Solopos.com, SOLO
Edisi Minggu ini: 06 – 12 Mei 2014
Peneliti: Christiane Degen dan Ludwig Kuntz
06 May2014
Era JKN, RS Surplus atau Defisit?Era JKN, RS Surplus atau Defisit? Putu Eka Andayani[1]
Di tengah hiruk pikuk pelaksanaan JKN tersebut, salah satu isu yang paling sering muncul adalah mengenai tarif yang oleh sebagian pihak dirasakan merugikan RS (dan pasien). Hal ini karena tarif berlaku secara paket yang sudah mencakup seluruh biaya pelayanan, padahal sebelumnya RS terbiasa dengan tarif berdasarkan jenis dan volume kegiatan. Dengan sistem paket, RS seolah-olah dibatasi dalam memberikan pelayanan sehingga mempengaruhi mutunya. Prinsip asuransi kesehatan – apalagi asuransi sosial – memang untuk mengendalikan biaya pelayanan. Agar prinsip ini bisa berjalan, maka pelayanan yang dilakukan harus sesuai dengan standar kedokteran terbaik yang bisa diterima baik secara etika maupun biaya. Dengan demikian, pemberi pelayanan hanya akan melakukan tindakan yang sesuai standar, supply induced demand bisa dicegah dan para tenaga profesional bisa bekerja lebih nyaman karena bekerja menurut standar berarti terlindungi dari berbagai kemungkinan tuntutan hukum. Hal tersebut bertolak belakang dengan prinsip out of pocket yang menghitung biaya berdasarkan volume tindakan atau pelayanan pada pasien. Pada kondisi ini pasien menanggung seluruh risiko biaya yang terjadi (termasuk jika terjadi tindakan atau pengobatan yang tidak perlu). Hal ini karena pasien tidak memiliki instrumen pengendali seperti yang dimiliki perusahaan asuransi atau pengelola dana jaminan kesehatan. Tidak mengherankan jika kemudian muncul istilah “Sadikin” atau sakit sedikit bisa jadi miskin. Itulah sebabnya, negara maju yang telah memperhatikan kesejahteraan rakyatnya akan menggunakan asuransi (yang menggunakan sistem paket) sebagai pengendali biaya sekaligus memberikan akses pelayanan lebih luas pada masyarakat. Jadi sebenarnya pemerintah Indonesia menerapkan JKN untuk menuju pada tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
Masalah terjadi ketika pelayanan menggunakan prinsip paket, namun mindset pemberi pelayanan masih pada prinsip “out of pocket”. Dengan prinsip paket, tindakan di luar prosedur akan berisiko menyebabkan terjadinya “over-budget”. Tentu saja seluruh kasus harus ada clinical path way-nya, agar sejalan dengan prinsip JKN. Namun saat ini, baru sedikit sekali kasus yang sudah ada clinical path way-nya. RS cenderung menggunakan standar lokal. Bahkan banyak RS yang belum memiliki SOP lokal sehingga menggunakan standar personal dimana antara dua dokter dalam satu RS bisa memiliki pendekatan yang berbeda. Tentu saja ini memicu biaya pelayanan yang tinggi, berlawanan dengan prinsip pengendalian biaya pada era JKN. Pada kondisi ini, tentunya RS tidak bisa berharap surplus dari pelayanan pasien BPJS. Oleh karena itu, pengembangan clinical path way masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi asosiasi profesi jika ingin memperbaiki sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. Di sisi lain, tarif yang berlaku di RS daerah pada umumnya adalah tarif yang ditetapkan dengan Perda. Banyak sekali RS yang belum mampu menghitung unit cost sebagai dasar penghitungan tarif, sehingga tarif Perda tidak menggambarkan biaya pelayanan yang terjadi di RS. Meskipun RS mampu menghitung unit cost pelayanan, tarif Perda (untuk pelayanan kelas III) biasanya akan ditetapkan lebih rendah dari unit cost tersebut (tarif pelayanan non kelas III ditetapkan dengan SK Kepala Daerah), dengan catatan RS masih mendapatkan subsidi dari pemerintah daerah untuk gaji PNS dan beberapa biaya investasi serta maintenance. Jika tarif Perda lebih rendah daripada tarif INA-CBGs, RS dengan mudah bisa mengklaim “untung”. Hal ini perlu dikaji lebih dalam apakah yang dialami oleh RS benar untung atau keuntungan semu, sebab tarif INA-CBGs sudah meliputi biaya gaji dan investasi. Perlu kehati-hatian dalam mengungkapkan hal ini, karena dapat berdampak pada kebijakan yang berlaku nasional. Jika RS melakukan penghitungan unit cost (termasuk biaya investasi dan gaji PNS) dengan benar, maka akan diketahui dengan pasti berapa sebenarnya surplus atau defisit yang dialami RS. Hal ini juga pernah diungkapkan juga oleh peneliti dari PKMK FK UGM pada seminar mengenai Reformasi Pengorganisasian RS beberapa waktu lalu.
