Dear Pengunjung website, Rumah Sakit Daerah: Haruskah Berada di Bawah Dinas Kesehatan? Diskusi – formal maupun tidak formal – yang membahas rancangan PP pengganti PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah masih terus bergulir, khususnya di sektor kesehatan. Isu ini menjadi semakin hangat sejak munculnya ide untuk mengembalikan posisi organisasi RSD menjadi unit di bawah Dinas Kesehatan, tahun 2013 lalu. Ada pro dan kontra yang sangat jelas terhadap ide ini. Selanjutnya….
LEADERSHIP KEPERAWATAN DI RS ![]() Illustrasi Perawat Rumah sakit adalah organisasi dengan kompleksitas tinggi. SDM yang bekerja di RS berasal dari berbagai profesi bidang kesehatan maupun non-kesehatan. Para tenaga profesional ini harus saling bersinergi dalam menjalankan perannya, bekerjasama dan saling memahami peran dan fungsi masing-masing untuk tujuan yang satu yaitu mensejahterakan pasien dan mencapai aktualisasi dari masing-masing profesi. Selanjutnya… |
|||
Website ini akan update setiap Selasa pagi. Nantikan Informasi terbaru setiap minggunya. | |||
+ Arsip Pengantar Minggu Lalu |
|||
|
Hambatan RSUD menerapkan PPK-BLUD: Permendagri No. 61/2007 kurang jelas? | Hambatan RSUD menerapkan PPK-BLUD: kurangnya tenaga akuntansi dan keuangan? |
LEADERSHIP KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT

Illustrasi Perawat
Rumah sakit adalah organisasi dengan kompleksitas tinggi. SDM yang bekerja di RS berasal dari berbagai profesi bidang kesehatan maupun non-kesehatan. Para tenaga profesional ini harus saling bersinergi dalam menjalankan perannya, bekerjasama dan saling memahami peran dan fungsi masing-masing untuk tujuan yang satu yaitu mensejahterakan pasien dan mencapai aktualisasi dari masing-masing profesi.
Salah satu profesi sangat penting di RS adalah perawat. Profesi ini mengisi separuh atau lebih posisi di RS. Mereka ada disetiap saat rumah sakit opersional selama 24 jam dan hampir diseluruh unit layanan dibutuhkan andil dan peran perawat dalam memberikan pelayanan terbaik bagi pasien sebagai pelanggan rumah sakit.
Sistem organisasi keperawatan menjadi sangat dibutuhkan untuk menjadi sub sistem dalam organisasi rumah sakit. Mulai dari struktur organisasi dengan menajemen operasionalnya sampai dengan komite keperawatan dengan manajemen mutu dan kredensialingnya, organisasi keperawatan harus dikelola secara baik dan memerlukan sumber daya manusia perawat kredibel dan kapabel dalam bidang ini. Leadership keperawatan di rumah sakit pada akhirnya mutlak diperlukan untuk mampu mengelola pelayanan keperawatan.
Seperti di Australia perawat sebagai leader eksekutif memiliki peran penting peran dalam memberikan kepemimpinan profesional untuk pelayanan keperawatan, seluruh organisasi keperawatan secara keseluruhan. Pemimpin perawat mengelola keperawatan untuk peduli organisasi dan memastikan bahwa unit keperawatan memiliki tenaga kerja dan sumber daya yang mereka butuhkan untuk menciptakan lingkungan praktek yang positif dan memberikan perawatan berkualitas tinggi.
Di Indonesia pada umumnya ada 2 area leadership dalam keperawatan di rumah sakit, yaitu pada area fungsional dan area struktural. Pada are fungsional leadership keperawatan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.49 Tahun 2013 tentang Komite Keperawatan dengan keharusan dibentuknya Komite Keperawatan di RS. Komite ini dipimpin oleh seorang ketua dan bertugas sebagai wadah non-struktural RS. Fungsi utamanya adalah mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi dan pemeliharaan etika disiplin profesi. Komite keperawatan membawahi 3 sub komite yang terdiri dari sub komite kredensialing, sub komite mutu dan sub komite etik dan disiplin profesi. Di area struktural leadership keperawatan jelas diatur dalam berbagai regulasi baik ditingkat regional dan nasional. Regulasi ini menetapkan stuktur organisasi dan tata kelola rumah sakit selalu mencantumkan keperawatan sebagai bagian dari tata kelola manajerial yang dapat berupa direktorat keperawatan yang dijabat seorang direktur atau wakil direktur, bidang keperawatan dengan kepala bidang atau seksi keperawatan oleh seorang kepala seksi sesuai dengan kelas rumah sakit.
