Diskusi Implikasi Penerapan PP 18/2016 dalam Pengelolaan RSD dan Beban Kerja Dinas Kesehatan
Diskusi ini diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM dan diikuti oleh beberapa rumah sakit serta Dinas Kesehatan melalui webinar. Dengan demikian, peserta diskusi cukup mewakili para aktor yang terpengaruh langsung oleh terbitnya PP No. 18/2016 tersebut. Diskusi dipimpin oleh Direktur PKMK, Dr. dr. Andreasta Meliala, MKes, MAS sebagai moderator dengan dua orang narasumber utama, yaitu dr. Heru Ariyadi, MPH (Ketua Umum ARSADA Pusat) dan dr Trisa Wahyuni Putri Indra (Kementrian Kesehatan). Diskusi ini bertujuan untuk mengidentifikasi fitur-fitur rumah sakit daerah yang akan hilang atau menjadi terbatas sebagai dampak dari penerapan PP 18/2016, mengidentifikasi kemungkinan kesinambungan status otonomi dan BLUD rumah sakit setelah penerapan PP 18/2016, mengidentifikasi tantangan dinas kesehatan untuk mengampu rumah sakit daerah sebagai UPT yang baru, dan menetapkan topik yang akan dibahas dalam serial diskusi berikutnya. Perubahan Manajemen dan Akreditasi Rumah Sakit Kemajuan ilmiah dan teknologi, daya saing pasar dan meningkatnya kebutuhan klien di sektor jasa telah mendorong organisasi kesehatan untuk menggabungkan filosofi manajemen kualitas dalam perspektif strategis dan sistematis. Mengenai penilaian eksternal terhadap kualitas, pengelolaan institusi kesehatan telah berkembang dan sekarang dikenal sebagai akreditasi untuk mengetahui potensi untuk meningkatkan kualifikasi perawatan di seluruh dunia, dan juga sebagai strategi persaingan potensial di sektor kesehatan global. Di ranah internasional dalam konteks rumah sakit, akreditasi telah memberikan manfaat penting untuk kualitas layanan seperti: tingkat kematian yang lebih rendah di rumah sakit, promosi budaya dan penggunaan alat secara sistematis, kepuasan di tempat kerja, penguatan tim multidisiplin, standar kepatuhan yang positif dengan indikator yang terkait dengan kejadian buruk, penanganan kecelakaan yang lebih baik, perawatan yang berpusat pada pengguna, dan menghormati hak pengguna. SEMINAR NASIONAL XV SEMINAR TAHUNAN XI PATIENTS SAFETY HOSPITAL EXPO XXX
Seminar Tahunan PERSI 2017 yang merupakan Agenda Nasional PERSI akan diselenggarakan tanggal 18 – 21 Oktober 2017 bertempat di Jakarta Convention Center. Seminar Nasional Tahun ini adalah yang ke-XV dan Hospital Expo XXX, yang digabung dengan Seminar Tahunan Tahunan XI Patient Safety. Tema Seminar adalah : “LANGKAH STRATEGIS PERUMAHSAKITAN INDONESIA MENYONGSONG ERA UNIVERSAL HEALTH COVERAGE 2019 DAN ARUS GLOBALISASI 2020” Seminar berfokuskan pada Peningkatan Mutu Rumah Sakit dalam pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan dapat eksis dalam persaingan globalisasi. Topik-topik yang akan dibahas antara lain: Etika rumah sakit dan budaya melayani, JKN, Leadership, Mutu RS, SDM RS, Akreditasi RS dan Patient Safety. Selain Seminar juga ada Lokakarya yang dilaksanakan secara paralel dengan seminar dan sebelum acara seminar yang merupakan kebutuhan rumah sakit dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia rumah sakit, serta Lomba PERSI Award – IHMA, dan Poster Session. |
|||
Website ini akan update setiap Selasa pagi. Nantikan Informasi terbaru setiap minggunya. | |||
+ Arsip Pengantar Minggu Lalu |
|||
|
Reportase Atribut Kepemimpinan Sebagai Dasar Sinergi Antara Pemimpin Klinik dengan Direktur RS Pendidikan dan Rujukan |
Perubahan Manajemen dan Akreditasi Rumah Sakit
Oleh: Sabran
Kemajuan ilmiah dan teknologi, daya saing pasar dan meningkatnya kebutuhan klien di sektor jasa telah mendorong organisasi kesehatan untuk menggabungkan filosofi manajemen kualitas dalam perspektif strategis dan sistematis. Mengenai penilaian eksternal terhadap kualitas, pengelolaan institusi kesehatan telah berkembang dan sekarang dikenal sebagai akreditasi untuk mengetahui potensi untuk meningkatkan kualifikasi perawatan di seluruh dunia, dan juga sebagai strategi persaingan potensial di sektor kesehatan global.
Di ranah internasional dalam konteks rumah sakit, akreditasi telah memberikan manfaat penting untuk kualitas layanan seperti: tingkat kematian yang lebih rendah di rumah sakit, promosi budaya dan penggunaan alat secara sistematis, kepuasan di tempat kerja, penguatan tim multidisiplin, standar kepatuhan yang positif dengan indikator yang terkait dengan kejadian buruk, penanganan kecelakaan yang lebih baik, perawatan yang berpusat pada pengguna, dan menghormati hak pengguna.
Akreditasi adalah sebuah sistem yang mendukung strategi yang berfokus pada kualitas kesehatan, namun studi mengenai perubahan manajemen yang berasal dari proses Akreditasi sangat penting dan perlu karena berdasarkan hasil para manajer lembaga kesehatan dapat kembali merencanakan tindakan manajemen secara lebih tegas berfokus pada perolehan sertifikasi dan terutama pada peningkatan layanan.
Dalam konteks Perubahan Manajemen Operasional hubungan antara akreditasi dan pemetaan proses perawatan ditekankan. Hal ini penting dan perlu karena logika akreditasi didasarkan pada standarisasi teknik dan prosedur operasional yang dapat menghasilkan kontribusi terhadap keamanan pemberian layanan.
Penelitian yang dilakukan oleh Oliveira (2017) ini menunjukkan bahwa baik manajer maupun pekerja mengakui bahwa akreditasi memerlukan perubahan manajemen di rumah sakit yang terjadi dalam aspek berikut: operasional, struktural, keuangan dan biaya, manajemen rumah sakit dan manajemen mutu. Perubahan manajemen ini lihat menjadi perubahan dalam dimensi triad (struktur, proses dan hasil).
Akreditasi tersebut menghasilkan perubahan manajemen yang luas dan positif dalam organisasi rumah sakit, karena hasilnya menunjukkan bahwa praktik manajemen di rumah sakit yang dilihat berhasil diubah dan dalam aspek yang berbeda seperti: standarisasi dan pemetaan proses perawatan, peningkatan struktur fisik dan organisasi kerja, perbaikan dalam pengelolaan biaya rumah sakit, posisi strategis di pasar, masuknya kepemimpinan partisipatif, selain inisiatif lain yang mendorong manajemen mutu.
Oliveira JLC, Gabriel CS, Fertonani HP, Matsuda LM. Perubahan Manajemen Diakibatkan Akreditasi Rumah Sakit.
Pendeta Latino-Am. Enfermagem. 2017; 25: e2851. [Akses 28 September 2107]; Tersedia dalam: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5363327/ .
DOI: http://dx.doi.org/10.1590/1518-8345.1394.2851.
