Perawat Mogok, RSUD Ende Lumpuh
ENDE-Ratusan karyawan RSUD Ende yang terdiri dari para perawat, bidan dan tenaga penunjang non medik melakukan aksi mogok. Akibat aksi tersebut pelayanan medis di rumah sakit itu lumpuh sekitar dua jam. Aksi mogok kerja itu dipicu jasa medik yang belum dibayar pihak manajemen sejak Januari 2013.
Disaksikan Pos Kupang, Kamis (16/5/2013) sekitar pukul 08.00 Wita, puluhan karyawan RSUD Ende hanya duduk-duduk di depan Kamar Unit Gawat Darurat (UGD), ruangan koperasi dan kantin maupun apotek. Para karyawan enggan masuk ke ruang kerja mereka yang berada di bagian dalam rumah sakit.
Melihat para karyawan rumah sakit belum juga masuk ke ruangan kerja, Direktur RSUD Ende, dr. Yayik Prawitra Gati menemui para karyawan. Namun, tidak ada pembicaraan serius yang disampaikan oleh para karyawan. Para karyawan terlihat enggan berbicara ketika ditanya tentang alasan mereka tidak segera masuk kerja.
Aksi mogok yang dilakukan para karyawan membuat sebagian pelayanan di rumah sakit sempat mengalami gangguan. Di beberapa poli seperti poli anak, poli penyakit dalam, poli laktasi dan poli kandungan tidak terlihat satupun tenaga medis yang melayani pasien. Meski di beberapa ruangan masih terlihat ada tenaga medis yang melayani pasien.
Para tenaga medis dan non medis yang melakukan aksi mogok enggan melakukan dialog meskipun beberapa kali diajak oleh pihak manajemen untuk berdialog di dalam ruangan atau di Aula RSUD Ende. Mereka memilih tetap bertahan di depan RSUD Ende.
Melihat kondisi yang semakin tidak kondusif, Direktur RSUD Ende yang telah masuk ke dalam ruangan kerjanya kembali mendatangi para karyawan yang bertahan di depan UGD. Setelah beberapa kali diminta Direktur RSUD Ende, dr. Yayik Prawitra Gati, para karyawan akhirnya mau membuka suara tentang alasan mereka melakukan aksi mogok.
Menurut Natalia Y Demu, aksi mogok yang mereka lakukan, Kamis (16/5/2013), merupakan akumulasi ketidakpuasan mereka terhadap pihak manajemen yang belum merealisasikan jasa medik bagi para karyawan. Sebab, setiap kali ditanya hanya janji-janji segera dibayar tapi tidak ada ralisasinya.
Karena itu, kata Natalia, dia dan rekan-rekannya berharap agar pihak manajemen segera merealisasikan pembayaran jasa medik yang telah tertunggak sejak Januari 2013 lalu.
Karyawan lainnya, Aji Sare meminta agar pihak manajemen mempertimbangkan kembali pembayaran jasa medik yang dinilainya sangat tidak seimbang antara para karyawan medik dan non medik. Para karyawan medik pembayarannya sangat besar, sedangkan non medik sangat sedikit.
“Ada karyawan medik yang dibayar hingga Rp 400.000 bahkan jutaan rupiah. Tapi karyawan sukarela hanya dibayar Rp 75.000. Perbedaannya sangat jauh,” keluhnya. *
Keluarga Pasien Mengamuk
SAAT para karyawan sedang berdialog dengan Direktur RSUD Ende, tiba-tiba datang sejumlah keluarga pasien. Mereka mengamuk lantaran keluarga mereka yang sakit tidak segera mendapatkan pelayanan medis.
“Soal gaji atau apa, itu urusan kalian. Yang kami tahu bahwa kami datang ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan. Tapi kenapa keluarga kami tidak segera mendapatkan pelayanan,” kata salah seorang keluarga pasien yang mengaku bernama Lius Raga.
Lius mengatakan, apabila terjadi hal-hal negatif menimpa keluarga mereka maka pihak rumah sakit yang harus bertanggungjawab.
