olah terpisah dari layanan lain di RS. Dengan pemisahan fisik ini, masyarakat maupun petugas kesehatan di RS lebih mudah membedakan layanan unggulan ini dibandingkan dengan yang tidak unggulan.
Ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan saat akan mengembangkan layanan unggulan. Menurut Zuckerman & Markham (2006), setidaknya ada empat aspek paling penting yang harus dipikirkan, yaitu:
Dari uraian di atas, terlihat bahwa tidak mudah dalam mengembangkan suatu layanan menjadi unggulan. Tidak cukup hanya dengan suatu alat canggih tertentu, atau seorang dokter spesialis tertentu, lalu RS mengklaim sudah memiliki atau bisa segera memiliki layanan unggulan. Diperlukan teamwork (multi-disiplin), leadership, komitmen dan dukungan finansial (modal) yang tidak sedikit untuk menghasilkan suatu layanan unggulan. Oleh karenanya, biasanya layanan unggulan ini diharapkan bisa menjadi salah satu revenue center RS, agar sepadan dengan upaya yang telah dikeluarkan.
Konsep Layanan Unggulan: Kasus DeBakey Cardiovascular Research & Training Center, Texas
Pusat penelitian dan pelatihan jantung ini adalah unit yang dibangun dengan tujuan khusus untuk mengembangkan pengetahuan dan membangun teknik dan metode khusus terkaitd engan manajemen klinis dan pencegahan penyakit jantung melalui kegiatan penelitian, pendidikan dan penanganan pasien. Karena pusat ini sangat berorientasi pada kesehatan manusia dengan fokus utama ke pasien, maka pusat ini harus dilengkapi dengan semua sumber daya, fasilitas dan SDM yang diperlukan dalam hal penelitian biomedis dan untuk mampu melakukan diagnosis dan terapi yang canggih. Pusat ini akan meliputi seluruh spektrum penyakit jantung, yang solusinya kaan membutuhkan kolaborasi dari suatu tim tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari biologi, teknik, fisika dan ilmu-ilmu sosial, serta ilmu-ilmu medis. Center ini harus terletak di lokasi yang memudahkan berbagai jenis tenaga tersebut saling berinteraksi dan bekerjasama, serta menghasilkan ide-ide untuk pengembangan layanan yang terus berkembang.
Kasus Pengembangan Layanan Unggulan di sebuah RS Publik
Sebuah RS publik sedang melakukan kajian untuk menetapkan layanan mana yang akan menjadi unggulan dan bagaimana strategi pengembangannya. Dari hasil kajian tersebut, diketahui bahwa utilisasi layanan perinatologi sangat tinggi, hampir melebihi kapasitas yang ada di RS. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa pasien yang datang ke RS ini bukan saja yang dirujuk oleh puskesmas atau RS lain yang levelnya lebih rendah, melainkan juga dari RS lain yang selevel bahkan yang lebih tinggi (RS Pendidikan juga merujuk ke RS ini). Alasannya adalah karena RS ini sudah memiliki SOP yang sangat baik dalam perawatan perinatal, proses monitoring dan evaluasi pelayanan klinis berjalan sesuai prosedur dan tim klinis yang kompeten, meskipun teknologinya saat itu bukan yang tercanggih. Dengan kemampuan ini, pasien rujukan selalu datang dan berdampak pada utilisasi fasilitas. Tidak jarang pasien ditolak karena kapasitas yang sudah penuh terpakai. Kendala yang dihadapi oleh RS ini untuk mengembangkan kapasitasnya, apalagi menjadikannya sebagai unggulan, adalah biaya untuk perawatan bayi baru lahir cukup besar. Pasien yang dirujuk biasanya merupakan kasus dengan berbagai komplikasi, membutuhkan penanganan khusus dan LOS tinggi, sehingga cost pelayanan juga tinggi. Sebagai RS publik, pangsa pasar RS ini sebagian besar adalah mayarakat tidak mampu. Disamping itu, pemilik RS tidak setuju apabila tarif RS terlalu tinggi, karena akan bertentangan dengan misinya sebagai RS publik. Manajer RS berpendapat tidak mungkin menjadikan perinatologi sebagai layanan unggulan, karena pasti tidak akan mendatangkan revenue yang cukup untuk menutupi biaya operasional RS. Kepala divisi perinatologi juga merasa keberatan jika harus menjadikan aspek finansial sebagai salah satu indikator kinerjanya, karena itu akan membuatnya menolak banyak pasien miskin.