[1] Konsultan dan Peneliti pada Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
06 May2014
Tingkatkan Mutu Layanan, RSUD Tabanan Diakreditasi
Selama 3 hari ini, kegiatan diawali presentasi dari Direktur BRSUD Tabanan dr. Nyoman Susila mengenai program peningkatan mutu dan keselamatan pasien (PMKP) di BRSU Tabanan. dr. Susila menjelaskan ada 4 dimensi mutu yang harus sesuai dengan standar akreditasi RS, diantaranya kemanan (safety), efektifitas, efisiensi dan keadilan/ kesamaan pelayanan (equity). Berdasarkan dimensi mutu tersebut, terdapat 26 indikator mutu yang harus diperhatikan, seperti indicator klinis, indicator manajerial dan indicator sasaran internasional keselamatan pasien.
06 May2014
RS Gleneagles dan Pantai Hospital Penang Menyelenggarakan Pariwisata Keakraban
06 May2014
AFTA 2015, Rumah Sakit Swasta Terancam Bangkrut
06 May2014
RSUD Dumai Raih RSSIB Terbaik se-Riau
06 May2014
RSUD Pirngadi Medan Terancam Tutup
“Kalau terus-terusan tidak dibayar, bisa habislah rumah sakit ini,” keluh Direktur Umum (Dirut) RSUD dr Pirngadi Medan, Amran Lubis seperti diberitakan Sumut Pos (Grup JPNN). Uang yang ada saat ini, kata Amran, berasal dari pasien umum sehingga biaya perobatannya tidak ditanggung pemerintah. Bukan hanya itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) Medan juga baru melunasi tagihan Medan Sehat tahun lalu. “Uang yang ada terus diputar untuk membeli obat, sehingga ketersediaan obat tidak terganggu,” bebernya. Dia pun pesimistis terhadap eksistensi RSUD dr Pirngadi ini. “Kalau sudah seperti itu kejadiannya dari mana uang operasionalnya, bisa saja nasib Pirngadi seperti rumah sakit di pulau Jawa yang harus memberhentikan operasionalnya,” katanya tanpa menyebutkan nama rumah sakit yang dimaksudnya itu. Amran menambahkan, pihaknya juga sudah pernah menyurati Menteri Keuangan (Menkeu) serta Menteri Kesehatan (Menkes) mengenai kondisi keuangan rumah sakit yang terlalu banyak memiliki utang kepada pihak ketiga. ” Surat itu bukan hanya ditujukan untuk Menkeu dan Menkes, tapi juga ditembuskan kepada Presiden Republik Indonesia,” bebernya. Namun dia menyayangkan sampai saat ini belum ada tanggapan dari Menkeu, Menkes serta Presiden RI tentang surat tersebut. “Kita berharap baik Menteri dan Bapak Presiden merespon keluhan RSUD dr Pirngadi dan secepatnya melunasi tunggakan yang ada,” tandasnya. Kepala Inspektorat Kota Medan, Farid Wajedi mengatakan pihaknya tida bisa mencampuri lebih jauh perihal kondisi keuangan yang terjadi di RSUD dr Pirngadi. Farid beralasan, saat ini rumah sakit pemerintah itu sudah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Maka dari itu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lah yang lebih tepat untuk memeriksa kondisi keuangan rumah sakit itu. ” Karena sudah menjadi BLUD, lebih baik keuangan Rumah sakit diperiksa oleh BPK,” kata Farid singkat. Sementara itu, Ketua Fraksi PKS DPRD Medan, Salman Alfaridsi mengatakan dirinya juga sering mendapatkan laporan dari masyarakat tentang pelayanan di RSUD dr Pirngadi yang kurang prima. Untuk itu, Komisi B berencana akan melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan mengundang Dirut untuk menjelaskan duduk persoalan dan mencari solusi dari permasalahan yang ada. “Untuk jadwal nanti disesuaikan dengan agenda Komisi B selama bulan ini,” kata Salman.
05 May2014
Tidak Fair Tarif RS Swasta & RS Pemerintah Sama
RS swasta di Jabodetabek sudah mulai memahami aturan main dalam program BPJS, namun tak sedikit pula yang masih melakukan sistem |