KABUL, PedomanNEWS – Nasrin Oryakhel
Edisi Minggu ini: 15 – 21 April 2014
Website ini akan update setiap Selasa pagi. Nantikan Informasi terbaru setiap minggunya. | ||||
Pada tanggal 16 April ini, PKMK kembali akan menyelenggarakan diskusi dengan topik Residen: Peserta Didik atau Tenaga Profesional? . Bagi RS pendidikan, tenaga residen memberikan kontribusi yang cukup besar dalam proses penanganan pada pasien. Belum lagi bila RS berada di luar Jawa, maka banyak kasus yang kemudian bertumpu pada keberadaan residen. Diskusi ini akan disiarkan juga melalui live streaming dan webinar sehingga dapat diikuti oleh siapa saja. Silakan bergabung pada webinar dengan melakukan registrasi disini.
+ Artikel Yafang Tsai Department of Health Policy and Management, Chung Shan Medical Penelitian ini membuktikan bahwa organisasi yang pembelajar akan mampu mengembangkan komitmen internal di antara para stafnya. Internal marketing dapat menjadi mediator bagi terciptanya organisasi yang pembelajar dan komitmen organisasi. + Arsip Pengantar Minggu Lalu |
||||
|
webinar mengenai Dukungan bagi Dokter yang Bekerja di Daerah Terpencil |
|
Ciri RS Berkinerja Buruk |
Diskusi Kebijakan Kesehatan Reformasi dalam Kebijakan Desentralisasi Kesehatan
Diskusi Kebijakan Kesehatan
Reformasi dalam Kebijakan Desentralisasi Kesehatan
11 April 2014
Reportase oleh: Tri Yuni Rahmanto, SE, S.Kep, Ners.
Pengantar
Pada hari Jumat, 11 April 2014 dimulai jam 10.00 WIB telah berlangsung Diskusi Kebijakan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM Yogyakarta.
Prof. Laksono Trisnantoro, PhD selaku moderator membuka acara dengan membeberkan proses dan perkembangan desentralisasi kesehatan di Indonesia, bahwa Health Innovation System memberikan kita informasi tentang apa yang terjadi di Indonesia 10 sampai 15 tahun terakhir khususnya di bidang kesehatan. Beberapa perubahan akibat dari azas desentralisasi tersebut adalah ideology dinas kesehatan yang diposisikan menjadi regulator atau operator masih perlu diperjelas, kantor wilayah departemen kesehatan sebagai organisasi pusat yang ditempatkan di daerah dihapuskan sejak tahun 2000. Beberapa pertanyaan yang muncul yang harus dijawab adalah : perubahan perubahan ini sangat mendasar, sebuah power transfer-issue yang bisa berakibat positif atau negatif, menguntungkan atau merugikan? Apakah terjadi peningkatan/penurunan funding atau penganggaran di bidang kesehatan? Kemampuan teknis SDM Kesehatan di lapangan juga menjadi persoalan di era desentralisasi, penyebaran dokter spesialis dan tenaga kesehatan lain yang tidak merata, penempatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan masih banyak ketimpangan antar daerah dengan kemampuan fiskal kuat dan daerah dengan kemampuan fiskal lemah. Motivasi kementerian kesehatan yang terasakan tidak begitu kuat ditandai dengan budget bidang kesehatan yang makin tersentralisasi dan tidak mengalami peningkatan, hanya sekitar 2% dari harapan 5% dari total APBN dari tahun ke tahun.
Issu tersebut akan dibahas para panelis pembahas yang diperkenalkan juga oleh Prof.Laksono, pembahas yang akan menyampaikan pendapatnya pada kesempatan ini adalah :
- Dr. dr. Soewarta Kosen, M. Kes, PH dari Balitbang Kementerian Kesehatan.
- Hartiah Haroen S.Kp, M.Kes, M.Eng seorang perwakilan Ahli dari WHO di Indonesia.
- Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes sebagai peneliti PKMK.
Pembahasan
Pada kesempatan pertama, Pejabat Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan, Dr.,dr. Soewarta Kosen, M.Kes., PH memberikan pembahasan bahwa desentralisasi kesehatan pada waktu itu dilandasi dengan semangat aspirasi pemerataan sesuai kebutuhan, tetapi pemerataan masih bermasalah. Menurut beliau desentralisasi harus dibarengi dengan peningkatan komitmen pemerintah daerah dan diharapkan kinerja sektor kesehatan dapat meningkat dengan efisiensi penggunaan sumber daya, alokasi sumber daya melalui utilisasi dan peningkatan motivasi serta legal aspect penggunaan anggaran secara akuntabel.
