Padang, Singgalang, Rumah sakit swasta masih mengalami kendala dalam menerapkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang mulai berlaku awal 2014.
Demikian disampaikan Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta (ARSSI) Pusat, Mus Aida, pada pelantikan pengurus ARSSI Sumbar di Balairung POGI Cabang Padang, Sabtu (14/3).
Mus Aida, menyebut kendala rumah sakit dalam menyelenggarakan BPJS Kesehatan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya sarana prasana, banyak RS swasta yang belum terakreditasi serta SDM yang masih minim.
INILAH.COM, Bandung – Ketua Komisi E DPRD Jabar Didin Supriadin mengaku belum mengetahui adanya mafia kamar di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Namun jika hal tersebut benar terjadi akan sangat meresahkan masyarakat.
“Kita akan koordinasi terlebih dahulu apakah peristiwa tersebut benar atau tidak,” kata Didin saat dihubungi INILAH melalui telepon selulernya, Senin (17/3/2014).
Menurut dia, Rumah Sakit terbesar di Jawa Barat itu mempunyai manajemen serta aturan sendiri. Pihak RSHS harus melakukan penyelidikan mengenai kebenaran tersebut.
“Jika baik ada orang dalam atau orang BPJS nya sendiri harus ditindak tegas. Jangan sampai ini dibiarkan. Jika terus dibiarkan maka akan meresahkan masyarakat,” kata dia. [ito]
DIREKTUR Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Rudi Kurniadi Kadarsyah mengatakan, RSHS terus berbenah dan memperbaiki diri. Perbaikan meliputi sisi fasilitas, kemampuan SDM, hingga kualitas pelayanan.
Salah satu fasilitas yang tengah digenjot RSHS adalah penambahan bed. Hingga akhir 2013, RSHS memiliki 996 tempat tidur, terdiri atas VIP 72 unit, Kelas I 98 unit, Kelas II 129 unit, Kelas III 587 unit, Internal (GICU, ICCU, PICU, NICU) 35 unit, High Care Unit 42 unit, Khusus 29 unit, dan Isolasi 4 unit. Jumlah itu tentunya tidak berbanding dengan kunjungan rawat jalan yang rata-rata mencapai 1.935/hari, kunjungan gawat darurat rata-rata 121 pasien/hari.
Untuk meningkatkan kapasitas segaligus pelayanan, di 2014 ini, RSHS akan menambah tempat tidur menjadi 1.256.
Yogyakarta, Salam Sehat Jiwa… Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY melakukan Pembimbingan Akreditas Versi Baru RSJ Grhasia. Acara ini dibuka langsung oleh Direktur RSJ Grhasia, Drg Pembajun Setyaningastutie, M.Kes di Ruang rapat Ghosita I RSJ Grhasia. Dihadiri oleh seluruh peserta pembimbingan yang terdiri dari seluruh elemen yang ada di RSJ Grhasia. Pembimbingan akan dilaksanakan dua gelombang, gelombang pertama dilaksanakan Senin 17 Maret 2014 sampai dengan Selasa 18 Maret 2014. Sedangkan gelombang kedua dilaksanakan Jumat 21 Maret 2014 sampai dengan Sabtu 22 Maret 2014.
Pembimbing pada Akreditasi Versi Baru ini dilakukan oleh KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit). Pada gelombang pertama Pembimbingan dilakukan untuk delapan pokja (Kelompok Kerja) yaitu Pokja APK (Akses ke Pelayanan dan Kontinuitas Pelayanan), Pokja AP (Assesment Pasien), Pokja PP (Pelayanan Pasien), Pokja PAB (Pelayanan Anestesi dan Bedah), Pokja PMKP (Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien), Pokja PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi), Pokja TKP (Tatakelola, Kepemimpinan dan Pengarahan) serta Pokja MFK (Manajemen Fasilitas dan Keselamatan). Pembimbing dari Akreditasi ini adalah dr. Achmad Hardiman, SpKJ, MARS dan dr Nina Sekartina, MHA.
