BPJS Kesehatan Evaluasi Pelayanan Rumah Sakit
Pekanbaru : Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Divisi Regional (Divre) II Sumatera Bagian Tengah (Sumbangteng) terus melakukan evaluasi dalam rangka perbaikan terhadap pelayanan yang diberikan rumah sakit yang selama ini bekerjama dengan BPJS Kesehatan untuk memberikan layanan kesehatan kepada peserta BPJS Kesehatan.
Hal itu dikatakan Kepala BPJS Kesehatan Divre II Sumbangteng, Benjamin Saut kepada Radio Republik Indonesia, Kamis (28/1/2016).
Dia mengatakan upaya itu sebagai bentuk evaluasi yang kembali ditegaskan dalam perjanjian kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan pihak rumah sakit pada 7 Januari 2016 lalu.
“Upaya itu sebenarnya dimaksudkan guna mengintensifkan pemantauan terkait komitmen rumah sakit dalam meningkatkan kualitas pelayanan pada kasus rujukan bagi pasien,” dalihnya.
Menurutnya, pada tahun 2016 ini, BPJS Kesehatan terus menambah unit rumah sakit yang akan memberikan pelayanan pada peserta BPJS Kesehatan sehingga tidak terjadi penumpukan di salah satu fasilitas kesehatan primer.
“Sesuai kesepakatan antara BPJS Kesehatan bersama Persi atau Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia cabang Riau, jika rumah sakit melanggar kesepakatan dan muncul kasus pengaduan pasien maka akan dimediasi BPJS Kesehatan. Jika mediasi tidak bisa ditempuh maka BPJS Kesehatan akan memberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga hingga diputusnya hubungan kerjasama,” ancamnya.
Sementara itu BPJS Kesehatan Cabang Pekanbaru, juga terus melakukan perbaikan terhadap pelayanan yang diterapkan bagi 24 rumah sakit yang ada di Pekanbaru. Sebagai bentuk evaluasi yang kembali ditegaskan dalam perjanjian kerja sama.
Menurut Kanit Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan, BPJS Kesehatan Cabang Pekanbaru, Hari Purnama, upaya itu guna mengintensifkan pemantauan terkait komitmen 24 rumah sakit dalam meningkatkan kualitas pelayanan pada kasus rujukan bagi pasien.
“Pemantauan dilakukan sebagai tindaklanjut dari perjanjian kerjasama yang disepakati antara rumah sakit dengan BPJS Kesehatan pada 7 Januari 2016, di Pekanbaru,” katanya.
Menurut Hari, BPJS Kesehatan cabang Pekanbaru telah bekerjasama dengan 24 rumah sakit yang aktif mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu. Sedangkan Untuk tahun 2016 ini dari 24 RS akan bertambah dua unit lagi yakni RS Bersalin Annisa di Tandun dan di Garuda sehingga menjadi 26 RS.
“Dua RS yang akan bergabung ini sudah menandatangani kesepakatan kerjasama dan segera mengaktifkan pelayanan pada peserta BPJS Kesehatan,” urainya.
Selama ini bentuk-bentuk kecurangan yang dilakukan bisa saja berasal dari BPJS Kesehatan, peserta atau RS antara lain berupa kerja sama mendapatkan keuntungan, tagihan ganda atau penggelembungan biaya. Bagian lain dari komitmen yang disepakati RS bersama BPJS Kesehatan pada 7 Januari 2016 itu juga adalah RS mengedukasi pasien sesuai hak kelas kepesertaannya dan tidak menetapkan selisih iuran biaya. Disamping itu komitmen alur pelayanan terhadap pedaftaran peserta yang diberlakukan 3 x 24 jam. (TS)
Sumber: rri.co.id
Membludak, Pasien DBD Dirawat di Lorong Rumah Sakit
Indramayu – Pasien penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dirawat di RSUD Indramayu membludak. Tempat tidur pun penuh dan pasien terpaksa dirawat di lorong rumah sakit tersebut.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, belasan pasien anak penderita DBD harus dirawat di lorong ruang anak RSUD Indramayu. Dengan menggunakan velbed atau tempat tidur darurat, mereka pun mendapatkan perawatan dari pihak rumah sakit. Perawatan di lorong rumah sakit terpaksa dilakukan karena seluruh tempat tidur di ruang anak telah penuh terisi.