RS MITRA KELUARGA KALIDERES ADAKAN CSR PENGOBATAN MASAL GRATIS
RS Mitra Keluarga Kalideres Adakan CSR Pengobatan Masal Gratis, RS Mitra Keluarga Kalideres melakukan CSR (corporate social responsibility)berupa pengobatan masal, sirkumsisi (sunatan) masal dan pembagian sembako gratis. RS Mitra Keluarga Kalideres bekerjasama dengan suku dinas kesehatan Jakarta Barat dan Puskesmas Kecamatan Kalideres. Acara ini juga bertepatan dengan Hari Bhakti Dokter Indonesia.
“CSR ini menjadi project tahunan RS Mitra Keluarga Kalideres yang bekerjasama dengan lintas sektoral untuk selalu mengedepankan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Jakarta khususnya wilayah Kalideres,” ujar dr. Jocelyn Adrianto,MARS selaku Direktur RS Mitra Keluarga Kalideres.
CSR ini dilakukan di wilayah sekitar Kalideres, Jakarta Barat dengan dihadiri oleh Walikota Jakarta Barat H.M. Anas Effendi, S.H, M.M, Anggota DPRD Komisi E dan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat.
Sesuai dengan motto RS Mitra Keluarga “love,live,laughter” dimana RS Mitra Keluarga menjadi bagian dari mitra keluarga Anda dalam kebutuhan kesehatan keluarga. CSR ini merupakan wujud dari bakti sosial RS Mitra Keluarga terhadap warga sekitar Kalideres dalam mendukung program GERMAS (Gerakan Masyarakat Sehat). (len/ydi)
Tentang RS Mitra Keluarga
Mengejar Indonesia yang lebih sehat sejak tahun 1989, Rumah Sakit Mitra Keluarga telah sukses membangun jaringan rumah sakit yang dipercaya oleh keluarga Indonesia hari ini.
RS Mitra Keluarga tercatat sebagai RS swasta terbesar kedua di Indonesia berdasarkan jumlah kapasitas tempat tidur. RS Mitra Keluarga memiliki jaringan di 12 lokasi, yakni 8 lokasi di Jabodetabek, 3 di Surabaya, dan 1 di Tegal.
RS Mitra Keluarga telah menghadapi dinamika dalam memberikan layanan kesehatan yang menantang kita untuk terus berupaya lebih baik. Berangkat dari komitmen untuk menyentuh lebih banyak keluarga Indonesia, kita siap melangkah maju.
“life.love.laughter.”adalah simbol perubahan Mitra Keluarga dari rumah sakit menjadi sebuah rumah. Dengan menjadi ”RUMAH”, Mitra Keluarga berkomitmen untuk melayani kesehatan masyarakat sebagai keluarga kami, dengan layanan dan pengobatan yang memungkinkan mereka untuk hidup seutuhnya, penuh dengan cinta dan kebahagiaan.
Sumber: lensautama.com
Pemkot Mataram Himbau Rumah Sakit Swasta Sediakan Kontainer Sampah
MATARAM – Pemerintah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengajak rumah sakit swasta di kota ini untuk berpartisipasi menyediakan kontainer untuk mempermudah proses penanganan sampah.
“Beberapa rumah sakit memang sudah memiliki kontainer, tapi jumlahnya hanya satu, harapan kita satu rumah sakit bisa memiliki dua kontainer,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Mataram Irwan Rahadi di Mataram, Kamis (26/10).
Menurutnya, jika satu rumah sakit memiliki dua kontainer maka ketika petugas melakukan pengangkutan kontainer yang sudah penuh, pihak rumah sakit bisa memasang kontainer kosong.
Dengan demikian, sampah bisa terwadahi tidak berserakan dan tidak menimbulkan aroma tak sedap bagi setiap pengunjung, sebab selama ini apabila kontainer dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPS), sampah dibuang begitu saja.
Di samping itu, dengan memiliki dua kontainer, DLH akan sangat terbantu dalam penambahan faslitas kebersihan serta tidak mengganggu pelayanan masyarakat umum lainnya.
“Selama ini, karena terbatasan petugas kami hanya mampu mengangkut sampah beberapa rumah sakit swasta selama 3-4 hari sekali, kalau setiap hari kita kewalahan dengan tugas pokok lainnya, sementara armada terbatas,” katanya.
Terkait dengan itu, sebagai salah satu upaya mengajak rumah sakit dan pihak swasta secara umum untuk berpartisipasi dalam penanganan sampah, DLH saat ini sedang melakukan revisi terhadap peraturan daerah tentang pengelolaan sampah.
Dalam revisi tersebut, salah satu poin yang akan menjadi revisi adalah tentang evaluasi retribusi sampah terhadap pihak swasta dan penggunaan dana CSR (corporate social responsibility) “Revisi perda tersebut kami pandang penting untuk menyesuaikan dengan kondisi saat ini dan beberapa tahun ke depan. Apalagi volume sampah kian meningkat,” katanya.
Irwan menyebutkan, volume sampah di Mataram saat ini tercatat sekitar 1,4 meter kubik per hari, sementara yang bisa terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) sekitar 72,5 persen dari total volume sampah.
Sumber: seruji.co.id
Paripurna 9: Akreditasi Rumah Sakit
Reportase
Seminar Nasional PERSI XV, Seminar Tahunan Patient Safety XI, Hospital Expo XXX
Hari 4, 21 Oktober 2017
Paripurna 9
Akreditasi Rumah Sakit
Pada paripurna ke 9 di hari terakhir Seminar Nasional XV Persi mengangkat topik mengenai Akreditasi Rumah Sakit. Sesi pertama didahului oleh dr. Triono Soendoro, M. Sc, Ph. D (Ketua KEPPKN dan Litbang Persi) dengan topik Inovasi Medik Berbasis Stem Cell – Ethic, Unethic, dan Akreditasi KEPK. Saat ini stem cell banyak diperbincangkan karena tinjauan unethical yang tanpa mempertimbangkan manusia sebagai subyek, mengeksploitasi harapan pasien, mengurangi kepercayaan pasien, dan uji klinis yang belum akurat. Pemrosesan dan pembuatan produk stem cell penuh dengan tantangan dan ketidakpastian.
Menurut penelitian yang dimuat di SIC Research and Clinical Translation pada 2016, inovasi medik hanya memberikan manfaat individual, syarat tidak dipenuhi, resiko lebih besar daripada manfaat, regulasi kurang jelas, standar terapi kurang, standar pengolahan dan pembuatan sel dipertanyakan, tetap harus mengikuti tinjauan ilmiah dan etis. Sedangkan riset klinis lebih memberikan manfaat kolektif, syarat terpenuhi, manfaat lebih besar daripada resiko, regulasi jelas, sesuai standar, tetap harus mengikuti uji klinis, dan etis.
Semua penelitian kesehatan yang melibatkan manusia harus mendapatkan persetujuan etik dari KEPPKN dan peneliti harus memiliki sertifikasi etik. Ethical justification mendasari apakah penelitian tersebut layak dilakukan seperti mengikuti kaidah sosial etik dan dapat mendukung kemajuan ilmu pengetahuan. Prinsip etik diantaranya nilai, desain, resiko dan manfaat, bujukan, privasi dan kerahasiaan, informed consent. Sehingga penelitian stem cell harus mempunyai rencana dan prosedur tertulis, pimpinan lembaga ikut bertanggung jawab, kualifikasi SDM terpenuhi, dan membentuk komite peer review.