Keluarga pasien lainnya, Maria Y Osram, mengatakan, sejak pagi keluarganya tidak mendapatkan pelayanan medis. “Saya sangat kecewa karena ketika saya datang diarahkan ke lantai dua. Namun setelah di lantai dua kami tidak mendapatkan apa-apa,” ujarnya.
Direktur RSUD Ende, dr. Yayik Prawitra Gati mengatakan, jasa medik bagi para karyawan akan segera dibayar. Mengenai belum dibayarnya jasa medik dari Januari hingga Mei 2013, Yayik mengatakan, itu disebabkan masih dalam perhitungan yang lebih cermat menggunakan sistem kerja sebelumnya menggunakan cara manual.
Khusus untuk bulan Januari akan segera dibayar pada hari yang sama. “Kita terkendala secara teknis dengan pihak BRI. Namun saya memastikan bahwa hari ini (Kamis, Red) akan segera dibayar,” kata dr. Yayik.
Setelah memberikan penjelasan, seorang pegawai BRI datang. Ia menjelaskan, uang jasa medik bagi para karyawan telah ditransfer ke rekening masing-masing karyawan 30 menit sebelumnya. Mendengar penjelasan itu, para karyawan menyambutnya dengan tepuk tangan lalu kembali masuk kerja.
Mengenai permintaan para karyawan khususnya non medik, dr Yayik mengatakan, hal itu akan ditinjau kembali. Ia mengajak sejumlah karyawan masuk dalam tim untuk membahas soal jasa medik.
Sumber: tribunnews.com
Kabupaten Buru Akan Punya RSU Tipe C
Maluku – Pembangunan rumah sakit umum (RSU) Tipe C di Namlea, ibu kota Kabupaten Buru, Maluku, terus berjalan. RSU Tipe C itu dibutuhkan sebagai pusat rujukan dari puskesmas dan puskemas pembantu di kabupaten Buru. Pembangunan itu telah menyedot anggaran APBD Buru 2012 sebesar Rp6,5 miliar pada 2012 dan Rp7,5 miliar pada tahun ini.
RSU ini, kata Bupati Buru Ramly Umasugi, sangat dibutuhkan untuk melayani lebih dari 100.000 jiwa penduduk yang tersebar di lima kecamatan dengan 81 desa.
Ramly mengaku telah berdiskusi dengan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada rapat koordinasi kesehatan daerah Maluku di Ambon pada 13 Mei lalu. Ramly meminta bnatuan berupa alokasi dana APBN untuk menyelesaikan RSU tersebut.
“Pada prinsipnya Menkes setuju karena ibu kota kabupaten harus memiliki minimal satu unit RSU sebagai pusat rujukan dengan penduduk lebih dari 100.000 jiwa,” ujar Ramly.
Pemkab Buru juga berupaya meningkatkan kualitas tenaga kesehatan dengan menyekolahkan perawat maupun dokter, salah satunya bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dian Husada Mojokerto. Sedangkan untuk pendidikan dokter,bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin(Unhas) Makassar serta Universitas Pattimura Ambon.
“Ada enam dokter spesialis yang kami dukung pendidikannya, karena memang dibutuhkan untuk melayani di RSU Tipe C nantinya bila rampung nanti,” kata Ramly.
Sumber: pdpersi.co.id
Pengawasan Obat di RSUD Karawang Perlu Ditingkatkan
KARAWANG – Forum Perlindungan Konsumen Kabupaten Karawang Jawa Barat mengingatkan Dinas Kesehatan setempat untuk meningkatkan pengawasan persediaan obat di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang agar tidak terjadi peredaran obat kadaluarsa.
“Persediaan obat di RSUD Karawang harus benar-benar terjamin. Jangan sampai obat kadaluarsa beredar di rumah sakit, karena bisa membahayakan pasien,” kata Ketua Forum Perlindungan Konsumen Karawang Eddy Djunaedy di Karawang, Kamis.
