Merauke – Semua orang kaget melihat bocah yang lahir dengan posisi jantung melengket dengan kulit di sekitar leher serta gumpalan usus di sekitar perut. Kejadian tersebut adalah pertama kali terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Merauke. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis anak, mereka pun ‘angkat tangan’ dan tidak bisa menangani bayi tersebut, lantaran peralatan yang sangat minim.
RSU Bahteramas : Klaim Internasional, Rasa Tradisional
Kendari, Benar. Transformasi dari hal lama ke yang baru selalu menimbulkan resonansi, positif dan negatif. Reaksi seperti itu pulalah yang kini bernada, dilontarkan masyarakat pasca beroperasinya Rumah Sakit Umum (RSU) Bahteramas di Baruga, menggantikan RSUD Sultra di Mandonga. Hampir dua bulan terakhir, sentra pelayanan kesehatan yang diklaim berkelas internasional tersebut difungsikan dengan segala kekurangannya. Sayang, konstruksi megah yang belum rampung itu berubah menjadi sembilu sinis penuh keluhan.
Dominasi warna eksterior padu putih dan biru sebenarnya bisa menjadi lambang kesejukan bagi para pencari pemulihan kesehatan. Belum lagi desainnya yang megah penuh “taste” arsitektur berkelas. Namun semua itu tak ada artinya. Masyarakat tak mau tahu, pelayanan harus maksimal tanpa toleransi argumen petugas medis yang meminta pasie sabar dengan kondisi volume proyek RSU yang memang belum 100 persen.
Sejak 21 Oktober lalu, RSU Bahteramas telah resmi beroperasi menggantikan fungsi RSUD lama. Sebenarnya, ada banyak hal baru yang ditawarkan, seperti ruang baru dengan berbagai fasilitas yang juga serba baru. Pasien bisa menikmati ruang perawatan ber-AC yang sebelumnya tak dirasakan di RSUD lama, seperti di gedung IGD dan perawatan bayi. Instrumen pengecekan kesehatan berteknologi canggih dan lainnya. Kondisi ruang perawatan lain yang dirasa nyaman juga ada di ruang Melati. Tempat ini memang didesain sebaik mungkin, sebab pasien yang dilayani diruang ini adalah bayi. Namun, kebijakan yang hanya membolehkan ibu bayi yang menemani, membuat bagian lain dari gedung melati menjadi “pemukiman baru”.
Seorang ibu muda yang datang dari luar kota bersama bayi dan kedua orang tua mengungkapkan, ayah dan ibunya semalam harus tidur di teras gedung. “Yah karena mareka tidak diperbolehkan masuk, terpaksa menginap di sini,” katanya. “Kan tidak mungkin juga Dia (Ibu bayi) datang membawa anaknya sendiri, makanya kami temani. Eh..ternyata sampai di sini kami tidak boleh ikut menjaga bayi di dalam. Terpaksa nginap di luar walaupun dingin. Kalau siang dan kencang angin, luar biasa debunya berhamburan,” sambung Kakek Si Bayi itu.
Keluhan lain soal bentangan jarak antar ruang satu dengan lainnya ke sentra informasi yang lumayan jauh. “Capek harus bolak-balik antara gedung administrasi dengan gedung mawar. Ujung pukul ujung.Gedungnya banyak sekali tapi banyak juga tak terpakai. Di gedung mawar saja masih banyak yang kosong. Baru di sini panas sekali,” gerutu pengunjung lainnya. Lain ruangan, lain pula keluhan yang terlontar. Di ruang perawatan Anggrek berkelas I itu pun tetap saja panas. Mesin pendingin ruangan yang baru tak berfungsi maksimal dan tak ada tirai pelindung matahari. Kertas berhelai lebar pun menjadi alternatif menutupi polosnya sekat kaca. Untuk mengatasi hawa panas, keluarga pasien tetap saja harus membawa fasilitas kipas angind ari rumah masing-masing.
Namun dari banyaknya intonasi kritik, sebagian pengunjung juga mengaku puas dengan pelayanan di ruang IGD yang dinilai lebih baik.