Topik selanjutnya mengenai Standar Akreditasi Edisi 1 KARS, Kelebihan Edisi 1 Dibanding Versi 2012 Bagi Rumah Sakit dipaparkan oleh Dr. dr. Sutoto, M. Kes (Ketua KARS). Pada 1 Januari 2018, Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) akan diberlakukan. Bagi rumah sakit yang akan melakukan akreditasi harus mengikuti standar yang baru. Standar akreditasi harus dilakukan secara berkelanjutan. KARS memiliki standar yang mengacu pada standar internasional (ISQUA) dan sudah diuji pada 10 rumah sakit. Evaluasi terhadap Standar Akreditasi Versi 2012 dilakukan dari sisi bahasa, substansi, penyajian, dan munculnya masalah baru. Pasalnya permasalahan yang muncul di rumah sakit harus diberi solusi.
Di SNARS disebutkantata kelola rumah sakit termasuk membahas contracting out yang di dalamnya memuat kontrak klinis dan kontrak non klinis, misalnya pembelian alat kesehatan dan obat. Di dalamnya dibahas mengenai bagaimana memilih rekanan atau pihak ketiga dan bagaimana membuat kontrak. Dari berbagai hasil akreditasi yang telah dilakukan, capaian rata-rata nilai akreditasi dengan skor terendah adalah pendidikan terhadap pasien dan keluarga dan skor tertinggi adalah hak pasien dan keluarga. Maka pada SNARS diperbaiki menjadi manajemen komunikasi dan edukasi. SNARS mencakup kelompok standar pelayanan berfokus pasien, standar pelayanan manajemen rumah sakit, sasaran keselamatan pasien, program nasional, dan integrasi pendidikan kesehatan dalam pelayanan.
Selanjutnya dr. Djoti Atmodjo, Sp. A, MARS (KARS) memaparkan mengenai Strategi Aplikasi Akreditasi Untuk Peningkatan Mutu Pelayanan di Rumah Sakit, Peran Pemilik / Pimpinan Untuk Merubah Budaya di Rumah Sakit. Akreditasi wajib dilakukan menurut undang-undang untuk perbaikan pelayanan pasien. Menurut PMK 34 / 2017, akreditasi juga sebagai upaya peningkatan mutu berkesinambungan. Dilihat dari sisi pola pikir survei, rumah sakit harus membuat produk hukum sendiri dan tidak mencontek milik rumah sakit lain, implementasi harus berdasar regulasi, dan telusur terhadap implementasi untuk mencari bukti. Rumah sakit harus membuat regulasi baik itu pedoman, kebijakan, maupun SOP yang tidak bertentangan dengan regulasi nasional. Kemudian dari sisi pola pikir mutu, rumah sakit harus membangun unit kerja dengan peran manajemen.
Terkait akreditasi, rumah sakit menghadapi tantangan untuk mengubah perilaku dan mempertahankan perilaku terhadap pelayanan pasien. Perlu adanya pengawasan terhadap hal tersebut sehingga dapat menciptakan budaya mutu dan keselamatan pasien. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan komitmen dari seluruh personil rumah sakit. Untuk persiapan menghadapi akreditasi rumah sakit dapat membuat plan of action. Buatlah agar akreditasi itu mudah dan menyenangkan sehingga tercapai akreditasi paripurna.
Topik yang tidak kalah penting terkait akreditasi adalah Peran Case Manager Dalam Menjaga Mutu Pelayanan di Rumah Sakit, Dimensi Budaya QS, BPJS. Dr. Nico A. Lumenta, K. Nefro, MM, MH, Kes (KARS) memaparkan mengenai peran Manajer Pelayanan Pasien (MPP) di rumah sakit. Peran MPP menggabungkan beberapa karakteristik seperti koordinator, problem solver, fasilitator, konselor, maupun manajer perencanaan. Rasio MPP terhadap pasien sekitar 25 – 50 tergantung kompleksitas pasien dan kebutuhan rumah sakit. Peran case manager menjadi penting karena merupakan fasilitator kebutuhan asuhan pasien, optimalisasi pelayanan pasien, dan optimalisasi reimbursement di era JKN.
Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh MPP diantaranya kompetensi manajemen pelayanan pasien, prinsip praktek manajemen pasien, reimbursement pelayanan kesehatan, psikososial pasien, rehabilitasi, maupun pengembangan terhadap profesionalismenya. Beberapa aspek yang harus dikuasai oleh MPP adalah komunikasi dan manajemen. Tidak semua pasien membutuhkan MPP sehingga harus diseleksi terlebih dulu. Keterlibatan MPP menyusun sasaran pasien yang dikolaborasikan dengan sasaran PPA dan memaksimalkan pasien dalam mengambil keputusan.
Dengan keterlibatan MPP diharapkan asuhan sesuai kebutuhan pasien, memahami asuhan pasien, kepatuhan, dan kualitas hidup. Keuntungan menerapkan case manager menunjukkan layanan yang lebih banyak, okupansi lebih tinggi, biaya lebih sedikit, dan ROI lebih tinggi.
Sesi terakhir dipaparkan topik Aplikasi Parameter Akreditasi Rumah Sakit Dalam Mendukung Indonesia bebas TB Tahun 2035 oleh dr. Mohammad Ali Toha, MARS (TB DOTS). Tuberculosis (TB) merupakan ancaman endemik. Menurut Global TB Report, kasus TB paru di dunia sebanyak 10.4 juta dimana 5.9 juta diderita laki-laki, 3.4 juta diderita perempuan, 1 juta diderita anak, dan 1,2 juta merupakan penderita TB HIV. Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang kasus TB terbanyak selain India, Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan.
Di dunia, sebanyak 1.8 juta orang per tahun meninggal karena TB, sedangkan di Indonesia sebanyak 100,000 orang per tahun yang meninggal. Jika tidak ada penanggulangan kasus TB maka penurunan kasus tersebut hanya sekitar 1.5%. Sebanyak 57% – 60% kasus TB ditemukan di rumah sakit dan sebanyak 59% – 64% kasus tersebut ditemukan di rumah sakit pemerintah. Penyakit infeksi yang mematikan adalah TB, MDR – TB, dan TB HIV. Beban TB di Indonesia masih tinggi dan cenderung meningkat ditambah dengan ditemukannya TB resisten terhadap obat, serta manajemen dan kepemimpinan TB yang dirasa masih lemah. Strategi TB yang dapat diterapkan seperti pelayanan terintegrasi, berfokus pasien, pencegahan TB, akreditasi rumah sakit dan tata laksana pasien TB dengan pengkajian pasien yang lengkap, pelaksanaan DOTS secara konsisten, penanganan dan rujukan kasus, dan lain-lain.
Namun berbagai tantangan tetap harus dihadapi terhadap tingginya kasus TB seperti media KIE belum optimal, pergantian petugas yang cepat, cakupan penemuan TB rendah, algotima diagnosa TB saat ini sedang dijalankan, transportasi rujukan sampel masih rendah, lemahnya supply chain management, baru 50% saja rumah sakit yang menerapkan DOTS, masih mengandalkan bantuan pendanaan dari luar negeri untuk penanganan kasus TB, dan jaringan public private mix yang belum maksimal.
Reporter : Elisabeth Listyani.