MedanBisnis – Banda Aceh. Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh akan menerapkan sebuah model pelayanan berbasis Islami di sejumlah rumah sakit, khususnya Rumah Sakit Meuraxa. Untuk mewujubkan itu, pemko menggelar seminar soal konsep rumah sakit peduli ibadah dalam mendukung Banda Aceh sebagai model kota madani, Sabtu (15/3). Dalam kegiatan ini pemko menghadirkan tiga pemateri sekaligus dari Al Islam Specialist Hospital, Kuala Lumpur, Malaysia, yakni Dr Ishak Mas’ud yang merupakan Direktur Al-Islam Specialist Hospital, Pn Juinarah Bevi selaku Kepala Perawat dan Ustad Muhammad Sazni yang merupakan Kepala Urusan Agama pada rumah sakit yang sama.
Sekda Banda Aceh T Saifuddin menyatakan pihaknya sangat menginginkan pelayanan kesehatan yang berbasis Islam dapat segera diterapkan di Banda Aceh, khususnya di Rumah Sakit Meuraxa sebagai pilot project program tersebut.
Dikatakannya, pasien rawat inap di rumah sakit merupakan individu yang sangat rentan dalam periode kehidupan, sehingga seorang pasien sangat membutuhkan pendampingan secara psiko-religius.
“Pendampingan secara keagamaan, terutama tuntunan dalam beribadah menjadi hal yang penting yang tidak dapat dipisahkan dalam rangkaian proses perawatan pasien hingga mencapai kesembuhan,” terangnya.
Pihaknya akan mencoba menerapkannya di RS Meuraxa, dan ini akan melibatkan para da’i yang nantinya akan tergabung dalam tim kesehatan di Meuraxa. “Teknisnya akan kita pelajari dari para pemateri kita ini,” tambah Saifuddin.
Selain melibatkan para da’i, juga dibutuhkan beberapa aspek lain untuk mewujudkan konsep pelayanan rumah sakit peduli ibadah ini, yakni sikap dan perilaku petugas, fasilitas dan sarana kesehatan, prosedur dan tata cara atau mekanisme pelayanan kesehatan, suasana pelayanan kesehatan serta pembiayaan kesehatan yang Islami.(dedi irawan)
Seminar dan Workshop Peran Kepala Dinkes, Direktur RS dan Komite Medik untuk mencegah Fraud di JKN dalam rangka Annual Scientific Meeting (ASM) dan Dies Natalis FK UGM Ke-68 telah digelar pada Sabtu (15/3/2014) di FK UGM. Acara ini merupakan kerjasama antara PKMK FK UGM dan RSUP Dr. Sardjito. Prof. Laksono Trisnantoro selaku board PKMK menyampaikan definisi fraud yaitu pelanggaran hukum atau penipuan, melambungnya biaya kesehatan, contoh fraud kesehatan: upcoding, tagihan fiktif, debundling, dan sebagainya. Fraud ini dikhawatirkan akan membuat BPJS membayar klaim lebih besar dari seharusnya. Hal yang akan terjadi jika tanpa pencegahan, kerugian akan membesar.
Ada beberapa skenario fraud dalam JKN ini, skenario A-tidak terjadi fraud, skenario B- terjadi fraud namun tidak ada penegak hukum, skenario C- terjadi fraud dan ada penegak hukum. Kekhawatiran yang mungkin muncul: masyarakat tidak percaya pada diagnostik, karena hal itu dilakukan karena sakit atau kebutuhan atas fee for service dokter. Sisi negatifnya, dokter bisa masuk penjara karena fraud. Sementara, sisi positifnya-akan dilakukan pencegahan fraud.
Prof. Adi Utarini (Wadek III FK UGM) menyampaikan pengantarnya, forum ini akan digunakan untul mempelajari, memerangi ketidaktahuan atas fraud di JKN. Jika kita berpikir positif, tidak ada yang berniat untuk melakukan kriminal, ungkap Prof. Adi. Saya rasa kita perlu mengangkat kembali peran wasit dalam pelaksanaan JKN, untuk siapa yang ditunjuk bisa kita putuskan nanti, tambah Prof. Adi. Prof. Adi juga menyampaikan terima kasih untuk peran panitia ASM dan PKMK dalam pelaksanaan.