Beberapa keuntungan desentralisasi kesehatan pada saat itu adalah peningkatan equity dengan makin banyak masyarakat miskin yang belum dicakup program pusat, dicover oleh anggaran daerah.
Tetapi beberapa kelemahannya adalah lebih banyak program kuratif dengan Jamkesmas, Jampersal dari kompensasi pengurangan subsidi BBM, ditambah dengan BPJS sebagai pemain baru dalam pelayanan kesehatan yang praktis lebih banyak mengambil program kuratif, secara nominal anggaran kesehatan justru terbilang naik dibanding saat sentralisasi, tapi coverage imunisasi 60% dan tidak memberikan health immunity. Anggaran tugas pembantuan yang seharusnya diperuntukkan untuk pengadaan hardware, malah diberikan dalam bentuk uang untuk operasional program., dari propinsi ke pusat tidak ada laporan demikian juga dari kabupaten/kota ke propinsi, bidang kesehatan kabupaten/kota-provinsi dan pusat seperti tidak dalam struktur yang erat. Kabupaten/kota tidak merasa ada di bawah kepemimpinan pusat, dan melaporkan kinerjanya ke Bupati sehingga Dinkes Propinsi dan Kabupaten/Kota tidak memiliki track komunikasi yang baik untuk advokasi dari pusat.
Kesempatan kedua diberikan kepada Hartiah Haroen S.Kp, M.Kes, M.Eng sebagai WHO-HR Programme, Indonesia, beliau memaparkan bahwa ada ciri khusus per daerah pada era desentralisasi, hal ini disebabkan pemerintah kurang menyiapkan SDM sebagai pengelola wilayah untuk perencanaan kesahatan, dalam hal financing dan perencanaan lainnya. Perkembangan pelayanan kesehatan pada pemda kabupaten/kota sesuai dengan kondisi daerah, hal ini disebabkan sistem informasi tenaga kesehatan per daerah yang tidak merata. Ada daerah yang kaya APBD, maka terjadi semacam “migrasi nakes”. Disampaikan juga bahwa untuk meningkatkan kualitas SDM, maka hal yang ditingkatkan ialah kurikulum yang mendukung dengan pengembangaan tenaga kesehatan.
Menurut Hartiah otonomi-desesentralisasi kesehatan isunya terletak pada pemerataan tenaga kesehatan di daerah tetapi sepertinya desentralisasi kesehatan tidak dipersiapkan yang matang, kurang perencanaan tenaga kesehatan, masih tersentralisasi. Desentralisasi Kesehatan juga tidak terkendli, karena terikat dinamika pasar, juga terhadap persoalan bagaimana daerah dapat mengoptimalkan BOK dan sistem kapitasi dengan pelayanan dasar yang lebih kuat.
Kesempatan ketiga diberikan kepada Dr. dr. Dwi Handono S, M.Kes sebagai peneliti PMPK memberikan pembahasan tentang 22 isu strategis dalam era desentralisasi, banyak terjadi pemekaran wilayah yang tidak diikuti persiapan SDM terutama bidang kesehatan sehingga terjadi Dinkes kekurangan SDM, yang terjadi kemudian adalah mutasi dari Puskesmas ke Dinas, padahal SDM di Puskesmas masih kekurangan. Dalam era desentralisasi kesehatan juga terdapat persoalan persoalan antara lain tidak ada UPT, Rumah Sakit bukan Dinas tapi sebagai Badan Layanan yang berfungsi sebagai operator, lalu Dinas Kesehatan yang seharusnya sebagai regulator seperti belum menemukan peran yang kuat, Puskesmas didorong untuk menjadi BLUD, dalam pada era BPJS Dinkes dirasakan seperti menjadi kontraktor.
Diskusi
Sampai pada waktunya diskusi dibagi menjadi 2 sesi, sesi I diberikan kesempatan kepada dr. Heru Aryadi dari ADINKES, beliau menyampaikan dalam desentralisasi kesehatan beberapa hal yang harus menjadi perhatian adalah penyebaran dan kualitas SDM harus dievaluasi, RS dan Dinkes harus diatur, menurutnya litbang setiap dinas juga tidak independen dan pendapatan BLUD yang seharunya tidak masuk kas daerah.
Seorang antropologh yang berasal dari Kalimantan Timur sebagai peserta dalam acara diskusi ini juga memaparkan fenomena tenaga kesehatan yang tidak mau ditempatkan di desa, indeks pembangunan Indonesia termasuk bidang pendidikan dan kesehatan perlu mendapat perhatian khusus, juga pendapatan per kapita penduduk, pengembangan SDM, pengelolaan SDA, dan yang terakhir disampaikan harus ada undang undang yang mengatur produk kesehatan.
