manajemenrumahsakit.net :: Jakarta – Rumah Sakit (RS) Jogja meluncurkan Forum Anak Hebat untuk mewadahi anak-anak berkebutuhan khusus yang rutin melakukan pengecekan atau terapi di sana. Mereka rutin mendatangi layanan rehabilitasi medis, layanan tumbuh kembang, dan terapi wicara. Di sana, mereka dilayani dokter anak, psikolog
RS Swasta di Nepal Tolak Pasien Miskin Korban Gempa
manajemenrumahsakit.net :: Kathmandu — Sejumlah rumah sakit di Kathmandu, Nepal, diperintahkan pemerintah untuk membebaskan segala biaya pengobatan bagi semua korban gempa. Perintah dikeluarkan setelah muncul laporan adanya beberapa RS swasta yang menolak pasien miskin.
“RS swasta yang menolak menangani korban gempa bumi akan dicabut izin usahanya,” tulis jurnalis Nepal, Kanak Mani Dixit, yang menuliskan pesan pemerintah di akun Twitter, seperti dikutip The Guardian, Selasa (28/4/2015).
Senin kemarin, koresponden Washington Post, Anup Kaphle, melaporkan RS Katmandu Medical College menolak pasien yang tak mampu membayar pengobatan.
Data resmi korban tewas sejauh ini mencapai 4.352 orang, dengan lebih dari 8.000 lainnya terluka. Jumlah pasti korban belum dapat diketahui hingga petugas mampu mencapai sejumlah desa yang “rata dengan tanah” di area-area terpencil.
“Korban tewas dapat terus meningkat hingga 10 ribu karena informasi dari desa-desa terpencil yang terkena gempa bumi belum masuk,” kata PM Nepal Sushil Koirala.
Terdapat beberapa korban tewas di luar Nepal, yakni 18 di Gunung Everest, 61 di India dan 25 di pegunungan Tibet, Tiongkok.
Sejumlah ahli kegempaan menyebut daratan Kathmandu diduga sudah bergeser sekitar tiga meter. Ini diperkirakan berdasarkan data seismologi dari gelombang suara yang merambat di lapisan tanah setelah gempa.
Berbagai negara asing dan organisasi internasional sudah mulai berdatangan untuk membantu korban Nepal. Upaya mereka terhambat keterbatasan akses bandara dan belum pulihnya jaringan listrik serta komunikasi.
Sumber: lampost.co
Rumah Sakit Umum Ini Pekerjakan Robot
manajemenrumahsakit.net :: Sebuah rumah sakit mengklaim telah mempekerjakan robot dan melengkapi gedungnya dengan teknologi rekayasa canggih. Pasien bisa
Bupati Kobar H Ujang Iskandar Resmikan Rumah Sakit Rakyat
manajemenrumahsakit.net :: SALAH satu puskesmas yang statusnya resmi ditingkatkan menjadi Rumah Sakit Rakyat (RSR) adalah
Jokowi Paksa 600 RS Swasta Gabung BPJS Kesehatan
JAKARTA- Sebanyak 600 RS Swasta belum melakukan kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Presiden Joko Widodo akan menggunakan kewenangannya untuk memaksa seluruh RS tersebut untuk melayani BPJS Kesehatan.
“Kalau BPJS enggak bisa, saya gunakan kewenangan saya untuk memaksa. Dulu waktu di Jakarta sama, kalau enggak dipaksa , RS mau cari untung sendiri, sakit-sakit sudah mau masuk ditolak gimana, faktanya masih 600 RS,” katanya di PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari Jakarta Utara, Selasa (28/4/2015).
Presiden menambahkan, bagi RS yang kekeuh tidak mau bekerjasama dengan BPJS apapun alasannya bakal dipersulit dalam segala macam perizinan. Dalam waktu dekat rumah sakit itu akan dipanggil satu per satu oleh Jokowi.
“Rakyat harus dinomorsatukan. Saya nanti diberi datanya, saya panggili satu-satu biar kapok. Mau apa enggak mau, kalau enggak mau enggak apa-apa, nanti saya tidak kasih izin, rugi dikit toh dibayar negara, rumah sakit kan nge-charge ke negara, RS terus gratisan kan enggak,” tegas Presiden.