Sesi Panel dimoderatori oleh Prof. Laksono Trisnantoro. Panelis pertama ialah dr. Hanevi Djasri, MARS yang memaparkan tentang Fraud dalam JKN di Indonesia. Spektrum dalam fraud : error input data-waste-abuse-fraud. Bentuk-bentuk fraud cukup beragam, antara lain: mengklaim pelayanan yang tidak diberikan, mengklaim layanan yang tidak ditanggung asuransi, mengklaim tagihan yang seharusnya dibayar pasien, dan sebagainya. Fraud ini cukup mengagetkan karena potensi kerugian akibat fraud: 7,29% per tahun di dunia. Pendorong utama anti fraud meliputi: kesadaran bahwa fraud menggerogoti biaya untuk mengakses layanan kesehatan, adanya quality of care/patient safety, kesadaran dan perhatian media massa dan sebagainya. Poin yang ditekankan dr. Hanevi yaitu quality improvement atau mencegah lebih baik.
Panelis kedua ialah dr. Mohamad Edison, Kepala Sub Manajemen Fasilitas Kesehatan dan Utilisasi BPJS yang memaparkan Implemenrasi JKN dalam Pelaksanaan SJSN. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) ialah siapapun mereka, yang bekerja enam bulan di Indonesia dan membayar premi-baik WNI maupun ekspatriat. Sementara, alur pelayanan kesehatan yang diakses peserta PBI dan non PBI: meliputi peserta-faskes tingkat pertama dan RS. BPJS sudah melaksanakan amanat UU, yaitu periode Januari-Februari klaim dibayar pada tanggal 15. Namun, masalahnya uang dari BPJS bisa sampai Puskesmas tidak? Belum lagi masalah tanda tangan dokter bisa dipalsu, maka butuh kejelian untuk melihat hal ini. Faktanya, unit anti fraud belum ada di BPJS, namun peran ini melekat di function.Fraud bisa terjadi di fasilitas kesehatan yaitu: upcoding, tagihan tanpa berkas, medical necessity, unblundling, false claim dan seterusnya. Fraud yang ‘bisa’ dilakukan peserta yaitu penggunaan kartu tidak berlaku, pelayanan tidak sesuai prosedur, dan lain-lain.
Drs. Ponco Respati Nugroho, M. Si, Sekretaris DJSN menjadi panelis ketiga dan memaparkan DJSN: Pengawasan dan Potensi Fraud.
BPJS disinyalir terancam fraud saat pengalihan aset dari PT. Askes. JKN mengamanatkan seluruh warga mendapatkan akses layanan kesehatan, lalu siapa yang mengawasi? Problem terbesar yang dihadapi ialah belum meratanya fasilitas kesehatan. DJSN bersama OJK dan BPK melakukan pengawasan eksternal pada pelaksanaan JKN.
Diskusi:
Budi Santosa, RS Soeradji, Klaten, RS sering melakukan abuse tanpa sengaja misalnya diagnostik dibolak-balik karena National Casemix Center (NCC) masih memberi aturan abu-abu. Prof Laksono memberikan pendapatnya, yaitu sistem yang mendorong terjadinya fraud. BPJS wasitnya National Casemix Center (NCC) dan kita hanya menyampaikan dugaan fraud. NCC ini yang merumuskan tarif INA CBG’s yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Kurang lebih 300-an tarif dinilai lebih rendah dari tarif lama (SK Mentri). P2JK melakukan konfirmasi dan tim NCC ketuanya masih dr. Bambang Wibowo, dalam proses SK Mentri NCC menjadi ex oficio P2JK sehingga ke depan, ketuanya ialah Donal Pardede. Prof. Laksono menambahkan, betul tidak aturan INA CBG’s akan mendorong adanya fraud?
Ambo Sakka, peserta blended learning fraud mempertanyakan bagaimana peran Kadinkes, Dir. RS dan komite medil? Hal yang terpenting ialah edukasi atas fraud ini. Drs. Ponco menjawab, kami melihat secara luas, dari BPJS ada potensi kita lihat pasti ada penanganan. Aspek edukasi memang sangat penting. BPK, Kepolisian dan lain-lain bekerja sesuai norma-normanya. Lalu, dr. Mohamad menyatakan pengalihan aset, investasi, dugaan fraud dan ini positif untuk manajemen. Kami melakukan edukasi berkelanjutan.
