Jakarta, Tarif INA-CBG’s yang ada dalam program JKN dinilai terlalu rendah oleh para dokter. Akan tetapi, laporan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa 97 persen rumah sakit mengalami surplus dengan berlakunya tarif tersebut. Bagaimana bisa?
Wajar jika masyarakat menilai adanya kecurangan pada sistem tarif tersebut. Sebagai pasien, tentunya akan manut saja pada pelayanan dan obat yang diberikan oleh dokter. Hal itu terjadi karena ketidakjelasan tentang apa tindakan yang harus dilakukan oleh dokter dan obat apa saja yang harus diberikan berdasarkan tarif INA-CBG’s.
Sebagai contoh, misal pasien A mengeluh tentang sakit pada bagian perut. Lalu dokter memberikan vonis usus buntu meskipun ternyata tidak seperti itu. Indikasi kecurangan lain adalah jenis obat yang diberikan oleh penyedia layanan kesehatan lebih rendah mutu dan harganya daripada yang tertera pada tarif INA-CBG’s.
Menjawab pertanyaan detikHealth, Kepala Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Donald Pardede mengungkapkan bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh rumah sakit. Pasalnya, melakukan hal tersebut sama saja dengan bunuh diri rumah sakit.
“Tidak mungkin rumah sakit melakukan hal itu. Rumah sakit kan inginnya pasien cepat sembuh, apalagi dokter. Semakin lama pasien sembuh semakin banyak kerjaan dokter kan,” paparnya ketika ditemui detikHealth usai acara diskusi 100 Hari Perjalanan BPJS oleh INHOCH di Galeri Cafe, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (11/4/2014).
dr Donald mengatakan bahwa perbuatan tersebut hanya akan merugikan rumah sakit. Karena pelayanan medis yang buruk atau tidak maksimal akan membuat masyarakat malas berobat, yang berimbas pada tercorengnya nama rumah sakit.
“Misalnya di INA-CBG’s disebutkan bahwa pemberian obat hanya 5 hari. Tapi dokter memberikan obat yang lebih rendah mutunya dan berakibat pasien sembuh lebih lama, jadi seminggu. Itu kan akan mencoreng nama rumah sakit sendiri nantinya. Pasien juga akan mengeluh kok sembuhnya lama,” sambung dokter berkumis tersebut.
Hal yang sama juga dikatakan oleh direktur pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur. Menurutnya rumah sakit tidak akan mungkin melakukan hal itu. Hal tersebut dikarenakan oleh verifikasi klaim yang dilakukan BPJS sangat detail dan teratur.
“Kita kan ada tim verifikasinya. Kalau ditemukan ada keanehan, akan diminta keterangan kembali ke rumah sakit. Misal ada data yang aneh, setelah dikonfirmasi ternyata berkas administrasinya yang kurang. Nah klaim tidak akan dibayar sebelum seluruh berkas dinyatakan lengkap dan sesuai,” papar Fajri pada kesempatan yang sama.
Indikasi kecurangan memang rasanya sulit dilakukan oleh rumah sakit. Akan tetapi, kecurangan malah bisa muncul dari pembayaran kapitasi kepada pelayanan primer seperti puskesmas, klinik atau praktik dokter perorangan. Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Chazali Situmorang mengatakan bahwa hal tersebut sangat mungkin dilakukan oleh puskesmas.
“Kapitasi itu kan sistem pembayaran berdasarkan berapa kepala yang menjadi tanggung jawab puskesmas dan dibayar di muka. Jadi bisa saja diakali dengan merujuk ke rumah sakit tanpa ditangani dokter puskesmas,” papar Chazali.
Jika melakukan hal tersebut, tentunya beban operasional yang menjadi tanggung jawab rumah sakit akan berkurang. Sementara pembayaran biaya pengobatan sudah lebih dulu dilakukan oleh BPJS. Untuk itu, Chazali mengatakan bahwa harus ada pengawasan yang lebih ketat oleh unit terkait.
“Yang tadi itu, harus ada pengawasan lebih ketat oleh pihak terkait. IDI, Kemenkes, DJSN, BPJS juga lembaga lain seperti INHOCH atau BPJS Watch,” pungkasnya.
Sumber: detik.com