Jakarta, PKMK. Demonstrasi pekerja menyambut Hari Buruh di ibukota, diwarnai dengan sejumlah tuntutan terkait jaminan kesehatan. Hal tersebut terlihat dari spanduk ataupun kostum yang ada di lokasi demonstrasi di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin (1/5/2013). Sejumlah pekerja demonstran mengenakan kaus merah bertuliskan “Tolak Upah Murah, Laksanakan BPJS”. Kemudian, di beberapa bus, terpasang spanduk dengan tulisan : “Berlakukan BPJS Kesehatan untuk Seluruh Warga Mulai 1 Januari 2014. Bukan Bertahap”. Selanjutnya, sejumlah pekerja pun mengenakan kaus bertuliskan: “Jamsostum, Jaminan Sosial Tolak Upah Murah”. Beberapa ambulans tampak siaga di sepanjang Jalan Sudirman ataupun Jalan Thamrin. Ambulans milik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berjumlah kira-kira lima unit. Sedangkan ambulans milik Palang Merah Indonesia berjumlah lima pula. Seorang petugas ambulans PDIP mengatakan, pihaknya belum menemui pekerja demonstran yang sakit serius. “Baru merawat satu demonstran yang sakit biasa. Pusing-pusing,” ujar dia. Sementara, sampai sore ini, aliran demonstran masih mengalir ke arah Monumen Nasional. Situasi terlihat tertib; petugas keamanan dari Kepolisian RI siaga di sepanjang jalan.
WNI Jadi Korban Malapraktik Rumah Sakit di Malaysia Usai Operasi Caesar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Seorang warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja Malaysia bernama Rupanlangi Sari Dewi Kalawa diduga menjadi korban malapraktik rumah sakit di Malaysia.
Sari Dewi yang merupakan karyawan di Mandiri Remittance Malaysia ini masih terbaring di rumahnya di Depok Jawa Barat.
“Kami menduga korban mengalami malapraktik di rumah sakit Malaysia,” ujar Kuasa Hukum Korban, Andreas Sapta Finady, di Jakarta, Senin (29/4/2013).
Sari Dewi kini hanya bisa tergolek di tempat tidur. Perlakuan rumah sakit membuatnya buta, lumpuh, dan tidak bisa berbicara serta tidak bisa bergerak sama sekali setelah sekian lamanya mendapat perawatan.
“Beliau WNI dan bersuamikan warga negara Malaysia,” kata pengacara dari Art and Associated ini.
Nasib naas dialami korban bermula ketika melahirkan anak pertamanya namun oleh pihak rumah sakit diminta melakukan operasi cesar.
Tak dinanya dalam perkembangannya pihak rumah sakit melakukan berbagai operasi pembedahan otak, tengkorak depan kiri atas dibuka.
Ini membuatnya buta, lumpuh, dan tidak bisa berbicara sampai hari ini.
“Kejadiannya dua tahun lalu dan sampai sekarang belum mendapatkan respon dari semua pihak terutama pemerintah. Kami terus mendorong pemerintah untuk memberi perhatian penuh atas masalah ini,” katanya
Kini perempuan cantik yang tak berdaya itu mengundang sejumlah relawan dari dalam negeri untuk memperjuangkan hak-haknya. Para relawan datang dari berbagai kalangan seperti advokat, pemerhati masalah perempuan, dan berbagai unsur lapisan masyarakat lainnya.
“KBRI di Malaysia sudah tahu dan sebenarnya kasus ini kami tindaklanjuti. Ini persoalan kemanusiaan kita dorong pemerintah memberi bantuan. Baik upaya mediasi maupun upaya advokasi.
Kita kedepankan mediasi daripada yuridis formil. Kita sudah surati Kementerian Luar Negeri dan belum menerima respon,” kata dia.
Diduga karena kesalahan prosedur penanganan di rumah sakit itu menyebabkan korban masih terus menderita sakit sampai sekarang dan dapat menyebabkan kematian.
Korban juga sampai hari ini masih terpisah dari anaknya yang dilahirkannya dan berharap suatu ketika bisa bertemu darah dagingnya itu.
