HARIANJAMBI.COM, KUALATUNGKAL – Seperti diketahui, Rumah Sakit Jantung di Tanjabbar ini dibangun dengan menyedot dana Rp 25 miliar. Dimana letaknya pembangunannnya, persis di sebelah Kompi Brimob, Kecamatan Betara.
Berdasarkan pantauan di lapangan, bangunan megah itu masih dipagari dengan seng. Tak ada aktifitas di lokasi pembangunan rumah sakit tersebut.
Ketua Komisi III DPRD Tanjabbar, Ahmad Jakfar menilai, perencanaan RS Jantung di Dusun Terjun Jaya, Kecamatan Betara tersebut tidak tuntas. Artinya, perencanaan yang dibuat pemkab tidak terangkum secara keseluruhan, dan tidak menyebutkan rincian hingga operasional.
“Perencanaan setiap tahun dilakukan, dan sifatnya sepotong-potong. Kami inginkan perencanaan harus tuntas, termasuk pengadaan Alkes hingga tenaga medisnya,” ujar Jakfar.
Tahun ini, kata dia, dewan tidak bisa menyetujui pembangunan lanjutan RS Jantung tersebut, sampai perencanaan yang dibuat tuntas dan matang. Politisi dari Partai Golkar ini menambahkan, banyak instansi terkait yang tidak dilibatkan dalam mega proyek tersebut, seperti RSD KH Daud Arif maupun Dinkes Tanjabbar.
“Ini pengajuannya melalui Bappeda, sementara pihak RSD sama sekali tidak tahu dengan perencanaan lanjutannya,” katanya lagi.
Sebaiknya, lanjut jakfar, RSD KH Daud Arif ditingkatkan kembali, daripada membangun rumah sakit jantung di Kecamatan Betara. RSD yang ada, masih membutuhkan bangunan ruang inap pasien. Tak hanya itu, alat kesehatan di rumah sakit induk perlu ditambah lagi.
Terpisah, Sekretaris Daerah Kabupaten Tanjabbar, Mukhlis M Si, membantah, perencanaan rumah sakit jantung tidak matang. Katanya, desain awal sudah dibuat, termasuk alat kesehatan serta bangunan tambahan yang bakal dibangun di sekitar bangunan induk.
Semua pihak, kata Sekda, dilibatkan dalam menyusun perencanaan pembangunan RS Jantung tersebut. “Baik itu RSD, Dinkes, semuanya dilibatkan,” kata Sekda.
Diakui Mukhlis, tahun ini pembangunan fisik belum dilanjutkan, terutama penambahan ruang paviliun untuk pasien. Pemkab masih menunggu bantuan dana dari perusahaan yang ada. Untuk pengadaan Alat kesehatan, Pemkab mengharapkan bantuan dari Kemenkes RI.
“Kita sudah ada pembicaraan dengan perusahaan, dan siap membantu pembangunan ruang Sal Paviliun. Kalau pembangunan tahap I sudah selesai,” jelasnya.
Meski nantinya dibantu pihak ketiga, RS Jantung di Dusun Terjun Jaya tetap bagian dari Rumah Sakit Daerah KH Daud Arif. “Tidak ada masalah, tetap rumah sakit pemerintah,” timpal dia.
Ditambahkan dia, melalui Dinkes Tanjabbar, pemkab tengah menyelesaikan dokumen analisa mengenai dampak lingkungan (amdal), terutama untuk penambahan ruangan pasien. “Semuanya tinggal berjalan, dan kita harapkan selesai,” kata Muklis.
Surabaya- Peluang bisnis kesehatan dan rumah sakit sangat menjanjikan. Bahkan, seiring dengan perkembangan teknologi, teknologi kesehatan pun dituntut semakin canggih. Begitu pula dengan kesadaran menjaga kesehatan dan meningkatnya angka harapan hidup, membuat layanan rumah sakit semakin laris manis.
Komisaris Utama PT Nusantara Medika Utama, Ir Djoko Santoso, mengatakan, kesadaran untuk menjaga dan memelihara kesehatan sudah semakin tinggi. Sehingga, ke depan, masyarakat ke rumah sakit bukan hanya untuk berobat tetapi juga untuk mengantisipasi agar tidak sampai sakit.
BPJS INFO – Jakarta: BPJS Kesehatan merupakan badan hukum publik yang dibentuk oleh pemerintah untuk mewujudkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pembentukan BPJS Kesehatan didasari oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS Pasal 14 yang menyatakan bahwa setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program Jaminan Sosial.