Krisis air bersih adalah item keluhan lainnya. Sayangnya, tak ada jawaban dan tanggapan memuaskan dari para pejabat dari semua masalah yang membuat RS bertaraf internasional itu jatuh pamor berasa tradisional. Humas RSU Bahteramas, Masyita, M.Kes yang begitu proaktif promosi dan memublikasikan aktivitas rumah sakit, enggan berkomentar banyak. Argumennya, saat ini Ia sedang dibebastugaskan dari jabatan Humas karena sedang mengikuti pendidikan dan latihan. “Jangan sampai saya komentar, lantas menyalahi wewenang. Karena sudah beberapa hari ini saya tidak bertugas, jadi tidak tahu kondisi lapangan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (6/12) lalu.
Sementara itu, Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSU Bahteramas, dr Asniati yang ditemui langsung pun menyiratkan nada penolakan untuk memberi penjelasan. Ia tak mau berkomentar sebelum mendapat izin dari Direktur Rumah Sakit, dr. Nurdjajadin Aboe Kasim. “Wah maaf sekali, Saya tidak bisa. Nanti tunggu Dokter Jaya (sapaan akrab Nurdjajadin Aboe Kasim) saja,” tampik Pelaksana Direktur RSU Abunawas karena pimpinan tertinggi saat ini sedang berada di Bandung, Jawa Barat.
Sebelumnya Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Sultra sudah membeber hasil monitoringnya pada sentra pelayanan publik tersebut. Dari penilaian yang dilakukan Sabtu (1/12) lalu, lembaga tersebut menemukan adanya pelayanan yang tidak memenuhi standar. Dari 14 item yang disyaratkan dalam UU No. 25 Tahun 2009, baru dua poin yang terpenuhi. Kepala ORI Perwakilan Sultra, Aksah mengatakan, dalam rancangan peraturan pemerintah tentang pelaksanaan UU No 25 tahun 2009 pada pelayanan publik, diatur 14 komponen standar pelayanan, antar lain, dasar hukum, persyaratan, sistem, mekanisme dan prosedur, jangka waktu penyelesaian, tarif, produk pelayanan, sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, penanganan pengaduan, saran, dan masukan, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan dan evaluasi kinerja Pelaksana. “Dari pantauan langsung kami di RS Bahteramas, baru dua komponen pelayanan yang terpenuhi, yakni prosedur mekanisme pelayanan dan tarif pelayanan, lainnya belum tampak,” ungkap Aksah.
ORI akan melakukan koordinasi dengan pihak penyelenggara RS, dengan harapan seluruh standar pelayanan publik dapat terpenuhi. “Kami berupaya mendorong terpenuhinya asas-asas pelayanan publik yang sesuai standar yang sudah diamanahkan undang-undang. Apalagi rumah sakit merupakan obyek pelayanan publik yang sangat vital. Jadi tidak ada alasan untuk menunda-nunda standar pelayanan publik dimaksud,” tegasnya.
Sumber: sultrakini.com
Eks RSUD Sultra Jadi Apa ?
Kendari, Setelah aktivitas pelayanan, poliklinik dan ruang perawatan RSUD Sultra dipindahkan ke RSU Bahteramas, muncul beragam wacana mengenai alih fungsi eks gedung. Para penentu kebijakan di Sultra mulai berargumen dengan “kepentingan” masing-masing. Sebagai eksekutif, Pemprov Sultra dengan dalih optimalisasi pemanfaatan aset daerah bersikukuh agar pengelolaan gedung yang terbengkalai diserahkan saja ke pihak ketiga melalui kebijakan ruislag (tukar guling) atau istilah lain, BOT.