Pada kasus di atas, sebaiknya manajemen, pemilik dan klinis duduk bersama untuk mendefinisikan kembali misi RS dan sejauh mana misi ini dapat diimplementasikan pada pengembangan layanan unggulan. Jika ini adalah RS swasta not-for-profit, maka perlu dibahas kembali sejauh mana yayasan dapat mendukung pengembangan layanan tersebut dan bagaimana startegi finansialnya. Pada RS Pemerintah, perlu disadari bahwa ini mungkin merupakan RS rujukan terakhir. Jika RS ini pun menolak (karena kapasitas penuh atau karena adanya tuntutan kinerja keuangan), kemana pasien tersebut harus mencari pertolongan. Dalam hal ini kepala daerah sebagai pemilik dan decision maker tertinggi perlu memberikan subsidi kepada masyarakat yang membutuhkan layanan
RS Pemerintah perlu melihat kembali bagaimana ukuran kinerja Badan Layanan Umum Daerah. Menurut Permendagri 61/2007, ada tiga jenis kinerja BLUD, yaitu kinerja pelayanan, kinerja keuangan dan kinerja manfaat. Pada kasus di atas, jelas kinerja layanan dan kinerja manfaat dapat ditingkatkan jika perinatologi dijadikan sebagai layanan unggulan. Namun bagaimana dengan kinerja keuangan?
Di negara maju, RS tidak mengalami kesulitan keuangan dalam mengembangkan layanan unggulan seperti RS-RS di Indonesia. Hal ini karena tarif layanan (paket) dibuat lebih tinggi atau minimal sama dengan unit cost pelayanan. Selain itu, hampir seluruh masyarakat terlindungi oleh asuransi yang menjamin akses ke fasilitas kesehatan tanpa memberatkan kantong. Di Indonesia, mekanisme asuransi ini belum sempurna, sedangkan tarif pelayanan seringkali masih di bawah unit cost. Jangankan untuk mengembangkan investasi, untuk menutupi biaya operasional saja seringkali tidak cukup. Seringkali RS terpaksa mengorbankan mutu layanan dan kenyamanan layanan agar dengan dana yang terbatas bisa melayani lebih banyak pasien. Jika saja subsidi diberikan berdasarkan kebutuhan layanan, maka tidak akan ada masalah dalam pengembangan layanan unggulan tersebut. Jika unit cost dihitung dengan benar (meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung), dan tarif ditetapkan lebih tinggi dari unit cost, maka tentu saja layanan perinatologi pada kasus di atas bisa menjadi unggulan. Masyarakat tidak mampu perlu mendapat subsidi dari pemerintah untuk mengakses layanan tersebut. Dengan demikian, terjadi keseimbangan: RS memperoleh pendapatan yang cukup untuk opeasional dan mempertahankan mutu, masyarakat (mampu atau tidak mampu) dapat mengakses layanan yang bermutu (tim klinis yang kompeten, teknologi tinggi, proses yang berorientasi pada patient safety dan sebagainya) di RS. Dalam jangka panjang, mekanisme pembiayaan yang lebih baik perlu dikembangkan agar layanan bermutu dapat terus diakses.