Dewi Permata Kurnia Dewi, ST,M.Kes dari PKMK berpendapat bahwa SDM kesehatan kita sulit ditempatkan di daerah, kalaupun bersedia tidak akan bertahan lama rata-rata mereka kembali ke Jawa, lanjut beliau ini dukarenkan dalam era desentralisasi ijin cukup dari pemda, maka dengan mudah mereka berpindah, daerah asal tidak bisa mengikat, mungkin karena kerjasama sudah selesai. Insentif yang diperbesar tidak mengatasi persoalan jika transportasi dan pendidikan tidak diperbaiki, lalu bagaimana? Kesimpulannya desentralisasi tanpa persiapan, amandemen UU Desentralisasi yang akan dilakukan dikhawatirkan tidak akan menangkap persoalan pada sektor kesehatan ini.
Pada Sesi II setelah istirahat sholat dan makan siang, kesempatan diberikan kepada peserta webinar dari luar forum, disampaikan peserta tersebut bahwa terkait dengan pelaksanaan desentralisasi, penempatan SDM seringkali bukan berdasarkan kompetensi dan ini menjadi persoalan mendasar, hanya berdasarkan kedekatan politis dengan kepala daerah.
Ditambahkan oleh Prof. Laksono bahwa secara empiris anggaran dari pusat berupa TP dalam bentuk BOK ditetapkan jumlah yang didapatkan tiap daerah relative mendapatkan nominal yang sama baik daerah dengan kemampuan fiskal yang kuat dan lemah, ini juga sebuah persoalan keadilan dan pemerataan yang tidak sesuai.
Kesempatan berikutnya Putu Eka Andayani, SKM, M.Kes dari PMPK berpendapat bahwa Kemampuan SDM daerah dan pembangunan infra struktur lain yang mendukung bidang kesehatan sangat berpengaruh dalam pengembangan pelayanan.
Lebih menghangatkan diskusi Prof. Laksono melontarkan persoalan-persoalan : Apakah BOK dan BPJS sudah memenuhi prinsip keadilan, dalam kasus daerah dengan kemampuan fiskal tinggi dan rendah? Apakah pusat bisa menangani semuanya dalam hal pemerataan baik dana maupun SDM?
Menanggapi Prof. Laksono, Dr. Kosen berpendapat belum ada equity dalam berbagai sektor, bukan hanya sektor kesehatan dan ketidakberdayaan pusat untuk mengatur pemerataan. Anggaran kesehatan harus adil, karena orang kaya dan atau miskin punya hak yang sama.
Ditambahkan juga oleh Prof.Laksono tentang revisi UU Pemerintahan Daerah terdapat persoalan di tim penyusun revisi yang tidak melihat perubahan yang besar jika RS dalam bentuk Badan atau UPT,
Pada kesempatan ini Dr. dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes juga berpendapat bahwa RSD dan Dinkes bukan matahari kembar, keduanya harus bersinergi dalam pembangunan bidang kesehatan di daerah.
Pada akhir acara diskusi kesimpulan disampaikan Prof. Laksono pada penghujung acara, bahwa UU Pemerintahan Daerah masih sangat umum dan harus dicermati betul, seperti akreditasi apakah harus diurusi pemerintah atau diswastakan? Dilema undang undang tentang pemerintahan daerah yang tidak sinkron dengan undang undang dibidang kesehatan ini memerlukan usaha yang kuat untuk mensesuaikan dan melakukan telaah lebih lanjut tentang regulasi tersebut.
Diingatkan juga oleh Prof Laksono, agenda mendatang pada hari Kamis 17 April 2014 di Jakarta akan dilangsungkan diskusi “Reformasi dalam Pembiayaan Kesehatan”, sebagai rangkaian dari diskusi saat ini atau seri pertemuan selanjutnya dan diucapkan salam, sampai bertemu kembali di Jakarta.
Mulai April, Perserta JKN Bebas Pilih Faskes
JAKARTA – Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang tercatat dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan tak perlu antri panjang lagi di fasilitas kesehatan (Faskes) primer atau puskesmas yang ditentukan BPJS kesehatan. Mulai April 2014, para peserta bebas memilih faskes mana saja yang akan digunakan untuk mendapat layanan kesehatan.
Direktur Kepesertaan BPJS Kesehatan, Endang Tidarwati mengatakan, tak hanya bisa berganti puskesmas, peserta juga bebas memilih dokter keluarga, klinik dan beberapa faskes tingkat pertama lainnya untuk dijadikan rujukan awal.