Disatu sisi kebijakan ini bertolak belakang dengan wacana Komisi IV DPRD Sultra yang ingin menjadikan eks gedung RSUD lama sebagai rumah sakit rujukan kelas III. Untuk mewujudkan hal itu, Komisi IV beberapa waktu lalu telah “berguru” ke provinsi tetangga Sulawesi Selatan terkait mekanisme prosedur pelaksanaannya. Meski mendapat penolakan dari sebagian besar anggota DPRD namun anggota dewan dari partai pemerintah tetap setuju dengan kebijakan ruislag itu. Alasan yang dijadikan senjata bagi kelompok yang setuju ruislag, bahwa telah ada RS Bahteramas yang lebih lengkap dan bertaraf internasional apalagi sentra layanan baru itu juga melayani pasien Jamkesmas, Bahteramas, Askes dan kartu pengobatan lainnya.
Sehingga keberadaan RS rujukan kelas III terkesan mubasir. Legislator PAN, Nasrawaty Djufri mengatakan pengoperasian RS rujukan kelas III selain membebani APBD juga tak akan berjalan efisien. Permasalahannya, untuk membuka RS baru butuh anggaran yang tidak sedikit dalam menyediakan fasilitas dan alat-alat medis pengobatan. Namun jika RS itu tetap menggunakan fasilitas medis yang tersedia di RSU Bahteramas maka kinerja pelayanan pun tetap tak akan maksimal, sebab dibatasi oleh jarak. Biaya operasional juga akan bertambah.
“Intinya, selain membuang anggaran rencana tersebut akan berimplikasi pada kebijakan yang telah ada. Misalkan, bila RSUD rujukan kelas III didirikan, bagaimana dengan RSU yang telah ada dan lebih representatif dan lengkap peralatan medisnya,” ulang Anggota Komisi IV itu, menegaskan. Sebelumnya, pada berbagai kesempatan Pemprov selalu membeberkan rencana ruislag itu bahkan telah ada komunikasi dengan beberapa investor yang mengarah ke proses pengalihan. Gubernur Sultra, H. Nur Alam saat membuka rapat koordinasi PKK provinsi mengatakan, aset daerah yang terabaiakan adalah bekas RSUD Sultra akan dijadikan hotel dan kompleks KONI nantinya diubah sebagai kawasan perumahan yang didalamnya tersedia fasilitas rekreasi, sarana olah raga dan pusat perbelanjaan.
Penjelasan itu menguatkan statemen Kepala Bappeda Sultra, Nasir Andi Baso, sebelumnya yang mengatakan sudah ada investor asing maupun domestik yang berminat mengelola sejumlah aset terbengkalai itu, termasuk eks RSUD Sultra. “Selain sebagai bentuk optimalisasi pemanfaatan aset, rencana ini merupakan bagian dari grand design Kota Kendari ke depan,” versinya. Sementara itu di gedung wakil rakyat, beberapa anggota dewan tetap menyuarakan nada penolakan atas gagasan tersebut. Ketua dan Sekretaris Komisi IV, Abu Bakar Lagu bersama Ryha Madi, Ketua Komisi III, La Nika dan Slamet Raidi Tombili serta anggota dewan lainnya menolak keras rencana ruislag eks gedung RSUD.
Saat ditemui kemarin, Anggota Komisi IV DPRD Sultra, dr. La Ode Muhammad Izat Manarfa kembali menyampaikan hal senada. Menurutnya, alangkah baiknya wacana meruislag RSUD Sultra dikaji ulang, apakah kebijakan itu sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat Sultra saat ini atau hanya karena ada kepentingan tertentu. “Kehadiran RS rujukan kelas III masih diperlukan, apalagi ruang perawatan pasien level itu di RSU Bahteramas masih sangat terbatas. Khusus ruang perawatan kelas I dan II memang sudah cukup, sehingga untuk menampung pasien pihak RSU Bahteramas menempatkan ruang-ruang yang belum terpakai dijadikan ruang perawatan. Itu akan menimbulkan kesan kumuh padahal RSU Bahteramas yang telah berlabel internasional,” datarnya. RS rujukan kelas III juga bisa dijadikan RS Pendidikan sebagai sarana praktik bagi mahasiswa kedokteran Unhalu. Langkah itu sekaligus menindaklanjuti bentuk kerjasama antara manajemen Rumah Sakit dengan Universitas Haluoleo yang belum terlihat jelas.