Dalam upaya meningkatkan mutu layanan kepada peserta, BPJS Kesehatan terus memperluas jalinan kerjasama dengan berbagai fasilitas kesehatan, baik milik pemerintah maupun swasta. Sebelumnya, BPJS Kesehatan telah melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dengan PP Muhammadiyah di Samarinda pada 23 Mei 2014 lalu. Kerjasama tersebut kemudian dipertegas dengan dilaksanakannya penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara BPJS Kesehatan dengan 5 rumah sakit milik Muhammadiyah di RS Muhammadiyah Lamongan, Jawa Timur, Minggu (8/6).
Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, terdapat 27 rumah sakit dan 50 Klinik milik Muhammadiyah yang tersebar di Jawa Timur, 14 di antaranya sudah lebih dulu bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Rencananya 9 klinik akan bekerjasama dengan bPJS Kesehatan dan untuk tambahan kelima rumah sakit yang siap bekerjasama dengan BPJS Kesehatan adalah RS Muhammadiyah Lamongan, RS Muhammadiyah Sumberejo, RS Muhammadiyah Ponorogo, dan RS Muhammadiyah Mojokerto, RS Muhammadiyah Surya Melati di Kediri.
Dear Pengunjung Web,
Kami mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi Anda yang menjalankannya. Semoga ibadahnya berjalan lancar dan diberkati Yang Maha Kuasa.
Minggu ini kami akan melaporkan secara lengkap acara Temu Alumni dan Konferensi Hospital Hygiene in Patient Safety Framework yang telah berlangsung pada 26-28 Juni lalu di FK UGM. Konferensi ini terselenggara atas kerjasama GIZ (Gesselschaft f
Tahun 2007 yang lalu GIZ memulai sebuah program bernama ILT-HM (International Leadership Program on Hospital Management) yang ditujukan bagi para manajer RS pemerintah maupun swasta, konsultan maupun peneliti yang terkait dengan manajemen perumahsakitan untuk menempuh kursus mengenai manajemen RS di Jerman. Kursus berlangsung selama 4 (empat) bulan di Berlin HWR (Berlin Business School for Economics and Law) dan dilanjutkan dengan magang di RS-RS tertentu di Jerman selama 3 bulan. Sebelum menjalani kursus, peserta dipersiapkan untuk menguasai Bahasa Jerman dasar untuk memudahkan komunikasi di kelas maupun saat magang di RS. Total waktu yang digunakan oleh peserta ILT-HM selama berada di Jerman adalah 12 bulan penuh. Program ini berakhir tahun 2012, sehingga total ada 5 (lima) angkatan yang telah menjalani kursus. Tahun 2014 ini GIZ berencana untuk mengadakan Temu Alumni sebagia bagian dari upaya pemerintah Jerman untuk dalam memelihara partnership dengan Indonesia.
Universitas Gadjah Mada dipilih sebagai partner dalam penyelenggaraan kegiatan ini karena dari 18 alumni ILT-HM asal Indonesia, 2 diantaranya berasal dari UGM. Selain itu, lingkungan kampus dirasa dapat menghadirkan suasana yang tepat untuk melakukan seminar dan diskusi ini.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mempertemukan alumni ILT-HM dari berbagai angkatan dan mempertemukan alumni dengan ekspert dari Jerman sehingga terjalin hubungan komunikasi antar-alumni yang lebih kuat untuk peluang networking yang lebih luas dimasa mendatang. Selain itu, pertemuan ini diharapkan bisa menjadi ajang untuk meng-update perkembangan alumni, mengenai apa saja yang telah dilakukan sepulang dari training di Jerman, hasil-hasil yang didapat, hambatan dan sebagainya. Isu yang lebih spesifik dibahas pada pertemuan ini adalah hygiene di RS yang masih merupakan masalah baik di negara maju seperti Jerman, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia.
Kegiatan ini dilaksanakan selama tiga hari, yaitu tanggal 26-28 Juni 2014. Agar mendatangkan manfaat yang lebih luas, konferensi di hari kedua dibuka untuk umum sehingga dapat diikuti oleh non-alumni ILT-HM.
Hari Pertama, 26 Juni 2014
Konferensi hari pertama ini ditujukan khusus untuk alumni ILT-HM yang akan membahas tentang isu hospital hygiene dengan narasumber dari Jerman dan RSUP Dr. Sardjito. Pertemuan dibuka oleh DR. Dr. rar.med Istiti Kandarina mewakili Prof. Dr. Adi Utarini, MSc, PhD (Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Kerjasama). Dalam sambutannya, Dr. Istiti menyambut gembira kegiatan ini sambil mengenang waktu selama 17 tahun yang dilewati di Stüttgart Jerman dalam rangka meneruskan pendidikan dan penelitiannya.