“Kami meminta pihak terkait rumah sakit di Malaysia mempertanggungjawabkan masalah ini sampai korban dinyatakan pulih seperti sedia kala,” ujarnya.
Sementara itu Pemerhati Masalah Perempuan, Esther RM Mandalawati, mengatakan masalah ini harus menjadi keprihatinan semua elemen bangsa saat seorang perempuan mendapat perlakuan tidak adil di negeri seberang.
“Ini akan menjadi masalah nasional dan patut untuk diselidiki. Saya minta publik sampaikan ini karena masalah ini tidak main-main,”kata dia.
Pemerintah Indonesia, menurut dia, harus memerhatikan masalah ini serta penjelasan dari pihak rumah sakit di Malaysia harus mengklarifikasi kepada lawyer korban.
“Agar tidak terjadi lagi kasus seperti ini dikemudian hari,” ujar tokoh perempuan asal Indonesia Timur ini.
Dia berterima kasih atas perhatian beberapa relawan yang memerhatikan masalah ini sebab jika hal seperti ini dibiarkan terus-menerus akan menjadi pembiaran terhadap hak-hak kaum perempuan.
“Persoalan ini tidak boleh luput dari seluruh warga. Perlakuan warga negara lain terhadap warga kita,” kata dia.
Sumber: tribunnews.com
Dana Rujukan Rp 1 Miliar Tapi RS Jiwa Belum Berfungsi
TRIBUNNEWS.COM, KUPANG – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) asal daerah pemilihan NTT, Anita Jacoba Gah, meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Naimata. Pasalnya, sudah dialokasikan dana rujukan pasien sekitar Rp 1 miliar, tetapi rumah sakit itu belum berfungsi.
Ditemui Pos Kupang (Tribunnews.com Network) usai bertemu Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, dr. Stef Bria Seran, di Kantor Dinas Kesehatan NTT, Sabtu (27/4/2013), Anita mengungkapkan, dana rujukan bagi pasien RSJ Naimata itu bersumber dari APBN tahun 2012.
Anita mengatakan, penjelasan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, dr. Stef Bria Seran, bahwa RSJ Naimata belum berfungsi.
“Tapi kok sudah ada alokasi anggaran dari APBN tahun 2012 untuk dana rujukan pasien sakit jiwa. Ini aneh,” kritik Anita.
Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT, dr. Stef Bria Seran mengatakan, RSJ Naimata belum berfungsi/dimanfaatkan karena pembangunannya belum selesai.
“Sekarang ini dalam proses pembangunan. Kalau sudah selesai dibangun baru bisa digunakan. Untuk rumah sakit jiwa dibutuhkan biaya sekitar Rp 70 miliar, tetapi yang dialokasikan baru Rp 3 miliar,” ungkap Stef.
Stef mengatakan, setiap tahun Dinas Kesehatan NTT mengusulkan dana untuk biaya pembangunan RSJ Naimata itu, tetapi ditolak oleh pemerintah pusat karena anggaran tidak ada.
“Bangunan yang ada sekarang ini sudah dibangun sejak tahun 2007. Sekarang ada dua bangunan yang berdiri di sana,” ujarnya.
Anita juga meminta BPK mengaudit Rumah Sakit (RS) Naibonat, RS Sabu Raijua, dan Rumah Sakit Umum (RSU) Prof. Dr. WZ Johannes Kupang.
“Melalui Komisi IX yang membidangi kesehatan, saya akan minta BPK audit sejumlah rumah sakit tersebut,” katanya.
Ia mengatakan, sekarang ini masa reses anggota DPR RI. “Saya kembali ke Jakarta pada 15 Mei 2013. Sampai di sana, melalui komisi IX saya minta BPK audit rumah sakit empat rumah sakit itu,” ujar Anita.
Sumber: tribunnews.com
Hospital beds in Shipston cut as care is given at home
South Warwickshire NHS Foundation Trust said there were many benefits for patients receiving care at home, including building patient confidence in their own environment, reducing the risk of falls and losing muscle strength, less risk of catching infections, enabl-ing tailored care plans, as well as easing the transition from hospital back home.
