manajemenrumahsakit.net ::
Pemda Mempawah akan Bangun Rumah Sakit Tipe B
manajemenrumahsakit.net :: Pemda Kabupaten Mempawah sejak lama telah berencana untuk membangun rumah sakit bertipe B di Kampung Tengah Kecamatan Mempawah Hilir. Namun masih banyak pembenahan yang harus dilakukan oleh pemerintah dareah.Beberapa pembenahan itu harus dilakukan, meningkatkan tipe rumah sakit RSUD dr Rubini dari tipe C menjadi tipe B. Hal itu menjadi syarat untuk mewujudkan pembangunan rumah sakit lagi di lokasi berbeda. Bupati Mempawah Ria Norsan mengatakan rencana membangun Rumah sakit tipe B perlu diawali dengan beberapa perbaikan. Terutama dari segi pemenuhan Sumber Daya Manusia (SDM). Pembangunan rumah sakit tambahan juga penting untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pemprov Gorontalo Segera Bangun Rumah Sakit Rujukan Provinsi
manajemenrumahsakit.net :: Kota Gorontalo – Guna meningkatkan pelayanan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Pemerintah Provinsi (Pemrov) Gorontalo segera menambah fasilitas kesehatannya dengan membangun rumah sakit rujukan provinsi tipe B. Nantinya pasien dari Gorontalo tidak perlu lagi dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap di Makassar atau Manado.
“Sejak tahun 2012, Pemprov Gorontalo sudah melahirkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Jaminan Kesehatan Semesta (Jamkesta). Program ini juga sudah terintegrasi dengan JKN. Namun kita juga mengharapkan infrastrukturnya bisa ditingkatkan, baik itu dari APBD maupun APBN,” kata Gubernur Gorontalo Rusli Habibie usai acara penandatanganan perjanjian kerjasama integrasi Jaminan Kesehatan Semesta (Jamkesta) dengan JKN di Kantor Gubernur Gorontalo, Sabtu (17/1).
Untuk membangun rumah sakit rujukan provinsi tersebut, dana yang disiapkan Pemprov Gorontalo sekitar Rp 55 miliar. “Presiden juga sudah janji akan membantu dari APBN 2015. Diharapkan rumah sakit ini nantinya jadi unggulan dalam penanganan ginjal dan penyakit mata. Mudah-mudahan saja tahun 2016 bisa selesai,” kata Rusli.
Di Provinsi Gorontalo, saat ini sudah ada 240 fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan 12 rumah sakit yang telah menjadi provider BPJS Kesehatan. Dari 12 rumah sakit tersebut, tiga di antaranya merupakan rumah sakit swasta.
Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kesehatan, sejak 2013 Pemprov Gorontalo juga telah memberikan 20 beasiswa kepada putra-putri terbaik Gorontalo untuk dididik menjadi dokter umum dan dokter spesialis. Setelah lulus nanti, penerima beasiswa ini juga diwajibkan untuk mengabdi di Gorontalo sesuai dengan kontrak yang disepakati.
“Kontraknya itu paling sedikit 10 tahun. Ini dilakukan supaya penerima beasiswa tersebut tidak praktek di luar Gorontalo setelah mereka lulus,” tambah Rusli.
Penulis: Herman/MUT
Sumber: beritasatu.com
BPJS Kesehatan jawab kritik RSUD Bari
manajemenrumahsakit.net :: Palembang (Antara Sumsel) – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan menjawab kritik manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Bari, Palembang, terkait aturan dalam memberikan layanan Unit Gawat Darurat.
Kepala BPJS Kesehatan Bidang Kesehatan Regional III Sumbagsel Handaryo di Palembang, Minggu, mengatakan, rumah sakit harus memahami bahwa layanan UGD ini hanya diperuntukan bagi penyakit gawat dalam pengertian medis.
Sementara pengertian gawat ini kerap bias dengan pengertian yang ada di masyarakat.