Komite Keperawatan memerlukan kepemimpinan (leadership) seorang perawat. Seorang ketua komite keperawatan adalah seorang pemimpin dalam tata kelola klinis yang mempunyai tugas dan wewenang meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan. Wewenang lainnya adalah mengatur tata kelola klinis yang baik agar mutu pelayanan keperawatan yang berorientasi pada keselamatan pasien di rumah sakit lebih terjamin dan terlindungi. Ketua Komite keperawatan adalah pemimpin sebuah wadah keprofesian yang menjamin profesionalisme dan pertumbuhan profesi keperawatan agar terus berkembang. Ketua komite juga mengatur mekanisme dan sistem pengorganisasian terencana dan terarah yang diatur oleh tata norma profesi sehingga dapat menjamin sistem pemberian dan asuhan keperawatan yang diterima oleh pasien diberikan oleh tenaga keperawatan yang dari berbagai jenjang kemampuan atau kompetensi dengan benar (scientific) dan baik (ethical) serta dituntun oleh etika profesi keperawatan. Ketua komite keperawatan bertugas membantu direktur dalam melakukan kredensialing, penjagaan mutu dan pembinaan disiplin etika profesi keperawatan serta pengembangan professional berkelanjutan termasuk memberi masukan guna pengembangan standar pelayanan dan standar asuhan keperawatan.
Bidang keperawatan jelas sangat dibutuhkan di rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan sumber daya manusia perawat maupun logistik dan sarana prasarana yang menunjang asuhan keperawatan. Kepala bidang keperawatan/direktur keperawatan sampai dengan kepala ruang perawatan bertugas menjamin ketersediaan prasarana dan sarana pemberian pelayanan asuhan keperawatan serta memastikan ketercukupan SDM keperawatan baik secara kuantitas dan kualitas. Leadership dibidang ini juga dibutuhkan dimana pemimpin paham dan menguasai manajemen keperawatan maupun manajemen rumah sakit secara keseluruhan.
Koordinasi dan kolaborasi leadership pada kedua area keperawatan di atas sangat menentukan kualitas pelayanan keperawatan di rumah sakit. Seperti disampaikan Frandsen (2013) bahwa salah satu realisasi penting yang dapat ditangkap oleh seorang pemimpin perawat adalah bahwa tidak seorang dapat mencapai hasil yang signifikan sendirian saja, sukses selalu didukung oleh tim dari individu-individu yang mendukung pemimpin mereka dan membuka jalan untuk sukses melalui usaha bersama. Berbagai gambaran diatas menunjukkan kebutuhan leadership yang kuat dalam organisasi keperawatan di rumah sakit baik pada struktural organisasi manajerial maupun fungsional. Penguasaan konsep manajemen dan leadership akhirnya menjadi sebuah keharusan dikuasai oleh perawat secara kolektif.
Peningkatan kemampuan leadership secara berkelanjutan dan terstuktur sangat diperlukan oleh perawat agar dapat menjalankan peran ini sebaik-baiknya. Sesuai dengan dengan penelitian Curtis et all (2011) program pelatihan kepemimpinan yang efektif, bukan hanya dapat membawa perubahan jangka pendek, tetapi juga dalam jangka panjang. (TYR)
Referensi:
Betty Frandsen RN, NHA, MHA, CDONA/LTC, C-NE (2013) Nursing Leadership, Manajemen & Leadership Style, AANAC – www.aanac.org.
Elizabeth A. Curtis, Jan de Vries, Fintan K. Sheerin (2011), Developing leadership in nursing: exploring core factors, British Journal of Nursing, 2011, Vol 20, No 5.
Nusing Leadership – Nurse leadership White Paper (2015), Australian College of Nursing – www.acn.edu.au
Peraturan Menteri Kesehatan No.49 Tahun 2013 tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit
Rumah Sakit Daerah: Haruskah Berada di Bawah Dinas Kesehatan?