The model was introduced last year in the Nicol Unit, in Stratford Hospital.
Although the trust reduced the number of beds, more patients have been treated through better use of beds, and enhanced and expanded services in the community.
Team members include rehabilitation assistants, nurses, occupational therapists and physiotherapists.
The team responds seven days a week from 8.30am until 10pm. At any one time, the team may be supporting 30 patients to stay at home by working with them daily.
They also offer rehabilitation to regain confidence and strength with daily living tasks that are necessary to remain living at home, for example, mobilising indoors, managing their stairs, maintaining personal care or preparing meals and drinks.
The team aims to reduce rising emergency admissions for people aged over 65 and reduce their hospital length of stay.
They also aim to integrate services across acute, community, GPs, social services and other organisations, for example Age UK.
The processes will ensure that only people who require hospital care will be in the hospital setting.
The day unit at Ellen Badger is also changing in line with the medical model and has been renamed to an Assessment and Rehabilitation Centre, refocusing care for patients and reflecting a new approach to rehabilitation.
“This will allow us, the local GPs and nurses, to treat more patients closer to home and the closer links with community services this will enable a quicker supported discharge home for inpatients.”
Source: stratford-herald.com
Hospitalized patients too often have no single physician in charge of their care
Retired Alexandria internist Marsha Wallace had heard plenty of horror stories about hospital patients falling through the cracks. Still, she was troubled last fall during her own stay at a local hospital when she overheard doctors delivering entirely conflicting messages to the elderly cancer patient who was her roommate.
“First the surgeon came in and told her he hadn’t found anything,” Wallace recalled. “Then the gastroenterologist came in and said, ‘I just did a CT scan; you have an obstructed kidney.’ Then the internist came in and said, ‘We don’t know what’s wrong, so we may send you to [Johns] Hopkins.’ Then the social worker came in and said, ‘We’re going to discharge you to a rehab hospital.’ ”
The caregivers didn’t appear to be talking to one another, Wallace said.
Coordinated care, touted as the key to better, more cost-effective care, is being encouraged through financial rewards and penalties under the 2010 health-care overhaul, as well as by private insurers. But experts say communication failures remain disturbingly common.
“Nobody is responsible for coordinating care,” said Lucian Leape, a Harvard health-policy analyst and a nationally recognized patient safety leader. “That’s the dirty little secret about health care.”
Advocates for hospital patients and their families say confusion about who is managing a patient’s care and the failure of caregivers to collaborate are endemic, contributing to an estimated 44,000 to 98,000 deaths from medical errors each year. A landmark report by the Institute of Medicine in 1999 cited the fragmented health-care system and patients’ reliance on multiple providers as a leading cause of medical mistakes. Leape, who helped author that report, says there have been improvements since, but “we have not done enough.”
Subsequent studies suggest the toll may be even higher than the Institute of Medicine estimated. A 2010 federal report projected that 15,000 Medicare patients every month suffered such serious harm in the hospital that it contributed to their deaths.
Betsy Gabay, 50, of Queens, barely survived her hospital stay last year for a flare-up of ulcerative colitis.
During her 26 days at New York Hospital Queens, she was seen by at least 14 different doctors, she said, and “I couldn’t tell one name from the next. I didn’t know whether it was the gastroenterologist or the nutritionist or the physical therapist.” All the time, she was rapidly deteriorating, suffering from acute abdominal pain and bloody diarrhea, and too weak to get out of bed. The medical staff decided to send her to a rehab hospital.
“I thought I was being sent there to die,” Gabay said.
That’s when her then 74-year-old mother took action. She contacted a physician friend who got Gabay admitted to Mount Sinai Medical Center in Manhattan. By then, Gabay had a blood clot in her lung and a serious bacterial infection. She also needed to have her diseased colon removed. After surgery and treatment at Mount Sinai and several months of recuperation at home, she has made a complete recovery.
Source: washingtonpost.com
BPJS Harus Menjamin Pasien Penyakit Berat
Jakarta, PKMK. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) harus menjamin biaya pengobatan pasien penyakit berat. Penyakit yang dimaksud antara lain bedah jantung, hemodialisis, lupus, dan lain-lain. Sebab, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 menyebutkan tentang penjaminan tersebut. Hal ini disampaikan Rof. Hasbullah Thabrany, pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia di Jakarta (30/4/2013).