Pada konferensi hari pertama ini, pembicara utama, yaitu Prof. Dr.med Axel Kramer mengawali materi dengan informasi mengenai Universität Greifswald tempatnya bekerja dan Kota Greifswald yang merupakan kota kecil di Jerman. Prof. Kramer adalah seorang ahli hygiene and environmental medicine yang telah memimpin Institute for Hygiene and Environmental Medicine sejak tahun 1990. Sebagai seorang peneliti yang sangat aktif, Prof. Kramer telah menghasilkan 52 hak paten, hampir 400 tulisan di jurnal ilmiah lebih dari 200 tulisan ilmiah dalam textbooks, monograf dan serial serta 63 paragraf scientifik pada berbagai proceeding konferensi, brosur dan sebagainya. Seluruhnya dalam bidang yang digelutinya tersebut hingga sekarang. Dengan konsistensinya dalam bekerja, Prof. Kramer sangat menguasai masalah hygiene dan lingkungan medis.
Salah satu fakta mengejutkan yang diungkapkan oleh Prof. Kramer melalui presentasi materinya di konferensi ini adalah bahwa pasien dan staf RS merupakan sumber utama mikroorganisme yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya infeksi nosokomial. Dalam hal ini, tangan memegang peranan sangat penting dalam mentransmisi kuman penyebab infeksi. Meskipun ada risiko dari sisi pasien yang tidak dapat dicegah, misalnya karena usia, terlalu lama dirawat di RS dan sebagainya, namun ada juga berbagai faktor non-pasien yang perlu diwaspadai, misalnya perubahan resistensi kuman.
Pada sesi ini, Prof. Kramer memaparkan berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan telah dipublikasi dalam berbagai bentuk tulisan ilmiah. Misalnya kuman MRSA yang menempel dipermukaan suatu benda menurut hasil penelitiannya ternyata dapat bertahan hidup dari 7 hari hingga 1 tahun. Jadi jika peralatan di OK dibersihkan secara kurang seksama, ada kemungkinan kuman yang tertinggal masih bisa berkembang biak jika akhirnya menempel pada organ tubuh pasien yang sedang dioperasi.
Prof. Kramer juga memaparkan mengenai peran tangan yag sangat potensial sebagai penyebar kuman. Oleh karena itu, klinisi harus membersihkan tangan secara seksama sebelum dan sesudah menyentuh pasien. Berbagai cairan pembersih memiliki tingkat efektivitas sendiri-sendiri. Memahami sifat dan kandungan senyawa pembersih akan bermanfaat dalam memutuskan penggunaannya secara efektif dan efisien.
Pada siang hari, peserta diajak untuk mengunjungi RSUP Dr. Sardjito untuk melihat langsung bagaimana praktek hospitak hygiene di RS di Indonesia. Selain karena faktor lokasinya yang berdekatan dengan kampus FK UGM, RS ini juga merupakan salah satu RS Pendidikan terbesar di Indonesia yang sedang mempersiapkan diri untuk akreditasi (JCI). Oleh karenanya, berbagai prosedur termasuk dalam implementasi hospital hygiene diharapkan sudah sesuai dengan standar yang berlaku. Setelah peserta diterima oleh direksi RSS dan disajikan informasi mengenai RS serta penanganan infeksi, peserta lalu diajak berkeliling ke beberapa unit pelayanan, antara lain perawatan TB, perawatan kanker anak, IGD dan CSSD. Pada kesempatan ini, selain menerima kunjungan peserta konferensi, RSS juga bisa mendapat masukan berupa komentar maupun tips sederhana dari Prof. Kramer untuk meningkatkan efektivitas upaya pengendalian infeksi di RS ini. Salah satu tips yag bermanfaat adalah penggunaan masker pada ruang perawatan pasien TB. Di RSS, untuk pasien MDR TB, petugas RS dan pengunjung menggunakan masker jenis N95 untuk mencegah penularan dari pasien. Menurut Prof. Kramer, hal ini kurang bermanfaat, karena kuman masih bisa menembus pori masker tersebut. Yang lebih tepat adalah menggunakan masker jenis N99, namun harganya sangat mahal. Oleh karenanya, dua layers masker bedah biasa bisa digunakan untuk menggantikan N99 yang lebih efektif dibandingkan dengan N95.
Hasil kunjungan diberbagai instalasi pelayanan klinik RSS kemudian dibahas setelah peserta kembali ke ruang konferensi di FK UGM. Diskusi menjadi lebih menarik saat para peserta secara aktif mengemukakan pendapat atau pertanyaan kepada Prof. Kramer. Sebagai contoh, salah satu yang dibahas adalah penggunaan pintu. Menurut Prof. Kramer, penggunaan udara bertekanan positif untuk mencegah infeksi memerlukan biaya tinggi. Lebih efisien jika daun pintu yang digunakan adalah pintu geser, bukan pintu dorong, untuk mencegah udara dalam ruangan bergerak terlalu banyak saat ada petugas keluar-masuk ruang perawatan.