Rumah Sakit Daerah: Haruskah Berada di Bawah Dinas Kesehatan?
Diskusi Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti PP Nomor 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
Putu Eka Andayani (Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM)
Diskusi – formal maupun tidak formal – yang membahas rancangan PP pengganti PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah masih terus bergulir, khususnya di sektor kesehatan. Isu ini menjadi semakin hangat sejak munculnya ide untuk mengembalikan posisi organisasi RSD menjadi unit di bawah Dinas Kesehatan, tahun 2013 lalu. Ada pro dan kontra yang sangat jelas terhadap ide ini.
Kelompok yang pro menyatakan bahwa selama ini fungsi Dinkes sebagai regulator sulit dijalankan karena RSD tidak bisa diatur. Salah satu alasannya adalah karena pada struktur Dinas Kesehatan, yang berwenang untuk mengawasi RS adalah Bidang Pelayanan Kesehatan bahkan setingkat seksi (Seksi Puskesmas dan Rumah Sakit). PP No. 41 Tahun 2007 Pasal tentang Organisasi Perangkat Daerah Pasal 34-35 menyebutkan bahwa Kepala Bidang pada Dinas merupakan jabatan eselon IIIb, sedangkan Direktur RS adalah pejabat yang eselonnya paling rendah III a, tergantung pada kelas RS. Dengan situasi ini, kelompok pro mengatakan bahwa eselon yang lebih rendah menyulitkan untuk mengawasi pejabat pada eselon yang lebih tinggi. RSD cenderung tidak mau berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan, salah satunya merasa karena komposisi pendapatan yang berasal dari APBD lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan dari jasa layanan. Apalagi jika subdisi (APBD) terus dikurangi, RSD merasa “tidak disponsori” oleh pemda (apalagi Dinkes) dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, dan oleh karenanya tidak perlu melaporkan kegiatan ke Dinas Kesehatan. Dengan demikian, jika RSD diletakkan di bawah Dinas Kesehatan, maka RSD akan selalu berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan. Tugas pengawasan otomatis akan berjalan dengan baik karena direktur RS akan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan.
Selain itu, kelompok pro menyatakan bahwa beberapa RS A berada di bawah Kementerian Kesehatan. Artinya, Kementerian kesehatan sebagai lembaga regulator tertinggi di sektor kesehatan juga berperan sebagai operator yang membawahi beberapa RS. Hal ini juga dapat diterapkan pada dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota, dengan menempatkan RS Daerahnya masing-masing di bawah Dinkes.
Kelompok kontra memiliki argumentasi yang kuat dalam menolak ide ini. Sektor kesehatan sama dengan sektor transportasi yang didalamnya mengandung unsur safety. Dengan demikian, maka industri kesehatan perlu dikelola dengan penerapan standar yang tinggi, karena angka error harus serendah mungkin. Penekanan angka error pada level terendah karena orang yang cacat atau meninggal tidak dapat dipulihkan lagi. Pada kondisi ini, harus ada pemisahan antara regulator dengan operator (eksekutif) agar good governance dapat berjalan. Regulator berperan dalam merumuskan kebijakan dan standar pelayanan, dan selanjutnya mengawasi para operator dalam menjalankan usahanya, agar jangan sampai melanggar peraturan atau tidak sesuai dengan standar.
Para operator bisa berupa lembaga pemerintah (RS Daerah) maupun swasta. Selain operator dalam penyediaan pelayanan kesehatan, juga ada operator dalam pembiayaan kesehatan, dalam hal ini BPJS. Operator lainnya dalam sektor kesehatan adalah apotek, laboratorium kesehatan (pemerintah dan swasta), praktek pribadi, perusahaan obat, hingga ke pengobat tradisional dan alternatif. Semuanya perlu bekerja dengan standar dan dengan pengawasan yang ketat, karena terkait dengan safety pasien serta masyarakat disekitarnya.