Thabrany menambahkan, dalam UU SJSN jelas disebutkan bahwa pengobatan penyakit jantung dan hemodialisis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Adapun penyakit lupus tidak disebutkan, namun harus dijamin. Transplantasi organ tubuh pun dijamin jika tersedia donor organ. “Jadi, semua penyakit harus dijamin,” kata Hasbullah. Definisinya, semua penyakit atas dasar indikasi medis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Sejauh dokter mengatakan bahwa pasien akan meninggal kalau tidak diobati, BPJS Kesehatan harus menjamin pengobatannya, ungkap Hasbullah.
Lebih jauh ia berkata, tidak ada masalah bila 1,5 juta penderita lupus dijamin. Biaya besar bukan persoalan karena nantinya ada sekitar 230 juta jiwa yang akan membayar biaya kesehatan secara nasional. Melalui data tersebut, dapat ditafsirkan jumlah 1,5 juta penderita lupus tidak sampai 1 persen dari 230 juta jiwa. “Jika pengobatan penderita lupus ditanggung bersama, maka akan terasa ringan. Lain halnya bila mereka menanggung orang per orang,” jelas dia. Misalnya sampai kini penderita lupus belum mendapat kepastian, itu lebih karena masalah teknis. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 jelas menyebutkan bahwa semua penyakit atas indikasi medis dijamin pengobatannya, kata Hasbullah. Maka, sebagai penyelenggara BPJS Kesehatan, nantinya PT Askes harus menjamin pengobatan penderita lupus. “Tidak perlu ada kekhawatiran bahwa utilisasi sistem jaminan sosial nasional yang terlalu tinggi akan menjebol anggaran negara. Di dunia tidak ada bukti nyata atas hal tersebut. Sistem itu malah melahirkan efisiensi terhadap biaya belanja kesehatan nasional,” kata Hasbullah.
Komunikasi Searah Rugikan Dokter dan Pasien
Jakarta, PKMK. Model komunikasi searah di dunia pelayanan kesehatan Indonesia cenderung merugikan dokter ataupun pasien. Sebab, dokter tidak mendapatkan informasi penuh tentang tindakan yang harus dilakukan. Sedangkan pasien tidak memperoleh respons seperti yang diinginkan. “Hubungan satu arah tersebut harus diubah nenjadi hubungan relasional. Suatu hubungan yang lebih bersifat humanistik, ungkap Dr. Lely Arrianie, M Si., ketua Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Jayabaya, Jakarta (29/4/2013).
Ia mengatakan, di negara maju, hubungan dokter dengan pasien bukan sekadar transaksional, namun sudah lebih bersifat relasional. Komunikasi dokter dengan pasien pun menggunakan berbagai perangkat seperti smart phone. “Dokter dan pasien sering saling kirim BlackBerry Messenger. Kalau di Indonesia, hal itu dilakukan kalau kebetulan pasien merupakan teman dokter. Ataupun si pasien punya jabatan,” kata Lely yang juga staf ahli Ketua MPR RI Dr. Taufiq Kiemas. Pasien di Indonesia cenderung dalam posisi pasif. Pasien ditempatkan sebagai komunikan, bukan komunikator. Komunikan dalam hal ini disebut sebagai penerima pesan saja. Maka, perlu ada proses komunikasi yang memuat proses penyampaian pesan antara pasien dengan dokter secara timbal balik.
Dokter di Indonesia sering berargumen, tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi intensif dengan pasien. Hal tersebut kurang tepat sebab dokter sudah seharusnya berperan melayani pasien. Hal tersebut adalah konsekuensi dari pilihan profesi dan hidup sebagai dokter, kata Lely. Proses transisi pada hubungan relasional tersebut merupakan tanggung jawab berbagai pihak, termasuk pemerintah Indonesia. Dalam hal ini, perubahan bisa dimulai dari dokter sebagai pemegang lapisan atas pelayanan kesehatan. Para perawat dan tenaga lain nantinya akan meniru hubungan relasional yang dijalankan dokter. “Sekarang, di rumah sakit, yang dilakukan kok terbalik yang diberi pelatihan komunikasi adalah tenaga medis di bawah,” Lely berkata.