Jika pelayanan rumah sakit masih jelek, Jokowi tidak menutup mata karena kenyataan di lapangan masih seperti itu. Pemerintah berjanji akan memeprbaiki pelayanan yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat.
“Saya akan perbaiki, kalau perlu Menteri Kesehatan diberikan sanksi-sanksi kepada RS yang tidak bisa memberikan layanan kesehatan ,” ujar Jokowi.
Sumber: bisnis.com
Jokowi Akan Beri Sanksi RS yang Tolak Pasien BPJS
JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan akan memberi sanksi kepada rumah sakit yang menolak melayani pasien yang memegang kartu BPJS Kesehatan.
Medical Tourism: 20 Rumah Sakit Ini Raih Akreditasi Internasional
manajemenrumahsakit.net :: JAKARTA — Singapura dan Malaysia selama ini menjadi destinasi wisata kesehatan yang banyak dikunjungi masyarakat Indonesia.
Mereka melakukan vakansi sambil berobat atau melakukan medical check up di negeri Jiran tersebut. Salah satu alasannya karena pelayanan kesehatan yang diberikan negara tersebut masih lebih baik dibanding dalam negeri.
Kondisi ini disayangkan Ketua Komite Akreditasi Rumah Sakit Sutoto. Menurutnya Indonesia sebenarnya sangat layak menjadi destinasi wisata medis, salah satu bagian dari wisata kesehatan.
Edisi Minggu ini: 28 April – 4 Mei 2015
Dear Pengunjung website, Seminar Pengorganisasian Perangkat Daerah Pelaksana Urusan Kesehatan
28 Apr2015
RKA dan Perpres 70/2012 pada BLUDRKA dan Perpres 70/2012 pada BLUD Putu Eka Andayani* Banyak RS pemerintah khususnya milik Pemda yang meskipun sudah ditetapkan menjadi BLUD (Badan Layanan Umum Daerah), namun kenyataannya masih seperti SKPD biasa khususnya dalam perencanaan. Hal ini ditunjukkan dengan masih disusunnya dokumen RKA (Rencana Kerja Anggaran) disamping menyusun RBA (Rencana Business Anggaran). Bahkan ada beberapa daerah/RSUD yang menerjemahkan bahwa RBA disusun dengan anggaran yang berasal dari pendapatan operasional, sedangkan untuk penggunaan anggaran yang berasal dari APBD, maka RSUD menyusun RKA. Pendapat ini tentu keliru. Pertama, BLUD adalah suatu perubahan pengelolaan keuangan pada suatu organisasi pemeritah (yang ditetapkan oleh kepala daerah setelah memenuhi syarat), bukan model pengelolaan keuangan pada satu atau lebih sumber pendanaan tertentu. Artinya, saat sebuah RSUD sudah ditetapkan sebagai BLUD, maka darimanapun asal pendapatannya, semuanya dikelola dalam satu sistem keuangan pncatatan dan pelaporan yang terintegrasi. Yang berbeda hanyalah cara penggunaannya. Dana yang berasal dari APBD, saat akan dibelanjakan, harus menggunakan mekanisme APBD (Perpres 70/2012), sedangkan untuk dana yang berasal dari non-APBD, RSUD menggunakan Peraturan Bupati yang dibuat khusus untuk hal tersebut. Namun perencanaan penggunaannya (maupun pelaporannya) dilakukan dalam satu dokumen yaitu Dokumen RBA. Dengan demikian, RSUD tidak perlu lagi menyusun RKA. Hal ini sesuai dengan amanat Permendagri 61/2007 khususnya pasal 75 Ayat (3) yang menyatakan: RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dipersamakan sebagai RKA- SKPD/RKA-Unit Kerja. Kedua, banyak yang masih ragu-ragu dalam menggunakan fleksibilitas meskipun sudah diatur dengan Peraturan Bupati, khususnya fleksibilitas dalam pengadaan barang dan jasa. Sebagaimana telah diatur dalam Pemendagri, SKPD yang telah ditetapkan sebagai BLUD memiliki banyak fleksibilitas, salah satunya adalah dalam hal pengadaan barang dan jasa. Tujuan pemberian fleksibilitas ini adalah untuk mengurangi birokrasi di SKPD yang bersangkutan, agar pelayanan pada masyarakat tidak terganggu atau terhambat dengan mekanisme penetapan anggaran daerah. Ini adalah pengecualian bagi BLUD dalam menerapkan aturan yang berlaku bagi instansi pemerintah. Namun pengecualian atau fleksibilitas ini perlu diatur lagi dengan peraturan kepala daerah. Keraguan muncul