Sejarah menunjukkan bahwa Dinas Kesehatan adalah lembaga yang sejak awal selalu berada di kutub lembaga birokrasi, sedangkan RSD bergerak dari lembaga yang bersifat birokratis ke lembaga yang lebih bersifat sebagai lembaga usaha. Perkembangan dari RS non-swadana menjadi RS swadana mampu meningkatkan kinerja RS, sehingga dengan menjadi BLUD (bergerak ke kutub lembaga usaha) diharapkan akan semakin meningkatkan kinerjanya. Saat ini PT Askes telah digantikan dengan BPJS, yang sifatnya sama yaitu lembaga usaha meskipun tidak mencari keuntungan. Lembaga-lembaga yang berada di kutub lembaga usaha adalah yang perlu diawasi oleh Dinas Kesehatan sebagai regulator.
Perlu regulator yang sangat kuat dan “menguasai lapangan” untuk bisa mengawasi operator dan menegakkan regulasi. Dinkes harus bisa menjamin masyarakat agar memperoleh layanan yang bermutu. Selain itu, Dinas Kesehatan sebenarnya tidak hanya berperan sebagai regulator. Ada unsur pelayanan yang dilakukan melalui puskesmas maupun unit-unit lainnya di Dinkes, yaitu pelayanan promotif dan preventif. Sebagai contoh, iklan rokok yang mempertontonkan gaya hidup nyaman dan “keren” jauh lebih menarik anak-anak muda untuk menjadi perokok dini dibandingkan dengan iklan layanan masyarakat yang mengingatkan bahaya rokok. Ini artinya Dinas Kesehatan (dan Kementerian Kesehatan) memerlukan kreatifitas yang sangat tinggi untuk dapat menghadapi gempuran iklan rokok, makanan cepat saji yang tidak sehat, dan sebagainya. Di Thailand, tim kreatif sudah dilibatkan untuk membuat program-program promosi kesehatan, misalnya pada video anti-rokok ini atau pada pesan layanan masyarakat tentang pentingnya menjaga kebugaran dengan aktivitas fisik ini.
Dilihat dari peraturan perundang-undangan, UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS telah menempatkan dinkes sebagai regulator. Dinas kesehatan yang merupakan kepanjangan tangan dari Pemda bertugas untuk memberikan (atau tidak memberikan) ijin kepada RS/faskes yang akan beroperasi. Jika RSD menjadi UPT Dinkes, maka ijin yang dikeluarkan oleh Dinkes adalah ijin untuk diri sendiri.
Perlu diingat juga bahwa Dinas Kesehatan bukanlah “miniatur” dari Kementerian Kesehatan di daerah. Hal ini ditunjukkan dari beberapa peraturan perundangan, misalnya yang terkait dengan BLUD. Ditingkat pusat, status BLU pada RS vertikal ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Namun ditingkat daerah, RSD ditetapkan sebagai BLUD oleh kepala daerah, bukan oleh Dinas Kesehatan. Seluruh paket UU yang mengatur tentang pola pengelolaan keuangan daerah juga mengatur bahwa perencanaan hingga pelaporan yang disusun oleh SKPD (termasuk RS Daerah) harus diserahkan dan dikonsolidasikan dengan perencanaan dan pelaporan kepala daerah. Menempatkan RSD di bawah Dinkes akan bertentangan dengan seluruh paket perundang-undangan tersebut.
Setidaknya, ada tiga implikasi jika hal ini dipaksakan. Pertama, akan terjadi kekacauan karena “wasit” akan merangkap sebagai “pemain”. Kedua, Dinkes akan menjadi PA (dan Direktur RS menjadi KPA), sehingga Dinkes akan direpotkan dengan urusan manajemen mikro RS, dan jika terjadi fraud maka Kadinkes ikut bertanggung jawab. Seperti yang ditunjukkan oleh gambar value chain di bawah, ada banyak sekali urusan manajemen mikro RS yang akan menjadi urusan langsung Kepala Dinas jika RSD menjadi UPT Dinkes. Ketiga, misi utama Dinkes yaitu pelayanan promotif dan preventif akan tidak mendapat porsi perhatian yang cukup, apalagi tidak ditunjang dengan anggaran yang memadai dibandingan dengan program kuratif. (pea)
Sumber tulisan:
- PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
- KAJIAN KELEMBAGAAN URUSAN KESEHATAN DI DAERAH oleh Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (PKMK FK UGM)
- KAJIAN KELEMBAGAAN RUMAH SAKIT DAERAH PASKA TERBITNYA UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 oleh dr. Heru Aryadi (ARSADA Pusat)
- Catatan dari berbagai diskusi dan seminar
Dirut RSUD Ciamis Diminta Tegas
CIAMIS – Anggota Forum Mahasiswa Ciamis Bersatu (Format) Adi Durohman meminta pihak rumah sakit segera mengambil tindakan tegas terhadap pegawai yang menolak pasien HIV minggu lalu. “Pihak RSUD harus tegas dan berani dalam menerapkan sanksi dan tidak pilih kasih terhadap tenaga medis yang tidak siap melayani pasien yang menderita HIV/AIDS tersebut,” ujarnya saat dihubungi kemarin (6/12).