“Namun bukan berarti pasien dijadikan bahan percobaan. Maksudnya, mahasiswa kedokteran dapat belajar dengan mendampingi dokter-dokter yang bertugas ketika menangani pasien dan meneruskan tugas penanganan yang dilakukan dokter senior. Seperti bagaimana dokter merawat dan membalut luka pasien, bagaimana melakukan penanganan penyakit tertentu dan lain sebagainya. Di situ mereka bisa terjun langsung dalam membantu tugas dokter sebab selama ini belum ada ruang atau fasilitas bagi mahasiswa melakukan praktik yang kebanyakan hanya teori. Sama seperti mahasiswa keperawatan dan kebidanan yang praktei di RS lainnya termasuk RSU Bahteramas,” terang mantan Kadis Kesehatan Sultra itu.
Sumber: sultrakini.com
Ada popok otomatis khusus lansia
Jakarta- Para perawat orang-orang lanjut usia (lansia) akan senang dengan teknologi popok spesial yang secara otomatis membersihkan kotoran dan segera hadir dalam waktu dekat ini.
Popok yang dikembangkan Daiwa House Industry itu akan dijual mulai Januari tahun depan untuk panti-panti jompo Jepang seharga 598.000 yen (7.300 dolar).
Produk bernama Minelet Sawayaka adalah popok berbentuk mangkuk yang memiliki sensor pendeteksi kotoran keluar.
Sebuah selang yang menempel pada mangkuk akan menyedot kotorannya. Lalu, shower air hangat membersihkan bokong sang pengguna yang juga akan dikeringkan oleh hembusan udara hangat, demikian Asahi Shimbun.
Sumber: antaranews.com
Terapi Kombinasi untuk Penderita “Sleep Apnea”
Terapi kombinasi mampu mengurangi gejala slieep apnea saat keadaan pasien lebih buruk karena sedang berada di dataran tinggi. Demikian menurut hasil sebuah studi terbaru di Swiss.
Ketika penderita gangguan tidur seperti obstruction sleep apnea (OSA) melakukan perjalanan ke pegunungan atau daerah tinggi lainnya, mereka cenderung akan merasakan tingkat oksigen yang lebih rendah dalam darah, sehingga hal ini dapat memperburuk kondisi mereka.
OSA merupakan sebuah kondisi yang menyebabkan aliran udara pernapasan terhenti ketika tidur karena adanya penghambatan ataupun penyempitan di saluran pernapasan.
Dalam studi awal ini, para peneliti Swiss meneliti apakah terapi kombinasi obat acetazolamide (Diamox) dan continuous positive airway pressure (CPAP) dapat membantu penderita OSA.
Acetazolamide adalah stimulan pernapasan yang digunakan untuk mengobati penyakit yang berhubungan dengan pernapasan terutama pada saat di daerah dengan kadar oksigen tipis seperti pegunungan. Sedangkan CPAP merupakan alat yang melibatkan mesin yang memberikan tekanan udara konstan untuk menjaga saluran udara tetap terbuka saat tidur.
Sebanyak 51 orang dilibatkan sebagai objek penelitian dalam studi yang dipublikasikan dalam Journal of the American Medical Association bulan Desember. Peserta biasanya tinggal pada daerah dengan ketinggian sekitar 2.600 kaki di atas permukaan laut, sedangkan terapi kombinasi dilakukan saat mereka di pegunungan dengan ketinggian 5.300 dan 8.500 kaki di atas permukaan laut.
Kombinasi dari acetazolamide dan CPAP dapat meningkatkan level oksigen dalam darah pasien ketika pasien sedang terjaga ataupun tertidur. Selain itu, terapi ini juga memberikan kontrol yang lebih baik terhadap OSA, termasuk mengurangi waktu terbangun di malam hari, dibandingkan dengan penggunaan CPAP saja.
Sumber: health.kompas.com
Cuci tangan turunkan risiko diare
Jakarta- Masyarakat diimbau menggunakan sabun saat mencuci tangan karena perilaku ini mampu menurunkan risiko terkena diare hingga 47 persen, kata Kasubdit Pengamanan Limbah, Udara dan Radiasi Direktorat Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Cucu Cakrawati.