[hide] Value Chain Windows 8
Program Pengembangan Bagi Para Anggota
Yang Berlangganan, Berdasarkan Prinsip Rantai Nilai.
—Prinsip Rantai nilai adalah berbagai kegiatan yang saling terkait dan memberikan nilai ke pengguna. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dibagi dalam aktivitas pelayanan dan aktifitas pendukung. Silahkan Klik untuk mendapatkan berbagai materi pengembangan sesuai dengan fungsi Anda di rumah sakit.
| —Selain itu, Anda juga bisa mendapatkan berbagai referensi mengenai value chain. | Silahkan Klik |
![]() |
||||
![]() |
![]() |
|||
![]() |
![]() |
![]() |
||
![]() |
![]() |
![]() |
||
![]() |
![]() |
![]() |
||
Kelompok Kerja

—-Website manajemenrumahsakit.net mempunyai 11 kelompok kerja yang kami tawarkan kepada para pengunjung website. Anda tidak perlu jauh-jauh mendatangi tempat pelatihan ataupun mengundang konsultan untuk menyelesaikan masalah yang ada di rumah sakit anda.
—-Anda hanya perlu bergabung bersama kami dengan menjadi member
dan dapatkan segala kemudahan pelatihan jarak jauh dan konsultasi langsung kepada Tim Kelompok Kerja yang ada di dalam 11 kelompok kerja kami.
Bagi member, silahkan
di bawah untuk mengakses 11 kelompok kerja secara gratis.
![]() |
![]() |
||
![]() |
![]() |
![]() |
|
![]() |
![]() |
![]() |
|
![]() |
![]() |
![]() |
|
–
–
Contact Person:
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi:
Tri Yuni Rahmanto, SE, S.Kep, Ners.
Email : [email protected]
Phone : +62 812 276 433 2
Otonomi Rumah Sakit
Sejarah Otonomi RS di Spanyol

Sistem Kesehatan Spanyol (SNS) telah mengatur pelaksanaan universal coverage sehingga seluruh masyarakat Spanyol dapat menggunakan pelayanan kesehatan public, yang sebagian besar dananya berasal dari pajak di level nasional. Sejak awal 1990-an pemerintah Spanyol telah mengeksplor tatakelola RS baru, yang merupakan hasil dari proses politik tingkat tinggi pasca politik Franco dan membuka jalan bagi pendakatan tatakelola yang inovatif.
Setelah kematian Franco, tahun 1978 Konstitusi Spanyol menghasilkan prinsip-prinsi yang mengubah system. Sebelumnya sistem tersebut terfragmentasi, birokratis, tersentralisasi dan dengan sumber daya yang langka dan didanai dari kontribusi asuransi social. Kini diganti dengan sumber pendanaan yang berasal dari pajak, dan mampu meng-cover seluruh penduduk secara nyaris komprehensif, terutama pada pelayanan. Spanyol memiliki 17 region dan sejak perobahan politik menjadi demoktratis, tiap region (yang disebut AC atau comunidades autónomas) memiliki otoritas untuk menjalankan system kesehatan regionalnya masing-masing. Namun ternyata AC meng-copy model nasional yang ada sebelumnya, sehingga birokrasi dan politisasi struktur administratif di level AC pun tak terhindarkan.
—-Ada perubahan sistemik yang juga terjadi di Spanyol yang melibatkan ide-ide dan praktek dari paradigm NPM, dimana paradigm ini sempat mendunia pada sekitar tahun 1980an. Manajemen public menarik perhatian para pengambil keputusan di tingkat nasional, para pegawai pemerintah dan sekelompok manajer yang kemudian ingin memodernisasi manajemen di RS dan pusat-pusat kesehatan masyarakat. Kemudian menjadi jelas bahwa modernisasi gelombang pertama tidak memiliki visi strategis dan dukungan politis, dan inovasi mendatangkan dampak yang terbatas.