Tak hanya di lorong ruang perawatan, sejumlah pasien pun harus menjalani rawat inap di ruang instalasi Gawat Darurat juga dengan menggunakan velbed. Mereka rela menunggu berhari-hari untuk bisa masuk ke ruang perawatan. “Anak saya kena DBD, tapi semua ruangan penuh,” kata orangut pasien, Elisa, saat menunggui anaknya di ruang IGD. Sang anak sendiri sudah dirawat sejak 2 hari lalu.
Hal senada diungkapkan orangtua pasien penderita DBD lainnya,Sapin. Sapin pun harus merelakan anaknya dirawat menggunakan velbed karena tidak kebagian tempat tidur. “Semua ruangan penuh,” kata Sapin. Karenanya Sapin pun merelakan anaknya dirawat di velbed. Baginya yang penting anaknya secepatnya mendapatkan penanganan dan perawatan dari rumah sakit.
Direktur Utama (Dirut) RSUD Indramayu, Deden Boni Koswara, mengakui jika kapasitas tempat tidur di RSUD Indramayu memang tidak mencukupi untuk menampung lonjakan pasien penderita DBD. “Padahal kami sudah menambahkan 33 velbed,” kata Deden. Bahkan Deden pun mengakui jika yang diruang IGD sejak hari Ahad kemarin bleum masuk ke ruangan. “Tapi kami sudah memetakan agar bisa masuk segera ke ruangan,” kata Deden.
Dijelaskan Deden, sejak Oktober 2015 hingga 27 Januari 2016, jumlah pasien penderita DBD yang dirawat di RSUD Indramayu sudah mencapai 180 orang. Dari jumlah tersebut, korban yang meninggal dunia mencapai 21 orang. “Kasus DBD saat ini memang terus meningkat,” kata Deden. Salah satu penyebabnya dipicu oleh kondisi cuaca yang kerap berganti dari hujan ke panas.
Karenanya Deden pun menghimbau agar masyarakat rajin membersihkan lingkungan dengan melaksanakan pemberantasa sarang nyamuk (PSN). “Yaitu dengan gerakan 3 M (mengubur, menutup, menguras),” kata Deden. Cara itu menurut Deden lebih efektif untuk mencegah penyebaran nyamuk Aedes Aegypti yang menjadi penyebab penyakit DBD.
IVANSYAH
Sumber: tempo.co
Fasilitas Rumah Sakit Aloei Saboe Belum Memadai
GORONTALO – Rumah Sakit Aloei Saboe (RSAS) daerah Kota Gorontalo belakangan terakhir terus menjadi perhatian. Membeludaknya jumlah pasien, serta kurangnya ruang inap menjadi permasalahan utama yang dihadapi pihak RSAS pekan lalu.
Melihat kondisi itu, Selasa, (26/1), auditor utama keuangan negara VI BPK RI, Sjarifuddin Mosii turun langsung melihat situasi rumah sakit bertipe B tersebut. Dari hasil pantauan Sjarifuddin bahwa masih banyak fasilitas RSAS yang belum memadai.
“Jika melihat tipe dari rumah sakit terbesar di provinsi Gorontalo, seharusnya lengkap. Sehingga kecil kemungkinan pasien yang dirawat di RSAS itu dirujuk di luar daerah. Kecuali memang diagnosanya sangat parah,” kata Sjarifuddin usai mengecek kondisi RSAS Kota Gorontalo.