Usai menghadiri acara bertajuk “Sekolah Sehat Awal Terwujudnya Lingkungan Sehat” di Jakarta, Rabu, dia mengatakan Kementerian Kesehatan berupaya menekan angka penyakit diare melalui program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
“Dengan program STBM, angka penyakit diare kecenderungannya menurun,” katanya.
Upaya tersebut terkait dengan target Millenium Development Goals (MDG`s) keempat yakni mengurangi jumlah kematian balita di mana diare adalah penyebab kematian terbesar bayi dan balita.
Sanitasi yang kurang memadai ditambah rendahnya budaya perilaku hidup bersih dan sehat berdampak tidak hanya pada sisi kesehatan, tetapi juga pendidikan dan ekonomi.
Saat ini penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia karena morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi. Namun,Kemkes mengklaim telah berhasil menerapkan program STBM di delapan ribu desa di seluruh Indonesia.
Sumber: antaranews.com
Jumlah Internis Umum Masih Kurang
MEDAN – Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Aru W. Sudoyo mengatakan Indonesia membutuhkan banyak dokter spesialis penyakit dalam umum (internis umum), mengingat jumlah penduduk yang cukup tinggi dan wilayah yang sangat luas.
“Jumlah anggota PAPDI di seluruh Indonesia sekitar 2.556, seharusnya idealnya, dokter khusus penyakit dalam dibutuhkan lebih dari 20.000 orang,” katanya pada Kongres PAPDI ke-XV di Medan Rabu (12/12/2012), dengan tema 55 Tahun Peran Profesional PAPDI : Menapak Era Globalisasi di Tengah Masyarakat Indonesia dan Kedokteran Universal.
Ia mengatakan di negara-negara maju, praktik subspesialis lebih diminati dokter dibanding internis umum, bahkan di Inggris sudah tidak lagi mengenal praktik internis umum. Sistem pendidikan kedokteran di Inggris sudah mengkotak-kotakkan disiplin ilmu kedokteran berdasarkan organ tertentu.
“Kondisi di negara tetangga seperti Filipina dari 7 ribu internis umum, separuhnya sudah konsultan. Hampir di semua negara maju dan beberapa negara berkembang pertambahan internis umum lebih rendah dibanding konsultan,” katanya.
Di Indonesia, menurut dia, perbandingan jumlah dokter spesialis penyakit dalam dengan konsultan masih signifikan, yakni 70 persen internis umum dan 30 persen konsultan.
Berbeda di negara maju, menjadi konsultan di Indonesia lebih dikarenakan kewajiban akademik di pusat pendidikan kedokteran. Namun belakangan ini, mulai ada kebutuhan konsultan dalam pelayanan kesehatan tertentu di rumah sakit.
“Kondisi seperti ini, kata dia, mendorong anggota Papdi tetap berpraktik internis umum. Mengingat Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia yakni 237,5 juta jiwa dan angka per kapita yang rendah serta belum memiliki pembiayaan kesehatan berbasis asuransi nasional,” katanya.
Menurut dia Indonesia masih memerlukan subspesialis sebagai staf pengajar karena jumlah internis masih belum mencukupi untuk kebutuhan penduduk Indonesia.
Ratio internis umum terhadap jumlah penduduk belum berimbang, apalagi dengan distribusi internis yang lebih terkonsentrasi di kota besar.
“Subspesialis dibutuhkan, namun pertambahannya mesti diatur, supaya nantinya tidak merepotkan masyarakat,” katanya.
Sumber: health.kompas.com
RS Indonesia harus siap bersaing global
Medan – Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Supriyantoro mengatakan rumah sakit dalam negeri mau tidak mau harus siap bersaing secara global dengan rumah sakit luar negeri yang banyak menawarkan berbagai keunggulan dalam bidang pelayanan.
“Masyarakat kita semakin pintar dan mereka tentunya tahu mana rumah sakit yang bagus, dalam artian dapat memuaskan ketika mereka membutuhkan layanan kesehatan,” katanya di Medan, Rabu, saat meresmikan rumah sakit Murni Teguh Memorial Hospital (MTMH).