Kebijakan tersebut, kata Endang, diputuskan dengan menimbang banyaknya peserta yang jauh dari faskes tingkat pertama yang telah ditentukan oleh BPJS kesehatan sebelumnya.
“Dengan demikian, peserta bisa memilih yang bisa dijangkau dengan mudah. Misalnya untuk TNI/ POLRI yang ada di kecamatan, karena provider mereka yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan adanya di kabupaten, mereka menempuh jarak jauh terlebih dahulu. Nah, mulai April, mereka bisa memilih yang lebih dekat,” ujar Endang di Jakarta, kemarin.
Karenanya, pihak BPJS kesehatan saat ini tengah memperbaiki sistem integrasi antara setiap faskes untuk mempermudah pengecekan peserta. Tak hanya itu, BPJS kesehatan juga terus mengupayakan perbaikan pelayanan faskes tingkat pertama agar peserta bisa terlayani dengan baik.
Endang memperkirakan, akan ada migrasi peserta sekitar 50 persen dengan penerapan peraturan baru tersebut. Kecenderungan tersebut disebutnya sebagai kesempatan bagus untuk para dokter praktek pribadi yang telah terintegrasi dengan BPJS kesehatan. sebab, sudah dapat dipastikan, para peserta akan cenderung untuk merapat pada para dokter praktek pribadi.
“Ini kesempatan bagus untuk para dokter. Bisa dimanfaatkan dengan baik,” katanya.
Endang berharap, dengan perubahan sistem ini, para peserta tak lagi kesulitan untuk menjangkau faskes dalam mendapatkan layanan kesehatan. Tak hanya itu, dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh BPJS kesehatan, ia juga berharap masyarakat bisa segera bergabung dengan BPJS kesehatan.
Perubahan peraturan ini disambut baik oleh Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia, Zaenal Abidin. Zaenal mengungkapkan, dengan perubahan ini maka masyarakat dapat terlayani dengan baik.
Sebab, hingga saat ini, buruknya sistem pelayanan dan kurang meratanya faskes tingkat dasar masih banyak terjadi dalam JKN. Padahal, lanjutnya, seluruh pelayanan kesehatan harus dilakukan melalui faskes tingkat dasar tersebut. “Tak hanya itu, dokter layanan primer juga masih tidak merata. Karenanya, dengan adanya kebebasan ini maka diharapkan masyarakat lebih bisa mendapat pelayanan yang lebih baik,” tuturnya.
Sebelumnya, pada awal berlakunya BPJS kesehatan, faskes tingkat dasar setiap peserta telah ditentukan oleh BPJS kesehatan. Peserta hanya diperbolehkan untuk menggunakan faskses tersebut untuk berobat. BPJS kesehatan mengklaim pemilihan faskes telah ditentukan berdasarkan alamat sang peserta, sehingga akan memudahkan untuk dijangkau oleh peserta.
Namun sayangnya, jarak terdekat yang diklaim BPJS kesehatan ternyata tidak seluruhnya dapat ditempuh dengan mudah. Tak hanya itu, pengelompokan tersebut juga tidak disertai perhitungan jumlah peserta sehingga sering kali terjadi antrian panjang hanya untuk mendapat surat rujukan. (mia)
Sumber: jpnn.com
RS Indonesia Kembangkan Pengobatan Alternatif
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Sebanyak 250 rumah sakit di Indonesia secara bertahap siap mengembangkan pengobatan tradisional, herbal, maupun alternatif.
“Secara bertahap pengobatan tradisional ini dikembangkan. Salah satu rumah sakit yang sudah mengembangkan yakni RSUD Soetomo Surabaya yang kini sudah lebih maju,” kata Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer Kementerian Kesehatan Dedi Kuswenda.
Hal itu dikemukakan Dedi pada acarasimposium internasional “TradCAM” (traditional complimentary and alternative medicine) yang diselenggarakan di Surabaya, Sabtu (12/4).
Selain rumah sakit, lanjut dia, pengobatan tradisional juga diajarkan di perguruan tinggi salah satunya Universitas Airlangga (Unair).
“Bahkan pengobatan akupuntur juga didalami,” ujarnya.
Pihaknya berharap masyarakat bisa mendapatkan pengobatan tradisional dengan baik tanpa mengandung zat-zat kimia yang membahayakan tubuh.
“Jadi jamu bisa digunakan untuk kebugaran dan kesehatan tubuh,” katanya.
Dia mengemukakan Kementerian Kesehatan tetap mengharuskan sertifikasi.
Ketua panitia pengarah simposium, Puruhito mengatakan simposium ini dihadiri para pakar dari Thailand, Jepang, Filipina, Cina, Malaysia, dan Indonesia.