Paripurna 8: Kendali Mutu dan Biaya Dalam Pelayanan Kesehatan di Era JKN
Reportase
Seminar Nasional PERSI XV, Seminar Tahunan Patient Safety XI, Hospital Expo XXX
Hari 3, 20 Oktober 2017
Paripurna 8
Kendali Mutu dan Biaya Dalam Pelayanan Kesehatan di Era JKN
Pada paripurna ke 8 ini membahas Anomali Pasar dan Efisiensi Rumah Sakit di Era JKN yang dipaparkan oleh dr. Santoso Soeroso, Sp. A , MARS (PERSI). Asas BPJS adalah kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial. Efek JKN telah membawa ekuitas terhadap kesehatan. Hal ini memerlukan peningkatan peran rumah sakit dalam melayani JKN. Sebenarnya paket medis pengobatan untuk seluruh penyakit merupakan suatu hal yang sangat ambisius yang dilakukan oleh BPJS. Sementara itu, Health Technology Assesment (HTA) merupakan aplikasi pengetahuan dan ketrampilan terkait alkes, vaksin, prosedur untuk menyelesaikan masalah kesehatan. Komite HTA sendiri telah dibentuk melalui Perpres No. 12 / 2013 dan No 111 / 2013. Spektrum HTA dapat dilakukan dengan aktivitas assesment sampai ke riset evaluatif. Teknologi kesehatan dibutuhkan karena indikasi baru bagi teknologi lama, perubahan struktur organisasi, kepedulian terhadap masalah terkait ekonomi, dan munculnya masalah baru yang membutuhkan tindakan.
Terjadinya anomali pasar biasanya dipicu oleh kompetisi yang tidak sehat, kurangnya transparansi pasar, dan lain-lain. Pembiayaan BPJS untuk penyakit katastropik paling banyak untuk penyakit jantung (1), kanker (2), dan gagal ginjal (3). Penelitian anomali pada hemodialisis (HD) menunjukkan bahwa HD lebih banyak disukai oleh pihak rumah sakit karena dapat KSO maupun INA CBGs yang dibayarkan lebih besar daripada tarif rumah sakit, serta membuat PD center lebih sulit karena membutuhkan perawat PD yang berdedikasi sebagai edukator. Hanya 3% renal diseases yang menggunakan PD di Indonesia, sedangkan di Hongkong sebesar 60% dan di Thailand sebesar 40%. Hanya 1 importir dan merek dialisa PD yang dipakai di Indonesia. Hasil assesment komite HTA di Indonesia menggambarkan bahwa PD first policy akan dapat memperpanjang hidup selama 5.93 tahun dengan biaya Rp. 700 juta dibandingkan dengan menggunakan HD sebesar Rp. 735 juta, budget impor untuk PD sebesar Rp. 43 T jika 53% coverage atau Rp. 75 T untuk 100% coverage.
Anomali lain yang terjadi adalah anomali insulin. Diabetes melitus di Indonesia merupakan nomor 5 tertinggi di dunia dan Indonesia merupakan pasar terbesar. Data sementara studi insulin pada 2017 menunjukkan bahwa human insulin membebankan biaya sebesar Rp. 1.1 M. Penggunaan analog insulin sebesar 99.5% sedangkan human insulin hanya sebesar 0.5%, namun pertumbuhan insulin analog lebih tinggi dibandingkan human insulin. Anomali lain yaitu Imatinib dan Nilotinib yang merupakan obat kanker. Kedua diproduksi oleh 1 pabrik yang habis masa patennya pada 2008. Studi cetuximab KPTK 2017 menunjukkan bahwa obat kanker tersebut hanya dapat memperpanjang hidup selama 1.2 bulan dengan beban biaya ekonomi sebesar Rp. 28 T. Kekurangan dan distribusi yang tidak merata terhadap tenaga kesehatan lebih banyak terjadi di daerah dan dana anggaran belum memadai, selain itu perawatan kesehatan masyarakat dan UHC secara keseluruhan menjadi rentan dan mungkin tidak berlanjut dalam jangka panjang.
Topik selanjutnya mengenai Upaya Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit di Era JKN dipaparkan oleh dr. Hari Paraton, Sp. OG (K) (Ketua PPRA Kemenkes RI). Antibiotik pada masa perang berfungsi optimal untuk memulangkan para prajurit yang terluka. Namun pada 2000-an terjadi perubahan perilaku tenaga medis dengan pemberian antibiotik yang berlebihan dan tanpa indikasi. Anti microbial resistance merupakan penggunaan kesalahan antibiotik yang menghasilkan bakteri resisten terhadap antibiotik. Hal ini akan memberi efek pada morbiditas, mortalitas, disabilitas, dan beban biaya. Hal ini sudah menjadi problem dunia. NDM – 1 e coli menyebabkan sebesar 8.1% kematian. Menurut catatan WHO (2013) terdapat 700.000 penduduk per tahun yang meninggal karena AMR dan ke depannya diprediksikan pada 2050 akan menjadi 10 juta / tahun.
Terkait dengan pembiayaan, menunjukkan bahwa negara miskin akan terbebani dengan AMR ini. Resistensi bakteri merupakan ancaman ekonomi. Bagaimana resistensi antibiotik dapat terjadi ? Semakin bakteri beresisten ganda maka AMR tidak dapat dibunuh dengan antibiotik yang sudah dipakai karena overuses atau misuses dan transmission. Masalah akibat AMR akan menimbulkan kegagalan terapi, ancaman kegagalan operasi canggih dan kompleks, maupun menimbulkan beban biaya. Prevalensi e coli dan K penumoniac (ESBL+) pada 2000 sebesar 9% dan meningkat menjadi 60% pada 2016. Healthcare associate infection merupakan infeksi yang didapat saat pasien dirawat di rumah sakit (tidak sesuai dengan masa inkubasi penyakit), insidensi di negara maju sebesar 3.4% – 12% sedangkan di negara berkembang sebesar 5.7% – 19.1%, menimbulkan kematian sebanyak 99,000 / tahun, dan beban biaya sebesar USD 6.5 milyar.
Dengan layanan kesehatan yang bermutu maka pasien post op hanya dirawat beberapa hari di rumah sakit, namun jika pasien mengalami HAI maka akan lebih lama dirawat sehingga menimbulkan tambahan beban biaya. Pasien harus paham bahwa flu, diare, ataupun radang tenggorokan tidak memerlukan antibiotik. Selain itu bedah cabut gigi, sirkumsisi, persalinan normal tidak memerlukan antibiotik. Hasil observasi di 5 rumah sakit pendidikan untuk bidang obsgyn dan bedah menunjukkan bahwa tanpa antibiotik perawatan lebih pendek. Dengan melaksanakan PPRA, maka penggunaan antibiotik yang sebelumnya 45.04% dapat ditekan menjadi 14.52%. Pasien lebih cepat sembuh, menurunkan kematian, dan menghemat biaya. Mengurangi antibiotik akan mengurangi kasus HAI yang pada akhirnya akan mengurangi beban biaya.
Sesi terakhir yang dipaparkan oleh dr. Nico A. Lumenta, K. Nefro, MM, MH. Kes (IKPRS KARS) mengenai Implementasi Patient Centered Care Dengan Pola “Bila Pasien Itu Saya”. Aspek penting asuhan pasien dalam SNARS edisi 1 diantaranya dilakukan oleh banyak profesi dengan kolaborasi, aspek perawatan pada tenaga keperawatan, aspek penyembuhan pada tenaga medis, identifikasi kebutuhan pasien, dan sebagainya. Dimensi budaya mutu dan safety meliputi asuhan pasien dengan beberapa elemen yang mesti ditumbuhkan, resiko, mutu, dan safety. Hal yang sangat dibutuhkan adalah kesadaran budaya dan kompetensi budaya.