“Ada pasien yang sudah datang ke rumah sakit karena merasa penyakitnya sudah gawat, tapi yang sebenarnya terjadi justru secara medis bisa dikatakan belum berbahaya. Karena si pasien panik maka dirasa layak dikatakan gawat, seperti itu yang terjadi,” kata Handaryo.
Ia menjelaskan, BPJS telah mengeluarkan sebanyak 145 daftar penyakit yang tidak dapat dirujuk ke rumah sakit atau harus diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama yakni Puskesmas dan dokter keluarga.
Daftar penyakit yang tidak bisa dirujuk ini diharapkan menjadi acuan rumah sakit dalam bertindak, mengingat telah disyahkan oleh Kementerian Kesehatan dan sejumlah otoritas profesi dokter di Indonesia.
“Rumah sakit tidak perlu ragu menolak memberikan layanan UGD karena daftar ini sudah teruji dan disyahkan, ini juga wujud edukasi kepada peserta,” kata dia.
Sementara, daftar penyakit yang tidak dilayani UGD ini kerap membuat manajemen rumah sakit berbenturan dengan peserta BPJS, seperti yang diungkapkan Dirut RSUD Bari Makiani kepada Antara, ketika menerima kunjungan Komisi IV DPRD Kota Palembang beberapa hari lalu.
Makiani menilai, terdapat beberapa aturan yang terbilang tidak masuk akal jika dibenturkan dengan kondisi dan fakta yang terjadi.
“BPJS mengharuskan pasien yang datang harus rujukan dari Puskesmas tapi jika mereka datang pada malam hari, apakah ada Puskesmas masih buka. Jika siang, rumah sakit bisa saja menyuruh ke Puskesmas tapi jika malam tentunya tidak bisa,” kata Makiani.
Selain itu, aturan yang mengharuskan suhu tubuh pasien menjadi 40 derajat untuk mendapatkan layanan rawat inap juga kerap menimbulkan konflik dengan keluarga jika memaksa dibawa pulang.
Terkait hal ini, Handaryo mengatakan BPJS akan terus berkoordinasi dengan rumah sakit mengingat masih proses penataan setelah diluncurkan pada 1 Januari 2014.
Mengenai hal teknis di UGD, menurutnya, pihak rumah sakit dapat mengambil kebijakan yang masih dalam koridor aturan BPJS.
“Tentunya ada pengecualian, jika penyakit tersebut sudah komplikasi dan tidak bisa sembuh maka bisa dirujuk ke rumah sakit meski di luar daftar 145 penyakit,” kata dia.
Program Jaminan Kesehatan Nasional resmi diluncurkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 1 Januari 2014 dengan menunjuk BPJS kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sebagai penyelenggara.
Pemerintah menjalankan program ini untuk memberikan jaminan sosial secara menyeluruh kepada seluruh rakyat atau dikenal dengan istilah “universal coverage”.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah tidak menyangka antusias masyarakat demikian tinggi untuk mengakses pelayanan kesehatan dengan hanya membayar iuran BPJS. Kondisi ini mengakibatkan terjadi antrean panjang di sejumlah rumah sakit sehingga memaksa BPJS Kesehatan membuat aturan untuk mensiasatinya.
Sumber: antaranews.com
Pengoperasian RSUD Perawas Kembali Tertunda
manajemenrumahsakit.net :: TANJUNGPANDAN – Rencana beroperasinya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Belitung di Perawas, belum juga adanya kejelasan. Jika sebelumnya ditargetkan mulai beroperasi bulan Juni 2014, maka rencana kedua pada bulan Januari 2015 pun nampaknya belum ada tanda-tanda akan beroperasi.
Direktur RSUD Kabupaten Belitung DR. Hendra mengakui kendala dalam pengoperasian RSUD yang baru tersebut adalah soal perizinan yang masih dalam tahap proses, beserta sejumlah kendala-kendala teknis lainnya. “Kita tetap akan upayakan secepat mungkin kepindahan ini (RSUD,red). Jadi, semuanya harus beres dulu dengan baik agar tidak mengganggu pelayanan,” jelas Hendra, saat ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.