Hari Kedua, 27 Juni 2014
Konferensi hari kedua ini diikuti oleh umum (manajer RS, tim PPI RS, dosen, peneliti, mahasiswa program S2 manajemen RS maupun pihak lain yang berminat) dengan menghadiri langsung di ruang konferensi. Selain itu, konferensi di hari kedua ini disiarkan juga secara live-streaming melalui di website www.manajemenrumahsakit.net. Pada konferensi ini, tema yang dibahas lebih umum, yaitu bagaimana good practice maupun tantangan implementasi patient safety di RS, baik di Indonesia maupun di Jerman. Hasil kunjungan ke RSUP Dr. Sardjito pada hari sebelumnya akan menjadi salah satu contoh kasus yang didiskusikan disini.
Pada sesi pagi hari, Prof. Kramer memaparkan bahwa seharusnya toleransi terhadap terjadinya infeksi nosokomial di instalasi rawat jalan adalah nol (0). Namun disisi lain ada tantangan berupa meningkatnya resistensi kuman serta meningkatnya resistensi dan imunitas penduduk. Di Jerman pun hal ini masih menjadi masalah. Oleh karenanya, yang terpenting menurut Prof. Kramer adalah mengembangkan safety culture di RS, yang akan memungkinkan setiap usaha memerangi infeksi nosokomial mendapat perhatian cukup. Disadari bahwa pengendalian infeksi di RS merupakan tugas yang berat, sehingga staf yang diberi tanggung jawab untuk hal ini harus memiliki kompetensi khusus. Kompetensi ini diperoleh melalui spesialisasi (dokter, perawat) dan training.
Sesi ini menajdi semakin menarik dengan adanya tayangan video (link ke videonya, jika memungkinkan) mengenai bagaimana penularan infeksi dapat terjadi di RS dan bagaimana mencegahnya. Pada video tersebut, Prof. Kramer dengan jelas menunjukkan potensi-potensi terjadinya infeksi khususnya pada luka operasi, dan bagaimana kekurangwaspadaan klinisi yang sedikit saja bisa berakibat fatal bagi pasien.
Selain Prof. Kramer, narasumber lain yang juga mengisi konferensi ini adalah Prof. Dr. Herkutanto, SpF, SH, LL.M yang merupakan Ketua Komite Nasional Keselamatan Pasien RS dan kebetulan juga sekaligus sebagai Ketua Konsil Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia. Dalam paparannya, Prof. Herkutanto menyampaikan bahwa Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari kondisi geografis, demografis hingga double burden of diseases, disamping juga masalah kurangnya sumber daya. Asosiasi RS Indonesia telah mendekralasikan patient safety sejak 2007, namun saat itu baru sebatas pembentukan komite, belum sampai pada terintegrasinya berbagai aktivitas lintas sektor. Oleh karena itu, dikembangkanlah strategi patient safety yang teridri dari strategi di level mikro, meso maupun level makro.
Sejalan dengan yang disampaikan oleh Prof. Kramer, Prof. Herkutanto juga menekankan pada pentingnya mengembangkan budaya keselamatan pasien yang didorong oleh budaya organisasi. Sementara itu, budaya organisasi bisa dibentuk dan diarahkan jika ada leadership di aspek klinis maupun manajemen RS.
Pada sesi siang hari, para alumni menyajikan hasil kegiatannya di tempat kerja masing-masing, sebagai bagian dari upaya berbagi informasi terkini mengenai alumni. Ada lima presenter yang dipilih yaitu:
1) I Ketut Suarjana (FK Unud Bali) dengan paper berjudul Performance standard as the basis of performance based payment system
2) AA. Gede Raka Dharmasemaya dengan paper berjudul Empowering hospital training unit for staff development in Sanglah Central Hospital, Bali
3) Diah Irmawati Sari Hasibuan (Eka Hospital) dengan paper berjudul Implementation of Hospital Information System
4) Fachriah Syamsuddin (Kementerian Kesehatan) dengan paper berjudul Pharmaceutical Services in Indonesia; facing Universal Health Coverage
5) Muhammad Syarif Hidayatulloh (konsultan swasta) dengan paper berjudul Implementing Quality Management System in Puskesmas X, East Kalimantan Province based on ISO 9001:2008
Hari Ketiga, 28 Juni 2014
