JAKARTA (Suara Karya): Satu bulan pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih diwarnai keluhan masyarakat, terutama soal obat-obatan.
Keluhan itu mulai dari ketidaktersediaan obat sehingga pasien harus membeli obat di luar, jatah obat yang dipangkas dari biasanya untuk satu bulan menjadi 3-5 hari, hingga biaya obat yang dibebankan kepada pasien.
“Keluhan banyak datang dari pasien yang rutin minum obat seperti hipertensi, diabetes atau kanker. Biasanya jatah obat untuk satu bulan, saat ini dikasih untuk 3-5 hari saja. Semoga surat edaran Menkes yang baru ini bisa menjadi solusi,” kata Direktur Hukum Komunikasi dan Hubungan Antarlembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Purnawarman Basundoro, di Jakarta, Jumat (7/2).
Beberapa hari lalu, Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 32/2014 yang mewajibkan seluruh fasilitas kesehatan lanjutan, yaitu rumah sakit, agar dalam masa transisi ini tidak membebankan pembelian obat kepada pasien. “Nanti kami klarifikasi apakah tindakan mereka menyalahi aturan atau tidak. Jika benar, rumah sakit akan diberi teguran keras,” ujarnya.
Purnawarman menjelaskan, pasien JKN tidak seharusnya mengeluarkan uang untuk menebus obat. Karena, harga yang tercantum dalam paket perhitungan biaya penyakit Indonesia Case Based Groups (INA-CBG’s) sudah termasuk jasa pelayanan medis dan obat untuk pasien. Hal ini berlaku juga untuk pasien dengan penyakit yang obatnya tidak ada dalam formularium nasional (fornas).
“Kalaupun ada obat yang tak masuk dalam fornas, pihak rumah sakit harus menyiasati bagaimana obat yang dibutuhkan itu tetap bisa diberikan kepada pasien, bukan malah disuruh beli sendiri. Pasien tidak seharusnya mengeluarkan biaya untuk pengobatan karena hitungannya sudah dalam satu paket,” ucapnya menegaskan.
Ditambahkan, fornas adalah daftar obat yang disusun Kementerian Kesehatan (Kemkes) yang menjadi acuan pelayanan obat di RS. Jika obat yang dibutuhkan tidak ada dalam daftar fornas, dokter bisa minta persetujuan komite atau direktur rumah sakit yang bersangkutan.
Untuk menjamin ketersediaan obat yang tidak masuk dalam fornas, menurut Purnawarman, BPJS Kesehatan mempertimbangkan untuk menggunakan kembali pola daftar plafon harga obat (DPHO) yang dulu pernah digunakan oleh PT Askes. Namun, ada pihak yang mengusulkan agar pasien bisa membeli obat sendiri, lalu di-reimburse (diganti) oleh BPJS Kesehatan.
“Usulan reimburse tidak bisa dilakukan karena BPJS Kesehatan menggunakan model INA-CBG’s. Kami tak mengenal sistem mengembalian uang atau reimburse,” katanya.
Soal pasien kronis yang membutuhkan obat secara rutin, Purnawarman mengatakan, SE Menkes itu juga mewajibkan rumah sakit memberikan resep obat penyakit kronis sampai pasien kontrol satu bulan berikutnya hingga kondisinya stabil. Resep itu diambil pada depo farmasi atau apotek yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
“Obat diberikan penuh hingga kondisinya dinyatakan stabil oleh dokter spesialis atau subspesialis yang merawatnya. Pasien harus ikut program rujuk balik di fasilitas kesehatan tingkat pertama, yaitu puskesmas atau klinik pratama atau dokter praktik umum,” ujarnya.
Ditambahkan, untuk pemberian obat kemoterapi, talasemia, dan hemofilia, bisa diberikan di faskes tingkat I dan tingkat II dengan mempertimbangkan kemampuan fasilitas kesehatan dan kompetensi tenaga.
Soal kepesertaan, Purnawarman mengatakan ada penambahan peserta mandiri 474.117 orang sejak program JKN diluncurkan pada 1 Januari 2014. Sedangkan peserta JKN peralihan sebanyak 116.603.174 orang.
“Untuk mencegah terjadinya penumpukan pendaftaran di kantor cabang, BPJS Kesehatan menyediakan layanan secara online melalui web site www.bpjs-kesehatan.go.id. Setelah mendaftar, peserta akan mendapat virtual account, lalu datang ke kantor BPJS Kesehatan untuk mengambil kartu peserta,” ujarnya.
Upaya lainnya adalah BPJS Kesehatan membuat prosedur pendaftaran cepat (PPC) di beberapa kantor cabang BPJS Kesehatan dengan jumlah pendaftar lebih dari 200 per hari menggunakan aplikasi pendaftaran di bank. Informasi utama yang akan di-input adalah NIK yang sesuai dengan KTP atau kartu keluarga dan juga informasi kelas perawatan. “Proses pengisian aplikasi ini lebih singkat. Jadi, bisa mengurangi antrean,” kata Purnawarman menegaskan. (Tri Wahyuni)
Sumber: suarakarya-online.com