Konsep PCC merupakan asuhan terintegrasi yang melibatkan pasien, DPJP sebagai clinical leader, dan PPA sebagai kolaborasi. Patient voice program untuik memberikan kesempatan bagi pengambil keputusan untuk memahami pasien. Patient expirience merupakan model terbaik bagi pasien, keluarga, dan rumah sakit karena sudut pandang pasien akan tertuang. Bila Pasien Itu Saya (BPIS) mempertimbangkan PCC dengan asuhan pasien terintegrasi, pasien satu-satunya pihak rumah sakit dengan 3 shift, memperlakukan teman sejawat apabila itu saya sendiri ingin diperlakukan (KODEKI pasal 18), maupun kompetensi budaya.
Langkah pelaksanaan BPIS diantaranya menempatkan posisi pasien pada konteks, budaya, paradigma, dan kebiasaan, sasaran asuhan pasien dengan menggali apa yang diinginkan pasien dan blended dengan PPA, patient enggagement and empowerment, monev terhadap asuran tersebut, dan menerapkan kendali mutu dan biaya. Sekali lagi, patient experience merupakan keseluruhan interaksi yang dibentuk dari budaya organisasi yang akan mempengaruihi persepsi pasien terhadap pelayanan berkelanjutan.
Reporter : Elisabeth Listyani.
Paripurna 7: Pemberdayaan Pasien Dalam Implementasi Patient Safety
Reportase
Seminar Nasional PERSI XV, Seminar Tahunan Patient Safety XI, Hospital Expo XXX
Hari 3, 20 Oktober 2017
Paripurna 7
Pemberdayaan Pasien Dalam Implementasi Patient Safety
Paripurna 7 ini diawali dengan topik Perkembangan Keselamatan Pasien di Indonesia dan Dunia. Narasumber pertama adalah Prof. Dr. dr. Herkutanto Sp.F, SH, LLM, yang saat ini merupakan Ketua Komite Nasional Keselamatan Pasien dan Guru Besar Tetap FKUI. Salah satu isu yang makin berkembang terkait dengan keselamatan pasien adalah situation awareness yaitu bagaimana seorang tenaga kesehatan sadar akan lingkungannya karena dalam pengambilan keputusan klinis baik keputusan asuhan medis dan asuhan keperawatan akan menimbulkan misjudgment, misdiagnosis dan mistreatment. Situation awareness ini dimulai dari bagaimana kita memahami lingkungan kita, selanjutnya memahami tim kita, lalu memahami bagaimana peralatan kita dan terakhir yang paling penting adalah bagaimana keadaan kita. Hal ini ternyata menjadi sorotan utama pada saat ini, bagaimana ini menjadi pencetus dan mendukung faktor-faktor yang berhubungan langsung dengan keselamatan pasien.
Strategi yang digunakan dalam implementasi Patient Safety ke depannya dilakukan dengan 3 tataran yaitu tataran makro mengenai bagaimana masalah akreditasi dan regulasi-regulasi dipertahankan serta adanya evaluasi apabila masih ada kekurangan, pada tataran meso berkaitan dengan bagaimana meningkatkan kapasitas institusi dalam hal ini rumah sakit yang kelas B dan C sedangkan untuk kelas A tetap dipertahankan, dan yang terakhir pada tataran mikro adalah bagaimana para profesional meningkatkan pengetahuannya tentang keselamatan pasien.
Pada topik selanjutnya yaitu Membangun Budaya Keselamatan Pasien Untuk Mencapai Rumah Sakit Sebagai Highly Reliable Organization/HRO. Narasumber adalah Prof. Dr. dr. Abdul Kadir, Sp. THT(K), MARS, Ph.D yang saat ini merupakan Direktur Utama Rumah Sakit Kanker Dharmais. Suatu organisasi seperti rumah sakit untuk menjadi Highly Reliable Organization maka tentunya diharapkan rumah sakit itu mampu menjalankan kegiatan pelayan atau aktivitas rumah sakit walaupun dalam keadaan susah tetap mampu menjalankan kegiatan pelayannya dengan baik dan meminimalkan resiko yang dapat terjadi. Falsafah untuk menjadi rumah sakit yang Highly Reliable Organization pertama yaitu pembelajaran dan evaluasi secara terus menerus untuk kejadian yang tidak diharapkan dan tak terduga, pembelajaran disini dapat diartikan sebagai capacity building. Hal ini tidak hanya pada tingkat pejabat struktural serta pimpinan tetapi orang lapangan seperti perawat, apoteker serta tenaga medis yang diwajibkan melakukan pembelajaran secara terus menerus. Kedua adalah bagaimana organisasi dapat bisa menjadi lebih baik dimana setiap kesalahan dan kejadian yang terjadi di rumah sakit dapat dijadikan pembelajaran, kemudian dianalisis dan dievaluasi dengan cara menyusun kembali SPO, melakukan revisi SPO dan reedukasi, sehingga kejadian tersebut tidak terulang kembali. Ketiga antisipasi terhadap kejadian yang mungkin menimbulkan kerugian baik materi maupun non materi. Saat ini apabila sebuah rumah sakit melakukan suatu kesalahan maka dapat dengan mudah disebarkan ke media sosial yang dapat berdampak munculnya stigma negatif dan merugikan pihak rumah sakit. Maka sebelum hal tersebut terjadi dilakukan pencegahan terhadap hal tersebut serta melakukan manajemen risiko apabila terjadi risiko-risiko yang tidak diharapkan.
Pada akhir sesi, materi yang dipaparkan yaitu Implementasi Patient Safety di Rumah Sakit Sesuai Dengan Jakarta Declaration dengan narasumber dr. Adib Abdullah Yahya, MARS. Perkembangan pasien saat ini dulunya bersifat pasif, serta adanya kepercayaan terhadap dokter yang sangat tinggi, hubungan bersifat paternalistik yaitu kedudukan dokter tidak sederajat dengan pasien dikarenakan pasien dalam posisi tidak tahu apa-apa tentang penyakitnya dan memasrahkan penuh upaya penyembuhannya pada dokter. Kemudian situasi ini berubah dengan terbukanya informasi serta kemudahan dalam mengakses informasi. Pasien terkadang lebih mengetahui tentang perkembangan penyakitnya sendiri sehingga dari pihak pasien merasa mempunyai informasi. Saat kedua belah pihak merasa sama-sama mempunyai informasi maka akan muncul perasaan sederajat yang kemudian akan melakukan defense practice dimana pasien merasa membayar dan berhak mendapatkan apa yang dia butuhkan, sedangkan pihak dokter merasa bisa menolak pasien. Hal ini tentu dapat merugikan kedua belah pihak terutama pasien. Indonesia saat ini sedang mencoba untuk mengubah kondisi hubungan pasien dan dokter. Adapun langkah yang dilakukan yaitu meningkatkan peran pasien dengan cara memposisikan pasien sebagai partner dalam lingkup sebuah tim yang terdiri dari beragam tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit. Apabila terjadi kegagalan bukan merupakan kesalahan perorangan tetapi kegagalan tim begitupun sebaliknya apabila terjadi kemenangan merupakan kemenangan dari tim.