Kesimpulan
Layanan unggulan di RS publik sangat memungkinkan untuk dikembangkan, meskipun tampaknya layanan tersebut tidak dapat atau sulit untuk mendatangkan revenue bagi RS. Yang terpenting adalah adanya keseimbangan antara cost dan revenue, dimana cost adalah dampak dari mutu dan range teknologi yang digunakan, dan revenue adalah dampak dari kuantitas pelayanan yang berasal dari masyarakat (pasien) maupun sumber lain (subsidi) yang memadai untuk terjadinya pelayanan yang bermutu tersebut. Yang perlu diingat bahwa layanan unggulan harus berbeda dengan layanan biaya, dari aspek jangkauan produk, pasar, posisi dan kemampuan unik yang dimiliki oleh produk tersebut.
Hershell and Kaylea Watson quickly established a daily routine.
The Crossville couple, who have been staying at the Knoxville Ronald McDonald House, have been regular visitors of the neonatal intensive care unit at East Tennessee Children’s Hospital where their daughter Savannah Grace has been for the past eight weeks.
They arrive midmorning and stay by her side for six hours amid the cries of other babies, the beeps from various lifesaving machines and conversations among other parents and nurses. They return again at 8 p.m., when visiting hours resume, spending more time with their daughter who was born 13 weeks early.
Under a proposed $75 million expansion and renovation project at Children’s Hospital in downtown Knoxville, families like the Watsons would never have to leave their little ones.
“That would be the best thing,” Kaylea Watson said.
“Yeah, to be able to stay,” her husband replied softly.
“Because it’s hard leaving,” she acknowledged.
The plan, which was given the green light by the hospital’s board of directors last month, calls for all private NICU rooms to be in a new five-story building on White Avenue between 21st and 22nd streets, where a paved surface parking lot is currently used for emergency department visits and for staff.
It also will put the hospital’s surgery services, now on three floors, all on one level.
“These two services we have added to incrementally over the years, but they really are not up to the standard in terms of size and the family orientation that we need to have for those services. So this is really focused on that,” said Rudy McKinley, vice president of hospital operations.
The hospital tapped local architects Barber McMurry as well as Boston-based Shepley Bulfinch to put together a concept plan with the help of physicians, nurses, staff and parents whose children were once patients.
“It was a very engaging process, but also it brought the concept to reality very quickly knowing we could create the kind of environment we wanted. When we saw examples of other facilities that have done something similar at children’s hospitals, it reinforced that very vividly,” McKinley said.
Hospital officials will spend the next several months working to develop a detailed floor-by-floor plan with hopes of breaking ground next summer. A certificate of need request will be filed with the state, though it hasn’t been determined if additional beds will be sought.
The new 245,000 square-foot building will feature more natural lighting, rooftop gardens, a de-stress room for staff and a lounge for parents. It will also have a two-level underground parking garage with 146 spaces and several walkways connecting to the existing hospital.
Funding for the project will come from internal funds, borrowed capital and community fundraising efforts. Carlton Long, vice president of development, said the hospital hopes to raise $15 million in a capital campaign that will begin at the first of the year.
Over the years, the landlocked hospital has gradually moved away from the traditional open-bay layout to a more private, family-friendly setting.
For instance, in 2006 when the seven-story Goodfriend Tower was built, the pediatric intensive care unit went to all private rooms and later 16 private rooms were dedicated for babies specifically born dependent on drugs.
“I think that kind of proved to us how necessary this is because once you put those babies in that isolated situation they really started responding better and their length of stay was cut a little bit,” Long said.
Tracie Savage, staff development specialist at the children’s hospital, said when a baby is taken away from a family, many times the parents haven’t had a chance to bond with that baby.
And while a mother wants to spend time with her baby, there can be many distractions, she said. It takes a lot of equipment to care for a NICU baby and the beds are currently spaced just a few feet apart. If a critical procedure must be done with another baby, other parents may have to be asked to leave.
“There’s just a huge need. It’s going to be great for the families. We know it’s going to offer parents a better experience just having that more private area. It’s pretty much going to look like a nursery at home,” Savage said. “For mom to go into a private room that bonding process can take place the way it should.”