Ia mengatakan pengobatan tradisional di dunia sudah berkembang pesat, seperti battra di Cina ada 30 persen dan di Amerika ada 20 persen, bahkan di Amerika ada 30-an fakultas yang mempelajari battra secara konsisten.
“Indonesia sudah seharusnya memiliki pengobatan tradisional yang lebih dikenal dari negara lain, seperti halnya Cina, karena Indonesia memiliki keanekaragaman biologik terbesar di dunia,” katanya.
Sumber: republika.co.id
Pengobatan Tradisional Siap Dikembangkan 250 RS
Surabaya, Beritaempat.com – Dedi Kuswenda, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer Kementerian Kesehatan, menyatakan sebanyak 250 rumah sakit (RS) di Indonesia secara bertahap siap mengembangkan pengobatan tradisional, herbalm maupun alternatif.
Kemenkes Siagakan 33 RS Jiwa
BPJS Tanggung Biaya Perawatan Caleg Stres
JAKARTA – Minimnya suara yang diperoleh para caleg dalam pemilu legeslatif (pileg) 9 April lalu berpotensi menyebabkan stres dan gangguan mental. Situasi ini juga telah diperkirakan oleh tenaga medis di bidang kejiwaan, tak terkecuali Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Karenanya, untuk menghadapi fenomena ini, Kemenkes telah menyiagakan seluruh rumah sakit jiwa (RSJ) milik pemerintah.
97% RS Surplus Meski Tarif INA-CBG’s Dinilai Rendah, Bagaimana Bisa?
Jakarta, Tarif INA-CBG’s yang ada dalam program JKN dinilai terlalu rendah oleh para dokter. Akan tetapi, laporan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa 97 persen rumah sakit mengalami surplus dengan berlakunya tarif tersebut. Bagaimana bisa?
Wajar jika masyarakat menilai adanya kecurangan pada sistem tarif tersebut. Sebagai pasien, tentunya akan manut saja pada pelayanan dan obat yang diberikan oleh dokter. Hal itu terjadi karena ketidakjelasan tentang apa tindakan yang harus dilakukan oleh dokter dan obat apa saja yang harus diberikan berdasarkan tarif INA-CBG’s.
Sebagai contoh, misal pasien A mengeluh tentang sakit pada bagian perut. Lalu dokter memberikan vonis usus buntu meskipun ternyata tidak seperti itu. Indikasi kecurangan lain adalah jenis obat yang diberikan oleh penyedia layanan kesehatan lebih rendah mutu dan harganya daripada yang tertera pada tarif INA-CBG’s.
Menjawab pertanyaan detikHealth, Kepala Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Donald Pardede mengungkapkan bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh rumah sakit. Pasalnya, melakukan hal tersebut sama saja dengan bunuh diri rumah sakit.
“Tidak mungkin rumah sakit melakukan hal itu. Rumah sakit kan inginnya pasien cepat sembuh, apalagi dokter. Semakin lama pasien sembuh semakin banyak kerjaan dokter kan,” paparnya ketika ditemui detikHealth usai acara diskusi 100 Hari Perjalanan BPJS oleh INHOCH di Galeri Cafe, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (11/4/2014).
dr Donald mengatakan bahwa perbuatan tersebut hanya akan merugikan rumah sakit. Karena pelayanan medis yang buruk atau tidak maksimal akan membuat masyarakat malas berobat, yang berimbas pada tercorengnya nama rumah sakit.
“Misalnya di INA-CBG’s disebutkan bahwa pemberian obat hanya 5 hari. Tapi dokter memberikan obat yang lebih rendah mutunya dan berakibat pasien sembuh lebih lama, jadi seminggu. Itu kan akan mencoreng nama rumah sakit sendiri nantinya. Pasien juga akan mengeluh kok sembuhnya lama,” sambung dokter berkumis tersebut.
Hal yang sama juga dikatakan oleh direktur pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur. Menurutnya rumah sakit tidak akan mungkin melakukan hal itu. Hal tersebut dikarenakan oleh verifikasi klaim yang dilakukan BPJS sangat detail dan teratur.
“Kita kan ada tim verifikasinya. Kalau ditemukan ada keanehan, akan diminta keterangan kembali ke rumah sakit. Misal ada data yang aneh, setelah dikonfirmasi ternyata berkas administrasinya yang kurang. Nah klaim tidak akan dibayar sebelum seluruh berkas dinyatakan lengkap dan sesuai,” papar Fajri pada kesempatan yang sama.
Indikasi kecurangan memang rasanya sulit dilakukan oleh rumah sakit. Akan tetapi, kecurangan malah bisa muncul dari pembayaran kapitasi kepada pelayanan primer seperti puskesmas, klinik atau praktik dokter perorangan. Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Chazali Situmorang mengatakan bahwa hal tersebut sangat mungkin dilakukan oleh puskesmas.