Reporter : Ikhsan Amir.
Simultan 3: Upaya Pemenuhan SDM RS Dalam Menghadapi UHC 2019
Reportase
Seminar Nasional PERSI XV, Seminar Tahunan Patient Safety XI, Hospital Expo XXX
Hari 3, 20 Oktober 2017
Simultan 3
Upaya Pemenuhan SDM RS Dalam Menghadapi UHC 2019
Pada awal Simultan 3, topik yang disampaikan oleh Prof.dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD (PKMKFK UGM) adalah Strategi Pemenuhan Tenaga Kesehatan dan Non Kesehatan. Sebuah dilema yang tidak mudah dalam era JKN. Jika melihat negara tetangga yaitu Thailand memang ada rumah sakit swasta yang belum bekerja sama mengikuti UHC dan rumah sakit yang sudah bekerja sama mengikuti UHC. Apakah kita akan mengikuti keduanya atau salah satu saja. Sekitar 2012 atau 5 tahun lalu diproyeksikan BPJS tidak akan menjadi pengelola pembiayaan rumah sakit satu satunya di Indonesia karena tidak semua orang Indonesia akan dibiayai perawatannya melalui BPJS. Sedangkan dalam perundangan seluruh warga negara diwajibkan memiliki BPJS, karena ada preferensi layanan kesehatan yang dibutuhkan termasuk layanan yang masih belum dicover BPJS.
Masyarakat Indonesia cukup beragam ditinjau dari kemampuan ekonominya. Hal ini berdampak pada permintaan jenis pelayanan yang diharapkan. BPJS seharusnya dapat melayani seluruh masyarakat namun pada kenyataannya dana yang terkumpul di BPJS tidak mampu untuk menangani seluruh masyarakat dengan baik dan adil. BPJS sangat bergantung pada PBI yang berasal dari pajak. Meningkatnya GDP Indonesia menunjukkan peluang bagi rumah sakit-rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS ataupun memilih bekerja sama dengan BPJS untuk pelayanan yang tidak dijamin oleh BPJS. Jika diasumsikan 4.2 % GDP dialokasikan pada kesehatan, maka ada sekitar dana Rp. 1 Triliun (1.1%) untuk pembiayaan tersebut. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi peluang bagi rumah sakit swasta. Jika ditinjau lebih dalam terdapat fokus strategi yang berbeda antara rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS dan yang tidak bekerja sama dengan BPJS. Rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS akan menggunakan cost leadership dimana akan memberikan mutu baik sesuai standar, dengan cost yang paling rendah. Sedangkan untuk rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS akan menggunakan prinsip diferensiasi dimana memberikan pelayanan berbeda dengan tarif yang sesuai dengan kemampuan penggunanya.
Sesi selanjutnya membahas mengenai Pengalaman RS Nasional Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang disampaikan oleh Dr. dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K), MARS, FIHA, FICA, FasCC. Di era universal health care, kita tidak dapat memprediksi jumlah pasien yang akan datang ke rumah sakit. Sebagai rumah sakit vertikal harus dapat melayani seluruh masyarakat BPJS. Selama menjadi dirut terdapat dua peran yang dijalani Hananto yaitu 1) sebagai direktur dan 2) sebagai penanggung jawab pelayanan kardiovaskuler tingkat nasional sebagai rumah sakit tingkat pelayanan jantung nasional. Perlu ada pembinaan rumah sakit vertikal hingga tingkat akhir yaitu pembedahan lintas koroner. RS Jantung Harapan Kita sedang memulai master plan untuk 2020 dengan segala persiapan ketersediaan SDM di dalamnya. Dari 331 tempat tidur, 41% merupakan tempat tidur untuk intensive care dan high care dengan BOR paling kecil 80%. Kekuatan sumber daya sebesar 688 perawat, 91 staf medis (dokter), 647 administrasi, dan 288 tenaga kersehatan lain. Untuk master plan tahun 2020 jumlah tempat tidur akan ditingkatkan menjadi 545 dengan komposisi 20% intensive care, 35% high care, 55% untuk intensive care dan highcare, serta 45% untuk low care. Untuk cathlab terdiri dari 11 unit dengan perincian 8 untuk adult, 2 untuk pediatric, dan 1 untuk UGD. Untuk memenuhi kebutuhan perawat pada master plan rumah sakit, maka perlu dilakukan perhitungan dengan hours per patient day (HPDD) dan metode full time equivalent employment (FTEE). Perawat harus mampu bekerja optimal, tidak lelah, dan diikuti dengan sistem yang baik. Namun seringkali antara perhitungan dan fakta kurang cocok, apalagi jika produktivitas perawat belum optimal. Dasar perhitungan kebutuhan perawat di RS Jantung Harapan Kita sampai saat ini mempertimbangkan 1) berdasarkan jumlah tempat tidur, 2) berdasarkan jumlah laboratorium kateterisasi, dan 3) berdasarkan jumlah kamar operasi. Sehingga penentuan jumlah kebutuhan perawat dan dokter harus disesuaikan dengan master plan 2020. Pemenuhan kemampuan tenaga medis dan perawat dalam kardiovaskuler dilakukan dengan melaksanakan program sandwich peserta didik baik perawat dan dokter spesialis dengan mengontrol kompetensi setiap peserta didik untuk menjaga kualitas pelayanan di RS Jantung Harapan Kita.
Sesi selanjutnya membahas Pandangan Rumah Sakit TNI/POLRI Dalam Pemenuhan SDM yang dipaparkan oleh Brigjen TNI Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad (K). Kunci dalam pengelolaan SDM adalah kecukupan dalam keuangan. Jika keuangan dalam kondisi cukup maka penerapan manajemen juga akan menjadi lebih mudah, baik bersumber dari BPJS maupun mandiri. Pemenuhan dokter dan perawat akan ditinjau terlebih dahulu melihat keuangan. Dokter akan nyaman di tempat yang nyaman dia bekerja (kesejahteraan, kemampuan rumah sakit untuk riset, dan pelayanan). Di kemudian hari sudah tidak ada lagi mindset pasien A untuk dokter B, namun pasien rumah sakit, sehingga semua stakeholder bertanggung jawab. Rumah sakit perlu melakukan inovasi untuk terus bertahan, melakukan inovasi dapat dilakukan dengan perbaikan infrastruktur ataupun inovasi di bidang teknis medis. Salah satu contoh inovasi di bidang teknis medis adalah pemeriksaan otak dan diharapkan pasien di negara lain datang. Selain itu perlu dilakukan promosi akan inovasi-inovasi yang baru. Rumah sakit harus cerdik menyiasati agar keuangan tetap sehat sehingga pelayanan juga maksimal dan safety.