Dia juga meminta dewan mengontrol kinerja RSUD dalam memberi pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini Komisi IV merupakan pihak yang bisa menjalankan fungsi tersebut.
Terpisah, Ketua PMII Kabupaten Ciamis Aep Saepudin menyebut kelalaian pelayanan di RSUD sudah sering terjadi. “Ini membuktikan ketidak mampuan direktur dalam meningkatkan kualitas pelayanan,” katanya.
Aef berharap RSUD dan pemerintah daerah bertindak cepat dalam peningkatan kualitas pelayanan serta peralatan yang dibutuhkan untuk melayani pasien. Termasuk untuk melayani pasien penderita pasien HIV/AIDS. “Kalau sekiranya tidak mampu, kami berharap direktur turun,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, RSUD Ciamis menolak salah seorang ibu hamil yang hendak berobat karena mengidap HIV/AIDS. Pihak rumah sakit beralasan tidak memiliki alat pelindung diri bagi petugas yang melakukan penanganan. Mereka khawatir tertular penyakit tersebut. (obi)
Sumber: radartasikmalaya.com
Karyawan Dilatih Cegah Penularan Penyakit
manajemenrumahsakit.net :: BANYUMAS – Untuk mengurangi risiko penularan penyakit atau transmisi infeksi di lingkungan rumah sakit, karyawan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banyumas diwajibkan mengikuti pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI).
Pelatihan PPI tingkat dasar diikuti oleh dokter, perawat, dan petugas kesehatan lain berjumlah 50 orang yang dilaksanakan selama dua hari. Narasumber berasal dari Perhimpunan Pengendali Infeksi Indonesia (Perdalin) yaitu Costy Pandjaitan.
Direktur RSUD Banyumas, AR Siswanto Budi Wiyoto mengatakan, sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No 270/Menkes/SK/III/2007 menetapkan, rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia harus melaksanakan program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Hal itu merupakan salah satu komponen wajib dalam penilaian akreditasi rumah sakit versi 2012. ”RSUD Banyumas akan disimulasi survei oleh tim Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) tanggal 10 -12 Desember 2015. Karena itu, seluruh karyawan rumah sakit harus memahami PPI dasar tersebut,” terangnya.
Siswanto mengatakan, tujuan dari program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit adalah untuk mengidentifikasi dan mengurangi risiko penularan atau transmisi infeksi. Baik risiko penularan antara pasien, karyawan, staf, tenaga profesional kesehatan, pekerja kontrak, sukarelawan, mahasiswa yang sedang praktik, pengunjung pasien, maupun keluarga.
Layanan Bermutu
”Seluruh tenaga kesehatan rumah sakit harus mendapat pelatihan PPI dasar agar derajat kesehatan masyarakat dapat ditingkatkan dan rumah sakit mampu memberikan pelayanan yang bermutu, akuntabel, transparan terhadap masyarakat,” kata Siswanto.
Baginya, risiko infeksi dan program dapat berbeda antara rumah sakit yang satu dengan rumah sakit lain. Risiko tergantung pada kegiatan dan layanan klinis rumah sakit yang bersangkutan, populasi pasien yang dilayani, lokasi geografis, volume pasien, dan jumlah pegawai.
Ketua PPI RSUD Banyumas, dokter Siti Mardiyah menambahkan, risiko infeksi yang terjadi di rumah sakit yang saat ini lebih dikenal sebagai health-care associated infections (HAIs) merupakan masalah yang penting baik secara nasional maupun di seluruh dunia. (G23-43)
Sumber: suaramerdeka.com
RS Royal Prima Gelar Donor Darah
manajemenrumahsakit.net :: Medan. Rumah Sakit (RS) Royal Prima Medan didukung Universitas Prima Indonesia (Unpri), Palang Merah Indonesia (PMI)Kota Medan dan Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI) Medan menggelar bakti sosial donor darah, Jumat(4/12) di ruang serbaguna RS tersebut.