“Kapitasi itu kan sistem pembayaran berdasarkan berapa kepala yang menjadi tanggung jawab puskesmas dan dibayar di muka. Jadi bisa saja diakali dengan merujuk ke rumah sakit tanpa ditangani dokter puskesmas,” papar Chazali.
Jika melakukan hal tersebut, tentunya beban operasional yang menjadi tanggung jawab rumah sakit akan berkurang. Sementara pembayaran biaya pengobatan sudah lebih dulu dilakukan oleh BPJS. Untuk itu, Chazali mengatakan bahwa harus ada pengawasan yang lebih ketat oleh unit terkait.
“Yang tadi itu, harus ada pengawasan lebih ketat oleh pihak terkait. IDI, Kemenkes, DJSN, BPJS juga lembaga lain seperti INHOCH atau BPJS Watch,” pungkasnya.
Sumber: detik.com
International Forum on Quality & Safety in Healthcare – hari 1
International Forum on Quality & Safety in Healthcare:
Strive for Excellence, Seek Value, Spark a Revolution
Pengantar | Hari 1 |
Paris, 8-11 April 2014
Reportase oleh: Hanevi Djasri
Hari I (9 April 2014): Strive for Excellence
“Striving for excellence” adalah bagian penting dari sikap profesional, yaitu berusaha sekuat tenaga untuk mengutamakan mutu, bekerja sebaik mungkin meski terdapat berbagai hambatan, berupaya mencapai yang terbaik (bukan nomor dua terbaik), bekerja dengan semangat dan dengan perasaan senang dan bangga serta juga ikut senang dan bangga kepada orang lain yang bekerja dengan excellence
Pemahaman ini penulis dapatkan ketika mendengarkan sesi keynote 1 dari Maureen Bisognano, President and CEO, Institute for Healthcare Improvement, USA. Sesinya penuh dengan semangat menyelesaikan masalah, tidak hanya berbicara teori dan identifikasi masalah namun lebih banyak kepada solusi baik yang telah dilakukan maupun yang masih dalam bentuk usulan. Sesinya penuh dengan “striving for excellence”.
Tanpa bermaksud mengecilkan para pembicara serupa didalam negeri, para pembicara di forum ini yang sebagian besar berasal dari Eropa dan Amerika, memang terbiasa dengan budaya kerja keras untuk mencapai sesuatu yang luar biasa. Budaya ini mempengaruhi gaya pembicara dimana pada forum ini sebagian besar pembicara mengungkapkan berbagai inovasi dan hasil yang didapat. Hal ini (mungkin) berbeda dengan budaya kita yang sering menerima pencapaian rata-rata sehingga sering pembicara kita sekedar menceritakan teori ataupun permasalahan.
Bisognano mengusulkan berbagai inovasi yang relatif baru dalam upaya peningkatan mutu, namun sebelumnya ia menyampaikan perubahan mental model yang seharusnya sudah dialami bagi para pemimpin bidang kesehatan dari tahun 1980an hingga tahun 2010an baik yang terkait dengan kepuasan pasien, keterlibatan klinisi, pengendalian biaya dan pengukuran kinerja (penulis akan menyusun artikel mengenai hal ini dan akan segera dimuat di web mutupelayanankesehatan.net)
Perubahan mental model para leadership tersebut sepertinya diusulkan oleh Bisognano dengan latar belakang yang sama dengan terbitnya Affordable Care Act atau juga sering disebut sebagai Obamacare, yaitu masalah mutu dan biaya (pada titik ini penulis merasa bangga juga sebagai bangsa Indonesia yang sudah memiliki Jaminan Kesehatan Nasional, yang akan mencakup seluruh rakyat indonesia, yang memiliki nasional single payer healthcare”, yang memiliki sistem pembayaran prospektif payment yang seharusnya dapat mendorong mutu dan efisiensi)
Untuk keluar dari masalah tersebut IHI telah mengajukan konsep Triple Aim, dimana para profesional dibidang kesehatan diharapkan dapat menempatkan diri pada titik ditengah segitiga IHI yaitu sebagai koordinator yang dapat membuat keseimbangan antara status kesehatan masyarakat, kepuasan pasien dalam pelayanan kesehatan dan biaya kesehatan (penulis akan menyusun artikel mengenai hal ini dan akan segera dimuat di web mutupelayanankesehatan.net)
Untuk dapat mencapai Triple Aim tersebut Bisognano mengusulkan agar pengelola pelayanan kesehatan menggunakan pendekatan “Escape Velocity”, sebuah istilah yang diambil dari penerbangan roket di luar angksa, yaitu batas kecepatan yang dibutuhkan sebuah roket untuk dapat keluar dari orbitnya. Dalam mutu pelayanan kesehatan, pendekatan ini digunakan untuk mencari upaya yang dapat membuat tingkat mutu melejit keluar orbit yang bisa-bisa saja menjadi excelent, sebuah peningkatan mutu yang bukan sekedar naik 10% namun peningkatan mutu yang bisa mencapai 10 x lipat (metode ini diadopsi dari dunia pendidikan, baca lebih lanjut pada berita-berita dengan kata kunci “turning classroom upside down” atau “flipped education”).