Sesi berikutnya tentang Pandangan Ketua IDI dalam menghadapi Universal Health Coverage 2019 yang disampaikan oleh Ketua MKKI-IDI, Prof. Dr. dr. David S Perdanakusuma, Sp. BP-RE(K). Jika bicara tentang pemenuhan SDM akan terkait dengan produksi SDM, kualitas, dan distribusinya. Pola pemikiran untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan kebutuhan luar negeri. Jika menginginkan kebutuhan luar negeri maka kualitas pelayanan juga harus berbasis global. Pemenuhan kebutuhan perlu perhitungan yang matang, pendidikan yang harus dipenuhi, pelayanan yang harus ada. Saat ini jumlah dokter dan dokter spesialis kurang lebih 150 ribu dan akan ditinjau jumlah tersebut cukup atau tidak untuk menghadapi Universal Health Coverage 2019 dengan mutu yang baik. Realisasi rasio dokter ternyata melebihi target, target 40/100,000 realisasinya 42/100,000. dokter spesialis secara menyeluruh 13/100,000 realisasinya 13.6/100,000 namun hanya di 42% daerah, 58% daerah masih kekurangan. Regulasi perlu untuk dikaji lebih dalam untuk memperhatikan kebijakan di bidang kesehatan dalam rangka Universal Health Coverage.
Sesi terakhir tentang Pandangan PPNI dalam menghadapi Universal Health Coverage 2019 yang dipaparkan oleh Ketua PPNI, Harif Fadillah, S. Kp, SH. Untuk menghadapi UHC antara kualitas, biaya, dan akses harus dipenuhi. Di beberapa rumah sakit dua hal tersebut menjadi pertentangan. Ketika kualitas ditingkatkan akan membebani biaya,dan ketika biaya diturunkan maka kualitas akan ikut menurun. Perawat memang penting di rumah sakit dan tentu pengelolaan sumber daya perawat perlu dipertimbangkan untuk mencapai cost effectiveness di rumah sakit. Pendidikan di bidang keperawatan di Indonesia tercatat 1,020 program studi, dengan jumlah institusi 1,900 dan akreditasi B cukup baik. Ini menjadi perhatian untuk pemenuhan kebutuhan perawat yang berkualitas. Perlu dilakukan uji kompetensi pada setiap institusi pendidikan agar dapat melihat kualitas dari para lulusan perawat.
Reporter : Sabran Ahnur.
Paripurna 6: Peningkatan Mutu berkelanjutan (CQI)
Reportase
Seminar Nasional PERSI XV, Seminar Tahunan Patient Safety XI, Hospital Expo XXX
Hari 2, 19 Oktober 2017
Paripurna 6
Peningkatan Mutu berkelanjutan (CQI)
Pada paripurna 6 ini diawali dengan topik Peningkatan Mutu Berkelanjutan dibidang Terapetik di Era JKN. Narasumber pertama adalah Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD yang saat ini merupakan Guru Besar di bidang Farmakoepid dan Terapi, FK UGM. Realita yang kita hadapi saat ini dimana biaya obat yang sangat mahal akan tetapi manfaat yang diberikan tidaklah berubah banyak. Di era JKN saat ini biaya atau komponen belanja obat di rumah sakit mengalami penurunan sangat signifikan dibandingkan dengan pelayanan kesehatan yang lain. Awalnya sekitar 42% dari total biaya pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah obat, namun pada 2016 terjadi penurunan sekitar 24-34%. Strategi dalam peningkatan mutu terapetik dapat dilakukan dengan melakukan edukasi terkait EBM dan Farmakoekonomi, sistem informasi yang terintegrasi terkait clinical reminder, dan Fornas CPOE, kebijakan terkait pembatasan persetujuan komite medik/KFT kebijakan insentif disinsentif, dan yang terakhir adalah manajemen pengelolaan obat terkait rencana kebutuhan obat dan automatic switch. Era yang serba sulit ini adjusment sangatlah diperlukan, efisiensi harus dilakukan tetapi harus bermartabat, bukan berarti pasien segera dipulangkan tetapi harus dilakukan outcome measurement agar hasil terapi dapat dinikmati pasien.
Pada topik selanjutnya yaitu Peta Jalan Menuju Rumah Sakit yang Berprestasi dengan narasumber Prof. dr. Yos Effendi Susanto, PhD, CFA, yang saat ini merupakan Dewan Penyantun Group Awal Bros. Peta jalan merupakan management strategy yang diawali dengan visi dan misi yang jelas, dimana peta jalan merupakan keadaan dari rumah sakit yang saat ini dalam kondisi menuju rumah sakit yang sesuai visi/misi tahun yang akan datang. Adapun hal yang perlu dilakukan dalam membuat peta jalan tersebut secara umum dengan menganalisis kondisi eksternal dan internal rumah sakit. Mengenai kondisi eksternal berkaitan dengan perubahan BPJS dan era digital sedangkan untuk kondisi internal yang harus diperhatikan pertama adalah budaya organisasi seperti staf yang mempunyai (passion) untuk mencapai visi organisasi, kedua adalah struktur organisasi terkait akuntabilitas, kolaborasi, luwes dan ramping. Ketiga adalah kepemimpinan terkait mempunyai komitmen, menguasai masalah dan tanggap. Keempat adalah staf, dimana mempunyai karakter inovatif, terus belajar, dan retensi yang kapabel, selanjutnya kelima adalah efisien meliputi efisiensi klinis dan efisiensi umum, dan yang terakhir adalah digitalisasi.
Pada akhir sesi, materi yang dipaparkan berjudul Hospital Safety dan Hospital Security dengan narasumber adalah Dr. dr. Supriantoro, Sp.P, MARS. Rumah sakit harus menyediakan fasilitas yang aman, fungsional, dan mendukung bagi pasien, keluarga, staf, dan pengunjung. Untuk mencapai tujuan ini, fasilitas fisik, peralatan medis, dan peralatan lainnya, serta sumber daya manusianya harus dikelola secara efektif. Secara khusus, manajemen organisasi kesehatan harus berupaya untuk mengurangi dan mengendalikan bahaya serta risiko, mencegah kecelakaan dan cedera serta memelihara kondisi yang aman. Keselamatan dan keamanan lingkungan rumah sakit merupakan salah satu aspek penting dalam mutu pelayanan rumah sakit. Proses akreditasi baik internasional maupun nasional akan lebih baik juga digunakan sebagai alat untuk monitoring secara periodik. Metode telusur jangan menjadi kegiatan yang hanya dilakukan pada saat proses akreditasi, tetapi harus menjadi bagian dari budaya organisasi untuk selalu melekat pada semua aspek kegiatan di masing-masing unit kerja.
Reporter : Ikhsan Amir.
Paripurna 5: Etika Rumah Sakit dan Budaya Melayani
Reportase
Seminar Nasional PERSI XV, Seminar Tahunan Patient Safety XI, Hospital Expo XXX
Hari 2, 19 Oktober 2017
Paripurna 5
Etika Rumah Sakit dan Budaya Melayani
Pada awal Paripurna 5, topik yang akan dipaparkan oleh Dr. dr. Sintak Gunawan, MA (Makersi PERSI) adalah Tinjauan Etika Dalam Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan Pola Pembayaran “Prospektif Payment System” dengan Dasar INA CBGs. Pembiayaan JKN yang telah diimplementasikan selama 3 tahun ini semakin meningkat. Total pembiayaan sebesar Rp. 166 T dibayarkan ke FKTP sebesar Rp. 34 T dan ke FKTRL sebesar Rp. 132 T. Dana yang terkumpul tidak mampu untuk memenuhi sehingga terdapat defisit sebesar lebih dari Rp. 10 T. 30% pembiayaan BPJS digunakan untuk penyakit katastropik dimana penyakit jantung ada di urutan pertama. Permasalahan yang banyak ditemui di rumah sakit diantaranya pola fee for service, standar mutu bervariasi, kendala pemenuhan SDM terutama spesialis, keterbatasan sarana prasarana, sistem rujukan belum berjalan baik, dan tarif INA CBGs belum sepenuhnya terpenuhi.