Kementrian Kesehatan memiliki jadwal tetap yaitu hari Rabu pukul 13.00 WIB untuk koordinasi Sekretariat Gabungan yang membahas seluruh masalah yang terjadi. NCC sangat membutuhkan masukan dari organisasi profesi. Hal yang masih dipertanyakan dr. Hanevi ialah rumus perhitungan INA CBG’s, apakah melihat clinical pathway dan unit cost RS pemerintah dan swasta? Desain sistemnya masih cenderung mendorong fraud.
Acara kali ini juga diikuti peserta dari luar UGM melalui aplikasi GoToWebinar. Beberapa peserta mengajukan pertanyaannya, Agustian, Jakarta: fraud harus diatasi dengan pencegahan dan penindakan untuk memberi efek jera. Prof. Laksono, kita perlu KPK dan Bareskrim (di setiap Polda) untuk menindak ini. Lalu, Firman, Bima menyatakan kita perlu verifikator internal, KPK sangat terbatas tenaganya. Disusul Nurdian Fahrudi yang menyatakan regulator belum menangkap kebutuhan layanan. Tambahan yang penting dari dr. Hanevi, jika mengetahui adanya fraud namun tidak melapor maka ini disebut fraud juga (meskipun diam saja). Jadi, perlu ditegaskan komplemen verifikasi yang dinilai apa?
Laksmi Amalia, peserta blended learning mempertanyakan sudah ada fraud namun belum ada efek jera. Apakah sudah ada peraturan yang menegaskan definisi fraud dan korupsi secara legal. Hasil MoU mekanisme dan pengawasan OJK-DJSN-BPK, follow up per enam bulan seperti apa?
Drs. Ponco, KPK mengkaji awal implementasi pada Oktober 2013 lalu mengingatkan DJSN ada potensi fraud, maka dengan perspektif itu kami melangkah. DJSN-OJK terikat dalam MoU: berbagi tugas masing-masing dengan indikator/instrumen yang sama. Bagaimana BPJS menginvestasikan dana, OJK bertanggung jawab keberlangsungan keuangan. DJSN-pencapaian kinerja BPJS, manfaat dan sebagainya. Aspek persinggungan DJSN dan OJK. BPK sebagai lembaga tersendiri, tidak terikat dengan OJK dan DJSN. Area fraud dalam Jamkes luas dan regulasinya abu-abu. Kesimpulannya implementasi JKN harus berjalan di tahun 2014, mempunyai tujuan pemerataan pelayanan kesehatan. Potensi terjadinya fraud: fraud sudah terjadi. Verifikasi harus 15 hari dan terjadi pembayaran.
Peran Komite Medik pada Clinical Governance dalam Pencegahan Fraud
Reporter: Ariani Arista Putri Pertiwi, S.Kep., Ns,. MAN
Peran komite medik pada clinical governance dalam pencegahan fraud dibahas dalam sesi paralel III. Sesi ini dihadiri tiga orang narasumber yaitu alumnus MMR UGM, dr. Kasyfi Hartati, MPH, yang melakukan evaluasi berjalannya komite medik di rumah sakit di Jawa Tengah. Narasumber berikutnya ketua BPRS indonesia yaitu dr. Agus Sutiyoso, Sp.OT, MARS, MM serta dr. Hanny Rono, Sp.OG, MARS selaku ketua forum komite medik nasional. Sesi paralel III ini dihadiri oleh tidak kurang dari 10 perwakilan rumah sakit daerah seputar Jogja dan Jawa Tengah, serta peserta dari daerah lain yang mengikuti acara melalui webinar. Diskusi pada sesi paralel III ini berjalan hangat. Diawali dengan pemahaman bahwa dalam penyelenggaraan JKN selama dua setengah bulan ini fraud memang sudah terjadi di rumah sakit. Sebagian besar fraud terjadi karena kekhilafan dan ketidakpahaman. Namun, fraud tetap harus dideteksi dan dicegah. Diskusi pada paralel III ini berfokus pada pencegahan fraud di level penyelenggaraan praktik pelayanan kesehatan di RS.