DR Hendra kembali menegaskan, ditundanya pengoperasian RSUD telah sesuai hasil diskusi yang dilakukan sebelumnya bersama para tim medis RSUD. Bahkan, kata Hendra, akan lebih beresiko ketika segera dioperasikan. “Dan saya pikir, itu soal Limbah yang sangat mendasar. Kita juga ada uji fungsi sesuai kelayakan pemakaian sarana medis. Seperti oksigen, listrik, air dan alat-alat medis lainnya yang berhubungan langsung dengan pasien,” ungkapnya.
Menanggapi ini, Wakil Ketua DPRD Belitung, Isyak Meirobie mengamini pernyataan DR. Hendra. Politisi yang dikenal vokal ini, justru bukan cenderung untuk mendorong percepatan pengoperasian RSUD itu. Namun, ia lebih sepakat pada soal kematangan persiapan fasilitasnya.
“Hal prinsip yang diutamakan itu adalah pelayanan pasien. Jadi, itu harus ditingkatkan kualitasnya. Adapun persoalan izin itu adalah persoalan sederhana yang bisa diselesaikan segera,” katanya.
Menurut Ketua DPD Partai NasDem Belitung ini, banyak hal yang harus dikoreksi dan dipersiapkan. Seperti IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah), perlengkapan medik yang harus lengkap. Begitu juga dengan SDM yang melayani, harus benar-benar kompeten alias profesional. “Saya sudah usulkan slogan untuk RSUD yakni “Melayani karena Cinta”. Itu sebuah filosofi dalam pelayanan dan pelaksanaannya,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Nasdem DPRD Belitung, Agung Maitreyawira saat dikonfirmasi, menyatakan jika permasalahan RSUD bukan hanya terkendala pada masalah perizinan sesuai yang disampaikan oleh Direktur RSUD. Tetapi lebih kepada masalah perlengkapan dan peralatan medis yang perlu dipersiapkan lebih matang.
“Saya juga sependapat, kalau belum lengkap jangan pindah dulu. Mengingat perpindahan itu, kan, memakan waktu. Apalagi, tenggang waktu perpindahan tersebut bisa buat banyak pasien jadi terlantarkan,” tandasnya. (mg2)
Sumber: radarbangka.co.id
Tak Dapat Alokasi DIPA 2015, RSU dr Soetomo: Tak Berpengaruh
manajemenrumahsakit.net :: Surabaya – Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2015 sebesar Rp 150 miliar dari APBN hanya diperuntukkan bagi perluasan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), dan pondok kesehatan desa (Ponkesdes).
Sedangkan pengadaan alat-alat rumah sakit di 13 unit pelaksana teknis (UPT) di Jatim, membutuhkan anggaran sangat besar sekitar Rp 120 miliar.
“Kami berharap ada Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) untuk pengadaan alat kesehatan,” kata Kepala Dinkes Jatim dr Harsono di Surabaya, Senin (19/1/2015).
Dia mengadakan, pengadaan alat kesehatan merupakan kebutuhan yang mendesak, untuk memenuhi standar pelayanan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Banyak UPT dan rumah sakit yang harus berbenah dan memperbaiki kualitas pelayanannya. Salah satunya dengan meningkatkan mutu dan layanan kepada pasien.
“Mutu dan layanan ini akan terlihat manakala UPT dan rumah sakit memiliki peralatan yang canggih selebihnya bagaimana rumah sakit meningkatkan kualitas SDM yang dimilikinya,” ujarnya.