“Selain masyarakat umum, karyawan dan perawat juga mendonorkan darahnya. Kegiatan ini akan rutin digelar,” kata Direktur RS Royal Prima dr Deli Theo didampingi Wadir Umum, Keuangan Rosita Ginting, Ketua Panitia dr Suhartina dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Hipakad Yusriando.
Selain untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, kata Deli, donor darah juga memiliki banyak manfaat untuk tubuh pendonor.
Dengan mendonorkan darahnya, pendonor mendapat banyak manfaat kesehatan. “Di antaranya bermanfaat membuat jantung kita senantiasa sehat. Dengan mendonorkan darah, akan meningkatkan zat besi dalam darah yang juga mengurangi kemungkinan menderita penyakit jantung,” jelasnya.
Menurut Deli lagi, donor darah dapat membantu merangsang produksi sel-sel darah baru. Proses mendonorkan darah ini akan membantu tubuh tetap sehat dan bekerja lebih efisien.
Ketua Panitia Suhartina menambahkan, bakti sosial donor darah ini bertujuan membantu sesama.
“Setetes darah ini diharapkan dapat menolong orang yang sangat membutuhkan. Apalagi kita sering melihat orang di RS yang sangat membutuhkan darah dan pertolongan,” katanya.
Kegiatan ini akan berkesinambungan dilakukan. “Rencananya, April 2016 kami gelar kembali untuk yang kedua kalinya,” ucap wanita berkulit putih ini.
Kantungan darah yang terkumpul akan diserahkan kepada PMI Kota Medan. “Semoga darah yang ada ini dapat membantu sesama,” tutup Suhartina. (eko hendra/ril)
Sumber: medanbisnisdaily.com
DELEGASI JEPANG KUNJUNGI RUMAH SAKIT JANTUNG DI GAZA
Sebuah delegasi Jepang dari Yayasan Hokkaido yang membantu layanan kesehatan di Palestina mengunjungi Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah di Gaza.
Direktur rumah sakit Dr. Mohammad Al-Aklouk menerima delegasi Jepang yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Yayasan Hokkaido, Dr. Yoshio Nakozoka. The Palestinian Information Center (PIC) melaporkannya yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Ahad (6/11).
Dr. Aklouk menyambut delegasi dan memberikan ulasan-ulasan mengenai pencapaian luar biasa yang telah dilakukan rumah sakit.
Aklouk menyambut baik dukungan dari warga Jepang pada umumnya da upaya Yayasan Hokkaido khususmya dalam mendukung rakyat Palestina.
Dia menggarisbawahi, kunjungan tersebut merupakan kontribusi untuk pengembangan dan peningkatan layanan rumah sakit.(T/P008/P001)
Sumber: mirajnews.com
Pemilih di Rumah Sakit Terancam Golput
LAMONGAN – Pemilih yang tengah sakit dan berada di rumah sakit dipastikan tidak mendapat pelayanan maksimal saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Lamongan 9 Desember mendatang.
Pasalnya, di Rumah Sakit, KPU tidak menyediakan surat suara. “Karena pemilih di Rumah Sakit pasiennya tidak menetap, jadi tidak disediakan surat suara atau tidak didirikan TPS,” aku Nur Salam, komisioner KPU Lamongan Divisi Teknis dan Data, Senin (7/12/2015).
Tak hanya itu, sambung Nur Salam, pasien yang menjalani rawat inap dianjurkan untuk membawa form A5 supaya bisa menyalurkan hak pilihnya. “Pakai KTP tidak diperbolehkan bagi pasien karena pakai KTP harus sesuai dengan alamat di KTP,” terangnya.
Selain itu, bagi keluarga pasien yang tengah menunggu pasien menjalani rawat inap dan karyawan rumah sakit, lanjut Nur Salam, diminta untuk menyalurkan hak pilihnya di TPS masing-masing sesuai dengan domisilinya. “KPU hanya melaksanakan undang-undang,” jelasnya. Â
Lebih lanjut, waktu yang diberikan PPK untuk mendatangi pemilih di Rumah Sakit hanya berlangsung selama 1 jam dan difokuskan untuk pasien rawat inap. “Kita akan datangi sejumlah Rumah Sakit pada pukul 12.00 WIB-13.00 WIB,” sebutnya.