Pada hari ketiga ini, konferensi didesain lebih spesifik untuk alumni ILT-HM. Tujuannya adalah untuk membahas mengenai bagaimana networking antar alumni ILT-HM bisa menjadi semakin erat dan berdaya guna. Ada berbagai ide yang terlontar dari alumni, antara lain mengembangkan modul-modul pelatihan bersama. Ilmu pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat selama menempuh kursus di Jerman ditambah dengan pengalaman di tempat kerja masing-masing akan diramu sedemikian rupa sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh kalangan yang lebih luas. FK UGM akan memfasilitasi berbagai kegiatan pengembangan modul dnegan infrastruktur yang telah dimiliki (sistem/website, supporting staff dan peralatan, networking). Alumni dapat memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk mengembangkan kemampuan sekaligus menyebarkan pengetahuan secara lebih luas sebagai bentuk komitmen memajukan sistem manajemen perumahsakitan di Indonesia). (pea)
INDONESIAN-GERMAN CONFERENCE ON
HOSPITAL MANAGEMENT
Gadjah Mada University, Yogyakarta
June 25- 28 2014
(Draft) Programme
Time
Activity
Remarks
Wednesday, 25.06.2014
During the day
Arrival of alumni
Arrival and transfer to hotel
18:00 – 21.00
Getting to know each other
Venue: Hotel
Dinner
Alumni of different ILT groups meet each other
Thursday, 26.06.2014
ALUMNI DAY
Venue: Faculty of Medicine, UGM
9:00 to 9:30
Welcome and Introduction
GIZ and representative(s) of alumni
UGM Representatives: Dr. rer. nat. dr. BJ. Istiti Kandarina
(Program Manager International Master Program Public Health)
9.30 – 11.00
Workshop on Hospital Hygiene with Prof. Dr. Axel Kramer, University of Greifswald
Sesi 2 dibuka oleh Johannes Kleinschmidt (Giz), memaparkan International Leadership Training (ILT), Looking Back on Human Capacity Development in Hospital Management. Target dari ILT ialah staf RS yang bertanggung jawab pada manajemen. Tujuannya untuk mencapai pengetahuan dan kompetensi yang efektif, efisien dan sesuai yang dibutuhkan manajemen. Tahapannya: peserta melakukan persiapan di negaranya, berangkat ke Jerman, pelatihan di Jerman dan melakukan diseminasi di negara asalnya. ILT diselenggarakan di Berlin School of Economic and Law. Tema yang dipelajari yaitu Hospital management issues yang mencakup, disaster management, hospital hygiene, information system, quality management, faculty management, financial, HR, management basic and principles
Jumlah pesertanya memperhatikan gender sehingga ini cukup adil, yaitu sebanding antara laki-laki dan perempuan. Pesertanya merupakan dokter, perawat, manajer, administrator, spesialis dari daerah urban-kota, privat dan umum, serta ddari kota besar dan kota kecil. Dampaknya, untuk individual, organisasi dan system yaitu meningkatkan kemampuan manajemen dan kepemimpinan, lalu further qualification and career, serta positive changes in care for patients.
Berikut merupakan beberapa paparan apa yang sudah dilakukan alumni di daerahnya masing-masing.
Pertama, Ketut Suarjana (Puri Bunda Maternal and Child Hospital. Denpasar, Bali). Performance Standar As The Basis of performance Based payment System.
Kedua, Darmasemaya (RS Sanglah). Empowering Hospital Training Unit for Staff Development.
Ketiga, Diah Irmawati (Eka Hospital), Hospital Information System Implementation. ada dua hal yang dibahas Irmawati, yaitu Electronic Medical Records (EMR) dan Hospital Information System. Electronic medical records =: shared and used inter health unit (elektronik) dan berlaku internal. Ssementara, Hospital Information System: a whole system, manage and integrated work atau mengintegrasikan banyak tugas di RS.
Keempat, Fachriah Syamsudin (Kemenkes), Manajemen Ketersediaan Obat Melalui e-catalog. Harapannya, e-catalog ini bisa berfungsi sebagai e-purchasing sehingga alur penyediaan obat bisa akuntabel dan efisien.
Kelima, Syarif Hidayatullah (Director Partners Consultant), Quality Management System in Puskesmas, East Kalimantan. Ada sekitar 9500 Puskesmas di Indonesia, dengan rasio 1:150 atau 1 Puskesmas melayani 150 orang. Quality yang baik berasal dari dalam atau dalam Puskesmas atau dari dalam tenaga kesehatan.
Diskusi;
Prof. Johanness menyampaikan paparan Syamsudin, terlalu komplit. Kemudian Hidayatullah, ada 9500 Puskesmas yang harus dikerjakan.
Aprianto (RSUD Purbalingga) mengajukan pertanyaan untuk Irma: apakah Electronic Medical Record (EMR) dapat meningkatkan jam kerja atau overtime? Kemudian, apakah ada subsistem untuk. Untuk Fachriyah, e-catalog procurement Kemkes masih bermasalah, stok obatnya banyak yang menipis/kurang. Lalu, terlalu banyak UU tentang obat di Indonesia, siapa yang bertanggung jawab atas UU ini? Formularium Nasional -> ada generic dan tidak generic. Siapa yang bertanggung jawab atas formularium ini?