Source: knoxnews.com
Padang—Anggota Komisi IV DPRD Sumbar, Marlis mengaku kecewa dengan lambannya kinerja dari tim penilaian alih status RSUD Kabupaten Solok menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Pasalnya, berdasarkan rapat terakhir dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumbar beberapa waktu lalu, Rumah Sakit (Rumkit) tersebut telah naik status jadi BLUD pada Maret lalu.
Namun sayangnya hingga kini hal tersebut masih belum terwujud. Bahkan menurut politisi Hanura tersebut perlu duduk semeja antara tim penilai bersama dengan Dinkes Sumbar dan DPRD Sumbar untuk memperjelasnya.
“Berdasarkan rapat terakhir di Dinkes, Maret lalu sudah keluar BLUD RSUD Solok ini. Tapi kenapa sampai sekarang sudah masuk bulan Juli, BLUD-nya masih juga belum keluar,” ujar politisi Hanura tersebut di DPRD Sumbar, kemarin.
Dia juga meragukan keseriusan dari tim penilai yang hingga kini masih belum melaporkan hasil lengkap penilaiannya terhadap RSUD Solok ke Sekdaprov. Akibatnya, penerbitan SK BLUD tersebut molor dan belum terwujud.
Kadinkes Sumbar, Rosnini Savitri menjelaskan, untuk proses status BLUD tersebut sudah dilalui, hanya tinggal menunggu SK keluar. Banyaknya persyaratan yang belum dilengkapi oleh pihak Rumkit juga menjadi salah satu penyebab lambanya penerbitan SK tersebut.
Kendati demikian, pihaknya merasa yakin SK tersebut sudah bisa keluar dalam waktu dekat. Karena saat ini semua hasil penilai juga sudah dilaporkan ke Sekdaprov. Akan tetapi untuk operasionalnya tetap saja dimulai pada Januari 2014.
“Kita yakin dalam waktu dekat ini, SK-nya sudah keluar. Namun walau SK-nya sudah keluar, tapi pelaksanaan operasionalnya tetap saja dimulai di awal tahun 2014 mendatang,” ungkap Rosnini Savitri.
Sebaliknya, mimpi ratusan bidan sukarela untuk memperjelas statusnya di RSUD Kabupaten Solok hingga kini belum jelas. Sebab pihak rumah sakit belum mempertegas sikapnya.
Sumber: padangekspres.co.id
Tanah Karo – Gawat, kalau begini cara kerja instansi pemerintah merekrut Pegawai Harian Lepas (PHL) dengan dalih dan iming-iming akan diangkat menjadi PNS. Dengan omongan manis berlandaskan pembenahan mekanisme kinerja bawahan serta menuju perubahan terbaik supaya kepala daerah layak menerima usulan tersebut. Namun, usulan tersebut semua menjurus negatif maupun menyalahgunakan wewenang atau jabatan.
Pasalnya, sebanyak 15 orang diangkat menjadi PHL di RSUD Kabanjahe terhitung 15 Februari 2013 lalu. Ke-15 PHL tersebut terindikasi kuat diminta bayaran sebesar Rp 50 juta untuk tahap I semasa Direktur RSUD dr Terry Surbakti dan Rp 30 juta tahap II jabatan direktur dipimpin dr Jasura Pinem MKes.
Masalah ini menjadi bahan gunjingan miring di tengah masyarakat Karo, terlebih bagi keluarga korban (15 PHL). Namun hingga sekarang belum diketahui masa depan mereka sebab janji (surat keterangan) SK direktur dari masa jabatan dr Terry Surbakti sudah dicabut kembali dari tangan PHL.
Sudah jatuh ditimpa tangga lagi, uang puluhan juta sudah kita serahkan, SK awal untuk pegangan dari Direktur RSUD dr Terry saat itupun ditarik serta iming-iming diangkat menjadi PNS belum jelas rimbanya.