Dalam presentasinya, dr. Kasyfi mengungkapkan fakta yang menarik pada penyelenggaraan komite medik di rumah sakit di Jawa Tengah. Diantaranya adalah hanya 10 % komite medik yang melakukan komunikasi kepada stakeholder. Fakta menarik lainnya adalah meskipun seluruh RS yang diteliti dr. Kasyfi sudah terakreditasi, namun belum semua memiliki tata kelola klinis. Hal ini terjadi karena panduan akreditasi berbeda acuannya dengan penyelenggaraan komite medik. Terkait dengan pelaksanaan Permenkes No 755 tahun 2011 mengenai pelakanaan komite medik, beberapa statement menarik dari responden adalah bahwa Permenkes No. 775 sulit untuk diterapkan di RS, contohnya mengenai clinical governance dan rata-rata responden merasa kewenangan komite medik sangat dibatasi. Mengenai salah satu peran komite medik yaitu untuk melakukan credentialing tenaga dokter di rumah sakit, seluruh rumah sakit telah melaksanakan, namun ternyata hanya satu yang telah menerbitkan clinical privilege. Penyelenggaraan fungsi komite medik di rumah sakit perlu ditingkatakan apalagi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya fraud di rumah sakit.
Senada dengan yang disampaikan dr. Kasyfi, dr. Agus Sutiyoso dalam presentasinya mengatakan bahwa untuk menjamin pelayanan yang profesional, komite medik harus menjamin berjalannya good clinical governance salah satunya dengan mengatur kewenangan klinis. Selama ini, recredentialing tidak pernah dilaksanakan. Padahal mestinya penjaminan tersebut basisnya adanya recredentialing di rumah sakit. Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) dulu sifatnya eksternal, namun sekarang BPRS ada di internal rumah sakit yang arah kebijakan, kendali mutu, dan kendali biaya mengawasi pelaksanaan pembiayaan dengan JKN. Fenomena pembiayaan JKN yang saat ini terjadi adalah terdapat rumah sakit di daerah perkotaan yang mengalami keuntungan. Sedangkan rumah sakit di daerah tidak, bahkan mengalami kerugian. Mungkin hal ini terjadi karena dokter-dokter di daerah kota tersebut paham ICD 9 dan ICD 10, sehingga dapat memasukkan coding dalam sistem dengan benar. Sedangkan jika para dokter tidak paham ICD 9 dan ICD 10, maka kemungkinan memasukkan coding menjadi tidak tepat dan akhirnya yang terjadi adalah klaimnya kurang.
Terwujudnya kesehatan yang murah bagi rakyat di masa datang bukanlah hal yang mustahil jika semua elemen menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Menghilangkan segala praktik yang merugikan masyarakat seperti memberi resep obat paten agar mendapat komisi, memaksa pasien melakukan pemeriksaan tertentu padahal tidak dibutuhkan, memaksa pasien baik secara langsung maupun tidak langsung membeli sesuatu dan sebagainya. Semua hal tersebut adalah fraud, yang selama ini terjadi dan telah lama dibiarkan terjadi. Akibatnya hal-hal tersebut dianggap lumrah dan wajar. Dokter Hanny Ronosulistyo sebagai ketua forum komite medik nasional mengajak semua elemen untuk berubah memperbaiki pelayanan kesehatan yang berpihak pada rakyat, memangkas seluruh hal yang membuat pelayanan kesehatan menjadi mahal. Paradigma lama dalam pelayanan kesehatan yaitu orang kaya sakit mensubsidi orang miskin yang sakit, dalam implementasi JKN berubah menjadi orang sehat mensubsidi orang yang sakit. Identifikasi segala potensial fraud yang mungkin terjadi di berbagai titik penyelenggaraan pelayanan sangat penting dilakukan oleh semua elemen yang terlibat.
Dokter Hanny mengajak seluruh elemen untuk bersabar, di masa awal ini mungkin banyak hal yang harus diperjuangkan, namun jika implementasi JKN ini berhasil maka seluruh rakyat akan merasakan kebaikannya. Banyak kolega yang belum paham dan merasa rugi dengan pelaksanaan JKN ini, mereka hanya melihat pendapatan yang selama ini berdasarkan fee for service. Padahal dalam pelaksanaan JKN oleh BPJS terdapat sistem remunerasi yang akan diterapkan bagi semua profesi dalam pelayanan kesehatan. Clinical pathway juga harus dibuat oleh masing-masing rumah sakit sabagi acuan pemberian pelayanan. Jika semua elemen melaksanakan sesuai dengan pedoman dan sesuai dengan wewenangnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan termasuk fraud. Dokter Hanny mengajak seluruh peserta untuk selalu mendukung pelaksanaan JKN dan membantu melakukan sosialisasi kepada kolega sejawat dan semua elemen terkait mengenai pentingnya JKN ini.