Ke depan ia berharap, dengan adanya PAK dapat memperlebar kesempatan Dinkes dalam mengembangkan dan memajukan UPT dan rumah sakit milik pemprov. Sampai saat ini dari 13 UPT yang berubah menjadi rumah sakit mencapai enam unit, yakni Rumah Sakit Paru Pamekasan, Rumah Sakit Paru
Pembangunan RSUD Pemko Pekanbaru Sudah Dimulai
manajemenrumahsakit.net :: Tampan – Harapan sebagian besar masyarakat kota Pakanbaru, terutama warga yang berada di Kecamatan Tampan untuk segera medapatkan pelayanan dari Rumah Sakit milik pemerintah tampaknya dalam beberapa tahun kedepan akan segera terealisasi. Pasalnya Rumah Sakit Umum Daerah milik Pemerintahan Kota Pekanbaru yang digadang-gadang sejak beberapa tahun yang lalu itu sudah dimulai pengerjaannya.
Pantauan inforiau, jumat (16/01) siang, plang kontraktor yang akan mengerjakan proyek ini sydah terpasang, selain itu juga bangunan untuk tempat tinggal kontraktor dilokasi Rumah Sakit jalan Garuda Sakti KM 3 tersebut juga sudah mulai dikerjakan.
Randi, salah seorang pekerja yang mengatakan baru dua hari terakhir bangunan tempat tinggal untuk kontaktor tersebut digesa pengerjaannya,” sejak kemaren kita mulai kerjakan tempat tinggal untuk kontraktor yang akan mengerjakan Rumah Sakit ini,”katanya.
Seperti diketahui sebelumnya, bahwa Rumah Sakit Umum daerah (RSUD) Kota Pekanbaru tipe C mulai dilaksanakan pembangunannya tahun ini. Ditargetkan pembangunan proyek multiyears dengan dana Rp100 miliar ini bisa selesai dalam dua tahun anggaran. Seperti yang dijelaskan Rahmad, selaku Kepala Bidang (Kabid) Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Pemerintahan Kota Pekanbaru,” saat ini tahapan proses pembangunan RSUD tipe C telah dimulai. Pemasangan plang proyek dan beberapa sekat dari batu bata menandai proses pembangunan segera akan dimulainya. Realisasi pembangunan rumah sakit tersebut merupakan komitmen Pemerintah Kota Pekanbaru untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya, harapan kita, RSUD tersebut dibangun sesuai tahapan dan juga selesai tepat waktu. Begitu juga untuk melengkapi sarana atau isi di dalam rumah sakit tersebut. Jadi sebelum dioperasikan, tentu sudah harus lengkap isi di dalamnya, baik itu mengenai tenaga medis dan sebagainya,
RS Diminta Permudah Pelayanan bagi Penderita Talasemia
manajemenrumahsakit.net :: Medan .Rumah sakit seluruh Indonesia diminta untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada penderita talasemia untuk mendapat pelayanan kesehatan khususnya yang akan melakukan transfusi darah. Saat ini, ada 6.647 penderita talasemia di seluruh Indonesia yang akan melakukan transfusi darah setiap bulannya.
Ketua Perhimpunan Orangtua Penderita Talasemia Indonesia (POPTI) Pusat H Ruswandi mengatakan, rumah sakit harus menjadi rumah kedua bagi penderita talasemia. Sebab, para penderita talasemia akan satu harian berada di rumah sakit ketika lakukan transfusi darah, bahkan bisa rawat inap jika kondisi penderita lemah.
“Dalam memberi kemudahan, RS jangan menyuruh penderita untuk mengantri, semua serba mudah, dokter cukup peduli. Sedangkan, untuk memberi kenyamanan, diharapkan ada ruangan khusus, juru rawat ramah, ruangan ada AC, televisi, video, buku, sehingga penderita seperti ada di rumah sendiri. Jangan ‘menyiksa’ anak-anak penderita dengan antrian di rumah sakit seumur hidup, karena transfusi darahnya seumur hidup,” kata Ruswandi saat Pelantikan dan Pengukuhan Pengurus Yayasan Talasemia (YTI) cabang Medan Sumut di RSUP H Adam Malik Medan, Jumat (16/1).