Berkunjung di ruang ICCU, Sjarifuddin menemukan bahwa di ruang khusus penyakit jantung tersebut. USG untuk para pasien jantung dalam kondisi rusak.
“Tes Ekokardiografi atau USG jantung, atau yang lebih sering disingkat dengan sebutan Echo, katanya rusak. Padahal itu sangat diperlukan oleh pasien jantung. Bagaimana rumah sakit bertipe B terus fasilitas krusial seperti itu rusak. Harus cepat ditangani,” tutur Sjarifuddin.
“Dari informasi setiap pasien yang saya kunjungi, mereka mengungkapkan bahwa untuk penanganan dan pelayanan dari RSAS sendiri sudah baik. Namun harus lebih ditingkatkan lagi,” lanjutnya.
Sementera itu direktur RSAS, dr. Andang mengatakan bahwa sampai saat ini pihaknya terus mengupayakan untuk terus menambah kapasitas daya tampung serta menambah fasilitas yang masih kurang tersebut.
“Memang untuk Echo itu kondisinya masih rusak, tapi dalam waktu satu minggu mudah-mudahan kita sudah punya yang baru. Sementara itu kita terus akan melengkapi infrastruktur, penambahan gedung dan peralatan serta paling penting SDM,” kata dr. Andang.
Sumber: hargo.co.id
Pelayanan RS Pemerintah Harus Tiru RS Swasta
JAKARTA – Kesenjangan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan di Indonesia masih belum bisa diatasi. Hal itu tak lepas dari minimnya tenaga medis di Tanah Air karena jumlahnya tak sebanding dengan penduduk di negeri ini.
Setiap tahun, fakultas kedokteran dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia hanya meluluskan 7.000 sarjana. Sedangkan jumlah bayi yang lahir mencapai 3 juta. Melihat kondisi seperti itu, taipan Mochtar Riady berupaya mendirikan rumah sakit di berbagai kota, yaitu RS Siloam dari Lippo Group, untuk memberikan kemudahan para pasien.
Dia menyebut, perbandingan jumlah dokter dengan penduduk di Indonesia tidak seimbang, khususnya spesialis sangat kurang. Kemudian, fasilitas pelayanan kedokteran hanya terpusat di Ibu Kota dan kota-kota besar.
“Sedangkan di kota lain tidak punya alat yang canggih dan dokter yang memadai. Kalau saya diberi kesempatan (umur panjang)
oleh yang di Atas, saya ingin membangun rumah sakit lebih banyak lagi,” tutur Mochtar Riady saat peluncuran buku Otobiografinya yang berjudul ‘Manusia Ide’ di Hotel Aryaduta, Jakarta.
Kini, Mochtar memiliki 19 rumah sakit yang tersebar di berbagai kota, seperti Jakarta, Tangerang, Depok, Bali, Jambi, Balikpapan, Manado, Makassar, Palembang dan terakhir Kupang pada 2014.
Dia mengatakan, saat mendirikan RS Siloam di Kupang, pihaknya mengundang Presiden Joko Widodo untuk meresmikan rumah sakit swasta tersebut. Kebetulan, Presiden Jokowi memiliki agenda kenegaraan di wilayah itu.
Saat hendak datang ke rumah sakit miliknya, Jokowi mampir terlebih dulu ke RSUD Kupang. Di lokasi itu, RSUD terlihat begitu kumuh dan kotor.
“Pertanyaan saya adalah, RS Umum milik pemerintah, gedung dikasih pemerintah, gaji karyawan oleh pemerintah dan tarifnya BPJS, tapi kenapa bisa begitu kumuh. Lalu rumah sakit saya (Siloam) juga BPJS, tapi kami tidak dapat bantuan apapun dari pemerintah, tapi kita untung. Di sini saya harapkan rumah sakit umum harus bisa sama dengan rumah sakit swasta dalam memberikan layanan yang baik,” ungkap dia.