karena Peraturan Kepala Daerah dan bahkan Permendagri 61/2007 berkedudukan lebih rendah dibandingkan dengan Perpres 70/2012 yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa. Jika struktur peraturan dan kaitan satu sama lain dipahami dengan benar, kekeliruan penafsiran tersebut tidak perlu terjadi. Memang benar bahwa Permendagri 61/2007 berkedudukan lebih rendah daripada Perpres 70/2012. Namun peraturan terkait BLUD harus dilihat secara utuh. Permendagri 61/2007 tersebut tidaklah berdiri sendiri, melainkan didasarkan pada PP No. 23/2005 tentang Badan Layanan Umum. Sementara itu, PP 23/2005 itu sendiri didasarkan pada UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dengan demikian, Permendagri 61/200 memiliki dasar yang sangat kuat dan dilindungi UU. Adapun Perpres 70/2012 berada pada “jalur” peraturan yang berbeda dengan BLUD (lihat gambar). Inilah yang merupakan bentuk fleksibilitas/pngecualian BLUD yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kinerja pelayanan, kinerja keuangan dan kinerja manfaat lembaga pelayanan publik. Catatan: Tulisan ini dibuat berdasarkan temuan beberapa RSUD, khususnya di luar Jawa dan Bali yang sudah ditetapkan menjadi BLUD namun membuat RKA untuk anggaran yang berasal dari APBD dan menyusun RBA untuk dana non-APBD. *Penulis adalah konsultan pada Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
28 Apr2015
Seminar Pengorganisasian Perangkat Daerah Pelaksana Urusan KesehatanReportase: Seminar Pengorganisasian Perangkat Daerah Pelaksana Urusan Kesehatan Seminar Pengorganisasian Perangkat Daerah Pelaksana Urusan Kesehatan telah diselenggarakan Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA) pada 25 April 2015 di Ruang Gradhika Bhakti Praja, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Semarang. Seminar ini diikuti oleh : Kepala Dinas Kesehatan Provinsi , Kepala Biro Organisasi Pemerintah Provinsi , Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota , Kepala Bagian Organisasi Pemerintah Kabupaten/Kota, para Direktur Rumah Sakit Daerah, Akademisi, dan pemerhati Rumah Sakit. Seminar ini membahas implikasi UU baru mengenai Pemerintahan Daerah dalam tata kelola perangkat daerah di sektor kesehatan. tema secara lebih khusus mengenai hubungan RSD dengan DInas Kesehatan. Seminar dibuka dengan keynote address oleh Sekda Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Para pembicara yang mengisi Sesi 1 antara lain: Kepala Biro Organisasi Kementerian Dalam Negeri, Kepala Biro Organisasi Kementerian PAN & RB, dan Kepala Biro Organisasi Kementerian Kesehatan. Akademisi dan Ketua Adinkes menjadi pembahas kali ini, yaitu Prof. dr Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD dan Dr. Krishnajaya MS. Kemudian, pada sesi 2, Ketua Umum Adinkes, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur dan Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta tampil sebagai pembicara. Melalui kesempatan ini, secara keseluruhan dalam Pengorganisasian Perangkat Daerah dalam Sektor kesehatan, para peserta mengharapkan RSD tidak masuk menjadi UPT DInas Kesehatan. Demikian pula harapan Ketua Adinkes Dr. Krishnajaya dalam pembahasannya, jangan sampai RSD menjadi UPT Dinkes kembali. Alternatif yang sangat tepat yaitu sesuai dengan Pasal 231 UU Pemerintah Daerah yang baru. Harapannya, kelembagaan RSD merupakan perangkat daerah yang langsung bertanggungjawab kepada Kepala Daerah {namun RSD mempunyai otonomi manajemen}, tetapi secara operasional (teknis fungsional kesehatan) bertanggungjawab kepada Dinas Kesehatan sebagai penanggungjawab sektor kesehatan (termasuk fungsi regulator) di daerah. Rekomendasi ini didasarkan pada pasal 231 Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 yang disandingkan dengan Undang Undang nomor 44 Tahun 2009 tentang RS. (Laksono Trisnantoro) |