“Kalau status tak jelas terus, suatu saat kami akan bergabung dengan keluarga teman-teman senasib sepenangungan mendobrak kebenaran dari orang tak bertangung jawab terhadap masa depan kami,” ungkap sejumlah PHL didampingi orangtua kepada sejumlah wartawan di Kabanjahe.
Terpisah, Plt RSUD Kabanjahe dr Jasura Pinem ketika dikonfirmasi, kemarin, mengatakan, dalam kurun waktu sekitar dua bulan dirinya jadi Plt, tidak ada menerima sepeser pun uang dari PHL, baik melalui orang lain atau langsung dari PHL tersebut.
“Saya sintua dalam pengurus Gereja, juga berani sumpah kalau memang ada saya terima uang dari PHL. Dahulu saat dr Terry Surbakti jadi Direktur Rumah Sakit milik Pemkab ini sempat terdengar soal adanya indikasi uang senilai Rp 50 juta terhadap PHL dengan SK Direktur,”katanya.
Kisruh ringan tersebut sempat terdengar atasan sehingga pencabutan Surat Keterangan dari para PHL terjadi. Sekarang siapa pula orang yang jadi pengkhianat menyebar isu miring itu. “Inilah kita ingin melakukan pembenahan dan meningkatkan kinerja terlebih mengatasi keluhan pasien rumah sakit, malah beredar terima uang pula,” sesal Jhosura Pinem.
Sedangkan, Bupati Tanah Karo DR (HC) Kena Ukur Karo Jambi Surbakti yang dihubungi lewat ponselnya, Kamis (11/7) mengungkapkan persoalan tak sedap di tubuh RSUD Kabanjahe terkait adanya dugaan uang dari PHL setor sebesar Rp 80 juta per orang tersebut, tidak benar.
”Kita harapkan agar semua pihak SKPD jajaran Pemkab Karo supaya jangan menyalahgunakan jabatan maupun wewenang tugas sesuai tupoksi, apalagi menerima imbalan uang memanfaatkan suatu momen tupoksi masing-masing,”katanya.
Sumber: harianandalas.com
PEKANBARU– Laporan dugaan penipuan oleh Direktur RSUD Kepulauan Meranti yang dilaporkan oleh Direktur CV TIS, M Cahya Ramadhan alias Yadi (38) warga Jalan Proyek Baru, Kelurahan Tanjung Rhu, Kecamatan Limapuluh, Pekanbaru saat ini ditangani pihak kepolisian.
Penghimpunan bukti-bukti serta meminta keterangan saksi akan dilakukan terkait laporan ini. Tak tertutup kemungkinan Inspektorat Kabupaten Meranti juga dipanggil untuk dimintai keterangan.
Hal ini diungkapkan Kabid Humas Polda Riau AKBP Hermansyah SIK kepada wartawan, belum lama ini. ”Saya belum bisa berkomentar banyak karena kasusnya saat ini masih ditangani,” ujar Hermansyah.
Ia memaparkan, informasi-informasi yang terkait dengan kasus tersebut akan dihimpun akan dihimpun oleh penyidik.
”Contohnya, mereka ada inspektorat. Ini akan kita tanyai bagaimana hasil pemeriksaan mereka. Lalu akan dilihat juga, apakah memang ada dianggarkan outsorching atau tidak di sana, bagaimana bisa menggunakan dana dari pihak lain untuk membayar tersebut, kemana anggarannya. Karena, anggaran negara harus jelas peruntukannya,” ujar Kabid Humas dilansir riauterkini.com.
Sebelumnya diberitakan, Direktur CV TIS, M Cahya Ramadhan alias Yadi (38) warga Jalan Proyek Baru, Kelurahan Tanjung Rhu, Kecamatan Limapuluh, Pekanbaru melaporkan Direktur RSUD Kepulauan Meranti ke Polsek Tebing Tinggi.
Penipuan itu berawal dari peminjamkan dana sebesar Rp 261.900.000 oleh Direktur RSUD yang disaksikan PPTK-nya pada Juni 2012 lalu untuk keperluan pembayaran gaji front office dan RO.