Usulan inovasi lain dari Bisognano adalah mengkaitkan mutu dengan keuangan melalui Time-Driven Activity Based Costing (TD-ABC) yang saat ini sedang diujicobakan oleh IHI bekerjasama dengan Prof Kaplan dari Havard University untuk operasi penggantian sendi untuk meningkatkan outcome sekaligus menurunkan biaya.
Berbagai usulan tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk implementasi oleh berbagai pembicara lain yang penulis ikuti. Pada hari I terkait dengan peningkatan outcome pelayanan kasus-kasus kronis.
Vickie Kaminski, President and CEO, Eastern Health, Newfoundland and Labrador and Chair, Atlantic Healthcare Collaboration (AHC) Executive Committee, Canadian Foundation for Healthcare Improvement, Canada menyampaikan mengenai membangun kolaborasi untuk tatalaksana diabetes melitus antara keluarga dengan sistem kesehatan. Kaminski menjelaskan bahwa model yang mereka kembangkan terdiri dari Integrated Chronic Care Service, Community Health Teams dan Diabetes Management Centre
Peningkatan outcome untuk diabetes juga disampaikan oleh Claes-Göran Östenson, Professor, Endocrinology, Karolinska Institutet, Sweden. Ostenson mengatakan ada 7 faktor yang dapat membuat tatalaksana diabetes berhasil, yaitu: fokus pada target outcome pasien (HbA1c, BP, Lipid), upaya segera untuk membantu pasien dengan outcome yang tidak baik, kinerja unit diabetes selalu dipantau, akses yang mudah kesumber informasi bagi pasien, ada tindak lanjut dan umpan balik dari hasil pengukuran mutu, peningkatan mutu berkelanjutan serta membangun rasa memiliki untuk program diabetes
Sedangkan Wendy Nicklin, President and CEO, Accreditation Canada, Canada menyampaikan program akreditasi untuk unit stroke. Nicklin menyatakan Kanada telah mengembangkan sistem akreditasi untuk penyakit stroke. Program akreditasi ini dikembangkan bersama dengan Canadian Stroke Network dangan fokus kepada Canadian Best Practice Recommendation for Stroke Care (ini seperti Pedoman Nasional Praktek Kedokteran/PNPK yang dikeluarkan oleh organisasi profesi. catatan: memang merupakan tantangan tersendiri untuk memastikan PNPK benar-benar dijalankan dilapangan, sehingga akreditasi seperti ini mungkin dapat membantu). Program akreditasi ini difokuskan untuk menilai clinical excellence, mutu, keselamatan dan inovasi. Penilaian dilakukan tiap 2 tahun. (informasi lebih lengkap dapat dilihat di www.strokebestpractices.ca
Pembicara berikutnya adalah Kathy Elliott, Programme Director, NHS Improving Quality, England. Elliott menyampaikan mengenai Achieving improved cancer outcomes – a pathway approach, engaging primary care and partners. Elliot mengatakan bahwa Inggris cukup berhasil meningkatkan outcome pasien dengan cancer karena beberapa upaya berikut: Shared purpose, clinical leadership, open approches, relationships and networking, patien and public focus serta sustaining a focus.
Keempat pembicara ini seakan menegaskan bahwa untuk mencapai mutu yang telah mereka capai memang diperlukan sikap “strive for excellent” tidak saja dari leader tapi dari seluruh staf, sebuah budaya bersama.
Pada sesi berikut yang penulis ikuti membahas mengenai “Deliver Value by Desain”. Pembica pertama adalah Anthony M. DiGioia III, MD, Medical Director, PFCC Innovation Center and the Bone and Joint Center, Magee-Womens Hospital of UPMC, USA yang membahas mengenai Deliver value by design with PFCC (Patient and Family Center Care): improve outcomes while reducing costs. DiGioia mengatakan bahwa value pelayanan kesehatan adalah outcome pelayanan kesehatan (yang penting bagi pasien) dibagi dengan biaya.