Ni Luh Putu Eka, MPH menanyakan untuk master training plan di Sanglah, bagaimana cara meningkatkan kualitas mutu?. Pertanyaan ini diajukan untuk Darmasemaya.
KetutSuarjana mempertanyakan kualitis proporsi skoring pembayaran melalui skema Formularium Nasional seperti apa? Siapa yang bertanggung jawab? Untuk Darmasemaya, mungkin perlu dilakukan training yang terkoneksi satu sama lain. Pertanyaan untuk Irma, apa inovasi yang dilakukan atau digagas untuk sistem EMR?
dr. Tiara Marthias, MPH menanyakan pada Irma, e-catalog, ini barudiberlakukan 2013, saat mencoba request obat melalui e-procurement terlambat. Lalu bagaimana? Apa evidence based e-catalog ini?
Darmasemaya memaparkan, pusat pelatihan RS Sanglah merupakan mitra dari Kemenkes standar yang digunakan ialah kualitas training harus disiapkan, dengan dokumen lengkap dan akan dimintakan akreditasi. Hal-hal yang harus dipenuhi antara lain, pelatih harus teruji kemampuan dan kualitasnya, ada manajemen training yang jelas dan materi training di- upgrade secara berkala.
Irma EMR ini memudahkan alur pemeriksaan dan kebutuhan periksa antara dokter dan pasien, lalu didukung data yang up to date, jadi bisa digunakan. Selain itu, EMR: based onpatient requirement-lebih mudah digunakan.
Fachriyah menjelaskan tentang e-catalog, jika akan megirim request obat, tinggal kontak supplier. Jadi, diharapkan sistem ini akan memudahkan banyak pihak, karena alur pengadaan obat dapat dipantau, akuntabel dan efisien. E-catalog ini diharapkan akan selesai disempurnakan dan siap digunakan pada Juli 2014. E-catalog mengacu pada Surat Edaran Kemenkes No167 Tahun 2014, terkait pengadaan dalam hal obat yang dibutuhkan jika tidak terdapat dalam e-catalog, maka penyedia layanan dapat mengusahakannya secara manual. Hal ini didukung dengan regulasi, yaitu Perpres No 70 tahun 2012 tentang pengadaan obat secara manual. Kemudian untuk Fornas, sudah disusun oleh expert, core team, review team, standingcommittee, serta selalu dievaluasi tiap 3 bulan.
Aprianto menambahkan saran untuk Kemenkes, jika ingin mengubah peraturan, mohon lebih dipersiapkan, agar tidak membuat terkejut pihak-pihak terkait. Prof. Johannes menutup acara dengan kesimpulan, pertemuan ini sangat bermanfaat, semoga menambah pengetahuan dan networking para peserta.
Seminar Hygiene di RS, merupakan kerja sama antara MMR UGM dan GIZ Jerman, PKMK FK UGM ikut mendukung terselenggaranya acara melalui streaming. Seminar ini merupakan hari kedua pertemuan para alumni yang sempat menimba ilmu ke Jerman dalam rentang waktu 2007-2014. Hari sebelumnya, yaitu Kamis (26/6/2014) telah dilakukan pertemuan khusus untuk alumni dan visit RS Sardjito untuk melihat praktek hospital hygiene di Indonesia dan Jerman, ungkap Putu Eka Andayani, MPH, Ketua penyelenggara acara. Seminar resmi dibuka oleh Wadek I FK UGM, yaitu Prof. Adi Utarini yang menyampaikan harapannya, agar para peserta dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari acara ini. Prof. Adi juga memaparkan, tahun 2009 FK UGM sempat bekerjasama dengan Giz dalam pelatihan manajemen RS di NTB dan diikuti proyek peningkatan kualitas. Program pelatihan tersebut berjalan selama tiga tahun.
Prof. Herkutanto, S.P f, SH, LLM (Komite Keselamatan Pasien Nasional) menyampaikan Kondisi Patient Safety di Indonesia. Negara Indonesia merupakan kepulauan yang memiliki populasi tinggi, daerah yang tersebar dan perbedaan budaya. Hal ini diikuti dengan kurangnya kesadaran masyarakat atas keselamatan pasien dan terbatasnya infrastruktur kesehatan. Di bidang keselamatan pasien, regulasi nasional Indonesia belum sempurna, seharusnya peraturan ini melibatkan banyak sektor dan terintegrasi.
Strategi untuk keselamatan pasien nasional diantaranya ada tiga level, makro, meso dan mikro. Makro melibatkan negara untuk menerbitkan regulasi yang mendukung, meso merangkul institusi (RS) untuk melakukan capacity building, sementara mikro (nakes) dilakukan dengan langkah capacity building untuk professional. Selain itu, hal yang belum dimiliki Indonesia ialah kurikulum dan integrasi di strategi nasional untuk keselamatan pasien.