—-UU Pelayanan Kesehatan Umum Tahun 1986 berusaha mengintegrasikan berbagai struktur pelayanan kesehatan dan mengkoordinasikan level pelayanan. Peluang untuk membangun kemitraan dengan sector swasta juga dipertimbangkan. Namun UU tersebut tidak mengakomodir model manajemen alternative untuk SNS dan masih mempertahankan banyak fitur lama, khususnya tetang posisi staf kesehatan yang pendapatannya tidak akan dipengaruhi oleh kinerja.
—-Beberapa instrument NPM yang relevan dimasukkan dalam system, misalnya target kesehatan sudah diterapkan di level regional bahkan sebelum UU 1986 tersebut dan meskipun di level nasional sendiri tidak ada targetnya.
—-Pada tahun 1991, hanya lima tahun setelah apa yang dianggap sebagai backbone dari UU Kesehatan di era demokratis, DPR mensponsori sebuah Komisi Analisis dan Evaluasi SNS. Komisi ini kemudian berhasil mengidentifikasi adanya masalah administrative yang rigid, sentarlisasi yang eksesif dan apatisnya staf dan menyusun 64 poin rekomendasi untuk memodernisasi SNS dengan memisahkan provider dan pembayar serta mengadopsi instrument manajemen baru untuk para provider dan pembayar tersebut. Namun ternyata usulan ini menghadapi banyak penolakan dari serikat dan kelompok-kelompok pelayanan kesehatan lainnya. Selain itu ada Consortia di beberapa bagian di Spanyol (khususnya Catalonia) yang berjalan secara agak berbeda dibandingkan dengan pusat pelayanan kesehatan publik pada umumnya.
—-Tahun 1991 diperkenalkan suatu Set Data Dasar Minimal untuk mengkodifikasi pembayaran di RS. Tahun 1994 INSALUD (gabungan AC dari regional Cataluña, País Vasco, Navarra, Galicia and Andalucía dan dibubarkan tahun 2002) mulai menerapkan “kontrak program” dengan RS sebagai sarana untuk memperkenalkan perencanaan aktivitas dan membuat hubungan yang jelas antara pendanaan dengan kinerja. Tahun 1997 sistem pembayaran RS yang retrospektif digantikan dengan anggaran prospektif berbasis DRG dan didukung oleh instrument akunting yang berbeda. Pertama kali DRG ini diterapkan di 18 RS dan setelah dievaluasi, pada tahun-tahun berikutnya program ini mendapat dukungan nasional dan otoritas kesehatan regional.
—-Kemudian muncul UU yang mengatur Consortia yang melengkapi UU sebelumnya dan membuka jalan bagi terjadinya merger sumber daya antara beberapa administrasi (satuan kerja) sehingga menjadi lebih efisien. Untuk pertamakalinya kebutuhan pengaturan pragmatis di area tatakelola RS mengemuka.
—-Pemerintah Andalucìa (yang dipimpin oleh Partai Sosialis) menerapkan tatakelola RS yang disebut Empresa Pública Sanitaria (Public Healthcare Company) tahun 1993 dan Empresa Pública Hospital Costa del Sol dibangun di Marbella (sebuah kota Turis). Tahun 1994 terjadi perkembangan penting lainnya dalam konteks mengatur “Model Yayasan”.
—-Tahun 1996, setelah 14 pemerintahan social dan Partido Popular (PP) untuk pertamakalinya duduk di level pusat, legislasi diperkenalkan secara eksplisit untuk mempromosikan model tatakelola baru RS. The Royal Law-Decree membolehkan penerapan berbagai model tatakelola di RS INSALUD, termasuk Consortia, Yayasan dan sebagainya. Perlu dicatat bahwa penggunaan instrument legal Real Decreto Ley pada prinsipnya hanya direkomendasikan pada legislasi jalur cepat di DPR, dengan pengecualian-pengecualian jalur birokrasi, dijustifikasi sebagai “berdasarkan pada kebutuhan untuk menetapkan model tatakelola sebelum RS percobaan dibangun”.