Selain itu, dia juga mengingatkan petugas BPJS Kesehatan untuk tidak meminta surat rujukan dari Puskesmas atau klinik saat penderita talasemia hendak transfusi darah di RS provider. “Sudah ada surat keputusan dari direksi BPJS Kesehatan, bahwa penderita talasemia cukup menunjukkan kartu anggota YTI saat ke rumah sakit,” tegasnya.
Menurutnya, jumlah penderita talasemia di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2011, ada 4.431 penderita. Jumlah ini meningkat 10,5 persen pada tahun 2012, menjadi 4.896 penderita. “Pada tahun 2013, meningkat 24 persen atau menjadi 6.070 penderita dan tahun 2014 meningkat 9,1 persen menjadi 6.647 penderita,” ungkapnya.
Atas dasar ini, lanjutnya, pengurus YTI Medan Sumut yang baru dilantik terus melakukan sosialisasi dan harus bekerjasama dengan pemerintah daerah terutama PKK. “Sosialisasi ini agar jangan sampai orang dengan gen pembawa talasemia atau pembawa sifat menikah dengan gen pembawa sifat juga, karena akan terus lahir bayi talasemia mayor. Untuk itu diperlukan periksa darah sebelum menikah, agar jumlah penderita talasemia tidak terus bertambah,” imbuhnya.
Sementara itu, Kadis Kesehatan Sumut dr RR Siti Hatati Surjantini MKes memperkirakan, sekitar 5 sampai 20 persen bayi yang lahir menjadi penyandang talasemia. “Diperkirakan ada 200 bayi setiap tahunnya menjadi penyandang talasemia. Dengan adanya YTI di Sumut, masyarakat semakin meningkat pengetahuannya tentang seluk beluk talasemia. Diharapkan, meminimalisir bayi yang lahir dengan talasemia,” imbuhnya.
Sedangkan, Ketua YTI cabang Medan Sumut dr Rahayu Sa’at, SpA mengatakan, segera menyelenggarakan seminar dan workshop untuk meningkatkan pengetahuan kepada masyarakat. “Kita juga akan melakukan sosialisasi kepada para medis yang ada di Puskesmas atau klinik agar mendiagnosa secara tepat, sehingga mendapatkan penanganan secara cepat dan tepat,” katanya.
Adapun pengurus YTI Medan – Sumut yang dilantik oleh Ketua YTI Pusat Rini Amaluddin SH MSi yakni Ketua dr Rahayu Sa’at SpA, Wakil Ketua Syarmawaty, Sekretaris dr Rifwani Gumulya MARS, Bendahara dr Nelly Resdiana Sp.A (K) serta terdiri dari berbagai bidang.
Hadir pada acara itu Direktur RSU Sari Mutiara dr Tuahman F Purba SpAn MKes yang juga pengurus YTI Medan – Sumut bidang Humas, Dirut RSUP HAM DR. dr. Yusirwan, SpBA, yang juga pembina YTI Medan – Sumut, Sekretaris Dinkes Medan drg. Irma Suryani dan lainnya. ( prawira)
Sumber: medanbisnisdaily.com
Kisah Pasien Cuci Darah Meninggal di Rumah Sakit
manajemenrumahsakit.net :: Jakarta – Hisar Pandapotan Sitompul, 51 tahun, warga Pondok Indah meninggal dunia setelah disebut terlambat menjalani cuci darah di rumah sakit tempat dia dirawat. Dia meninggal setelah hampir dua hari mengalami sesak napas.
Hal itu dituturkan istri Hisar, Apriyanti, 32 tahun. Ibu dari tiga anak ini harus menyaksikan suaminya menderita karena sesak napas semenjak masuk ke Rumah Sakit Setia Mitra Cilandak Jakarta Selatan pada Ahad 21 Desember 2014 pagi. “Dia sesak napas sejak Sabtu. Paginya kami bawa ke rumah sakit,” kata dia Sabtu 17 Januari 2015.