(Arif M Iqbal / CN26 / SM Network)
Sumber: suaramerdeka.com
BPJS dan Rumah Sakit Harus Saling Dukung
Masih adanya keluhan peserta BPJS Kesehatan terhadap pelayanan rumah sakit di Pekanbaru cukup membuat anggota DPRD Kota Pekanbaru Jhon Romi Sinaga prihatin. Ia pun menegaskan aar antara BPJS Kesehatan Pekanbaru dengan rumah sakit mitraBPJS saling mendukung dan bersinergi memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat.
Politikus PDIP Perjuangan ini mengaku banyak menerima keluhan masyarakat ketika menggunakan kartu berobat BPJS. Ada yang langsung ditolak pihak rumah sakit dan ada juga yang dipersulit dan bertele-tele.
”Saya melihat, antara BPJS dan rumah sakit yang bekerja sama itu tidak saling mendukung,” kataanggota Komisi III ini, Ahad (24/1).
Ia berharap harus ada sanksi tegas dan aturan hukum untuk masalah ini. Baik terhadap rumah sakit yang menolak pasien BPJS, melayani separuh hati, dan tidak memuaskan pasien, maupun ketika BPJS terlambat mengucurkan anggarannya untuk pasien berobatnya di RS. ”Harusnya ada sanksi dan aturan hukumnya agar program pemerintah dalam memberikan layanan kesehatan murah ini maksimal, bukan malah membuat masyarakat menderita,” ungkapnya.
Sumber: riaupos.co
Perdangan Ginjal Libatkan 3 Rumah Sakit di Jakarta
JAKARTA — Kepolisian menyebut kasus perdagangan organ ginjal melibatkan tiga rumah sakit di Jakarta sebagai tempat dilakukannya operasi transplantasi ginjal. Kendati demikian, Umar enggan menyebut inisial dari ketiga nama rumah sakit tersebut.
“Tiga rumah sakit di Jakarta, RS swasta dan negeri,” kata Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Kombes Umar Surya Fana di Mabes Polri, Rabu (27/1).
Umar mengatakan, korban, perekrut, dan rumah sakit menjalankan aksinya secara terorganisir dalam sebuah jaringan tertutup. Tujuh korban dalam kasus ini yakni HLL, IS, AK, SU, JJ, DS, dan SN. Para korban tersebut umumnya berasal dari kalangan menengah kebawah.
Ada tiga tersangka yang telah berhasil dibekuk Bareskrim. Mereka adalah HS, AG, dan DD. HS ditangkap polisi di Jakarta. Sementara AG dan DD diringkus di Bandung, Jawa Barat. Dalam kasus ini, HS berperan sebagai penghubung ke rumah sakit.
“AG dan DD berperan merekrut pendonor (korban),” katanya.
Umar menjelaskan, HS menginstruksikan AG dan DD untuk mencari korban pendonor ginjal. AG bertugas mencari pendonor dengan imbalan Rp 80 juta hingga Rp 90 juta. Lalu korban diantarkan kepada DD untuk dicek kondisi ginjalnya di sebuah laboratorium di Bandung. Setelah ginjal korban dinyatakan sehat, hasil lab kemudian diberikan kepada penerima ginjal.
Setelah itu, HS, korban, dan penerima ginjal bertemu dengan dokter ahli ginjal di sebuah rumah sakit di Jakarta untuk membahas hasil lab tersebut. Kemudian dokter tersebut memberikan surat pengantar ke rumah sakit untuk cross match (pencocokan darah), CT scan ginjal, pemeriksaan jantung, paru, dan pemeriksaan psikiater.
“Setelah dinyatakan memenuhi syarat untuk transplantasi ginjal, kemudian hasil tersebut diberikan kepada tim dokter yang melakukan transplantasi. Lalu diadakan rapat dokter untuk menentukan tanggal operasi,” katanya.