Hal itu disampaikan Eddy menyusul ditemukannya obat kadaluarsa yang sempat beredar di RSUD Karawang, sesuai dengan catatan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2010.
Peredaran obat kadaluarsa itu sendiri melanggar Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jika terdapat bukti kuat terkait peredaran obat kadaluarsa itu, maka pihak RSUD bisa dilaporkan.
“Dalam pasal 8 ayat (1) butir a Undang Undang Perlindungan Konsumen disebutkan, memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan itu merupakan bagian dari pelanggaran,” kata dia.
Ia mengingatkan agar Dinas Kesehatan setempat lebih meningkatkan pengawasan terkait dilaporkannya peredaran obat kadaluarsa di RSUD Karawang. Sehingga ke depan tidak ada lagi laporan mengenai hal tersebut.
Sumber: republika.co.id
Pegawai Rumah Sakit Daerah Perlu Latihan Senyum
Jember – Pegawai rumah sakit daerah di Kabupaten Jember perlu meningkatkan keramahtamahan dalam melayani pasien. Urusan keramahtamahan, rumah sakit milik pemerintah daerah masih kalah dibandingkan rumah sakit swasta.
“DPRD Jember merekomendasikan agar Bupati MZA Djalal melatih pegawai ‘untuk tersenyum dan bersikap ramah’ kepada pasien dan pengunjung Rumah Sakit Daerah. Perlu ada upata pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia dan meningkatkan anggaran pelatihan,” kata Evi Lestari, Wakil Ketua Komisi A Bidang Pemerintahan dan Hukum.
Menurut Evi, petugas rumah sakit daerah irit senyum dan kurang ramah terhadap pasien. “Ini berbeda dengan petugas rumah sakit swasta. Padahal dari sisi kelengkapan fasilitas, Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi lebih lengkap dibandingkan rumah sakit swasta,” katanya. Namun karena minimnya keramahan, warga memilih berobat ke rumah sakit swasta.
Evi mengingatkan, kesehatan adalah kebutuhan dasar dalam kehidupan yang memerlukan perhatian khusus. Layanan kesehatan seyogyanya tidak diskriminatif. “Artinya, tidak hanya memprioritaskan orang mampu, tapi juga memberikan pelayanan setara bagi masyarakat tidak mampu melalui layanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin,” katanya.
Terkait pelayanan, Evi menilai, masih banyak keluhan terhadap layanan di puskesmas. Puskemas bukan lagi dianggap akronim dari pusat kesehatan masyarakat, tapi akronim dari pusing keseleo dan masuk angin. Layanan kesehatan belum maksimal dimanfaatkan warga miskin, karena minimnya informasi dan rumitnya persyaratan administrasi untuk memperoleh pelayanan. “Muncul percaloan karena rumitnya administrasi,” katanya.
Sumber: beritajatim.com
UISU Al-Munawwarah Serahkan Ambulans ke RSUD Pirngadi

Sumber: beritasore.com
Kualitas RS Tak Optimal, Warga Depok Pilih Berobat ke Jakarta

Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok Hardionomengatakan, saat ini ada 25 rumah sakit, baik di dalam maupun luar Kota Depok yang telah bekerja sama dengan Pemerintah Kota Depok dalam melayani pasien Jamkesda.
“Kita bekerja sama dengan semua rumah sakit yang ada di Kota Depok, namun tetap harus bekerja sama dengan rumah sakit di luar Depok karena sarana dan prasarana di Kota Depok yang kurang,” tuturnya kepada wartawan di Balai Kota Depok, Selasa (14/5/2013).
Menurut Hardiono, saat ini Depok hanya memiliki tiga rumah sakit B, yaitu Rumah Sakit Puri Cinere, Rumah Sakit Meilia, dan Rumah Sakit Sentra Medik. Sementara rumah sakit lainnya masih tipe C dengan kapasitas tempat tidur tidak lebih dari seratus. Tipe rumah sakit tersebut dilihat dari jumlah rumah sakit, jumlah dokter dan tenaga kesehatan lainnya, serta sarana dan prasana rumah sakit.