Untuk diketahui, Hisar adalah penderita gagal ginjal. Oleh Rumas Sakit Siloam tempat dia pertama kali berobat, dia diharuskan menjalani cuci darah seminggu dua kali sejak bulan November 2014 lalu. Biasanya, Hisar menjalani cuci darah di Klinik Husada.
Pada 17 Desember 2014, dia pernah menjalani operasi Semino (pembuatan saluran di bagian lengan) untuk cuci darah RS Setia Mitra. Karenanya, ketika ada keluhan sesak napas, keluarganya membawa ke rumah sakit tersebut.
Selama suaminya menjalani perawatan, Apriyanti mengaku merasakan banyak kejanggalan. Pertama, karena setelah masuk IGD pada Ahad pagi, siangnya pasien dimasukkan ke ruang rawat inap. “Kalau melihat kondisi, mungkin seharusnya dia masuk ICU,” kata dia. Berdasarkan pemeriksaan dokter, pasien mengalami sesak napas karena paru-paru tergenang cairan dan jantung bengkak.
Pasien pun menjalani perawatan di ruang rawat inap. Sampai mendapat pertolongan berupa pemberian Furosemide (obat untuk mengeluarkan cairan melalui air seni), tak ada perubahan terhadap kondisi pasien. “Dia masih sesak napas. Dia tak bisa tidur karena kalau posisi berbaring makin sesak katanya,” ujar Apriyanti.
Ahad malam, keluarga meminta agar pasien segera melakukan cuci darah untuk mengeluarkan cairan di dalam paru-parunya. Namun, saat itu, kata Apriyanti, pihak rumah sakit belum bisa melakukan itu. “Salah satu alasannya harus ada travel link dulu,” kata dia.
Travel link adalah hal yang dibutuhkan untuk melakukan cuci darah dari klinik yang lama ke klinik yang baru. Selain itu, baik dokter atau suster jaga mengatakan cuci darah tak bisa dilakukan Ahad itu karena harus menunggu dokter yang bertanggungjawab pada pasien, yaitu dokter Imam Effendi memutuskan tindakan selanjutnya.
Senin 22 Desember 2014 pukul 06.00 WIB, dokter Imam datang memeriksa pasien dan memutuskan pasien untuk menjalani cuci darah. Dijadwalkan, cuci darah akan dilaksanakan pukul 07.00 WIB. Namun, pada jam itu belum bisa dilaksanakan karena harus ada travel link. Pukul 08.30 WIB, travel link siap namun cuci darah baru bisa dilakukan pada pukul 10.00 WIB. “Katanya sedang dipakai pasien lain,” kata Apriyanti.
Pukul 10.00 WIB, pasien yang sudah mengalami sesak napas hampir dua hari harus kembali menunggu. Cuci darah ditunda satu jam lagi karena mesin cuci darah masih digunakan. “Suami saya kehilangan kesadaran sekitar pukul 10.45 WIB,” kata Apriyanti.
Pertolongan darurat pun segera diberikan. Pasien dimasukkan ke ICU. Namun, 10 menit kemudian pasien dinyatakan meninggal dunia. “Kata dokter dia meninggal karena paru-parunya tergenang cairan,” kata Apriyanti. Pada 10.50 WIB, keluarga sempat diizinkan masuk ICU untuk melihat pasien yang sedang dipompa jantungnya. “Dia dibaringkan.”
Dari rentetan itu, Apriyanti merasa ada yang salah dengan kematian suaminya. Keluarga menduga ada tindakan medis atau keputusan tindakan medis yang terlambat dan tidak maksimal. “Kalau dari Ahad itu sudah menjalani cuci darah, saya yakin dia bisa selamat,” kata adik pasien, Dian Sitompul, 50 tahun.
Atas kejanggalan itu, akhirnya keluarga membawa permasalahan ini ke ranah hukum. Apalagi setelah pihak rumah sakit tak merasa bersalah atas kasus ini. “Kami lapor ke Polda atas dugaan malpraktek,” kata dia.
Sumber: tempo.co