Kejadian ini sudah berlangsung satu tahun dan selama waktu berlalu dan dilakukan penagihan, namun tidak juga dikembalikan oleh Direktur RSUD Meranti. Kronologis peminjaman uang yang berujung penipuan itu, yakni berawal dari teman korban bernama Yono.
Dari Yono disampaikan bahwa temannya yakni Direktur RSUD Meranti bernama Yusrizal SKM Mkes sangat membutuhkan bantuan yakni pinjaman uang untuk pembayaran gaji.
Kabarnya saat itu, direktur RSUD Meranti sedang didemo oleh karyawanya, karena gaji mereka tidak dibayar dari Januri-Juni. Karena memiliki hubungan baik dan percaya dengan Yono, korban lalu meminjamkan dana sebesar Ro261.900.900 yang saat diserahkan langsung diterima Direktur Yusrizal dan disaksikan oleh PPTK drg Elenis Elomita Mkes, dengan kwitansi bermaterai 6000.
Saat itu Direktur RSUD menjanjikan akan membayar melalui anggaran APBD Perubahan 2012 dan memang sudah dianggarkan. Tapi waktu pencairannya, malah dana itu dikembalikan ke kas daerah.
Sumber: merantionline.com
Seminar Nasional tentang SJSN Kesehatan
Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta, 26-27 Juni 2013
Daya tarik utama dalam seminar ini adalah materi dan pembicara yang diundang dalam seminar tersebut. Peserta seminar umumnya berasal dari praktisi kesehatan, manajemen rumah sakit, dinas kesehatan, industri farmasi dan perusahaan asuransi. Semua peserta yang hadir Nampak antusias dengan materi yang disampaikan. Hal ini terbukti dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan peserta pada sesi tanya jawab.
Sisi lain dalam seminar ini, sebagian peserta mengeluhkan adanya pergantian pembicara pada saat seminar. Sebagian pembicara yang telah dinantikan kehadirannya, justru diwakilkan. Hal ini dikarenakan, adanya tugas mendadak yang harus segera diselesaikan. Menurut panitia pelaksana, mereka sudah berusaha agar seluruh pembicara yang telah dituliskan dalam undangan dapat hadir, namun karena satu dan lain hal, sehingga hal tersebut tidak terlaksana.
Seluruh peserta yang hadir berharap, bahwa mereka akan lebih paham tentang pelaksanaan BPJS yang tinggal menghitung hari (kurang dari 180 hari). Sejalan dengan hal tersebut, sebagian pihak merasa pesimis dan menilai bahwa pelaksanaan BPJS dapat membuat masalah baru dibidang kesehatan (bercermin dari program KJS oleh Pemerintah Jakarta). Namun, tidak sedikit dari peserta dan pemateri yang terus menerus mengajak kita semua agar selalu optimis akan keberhasilan program ini.
Dua topik utama yang dibahas dalam seminar 2 (dua) hari ini, yaitu:
Berikut adalah beberapa pertanyaan peserta seminar dan jawaban dari narasumber. Pertanyaan ini ditanyakan pada sesi Jaminan Kesehatan Nasional, dengan nara sumber: dr. Gede Subawa, M.Kes.
Pernyataan klasik bahwa “orang miskin dilarang sakit”. Kenyataan saat ini, akses ke pelayanan kesehatan dapat dikatakan meningkat, namun apakah dibarengi dengan mutu layanan kesehatan yang diberikan? Sepertinya tidak!
Pertanyaannya:
Mengapa BPJS tidak melakukan analisis mutu layanan kesehatan dulu, dengan demikian akan semakin jelas dimensi mutu yang diharapkan dalam program ini. Logikanya, saat ini merencanakan untuk membeli suatu barang, secara otomatis kita menentukan spesifikasi barang, bahkan melalukan analisa dan estimasi saat barang tersebut dating dan akan digunakan. Bagaimana dengan program BPJS? Jangan sampai perubahan Askes menjadi BPJS hanya perubahan nama saja bukan perubahan Mutu (kenyataan sekarang: terjadi perbedaan layanan kesehatan pasien Askes dengan pasien non Askes).