DiGioia juga menggunakan TDABC yang dapat menghitung biaya dengan tepat dengan mengidentifikasi baik biaya personal, ruangan, peralatan dan bahan habis pakai (TDABC ini dapat dipelajari lebih lanjut “How to Solve the Cost Crisis in Health Care di Havard Business Review 2011)
Pembicara selanjutnya adalah Beverley Fitzsimons, Fellow in Health Policy, the King’s Fund, England yang membawakan presentasinya dengan judul Deliver value by design – Patient and family centred care. FItzsimons menceritakan pengalamannya menggunakan konsep PFCC bahwa untuk mencapai outcome yang luar biasa, diperlukan leadership dan budaya, perhatian dari staff, partnership, realibility care dan evidenced based care.
Fitzsimons kemudian menjelaskan 6 langkah dari PFCC yang juga sudah disampaikan oleh DiGioia yaitu: mengidentifikasi pengalaman pasien, menetapkan pedoman, mengevaluasi kondisi dilapangan, mengembangkan working group, menyebarluaskan visi tentang pengalaman pasien yang ideal serta mengidentifikasi project PFCC untuk dijalankan.
Sesi terakhir mengenai Indikator Mutu Nasional. Sesi ini menghadirkan pembicara dari 2 negara yaitu Belanda dan Swedia yang diposisikan untuk beradu argumentasi, yaitu Ian Leistikow, MD PhD, dan Jan Maarten van den Berg, keduanya adalah Senior Inspector, Dutch Healthcare Inspectorate, the Netherlands serta Fredrik Westander, Consultant, Regional Health Care Quality Comparisons, Swedish Association of Local Authorities and Regions (SALAR), National Board of Health and Welfare, Sweden.
Perdebatan terkait dengan berbagai opsi: apakah memilih prioritas menetapkan daftar indikator yang ideal atau membangun sistem pengukuran indikator dahulu, apakah tercapainya indikator yang terpenting atau proses peningkatan mutu yang lebih baik, apakah fokus kepada beberapa indikator dulu atau langsung menyediakan daftar lengkap indikator, apakah fokus kepada benchmarking atau pada quality improvement.
Kedua negara mengambil opsi yang berbeda, namun tentunya mereka mengambil kesimpulan bahwa dua kutub perbedaan opsi tersebut sebenarnya sama-sama penting.
International Forum on Quality & Safety in Healthcare – pengantar
International Forum on Quality & Safety in Healthcare:
Strive for Excellence, Seek Value, Spark a Revolution
Pengantar | Hari 1 |
Paris, 8-11 April 2014
Reportase oleh: Hanevi Djasri
Pengantar Reportase
British Medical Journal (BMJ) dan Institute for Healthcare Improvement (IHI) kembali mengadakan forum internasional untuk membahas berbagai perkembangan upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan. Forum ini diselenggarakan di The Le Palais des Congres, Paris, Perancis dan pada hari pertama tercatat diikuti oleh 3.030 peserta dari 78 negara.
Forum dibuka oleh Fiona Godlee, Editor in Chief, British Medical Journal dan juga oleh Jean Luc Harrouseau, Presiden, Haute Autorite de Sante (HAS) yang menjelaskan mengenai gambaran umum isi forum. Forum terdiri dari kegiatan pre-forum (1 hari) dan forum utama (3 hari) yang dibagi menjadi yaitu 6 topik utama: Improving clinical performance, Safe and reliable care, Patient and family centred care, Leading effective change, Improving population and community health dan Technology and innovation.
Penulis sebagai wakil di PKMK FK-UGM yang juga sebagai peserta satu-satunya dari Indonesia, memilih untuk mengikuti topik-topik yang terkait dengan Improving clinical Performance dan Leading Effective Change, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa pada tahun 2014 ini kami di PKMK FK-UGM memiliki penelitian yang cukup besar mengenai “Pengembangan Model Pelayanan TB yang Efektif dan Efisien di RS”. Topik-topik terpilih diharapkan dapat memerikan masukan bagi penelitian tersebut dan juga untuk dapat memberikan masukan bagi berbagai upaya peningkatan mutu di Indonesia.
Total disajikan sebanyak 85 sesi dalam waktu 3 hari baik sesi pleno maupun pararel. penulis mengikuti 15 sesi. Setiap sesi saling terkait satu sama lain, sehingga laporan reportase ini tidak disusun berdasarkan sesi namun berdasarkan topik/isue yang disampaikan oleh berbagai pembicara dari berbagai sudut pandang. Reportase ini juga dilengkapi dengan beberapa catatan untuk konteks Indonesia menurut pandangan penulis.