Nah, untuk memperhatikan ketersediaan surat suara setelah pelaksanaan di TPS luar Rumah Sakit, Nur Salam mengaku, sudah koordinasi dengan seluruh RS, termasuk Puskesmas dan klinik swasta. “Kita sudab mendata di rumah sakit Dr Soegiri, Muhammadiyah, NU dan lainnya,” tambahnya.
Kondisi ini diprediksi bisa menyebabkan akan banyak yang tidak bisa menyalurkan hak pilihnya saat berada Rumah Sakit. (*)
Sumber: jatimtimes.com
Listrik Rumah Sakit Mati Gara-Gara Banjir, 18 Pasien Tewas
BERITA INTERNASIONAL. Banjir yang parah di India menghantam wilayah selatan India pada minggu ini, akibat intensitas air hujan yang tinggi menyebabkan generator di rumah sakit mati dan berakhir dengan 18 pasien tewas.
Menteri Kesehatan India J. Radhakrishnan mengatakan bahwa 18 pasien tersebut sedang di rawat Unit Perawatan Intensif, akibat padamnya listrik menyebabkan ventilator yang dipasang pada pasien ikut mati, sehingga mengarah kepada kematian para pasien, sebagaimana dilansir dari The Washington Post, Sabtu (5/12/2015).
Namun, pejabat negara India tetap akan menyelidiki hal ini karena terdapat keluhan bahwa kematian 18 pasien ini akibat kelalaian dari staf rumah sakit.
Dilaporkan juga pihak militer India, telah menyelamatkan ratusan warga yang selama ini terjebak di atas rumah dan gedung akibat banjir. Pihak militer juga sedang mengadakan operasi besar-besaran untuk menyediakan makanan dan obat-obatan bagi para korban banjir.
Walaupun dikabarkan banjir telah mulai surut, tapi wilayah di Chennai dan beberapa distrik tetangganya masih tetep terjebak di banjir yang memiliki ketinggian 3 meter. Juga diperparah dengan puluhan ribu orang mengungsi di kamp. Ini menyebabkan India mengalami krisis air bersih dan makanan.
Sumber: wartapriangan.com
BPBD Rancang Hospital Disaster Plan
KLATEN – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Klaten tengah merancang hospital disaster plan untuk penanggulangan bencana di semua rumah sakit.
“Kami sedang merangkai tujuannya agar RS siap menghadapi bencana,” ungkap Kasi Kesiapsiagaan BPBD Pemkab Klaten, Nur Cahyono, Sabtu (5/12).
Dikatakannya, rencana itu merupakan kelanjutan dari beberapa kali seminar di RS sejak bulan Oktober lalu. Sambutan semua RS atas pelatihan yang diberikan cukup bagus sehingga dilanjutkan dengan rencana aksi. Program itu nantinya merupakan program mandiri dan BPBD bersama sukarelawan lain hanya sebagai nara sumber.
Nantinya pelatihan yang sudah didapatkan akan diujikan dengan simulasi lapangan. Dengan kegiatan semacam itu RS diharapkan memiliki kesiapan mandiri saat ada bencana alam.
Materi yang akan dan telah diberikan selama pelatihan antara lain pengenalan bencana, penanganan dan gladi posko tentang prosedur tetap yang harus dilakukan. Khusus untuk RSJD simulasi akan dilakukan pada Selasa pekan depan dengan simulasi penanggulangan bencana kebakaran di RS.
Selain di RS, program pembuatan sekolah siaga bencana (SSB) akan jalan terus. Sampai tahun 2015, di Klaten sudah ada 40 sekolah setingkat SMA yang menjadi SSB. Pemkab Klaten, Nur Khodik mengatakan selain petugas pemadam kebakaran dirinya menjadi mentor anak-anak PAUD dan TK.
“Seperti menjadi guru TK tetapi tidak masalah,” ungkapnya. Banyak siswa yang datang berombongan dengan mobil dipandu gurunya mengunjungi taman.
(Achmad Hussain/CN41/SMNetwork)
Sumber: suaramerdeka.com