Kemudian, HS membuat surat persetujuan untuk ditandatangani pihak keluarga dan korban sebagai persyaratan sebelum operasi dilakukan. “Surat tersebut lalu diserahkan oleh HS ke bagian administrasi di rumah sakit, kemudian baru dilakukan operasi transplantasi ginjal dari korban ke penerima ginjal,” katanya.
Umar mengatakan, dalam kasus ini, penerima ginjal dikenakan biaya Rp 225 juta – Rp 300 juta untuk pembelian satu ginjal dengan uang muka sebesar Rp 10 juta – Rp 15 juta. “Sisa pembayaran dilakukan setelah operasi transplantasi dilakukan,” katanya.
Sumber: republika.co.id
Rumah Sakit Islam Berdiri di Purworejo
Loano — Pj. Bupati Purworejo, Agus Utomo, S.sos, menegaskan, institusi rumahsakit dituntut melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya, dan harus mampu bersaing dalam pelayanan yang bermutu. Hal itu dikatakan Agus Utomo saat peresmian Rumah Sakit Islam (RSI) Purworejo di Desa Loano, Kecamatan Loano, Selasa (26/01/2016).
“Pemda memang telah memiliki RSUD, Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Poliklinik Desa. Namun dengan keterbatasannya, institusi kesehatan milik Pemda belum bisa layani seluruh masyarakat secara optimal,” tandasnya.
Menurut Pj. Bupati, keberadaan rumah sakit swasta sangat penting dan strategis dalam membantu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
“Saya rasa wajar jika biaya pelayanan di RS swasta relatif lebih mahal karena investasi dan biaya operasionalnya sangat besar,” ujar Agus Utomo.
Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo, dr. H. Kuswantoro, M.Kes, menghargai upaya pendirian RSI di kawasan utara Purworejo yang dinilai strategis. Sehingga masyarakat di wilayah utara dapat lebih mudah dan cepat dalam mengakses layanan kesehatan.
“RSI akan maju dan berkembang jika pelayanannya cepat dan baik. Tapi jika pelayanan buruk, pasti lambat laun akan ditinggalkan masyarakat,” tandasnya.
Direktur RSI Purworejo, dr. Ulfah Hidayah, M.Kes menjelaskan, RSI dibangun untuk membantu Pemda di bidang pelayanan kesehatan. RSI bermitra dengan RS yang sudah ada, bertekad jadi RS pilihan masyarakat dengan pelayanan profesional dan islami.
Sumber: sorotpurworejo.com
Rumah Sakit Siapkan 70 Kasur Antisipasi Eks Anggota Gafatar Sakit
Semarang – Tujuh puluh kasur telah disiapkan RSUP Kariadi, Semarang untuk eks anggota Gafatar yang tiba di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Puluhan tempat tidur itu ditempatkan di bangsal transit.
“Sebelumnya kami dapat info ada ratusan, saat itu kami siapkan lima puluh tempat tidur, karena dapat info lagi kemudian kami tambah menjadi 70 buah,” kata Kepala Humas RSUP dr Kariadi, Ahmadi pada Kriminalitas.com, Senin (25/1).
Sedangkan untuk tenaga medis dan dokter, pihaknya tidak meyiapkan secara khusus sebagaimana ruangan yang akan ditempati para eks anggota Gafatar.
“Kalau perawat atau dokter, tugas seperti biasa, karena saat ini juga baru satu pasien yang dirawat dan itupun telah dirujuk ke bangsal anak,” imbuh Ahmadi.
Dia Melanjutkan, ada perkembangan baru terkait tambahan pasien anggota eks Gafatar, pihaknya akan melakukan rolling dan bagi tugas terhadap perawat dan para dokter.