Contoh penelitian kasus prospective payment service di Swiss (Swiss Med Wkly. 2015;145:w14034) yang dianggap sebagai negara dengan sistem kesehatan yang terbaik menggambarkan hasil bahwa para dokter kesulitan menerapkan standar pelayanan, kesulitan mengikuti pendidikan berkelanjutan, waktu layanan semakin panjang, hingga kecemasan tenaga medis bertambah dan mendapat tekanan bahkan mengurangi jam praktek atau ada pula yang berhenti berpraktek. Contoh lain adalah penelitian kasus layanan gawat darurat di Italia (Levaggi and Montefiori BMC Health Services Research 2013, 13:409) menggambarkan bahwa terdapat variasi pelayanan gawat darurat sehingga biaya pelayanan juga bervariasi. Biaya terbesar adalah biaya non laboratorium dimana pasien yang lebih gawat membutuhkan konsul yang lebih banyak. Kesimpulannya adalah penerapan prospective payment service sulit karena tingkat ketidakpastian dan variabilitas kasus, sehingga dokter lebih menyukai fee for service untuk layanan gawat darurat.
Untuk kasus penanganan lansia, diproyeksikan Indonesia akan mendapatkan bonus penduduk lanjut usia pada 2035. Persentase penduduk lansia yang mengeluh sakit sebanyak 50%. Penanganan pasien lansia tidaklah mudah karena 50% memiliki penyakit kronik atau multi morbiditas sehingga perlu strategi khusus dan atensi khusus. Dalam menyusun clinical pathway untuk layanan lansia tentunya berbeda. Jika diterapkan model patient centered pada lansia maka hasil akan lebih baik namun biaya akan lebih besar dan melibatkan tim interdisiplinari.
Sistem pelayanan JKN saat ini menekankan pada volume based, kapan akan menekankan pada value based? Masalah moral hazard yang dihadapi seperti pemborosan SDM terbatas, rumah sakit merawatinapkan pasien dengan gangguan kesehatan ringan, pasien dipulangkan lebih cepat, rumah sakit merujuk pasien dengan kasus rawat jalan ringan ke rumah sakit rujukan level di atasnya, maupun rumah sakit menunda merawat inap pasien. Semestinya keputusan ditentukan oleh dokter namun saat ini oleh BPJS dimana membatasi pengobatan oleh dokter sehingga menimbulkan moral hazard. Masalah moral hazard berasal dari etika profesional tetapi sejak diterapkan JKN hal ini berperan ganda, dimana sebagai dokter harus memberikan pelayanan maksimal namun sebagai karyawan rumah sakit harus menaati peraturan dengan melakukan pembatasan pengobatan terutama untuk kasus-kasus mahal.
Rumah sakit harus membuat kebijakan yang mendukung tenaga medis agar tetap memiliki loyalitas tunggal yakni kepada pasien, serta harus memperbaiki sistem dan mutu layanan kesehatan, bukan menekan biaya dengan membatasi layanan kesehatan yang diperlukan pasien. Di sisi lain pemerintah harus memperhatikan besaran INA CBGs agar dapat mendukung layanan kesehatan nasional yang bermutu, profesional, dan manusiawi.
Sesi selanjutnya membahas mengenai Etika dan Budaya Melayani Sebagai Fondasi Pelayanan Rumah Sakit di Indonesia di Tengah Kompetisi Bisnis yang dipaparkan oleh Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, Sp. F, SH, M. Si (Makersi PERSI). Dampak konflik etik di rumah sakit akan menurunkan kualitas pelayanan rumah sakit. Etika dan budaya di rumah sakit menekankan pada pasien harus dilindungi keselamatannya dan karyawan juga harus dilindungi. Fondasi layanan kesehatan mesti memahami fenomenologi pasien dalam etika kepedulian dari perspektif pasien dan etika layanan dari perawat. Selain itu, etika kepemimpinan untuk penegakan ulang perilaku etik.
Kode perilaku etik rumah sakit diantaranya etika bisnis, patuh hukum, kredensialitas, konflik dan kepentingan ganda, perlindungan aset, aktivitas pokok dan relasinya. Hal ini perlu menyeimbangkan moral pada setiap kemajuan teknologi, pilar ilmu kedokteran dan ilmu hayati lainnya, serta profesi kedokteran. Apakah boleh mengorbankan budaya melayani? Tentunya tidak, karena adanya moral justification dari layanan rumah sakit.
Budaya melayani harus sampai pada moralitas. Cara praktek akan menumbuhkan budaya melayani dengan pengawasan terkendali, transparan, dan atasan yang terlibat aktif secara terus-menerus. Budaya melayani dan kematangan dari seluruh civitas hospitalia akan menumbuhkan etika.
Sesi terakhir dari paripurna ini memaparkan tentang Pelanggaran Etika dan Pelanggaran Hukum Dalam Promosi Rumah Sakit yang disampaikan oleh Prof. dr. Budi Sampurna, Sp. F, SH (PERSI). Konsumen dan rumah sakit harus memiliki hak yang sama. Rumah sakit memiliki hak untuk melakukan pemasaran sesuai dengan UU no. 44 / 2009, pasal 30 ayat 1) dan konsumen memiliki hak untuk memperoleh informasi yang akurat. Hal yang boleh dipasarkan oleh rumah sakit adalah layanannya bukan personilnya. Penyelenggaraan periklanan rumah sakit harus sesuai dengan etika. Perlukan iklan langsung ke konsumen? Dibandingkan dengan waktu yang lampau, saat ini sudah menjadi keputusan bersama pihak medis dengan pasien, selama informasi tersebut akurat dan akan mempengaruhi ketidaktahuan pasien.
Sesuai dengan Permenkes 1787 / 2010 dan UU 32 / 2002 tentang Penyiaran, terdapat hal-hal terkait promosi yang dilarang diantaranya iklan yang bersifat menyerang, informasi tidak benar, informasi yang menyiratkan fasilitas pelayanan kesehatan akan memperoleh keuntungan dari pelayanan kesehatan yang tidak dapat dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan lain, mencela dengan membandingkan, memuji diri berlebihan, iklan pelayanan kesehatan yang tidak berlokasi di Indonesia, tidak berijin, iklan makanan, alkes, suplemen yang tidak ada ijin edar, iklan obat keras, psikotropika, dan narkoba kecuali dalam majalah atau forum ilmiah kedokteran, memberi informasi dengan mendorong penggunaan jasa tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut, memberi diskon, testimoni di media massa, publikasi teknologi pelayanan baru yang belum terbukti, menggunakan tenaga kesehatan sebagai model, bersifat SARA, bertentangan dengan kesusilaan masyarakat, maupun eksploitasi anak dibawah 18 tahun.
Pemerintah dapat memberikan sanksi apabila terdapat pelanggaran dengan menarik bahkan menghilangkan iklan tersebut. Jika fasyankes tidak melaksanakan arahan dari pemerintah maka akan ada sanksi administratif dan etika. Pesan dari topik ini adalah iklan fasyankes haruslah informatif, edukatif, dan diperlukan konsumen serta iklan yang mematuhi etika profesi, etika rumah sakit, dan etika pariwara yang tidak merusak kepercayaan konsumen.
Reporter : Elisabeth Listyani.