Peran Direktur RS Dalam Mencegah Terjadinya Fraud Pada Pelaksanaan JKN di RS
Reporter: Budi Eko Siswoyo, SKM
Tri Yuni Rahmanto (PKMK FK UGM) mengawali sesi paralel 2 dengan menjelaskan tujuan dari sesi ini. Berikutnya disusul pemaparan dari Dr. dr. Sutoto, M.Kes (ketua umum PERSI) mengenai peran direktur RS dalam mencegah fraud di RS. Beliau menjelaskan bahwa pencegahan fraud menjadi salah satu peran direktur/pimpinan RS dalam standar akreditasi terbaru. Sesuai dengan definisi fraud maka tanpa KPK pun, seharusnya polisi juga bertindak. Kemungkinan fraud RS dipicu upcoding, unbundling, readmission, dan severity level. Hal ini disebabkan ketidaktahuan fraud, pedoman belum ada, dan kesenjangan tarif INA-CBGs vs FFS vs gaji yang pada akhirnya tuduhan fraud by system mengarah ke direktur RS. Oleh karena itu, panduan praktek klinik dan clinical pathway menjadi solusi utama dalam pencegahan dan pengendalian fraud.
dr. Kuntjoro A. Purjanto, MMR (ketua umum ARSADA Pusat) melanjutkan sesi 2 mengenai leadership direktur RSD di era JKN. Menurut beberapa organisasi anti fraud (ACFE, IIA, IAASB), fraud merupakan fenomena gunung es tergambar dalam fraud diamond. Beliau menyatakan bahwa kepemimpinan terdiri dari core value dan core belief bahkan “A hospital administrator should also possesses the quality like Lord Ganesh”. Setengah kasus fraud terungkap dari whistleblower sedangkan ¼ internal audit dan ¼ internal control. Sistem perencanaan-pengendalian manajemen yang memperhatikan akreditasi versi 2012 dan konsep INA-CBGs menjadi kunci kepemimpinan RSD dalam mengatasi ketidaknormalan fungsi organisasi ke depannya.
Peran direktur RS dalam pencegahan fraud kembali disampaikan Dr. M. Syafak Hanung, Sp.A (Direktur RSUP Dr. Sardjito). Pihak pengelola jaminan dan pihak RS turut berkontribusi dalam terjadinya fraud, umumnya didorong oleh tarif INA-CBGs dan aspek moral. Beliau juga menjelaskan strategi RS yang memiliki resiko fraud (upcoding, tindakan berulang) untuk diperhatikan sebagai bagian dari upaya pencegahan fraud. Pencegahan yang Dr. Syafak rekomendasikan yaitu sikap kerja profesional dan laporan khusus INA-CBGs untuk NCC Kemenkes RI sebagai bahan evaluasi perubahan tarif INA-CBGs.