Dengan tujuan yang jelas “demi mekanisme yang lebih fleksibel dalam mengelola staf RS yang PNS” pemerintah saat itu mencoba memperkenalkan Parliamentary Agreement for the Reform and Modernization of the SNS, namun gagal. Hal ini kemudian memunculkan dibentuknya model Yayasan Pelayanan Kesehatan Publik melalui penyusunan UU dengan judul paling aneh yang pernah ada, yaitu “Undang-undang untuk Mengukur Fiskal, Administratif dan Sosial”, dilampirkan pada UU Budget Umum . Ini juga merupakan gerakan yang luar biasa; UU 30/1994 tentang Yayasan sudah cukup jelas dan bisa digunakan untuk mengubah status staf menjadi non PNS, pegawai kontrak biasa, namun – mungkin ada ketakutan akan adanya konflik dengan militer, sebuah model baru diperkenalkan, dimana model ini tetap mempertahankan status staf yang telah ada.
—-Tahun 1999, AC di Valensia memberi kewenangan pada sebuah perusahaan swasta untuk menjalankan RS pemerintah di Alzira. Tahun 2000 terbit peraturan pemerintah yang mengatur tentang bentuk-bentuk pengelolaan RS, termasuk diantaranya Yayasan Publik, Consortia dan Yayasan. Tahun 2004 pemerintah yang baru menyingkirkan semua usaha untuk menyeragamkan berbagai perbedaan yang ada. Bersamaan dengan itu, tahun 2007 UU Pengadaan Sektor Publik berusaha mengurangi otonomi yang dihasilkan pemerintahan sebelumnya. Tahun 2008 debat mengenai ini di Komisi Kesehatan DPR tidak menghasilkan kesimpulan yang jelas.
—-Akhir tahun 2010 ada diskusi mengenai peluang dikembangkannya Pakta Kesehatan untuk mencari dukungan dari parlemen. Tujuan kunci meliputi jenis-jenis pelayanan yang akan disediakan oleh SNS, tinggi rendahnya budget yang dibutuhkan untuk membuat sistem yang berkesinambungan, level mutu yang diharapkan, tatakelola RS dan model manajemen baru. Jadi tidak hanya isu teknis operasional melainkan bagian dari suatu agenda politik. Kesepakatan terkait Pakta ini diundur sampai dengan Juni 2013, saat pemilihan local, regional dan nasional berakhir.
Bentuk-bentuk Pengelolaan RS di Spanyol
—-Jika disimpulkan, ada lima jenis status hukum RS di Spanyol, yang dirangkum melalui tabel berikut.
| Jenis Entitas | Modalitas Pemberian Pelayanan | Modalitas Regulasi | Kerangka Hukum |
| Public Healthcare Company (entitas hukum publik) | Langsung (cakupan dan pemberian pelayanan sektor publik) | Merupakan entitas publik, namun penggunaan sumber daya dan anggaran menggunakan hukum swasta |
|
| Public Healthcare Foundation (yayasan milik Negara) | Langsung (cakupan dan pemberian pelayanan sektor publik) | Merupkaan entitas yang didirikan oleh public atau perorangan yang non-for-profit dengan asset sendiri yang dinisbahkan kepda kepentingan umum |
|
| Yayasan | Langsung (cakupan dan pemberian pelayanan sektor publik) | Merupakan entitas yang didirikan oleh publik atau perorangan yang non-for-profit dengan asset sendiri yang dinisbahkan kepda kepentingan umum |
|
| Konsorsium | Langsung (cakupan dan pemberian pelayanan sektor publik) | Merupkaan entitas yang didirikan oleh beberapa satuan kerja publik yang merupakan entitas privat namun not for profit |
|
| Konsesi Administratif | Campuran, tidak langsung (cakupan sektor publik dan pemberian pelayanan sektor swasta) | RS (layanan primer dan spesialistik) dibangun dan dijalankan dengan cara konsesi |
|
Sumber: Saltman, R.B., Durán, A., dan Dubois, H.F.W., (2011), Governing Public Hospital; Reform Strategies and
————-the Movement Towards Institutional Autonomy, WHO, UK.![]()



