Jawaban:
Masukan bagi pemerintah bahwa harus menetapkan indicator/ dimensi mutu layanan kesehatan, agar dapat dipestikan bahwa peserta BPJS memperoleh layanan yang bermutu.
Masalah perbedaan layanan pasien Askes dengan non Askes, sebenarnya PT. Askes selalu melakukan survey secara berkala. Survei ini dengan melibatkan 3 (tiga) lembaga sesuai dengan bidang mereka masing-masing. PT. Askes terus menampung berbagai masukan dan terus melakukan upaya perbaikan.
Jakarta – Wakil Menteri Keuangan RI Mahendra Siregar mengungkapkan bahwa berdasarkan perhitungan sementara Kementerian Keuangan, alokasi anggaran kesehatan pada 2014 mendekati angka 3,7 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
“Menurut perhitungan sementara kami terhadap seluruh anggaran, belanja pemerintah untuk sektor kesehatan mendekati 3,7 persen dari APBN. Memang itu belum memenuhi target lima persen seperti yang diamanatkan undang-undang,” kata Mahendra di Jakarta, Rabu (10/7).
Pernyataan tersebut disampaikannya dalam rapat kerja (raker) dengan Menteri Kesehatan, Bappenas, dan Komisi IX DPR RI untuk membahas kesiapan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
Wamenkeu, sebagaimana dilaporkan Antara, menjelaskan, dalam perhitungan sementara Kemenkeu itu, yang dimaksud dengan anggaran kesehatan sebenarnya tidak hanya mencakup alokasi anggaran reguler (biasa) yang ada pada Kementerian Kesehatan.
“Akan tetapi, pada tahun 2014 tentunya dimasukkan elemen anggaran untuk premi Jaminan Kesehatan Nasional bagi PBI (penerima bantuan iuran) yang mencapai Rp 19,9 triliun,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa belanja pemerintah untuk sektor kesehatan juga termasuk anggaran kesehatan berupa iuran tertanggung bagi TNI dan Polri serta anggaran untuk layanan kesehatan lainnya.
Namun, Wamenkeu mengaku bahwa alokasi anggaran untuk sektor kesehatan sebesar lima persen dari APBN, seperti yang diamanatkan Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, memang masih sulit untuk dipenuhi.
Hal itu, menurut dia, karena secara keseluruhan APBN harus digunakan untuk semua sektor secara adil dan proposional.
“Jadi, kalau ada persentase untuk sektor tertentu yang dibuat `fixed` (tetap), itu tentu akan sulit, kan tidak mungkin APBN itu 105 persen,” kata Mahendra.
Oleh karena itu, lanjut dia, bila ada sektor yang membutuhkan anggaran lebih, anggaran di sektor lainnya akan dikurangi agar persentase alokasi anggaran APBN untuk semua sektor tetap 100 persen.
“Misalnya, setiap ada peningkatan APBN, pasti diikuti peningkatan alokasi anggaran pendidikan. Maka, persentase di sektor lain akan mengalami penyesuaian,” tuturnya.
Pada kesempatan itu, Wamenkeu juga mengatakan bahwa Kementerian Keuangan tetap berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan anggaran kesehatan, salah satunya dengan mengalihkan subsidi BBM ke premi Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) untuk penerima bantuan iuran (PBI).
“Ini juga yang kami pegang bedasarkan raker 13 maret, ada pengurangan subsidi BBM untuk dialihkan ke anggaran premi PBI. Maka, iuran untuk PBI yang semula Rp 15.500 meningkat menjadi Rp 19.225 per bulan,” katanya.