Prof. dr. Dr. med. Axel Krammer, President of the German Association for Hospital Hygiene menyampaikan pengalaman Jerman dalam control infeksi ini. Infeksi bakteri mengancam dunia dan Jerman khususnya. Kemudian, Prof. Krammer menampilkan video menarik tentang kontrol infeksi di RS Negara Jerman. Pertama, penggunaan disinfektan untuk tangan (nakes), caranya dengan membersihkan seluruh permukaan dan telapak tangan sebelum dan sesudah kegiatan. Langkah ini dilakukan sebelum dan setelah memeriksa pasien, saat akan melakukan aktiivitas antiseptik, saat akan memasuki area resiko tinggi dan setelah terkontaminasi zat atau dari ruangan tertentu.
Bakteri yang sering ‘berkeliaran’ di udara ialah MRSA/MRSE, E. coli, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia, Enterobacter, dan Enterococcus. Sumber infeksi ialah pasien, sumber transmisi yaitu staf RS. Namun, tangan ialah yang paling berperan dalam penyebaran bakteri pathogen ini. Sebelum operasi, tangan dokter harus dicuci dengan air, sabun dan sikat. Lalu nakes yang terlibat berganti baju khusus operasi agar bakteri pathogen tidak berpindah dari ruang lain ke ruang operasi. Baju operasi antara lain, kemeja, celana panjang, penutup kepala, masker wajah, mantel sepatu. Penggunaan disinfektan untuk operasi ialah di seluruh area tangan hingga lengan, lalu gunakan disinfektan di seluruh telapak tangan. Lalu area operasi dari tubuh pasien ditutupi obat merah. Dokter menggunakan jas operasi dan sarung tangan.
Peraturan untuk melindungi pasien dari bakteri saat operasi ialah, pertama, selalu menutup pintu operasi. Kedua, membatasi jumlah staf yang bekerja di ruang operasi. Ketiga, hindari aktivitas tidak steril yang dilakukan nakes. Keempat, produk medis yang dibutuhkan sudah disiapkan. Kelima, jaga jarak aman antara ruang operasi dan ruangan lain. Multibarrier concept tepat untuk mengurangi penyebaran bakteria/infeksi ini. Ceklist pencegahan penyebaran bakteria. Staf Kontrol Infeksi, 1:400 pasien untuk dokter dan 1:150 pasien untuk nakes lainnya. Ada pula teknisi untuk melakukan pengolahan limbah air, alat kesehatan dan lainnya.
Persyaratan training tenaga control infeksi di Jerman. Special of hygiene and environmental medicine: pengalaman 5 tahun di spesialisasi dan subspesilaisasi control infeksi. Dokter control infeksi: dokter spesialisasi tertentu dan pengalaman 2 tahun dengan subspesialisasi melalui kursus 5 minggu. Lalu diikuti beberapa tingkatan lainnya, antara lain: IC link physician, IC nurse, IC link nurse, bachelor/master of hospital hygiene.Strategi kontrol infeksi, proaktif: langkah preventif dan reaktif: analisis proses epidemologi dengan surveillance dan outbreak management. Higienitas (kebersihan) bukan apa-apa, namun tanpa higienitas semuanya bukan apa-apa.
Diskusi
Fachriyah menanyakan dua hal, pertama, UU tahun 2002 tentang resistensi antibiotik belum direvisi, bagaimana sebaiknya?. Kedua, untuk Prof. Krammer: apakah ada residual dan microbial materi dari RS, apakah di Jerman ada regulasi yang mengatur hal ini?
Nurul, manajemen RS UGM: Dokter di Indonesia menggunakan jasnya kemanapun mereka pergi, bagaimana dengan ini? Yusi, RSUD Purbalingga, bagaimana praktisi mengubah perilaku pasien di Jerman untuk peduli terhadap control infeksi ini?
Prof. Herkutanto memaparkan, sedang disusun UU yang mengatur resistensi antibiotik. Prof. Krammer menerangkan seputar strategi antibiotik, di tiap RS, ada panduan anitbiotik guideline, mikrobiologi, terhadap tim control infeksi namun hal ini dilakukan dengan melihat kondisi RS itu senidiri. Jas dokter juga menjadi masalah di Jerman, mereka memakai jas dokter kemanapun pergi (keluar masuk RS) sehingga guidance-nya tidak diikuti. Jika jas digunakan untuk status social, lupakan saja, mari kita mulai memikirkan tentang kesehatan dan keselamatan pasien. “Lalu, saya ingin menanyakan pada Prof. Herkutanto, spesialis control infeksi dilatih berapa lama di Indonesia?”, ungkap Prof. Krammer. Kemudian, Prof. Herkutanto meminta pendapat pada para peserta karena kurang mengetahui persis proses pelatihannya.