Moderator kemudian menekankan kembali bahwa potensi utama fraud memang dikontribusikan oleh tarif INA-CBGs. Adapun beberapa diskusi dalam sesi tanya jawab sebagai berikut :
Audiens
Topik Pertanyaan
Narasumber
S. Herlina (KPMAK)
(1) pasien katastrofik pulang sebelum pada waktunya (2) wujud kendali biaya RSUP Dr. Sardjito
Revisi tarif katastrofik sesuai rerata total tarif sudah dilakukan dan evaluasi berkelanjutan (Dr. Sutoto)
Bisnis sehat RSD yang not for profit perlu manajemen yang baik, bermutu, berkesinambungan (dr. Kuntjoro)
Kasus itu sering terjadi di RS tipe A, jadi optimalisasi verifikator harus memperhatikan moral dan kendali biaya (Dr. Syafak)
Atik (RS di Yogyakarta)
Peran pedoman yang implementatif
Panduan praktik klinik dan prosedur lainnya harus disesuaikan standar profesi dan standar pelayanan kedokteran (Dr. Sutoto)
Tatik (RS Bathesda)
Kasus pernah terjadi di Kalbar yaitu = merawatinapkan pasien versus fraud
Tindakan merawatinapkan pasien tidak selalu fraud sehingga tidak dapat digeneralisasikan (Dr. Sutoto dan dr. Kuntjoro)
Strategi RS dalam menyikapi tarif INA-CBGs secara teknis harus tetap memperhatikan upaya pencegahan fraud (Dr. Syafak)
Webinar
Tindakan rujuk balik versus fraud
Fraud dalam rujukan balik memang belum diatur secara jelas tetapi provider diharapkan tetap mengacu standar (Dr. Sutoto)
Trio (RS di Lampung)
Lembaga anti fraud khusus kesehatan
Perbaikan RS harus kendali mutu dan biaya sehingga BPRS dan pengawas intern RS dapat turut berperan (dr. Kuntjoro)
Herti (RS di Bengkulu)
Keleluasaan SPI di pengawasan internal
SPI dibentuk Direktur sehingga komitmen dan moral Direktur berperan penting dalam pemberian kewenangan SPI (Dr. Syafak)
Sebelum sesi berakhir, Putu Eka Andayani, SKM, M.Kes selaku course director (PKMK FK UGM) menyampaikan kesimpulan tentang jenis dan penyebab fraud sampai rekomendasi sebagai strategi pencegahan fraud di RS. Direktur, non Direktur, bahkan masyarakat pun sama-sama terlibat moral dalam pencegahan fraud.
JAKARTA, Bisniswisata.co: Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan dengan sistem terpadu sangat penting, terutama dalam menolong seseorang yang membutuhkan bantuan cepat. Tujuan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) adalah tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu bagi masyarakat yang berada dalam keadaan gawat darurat.
Medan (SIB)– Rumah Sakit (RS) swasta dinilai layak bergabung untuk menjadi RS provider Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Selain baik untuk RS itu sendiri dengan bergabung ke BPJS Kesehatan juga memberikan banyak manfaat kepada masyarakat.
“Dengan bergabung ke BPJS, pasien BPJS Kesehatan mudah mencari RS rujukannya, karena sudah banyak yang menjadi provider. Lagipula, RS juga memiliki fungsi sosial,” kata Ketua Asosiasi Rumah Sakit Seluruh Indonesia (ARSSI) Sumut, Parlindungan Purba kepada wartawan di Kantor BPJS Kesehatan Sumut, Kamis (13/3).
Kepada masyarakat yang belum mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Kesehatan, Parlindungan yang juga anggota DPD RI dari Sumut menghimbau agar segera mendaftar. “Segera lah mendaftar. Inikan program pemerintah yang menganut sistem atau azas gotong-royong. Untuk itu, keberadaan BPJS Kesehatan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tanggungjawab kita untuk mendukungnya,” imbuhnya.
Ia juga mengingatkan kepada BPJS Kesehatan untuk selalu koordinasi dengan instansi terkait, jika mengalami kendala atau masalah di lapangan. “Mengenai klaim tidak ada masalah. Tetapi mungkin kekurangan-kekurangan administrasi ada di RS, dan saya harap BPJS Kesehatan terus berubah ke arah yang lebih baik,” sarannya.
Kepala BPJS Kesehatan Medan Maryama mengatakan BPJS Kesehatan bersama ARSSI sepakat untuk melakukan pertemuan 3 bulan sekali, sehingga jika ada permasalahan bisa langsung dicari solusinya. Ia mengakui BPJS Kesehatan Medan sudah memberikan uang muka sebesar Rp24 miliar lebih kepada beberapa rumah sakit provider.
“Dari 48 RS provider di Medan, 70 persen sudah menerima uang muka, sehingga cash flow atau masalah keuangan mereka tidak terganggu dalam memberikan pelayanan,” imbuhnya sembari mengatakan, sudah 56.406 kartu mandiri yang dicetak.
Kepada RS provider, Maryama mengingatkan jika memberikan obat diluar formularium nasional, boleh dilakukan tetapi harus ada persetujuan dari komite medik RS. “Intinya, pasien dengan segala haknya tidak boleh mengeluarkan biaya apapun, kecuali pasien naik kelas,” ujarnya. (Dik2/f)