Sementara itu, untuk modal awal persiapan operasional BPJS, sebagian modal berasal dari ekuitas PT ASKES dan PT Jamsostek yang akan dialihkan menjadi BPJS.
“Data terakhir kami, ekuitas PT ASKES sebesar Rp 8,8 triliun dan ekuitas PT Jamsostek sebesar Rp 6,5 triliun. Jumlah ini diperkirakan cukup untuk dipergunakan dalam tahap awal pelaksanaan operasional BPJS,” kata Mahendra.
Sumber: gatra.com
Problems in the Welsh NHS are being “vigorously” tackled to help avoid a repeat of the Stafford Hospital scandal in which patients died needlessly, says the health minister.
The NHS in north Wales has faced strong criticism from watchdogs and staff over its performance and reorganisation.
Mark Drakeford said the system in Wales had exposed concerns “very quickly”.
It follows the Welsh government’s response to the Stafford inquiry which found neglect contributed to deaths.
The Francis inquiry into failings at Mid Staffordshire NHS Foundation Trust between 2005 and 2008 showed there were between 400 and 1,200 more deaths at the hospital than would have been expected.
Continue reading the main story
“Start Quote
…although there are problems in north Wales which we are addressing vigorously, the system in Wales has exposed those challenges very quickly”
Mark Drakeford Health Minister
It was blamed on a culture of post-cutting and target-chasing ahead of the quality of care delivered.
Mr Drakeford told BBC Radio Wales: “Certainly Francis is right to say that we need strong leadership in the health service, we need well-equipped and effective managers and we need strong clinical leadership too.
He said the Welsh government was “strengthening the leadership in north Wales for the board and executive level”.
“Let me just say in relation to Francis and north Wales that the key thing for patients to be aware of is that the problem in mid Staffordshire was not simply that standards of care were not what they should be, but that nobody appeared to notice that things were going wrong.
“And although there are problems in north Wales which we are addressing vigorously, the system in Wales has exposed those challenges very quickly.”
Safety concerns
The Betsi Cadwaladr University Health Board in north Wales has faced a series of problems in recent months.
On Tuesday consultants at Ysbyty Gwynedd in Bangor warned they lacked faith in managers’ ability to make the changes needed to provide good patient care.
They claimed the health board’s internal structures were “not fit for purpose” amid patient safety concerns.
Last month the board’s chairman and chief executive said they would stand down after a damning report which outlined how operations had been delayed and hospital waiting lists allowed to grow.
The board was also criticised in June for the way it handled an outbreak of the hospital infection C. diff which has contributed to the deaths of at least seven people this year.
Mr Drakeford added: “There are challenges I don’t deny that, there are things we need to do. But we’re not in a mid Staffordshire situation where nobody appeared to notice that there were challenges to be faced.”
‘Critical eye’
He also said the board and the executives at Betsi Cadwaladr were talking to consultants at Ysbyty Gwynedd, and the chief executive of NHS Wales would be meeting them over the next couple of days.
“That’s the key difference I think, that when there are concerns we are in a good position to respond to them, to talk to people who are there on the ground, who have things that they wish to draw to our attention and then we’re able to deal with them,” he said.
Mr Drakeford has said February’s inquiry report on the Stafford Hospital scandal had led to a “critical eye” being cast over the health service in Wales.
A series of measures designed to protect patients were unveiled by the Welsh government on Tuesday including changes to the NHS complaints system and a ban on gagging clauses
Mr Drakeford also announced that Welsh NHS funding levels would be reviewed to ensure there was no repeat of the Stafford scandal in Wales.
He said £10m would be used to recruit 290 hospital nurses.
Conservatives have long claimed that the Welsh NHS is underfunded but Mr Drakeford said the NHS budget would support patient safety and quality of care.
Tory Shadow Health Minister Darren Millar said: “What he must not do – at any cost – is waste the opportunity he has created.
“This review cannot amount to a simple tea room chat between two ministers from a Labour party that has consistently rejected additional NHS investment.”
Source: bbc.co.uk