Kemudian, dr. Andaru dari Komite Kontrol Infeksi RS Sardjito memaparkan jika ada sekitar 4 minggu untuk melatih tenaga control infeksi dengan materi khusus. Serta Kemkes menyediakan pelatihan dua minggu untuk tim regular yang bertugas di RS. Prof. Herkutanto menegaskan bahwa sampai sekarang belum ada program khusus, ke depan akan kami susun untuk tema ini karena penting.
Digta Ginting (RS Wahidin S, Makassar) menanyakan kebijakan untuk penggunaan alat medis yang single use dan reuse alat medis di RS. Lalu menurut Komite Nasional untuk Keselamatan Pasien, mana yang higienitasnya paling baik? RS pemerintah, swasta atau yang lainnya?
Raka Semaya (Pelayanan Kesehatan Dinkes Bali) menanyakan menurut paparan Prof. Herkutanto, patient safety dilakukan dari atas-bawah jika tanpa koneksi, itu impossible. Strategi partner yang dipilih: makro, mikro, meso, untuk tiap strategi, mengapa tidak ada training resmi dari Kemkes/training per provinsi? Sehingga kita mampu lebih baik menjaga patient safety.
Prof. Herkutanto menjawab beberapa, yaitu kebijakan single use dan reuse alat medis, perlu dikaji ulang untuk menetapkan standar jika multi use bisa digunakan secara aman. Namun, ini kebijakan yang sulit, di sistem kita alat medis dikenakna pajak tinggi dari Kemenkeu. Kemudian, untuk RS vertical, karena dibiayai Kemenkes, maka Kemenkes berkomitmen untuk memberikan mutu dan standar tinggi. Lalu untuk RS swasta ada mekanisme control tertentu untuk standarisasi. Hal ini tidak mudah untuk mengubah budaya RS, 220 budaya yang berbeda, jadi masih dicari yang tepat. Jawaban kuncinya ialah kepemimpinan yang kuat untuk menjaga kualitas patient safety. Kemudian untuk network strategi makro-mikro-meso tadi, Komite Keselamatan Pasien akan mengusulkan patient safety masuk dalam kurikulum pendidikan dokter. Prof. Krammer menimpali, untuk training control infeksi tidak cukup jika hanya 1 minggu mati.
Heri (RS Doris Silvanus, Palangkaraya), menyampaikan pendapatnya yaitu quality health service kita mahal, kita mempunyai skema JKN, namun biayanya tidak ada untuk hospital hygiene. Jadi, seharusnya biaya untuk quality ini masuk. Arif Rahmat (RS Kariadi. Semarang), menanyakan ada beberapa komponen patient safety berapa banyak parameter untuk patient identification? Kemudian, untuk Prof. Herkutanto, hal yang harus kita harus menegaskankomunikasi efektif di RS. JKN kita ada limit budget, di sisi lain ada quality services dalam standar kita, apa saran terbaik untuk masalah ini?
Arashinta Putri Hapsari (Unair, Surabaya), untuk anti micro biomedical test: untuk tesnya hanya satu hari, namun butuh 3-7 untuk melihat hasil tesnya. Bagaimana cara mempercepat ini? Namun, test ini mahal untuk pasien, mana antibiotic yang bisa kita gunakan?
Prof. Herkutanto menjawab, jika harus memilih, akses untuk layanan atau kualitasnya? Jawabannya, seharusnya kualitas layanan diutamakan juga. Prof. Krammer:ini untuk hasil tes , perlu diketahui normal kondisi di RS, ada kekhawatiran terlambat untuk daignosisnya. Usahakan dalam 1 hari diagnosis bisa terbaca, untuk keselamatan pasien. Selain itu, harus ada kalkulasi budget untuk quality health service ini.
SUKOHARJO–Pembangunan rumah sakit (RS) Internasional Indriyati yang memiliki 25 lantai di wilayah Desa Langenharjo, Grogol mendapat penolakan dari warga RT 1 dan 2 RW X Perumahan Solo Baru. Penolakan itu didasarkan pada kekhawatirkan limbah RS yang bisa mengancam kelangsungan hidup warga yang berada di sekitarnya.
Sekadar mengingatkan, saat ini RS itu masih dalam proses pembangunan. Pihak pemilik sudah mulai mengajukan perizinan yang diperlukan oleh pendirian sebuah RS.
Juru bicara warga, Muhammad Budiyanto mengungkapkan hingga saat ini warga belum memberikan izin kepada pemilik RS. Keputusan tersebut diperkuat usai warga melakukan koordinasi dengan Bada Lingkungan Hidup (BLH) yang memiliki kewenangan dalam memberikan izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).