“Rumah sakit tipe B di Kota Depok pun semuanya masih B minus, jadi sebenarnya harus perlu ditingkatkan lagi sarana dan prasarananya, sehingga bisa memenuhi persyaratan sebagai rumah sakit tipe B,” katanya.
Sementara itu, saat ini rumah sakit di Depok juga masih kekurangan 72 tempat tidur di ruangan perawatan intensif. Saat ini sudah ada 113 tempat tidur intensif care yang ada di semua rumah sakit yang ada di Kota Depok, yaitu 36 tempat tidur Intensive Care Unit (ICU), empat tempat tidur Intensive Coronary Care Unit (ICCU), empat tempat tidur High Care Unit (HCU), 31 tempat tidur Neonatal Intensive Care Unit (NICU), dan 15 tempat tidur Pedriatic Intensive Care Unit (PICU).
Jumlah tempat tidur intensive care masih kurang 16 tempat tidur ICU, enam tempat tidur ICCU, delapan tempat tidur HCU, 18 tempat tidur NICU, dan 24 tempat tidur PICU.
“Dinas Kesehatan Kota Depok berupaya terus meningkatkan kualitas rumah sakit di Kota Depok. Salah satunya, menghimbau setiap rumah sakit untuk menyediakan sarana intensive care,” tandasnya.
Sumber: health.okezone.com
Pelecehan seksual marak di RS Jiwa Australia
Di Australia, sebuah laporan baru mengungkap 45 persen wanita di rumah-rumah sakit jiwa negara bagian Victoria mengalami serangan seksual selama perawatan.
Statistik baru telah membongkar suatu kenyataan pahit tentang pengalaman para wanita yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Sebuah laporan oleh Victorian Mental Illness Awareness Council (VMIAC) mengungkapkan, 45 persen wanita di rumah-rumah sakit jiwa negara bagian itu mengalami serangan seksual selama dalam perawatan.
Laporan itu menemukan 70 persen wanita yang dirawat di rumah-rumah sakit jiwa menjadi korban gangguan seksual. Malahan bagi banyak wanita, itu menjadi penyebab penyakit mental mereka.
Meskipun telah dilakukan perombakan belakangan ini, termasuk ruangan-ruangan khusus wanita, para korban mengatakan, sistem yang diterapkan untuk melindungi mereka dan respon pihak rumah sakit sangat tidak memadai.
Direktur Victorian Mental Illness Awareness Council (VMIAC), Isabell Collins, mengatakan kepada program 7.30 ABC, kultur pelecehan seksual tidak dapat lagi ditolerir.
“Kita tidak boleh punya sikap bahwa hal-hal seperti itu memang bisa terjadi di RS Jiwa,” katanya.
“Insiden-insiden itu terjadi karena situasinya memungkinkan, karena sistem kita memungkinkannya terjadi dan respon kita memungkinkannya terus terjadi.”
Laporan itu merekomendasikan antara lain, keharusan melaporkan kepada kepala rumah sakit, pintu yang dapat dikunci untuk pasien wanita – yang hanya dapat dibuka dengan kunci perawat dan rencana perawatan yang mempertimbangkan trauma seksual sebelumnya.
Sumber: radioaustralia.net.au
RS Siloam Manado Kurangi Pasien Berobat ke Malaysia

Selanjutnya, kelak kehadiran RS Siloam di kawasan lain Indonesia Timur seperti Ambon (Maluku) dan Papua Barat, juga bisa mengurangi jumlah warga yang berobat ke luar negeri. “Memang, selama ini RS swasta di Indonesia Timur masih sedikit, khususnya yang menyediakan layanan spesialis. Maka kami melakukan ekspansi ke kawasan yang belum dijamah pemain RS swasta yang lain,” kata Cixo. Peralatan medis canggih yang dihadirkan di RS Siloam di Jakarta, juga dihadirkan di Indonesia Timur. Semaksimal mungkin, kualifikasi peralatan medis di Indonesia Timur setara dengan di Jakarta. Kata Cixo, “Hanya saja, kuantitasnya mungkin tidak sama. Misalnya, kalau di Jakarta ada dua atau tiga catch lab, di Kupang cukup satu.”