Ia mengatakan masih tingginya masyarakat yang berobat keluar negeri terutama ke Malaysia dan Singapura harus menjadi bahan introspeksi bagi semua manajemen rumah sakit dalam negeri, baik rumah sakit milik pemerintah maupun swasta.
Apalagi menurut dia fasilitas kesehatan, bangunan, teknologi dan ketersediaan dokter spesialis di Indonesia sudah setara dengan rumah sakit di negara lainnya seperti Singapura dan Malaysia.
Namun, diakuinya mutu pelayanan kesehatan rumah sakit di dalam negeri masih belum baik, untuk itu manajemen rumah sakit diharapkan bisa meningkatkan komitmennya untuk melayani pasien dengan lebih baik.
Faktor yang mempengaruhi pelayanan terhadap pasien ini diantaranya kemudahan proses administrasi dan komunikasi yang baik antara tenaga medis dengan pasien.
“Dari beberapa survei, dari segi bangunan, fasilitas, teknologi dan dokter spesialis, kita sebenarnya tidak jauh berbeda dengan luar negeri. Tapi harus diakui kita harus memperbaiki mutu pelayanan, bagaimana kita berkomunikasi dengan baik dan meningkatkan kepedulian pada pasien,” katanya.
Untuk rumah sakit yang ada di Sumatera Utara, khususnya di Medan, seharusnya sudah bisa menerapkan medical tourism mengingat daerah itu yang memang sudah memiliki banyak rumah sakit, juga memiliki panorama alam yang indah seperti misalnya Danau Toba.
Medical tourism memiliki arti perjalanan yang dilakukan seseorang ke luar negara untuk mencari perawatan medis. Biasanya usai mendapatkan perawatan medis, mereka memanfaatkannya dengan melakukan kunjungan ke daerah-daerah wisata.
“Dengan layanan yang baik dan panorama alam yang indah, tentunya kita bisa menjadi tujuan medical tourism itu,” katanya.
Sementara Plt Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho yang diwakili Kepala Dinas Kesehatan dr Sri Hartati Suryantini mengatakan di daerah itu ada ratusan rumah sakit, namun sayangnya belum semuanya dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Justru banyak yang lebih memilih berobat ke luar negeri terutama bagi mereka yang memang memiliki uang. Hal ini tentunya tidak terlepas dari masih kurangnya puasnya mereka akan layanan yang diberikan rumah sakit dalam negeri.
“Ini menjadi tantangan bagi kita, agar melakukan pembenahan terutama dalam hal layanan. Kalau mengenai kualitas dokter dan peralatan kita tidak kalah,” katanya.
Sumber: antaranews.com
RSUD Sukses Lakukan Bedah Caesar Diharapkan Menyusul Keberhasilan Lainnya

INI Sejarah kali pertama bagi dunia kedokteran yang melaksanakan tugas praktek di RSUD Penajam Paser Utara (PPU). Meski RSUD milik Pemkab PPU ini baru berusia 5 tahun berdiri, namun peralatan medis yang digunakan dokter ahli bedah di RSUD ini sudah cukup memadai.
Nah, gebrakan kali pertama yang dilakukan dokter spesialis yaitu bedah caesar yang berlangsung sukses. Kasubag Hukum, Pemasaran dan Humas, RSUD Kabupaten PPU Nursyam mengatakan, bedah caesar baru kali pertama ini dilakukan dan hasilnya sukses besar.
“Bedah caesar memang baru pertama ini dilakukan dokter spesialis kandungan yang dibantu perawat dan bidan. Pasien yang dilakukan bedah caesar tinggalnya di Petung. Alhamdulillah bayinya berhasil diangkat dan selamat,” tutur Nursyam kepada Balikpapan Pos, di ruang kerjanya, Selasa (11/12).
Keberhasilan ini, ujar Nursyam yang menggantikan kasubag sebelumnya, Sulaiman, tentu saja sangat menggembirakan sekali tak hanya manajemen RSUD, tapi juga Pemkab PPU maupun masyarakat luas.