(Dwiki Erlangga)
Sumber: kriminalitas.com
FKM UNAIR Gelar Lokakarya Strategi Pengendalian Biaya Rumah Sakit di Era JKN
UNAIR NEWS – Manajemen sebuah rumah sakit berpengaruh terhadap tingkat efisiensi dalam pengelolaan rumah sakit yang bersangkutan. Program Magister Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UNAIR mengadakan lokakarya bertajuk “Strategi Pengendalian Biaya (Cost Containment) Rumah Sakit di Era Jaminan Kesehatan Nasional” pada 23-24 Januari 2015 bertempat di Hotel Novotel Surabaya.
Hadir pemateri dalam lokakarya tersebut Widodo J.P., dr., M.S., M.PH., Dr. PH (Dosen FKM UNAIR), Drs. Widartoyo, AK, MM, M.Si, CPA (Akuntan Publik dan Pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) ), serta Hargo Wahyuono, S.E. Ak., M.Si (Praktisi R.S. dan Dosen FKM UNAIR).
Lokakarya ini dihadiri oleh perwakilan direktur dan dokter dari 42 rumah sakit milik pemerintah maupun swasta, 4 Klinik, 2 Dinas Kesehatan di Jawa Timur, dan mahasiswa S2 Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK) FKM. Lokakarya membahas pola dan strategi dalam pengendalian biaya di rumah sakit.
Berbagai materi yang disampaikan diantaranya mengenai penataan pelayanan pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pentingnya strategi pengendalian biaya, kebijakan strategis cost containment serta simulasi penggunaan Efficiency Measurement System (EMS), dan Root Cause Analysis (RCA) oleh masing-masing pemateri.
Tujuan diadakannya lokakarya ini yaitu memberikan pemahaman tentang pengendalian biaya, bukan hanya untuk rumah sakit, namun juga untuk klinik, puskesmas, dan instansi lainnya pada era JKN. Berkaitan dengan tingkat efisiensi, rumah sakit harus selalu mengadakan survey kepuasan dengan memantau aset dan tenaga ahli yang berada di instanti terkait secara berkala.
“Rumah sakit harus selalu melakukan survey dalam hal kepuasan serta dalam pengendalian biaya pada era JKN, untuk menuju efisiensi atau cost containment. Terdapat lima dimensi yang harus diperhatikan seperti cost awareness, cost management, cost monitoring, dan cost appearance,” papar Widodo.
Monitoring secara berkala ini berguna untuk memanfaatkan aset secara maksimal, memicu kemampuan bersaing dengan lebih mengefisienkan output dan input sebagai modal awal menuju keunggulan kompetitif, serta bisa meningkatkan kesejahteraan pegawai dengan diperolehnya pendapatan yang lebih besar daripada pengeluaran.
Relevansinya, sebuah pemanfaatan dan pengelolaan aset yang efisien dalam mencapai keunggulan kompetitif harus memiliki sasaran dalam upaya meningkatkan kesejahteraan organisasi. Sehingga, target yang diperoleh pada akhirnya akan menciptakan Organization Citizenship Behaviour (OCB) di semua lini.
“Salah satu alasan yang menyebabkan ketidakefektifan sebuah rumah sakit contohnya seperti sering terjadinya banyak penumpukan barang dengan beban yang biasanya dibebankan pada masa lalu, akhirnya dibebankan kembali di masa sekarang. Penumpukan itulah yang nantinya sering kita sebut dengan opportunity cost,” tambah seorang akuntan publik dan pengurus PERSI.
Selama berjalannya lokakarya di ruang Brawijaya, peserta juga diberikan pelatihan pengolahan data dengan aplikasi Efficiency Measurement System (EMS). Dengan aplikasi inilah para peserta dapat secara langsung melihat model perhitungan perbandingan tingkat efisiensi antar unit kerja berdasarkan data multioutput danmultiinput.
Keseriusan terlihat dari wajah para peserta seminar pada saat dimulainya input data ke masing-masing software yang disediakan. Tampak pula panitia yang senantiasa memantau kesulitan para peserta lokakarya dengan mendatanginya satu per satu.(*)
Sumber: unair.ac.id