Di Makassar, Sulawesi Selatan, manajemen RS Siloam bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin untuk pengadaan ataupun pelatihan dokter. Di kota lain di Indonesia Timur, tidak tertutup kemungkinan bahwa pola serupa digunakan. “Kami pun akan mengutamakan tenaga medis putra daerah, porsi mereka sampai 98 persen dan didampingi tenaga ahli dari Jakarta,” Cixo mengatakan.
Dapat dikatakan bahwa segmen pasien yang dibidik RS Siloam di Indonesia Timur, campuran, yaitu segmen menengah ke bawah ataupun atas. Cixo menampik anggapan bahwa RS Siloam identik dengan layanan pengobatan yang mahal. “Dengan membidik segmen pasar bervariasi, kami membuat subsidi silang. Pasien kaya menyubsidi yang tidak mampu,” ujar Cixo. Siloam Hospitals menargetkan mempunyai 77 buah rumah sakit di tahun 2017. Saat ini, RS yang sedang dibangun ada di Padang (Sumatera Barat), Medan (Sumatera Utara), dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).
Most Michigan parents, grandparents prefer research hospitals for pediatric care
ANN ARBOR, Mich. – Four out of five parents and grandparents in Michigan say they’d rather take children to a hospital that does medical research for children than one that does not, according to a new poll from the University of Michigan.
A new study from the Michigan Child Health Research Priorities team at C.S. Mott Children’s Hospital found that more than 80 percent of parents and grandparents prefer a hospital that does medical research about children — if they can expect the same level of care, the hospital is equally accessible and with no difference in cost.
The study also found that one out of four parents and grandparents in Michigan would be interested in their children or grandchildren taking part in medical research, although only 2 percent say their children or grandchildren have done so before.
“This project is the first of its kind to ask parents and grandparents about medical research for children, how they want to be involved, and what that means for where they would take their children for medical care,” says Matthew M. Davis, M.D., M.A.P.P., the director of the Michigan Child Health Research Priorities or M-CHRP team.
“We found that the public recognizes the importance of pediatric research and the benefits of healthcare providers who are engaged in that research. They want their children to be cared for by people who are actively involved in developing new ways to prevent and treat illnesses for children.
“Based on this study, we think there is great potential for participation in child health research in Michigan,” says Davis.
M-CHRP is a statewide research effort designed to inform and stimulate public engagement in Michigan around child health research. This poll’s representative sample of 758 adults was made up of Michigan residents who were parents or grandparents of children aged 0 to 17.
In the poll, respondents were given the opportunity to also indicate what types of diseases they think should get the most attention from researchers. The top 10 areas rated as “very important”:
Childhood cancers: 83 percent
Safety of medications: 79 percent
Safety of vaccines: 79 percent
Heart problems: 76 percent
Causes of infant deaths: 74 percent
Diabetes: 73 percent
Birth defects and other genetic problems: 73 percent
Transplants for cancer and other diseases: 71 percent
Prevention of infections: 69 percent
Asthma: 68 percent
“Through M-CHRP, the people of Michigan can express what kind of research they think is important for children. We hope this data can help U-M better reach families who want to contribute to child health research today and in the future,” Davis says.
At C.S. Mott Children’s Hospital, pediatric research is a top priority. The University of Michigan Medical School was ranked in 2013 as one of the top 10 research medical schools nationwide by U.S. News & World Report. About $320 million in National Institutes of Health funding was awarded to U-M faculty in fiscal year 2011.
“We need to make it a priority to get the word out about research opportunities for children,” says Davis. “Medical research often needs healthy volunteers as well as those who may have the particular disease being studied. While many people may think of medical research as testing new medicines, children’s medical research also includes other types of health studies related to topics such as behavior, nutrition, and mental health.”
Source: uofmhealth.org