Karena itu, keberhasilan langkah pertama ini diharapkan dapat diikuti keberhasilan yang lain, misalnya operasi penyakit dalam atau besar yang ditangani dokter ahli, sehingga pasien yang mengalami penyakit kritis bisa langsung ditangani di RSUD PPU sendiri.
“Mudah-mudahan kabar ini bisa menyenangkan masyarakat. Harapan kami kedepan tentu saja pasien yang mengalami penyakit kritis cukup bisa ditangani di RSUD PPU saja,” ujar Nursyam. Pihaknya menambahkan, terkait program pelayanan rumah sakit akan terus dilakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Beberapa program yang sedang ditangani RSUD ini termasuk menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan di wilayah PPU agar seluruh pekerjanya dapat melakukan cek kesehatan di Bagian Medical Chek Up (MCU).
Dengan kerjasama ini, kata Nursyam, diharapkan sumber pendapatan rumah sakit terus meningkat seiring dengan perubahan status rumah sakit yang sudah menerapkan manajemen BLUD.
“Apalagi selain sudah diterapkan sistem BLUD, rumah sakit kita saat ini juga terus melakukan pengembangan dan perluasan gedung pelayanan pasien yang lengkap dengan fasilitasnya,” pungkas Nursyam.
Sumber: balikpapanpos.co.id
Bupati Aceh Barat Ancam Dokter Spesialis
BANDA ACEH: Bupati Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, T Alaidinsyah mengancam akan mempidanakan tiga dokter spesialis yang meninggalkan tugas di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cut Nyak Dhin Meulaboh.
“Kita akan mempidanakan tiga dokter spesialis itu karena keberangkatan mereka mengikuti pendidikan menggunakan uang rakyat, kita akan laporkan hal ini kepada penegak hukum,” katanya di Meulaboh Senin 10 Desember 2012.
Dokter spesialis rumah sakit milik Pemkab Aceh Barat itu yakni dr Danda Hidayat (spesialis penyakit dalam), dr Erlina S (spesialis patologi klinik) dan dr Zulkanain (spesialis anak), ketiganya itu mengikuti pendidikan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Bupati mengatakan, keberangkatan ketiga dokter tersebut menghabiskan dana daerah ratusan juta rupiah dengan perjanjian akan kembali mengabdi di RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh setelah mengikuti pendidikan.
“Tetapi dikabarkan mereka sudah bekerja di luar daerah,” katanya.
Alaidinsyah mengatakan, dirinya saat ini sudah memerintahkan kepala bagian kepegawaian untuk menulusuri di mana keberadaan tiga dokter spesialis yang menghilang tanpa meninggalkan jejak, sementara Aceh Barat menantikan kepulangannya.
“Batas kepulangan Januari 2013 ini, bila tidak juga muncul maka kita tidak ada pilihan lain dan ini sesuai perjanjian tertulis mereka dengan Pemkab Aceh Barat sebelum berangkat,” katanya.
Lebih lanjut dijelaskannya, meskipun ketiga dokter tersebut tidak bertugas namun dipastikan tidak ada kekosongan pelayan pos tertentu di rumah sakit milik Pemkab Aceh Barat tersebut karena masih ada sejumlah dokter spesialis inti.
ketiga dokter yang disekolahkan itu adalah dokter tambahan yang disediakan pemerintah untuk memaksimalkan pelayanan, namun kaitan dengan kepergian mereka adalah berurusan dengan hukum pidana karena mengingkari janji.
Ia mengatakan, untuk memberikan pelayanan kesehatan masyarakat secara intensif harus tersedia tenaga kesehatan yang mencukupi serta berkualitas, karena itu Pemda menyekolahkan dokter keluar daerah.
“Sampai saat ini kita belum mengetahui keberadaan mereka, namun saya sudah perintahkan Kabag Kepegawaian untuk menulusurinya, mereka tidak bisa pergi seenaknya setelah menggunakan uang rakyat Aceh Barat,” katanya.
Sumber: eksposnews.com