“LINDUNGI IBU DAN BAYI”
Workshop Peningkatan Kesehatan Ibu dan Imunisasi
PPSDM Kementerian Kesehatan, 17-19 Desember 2014
Reportase oleh: Putu Eka Andayani
Foto-foto: Putu Eka Andayani
Sambutan Dirjen dan Pembukaan oleh Menkes
Workshop yang diselenggarakan oleh GAVI Alliance bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan ini dibuka oleh Menteri Kesehatan, Prof. dr. Nila A. Moeloek, SpM pada malam tanggal 17 Desember 2014 di Gedung PPSDM Kementerian Kesehatan, Jakarta. Menkes mengatakan bahwa kurang gizi masihmenjadi tantangan besar bagi Indonesia. Faktanya, angka stunting sangat tinggi. Dari setiap empat anak, 1 diantaranya mengalami stunting atau pendek (kerdil). Penyebab utamanya adalah kekurangan gizi pada ibu hamil, bahkan sejak ibu masih remaja. Untuk mengatasi masalah ini, Menkes menekankan bahwa partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka mengintensifkan upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Tentu saja upaya ini menjadi sangat penting, karena menurunkan angka kematian dan meningkatkan kesehatan. Sebelumnya, Dirjen Bina Gizi, dr. Anung Sugiantono, MKes, menyampaikan laporan mengenai upaya yang dilakukan oleh Kementerian, yaitu sosialisasi program menurunkan angka kematian ibu dan bayi kepada masyarakat, dalam bentuk kaleidoskop.
Upaya ini secara resmi dimulai pada tanggal 21 April, bertepatan dengan hari lahir RA Kartini. Menurut dr. Anung, tanggal ini dipilih bukan semata-mata karena Kartini adalah salah satu pahlawan wanita nasional, namun juga Kartini meninggal saat melahirkan putra pertamanya dalam usia muda. Ini merupakan gambaran masalah kematian ibu di Indonesia yang masih banyak terjadi pada masa kini. Program ini ditutup pada tanggal 22 Desember, pada usia program 9 bulan sebagaimana usia kehamilan seorang ibu, bertepatan dengan perayaan Hari Ibu.
Hal yang menarik pada malam pembukaan ini adalah adanya Tarian Inesare, yang menggambarkan budaya masyarakat NTT yang awalnya percaya pada dukun sebagai penolong persalinan. Di fase berikutnya, masyarakat mulai percaya pada nakes dan mulai ada network antara dukun bersalin dengan nakes. Peran suami juga lebih terlihat selama proses ANC hingga persalinan. Tarian ini merupakan bentuk promosi kesehatan yang menggunakan pendekatan budaya.
Kesehatan Ibu dan Imunisasi dari Perspektif Agama dan Budaya
Topik yang dibahas difokuskan pada perspektif agama Islam. Narasumber dari Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa menurut pandangan Islam, segala upaya (ikhtiar) yang dilakukan harus untuk kemaslahatan umat, bukan hanya individu. Jika di satu lingkungan ada satu orang yang diimunisasi lalu ada satu anak lainnya tidak diimunisasi, sementara disitu ada potensi penularan penyakit, maka yang tidak diimunisasi akan memiliki potensi terkena penyakit dan menularkannya ke angggota masyarakat lainnya. Wajib hukumnya dalam Islam untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Lebih lanjut narasumber mengutip ayat Al Quran mengenai ASI, dimana ada keharusan untuk memberikan ASI yang pertama keluar (colostrum, al-liba’) kepada anaknya. Kaidah ini menunjukkan bahwa menolak penyakit dengan daya kebal atau daya tangkal yang kuat itu lebih utama, lebih ampuh dan lebih mudah dibandingkan dengan mengobati penyakit yang sudah terlanjur menempel di tubuh. Menurut fatwa MUI, penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan adalah haram kecuali jika memenuhi syarat berikut: digunakan dalam kondisi keterpaksaan yang mengancam jiwa, belum ditemukan bahan yang halal dan suci, sertarekomendasi dari tenaga medis yang kompeten dan terpercaya bahwa tidak ada obat yang halal. Jadi, vaksinasi atau imunisasi adalah upaya mencegah penyakit yang sejalan dengan anjuran agama. Namun di sisi lain pemerintah juga diharapkan menjamin ketersediaan vaksin halal melalui sertifikasi.
Dari sudut budaya, penelitian yang dilakukan oleh Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sebagian suku-suku di Indonesia, khususnya yang bermukim di pedalaman atau daerah terpencil, masih memegang teguh adatnya termasuk dalam memperlakukan ibu hamil, nifas dan bayi. Misalnya pada etnik Laut, ibu hamil sedikit makan sayur dan banyak makan ikan, serta mengunyah rumput untuk kemudian dimuntahkan. Bayi baru lahir dilulur dengan campuran bedak bayi, garam dan air untuk melepas tali pusar. Di Madura, bayi yang baru lahir dimandikan oleh dukun. Persalinan dilakukan sendiri tanpa bantuan dukun. Di Pulau Rote, NTT, ibu hamil justru bekerja lebih keras secara fisik, karena dipercaya dapat memperlancar proses persalinan. Setelah melahirkan, selama masa nifas ibu dan bayi melakukan panggang punggung, yaitu duduk dekat dan membelakangi perapian yang menggunakan kayu bakar. Ini dimaksudkan untuk membersihkan darah kotor. Ritual ini juga dilakukan oleh Suku Gayo, di Aceh Tengah.
Berbagai kepercayaan dan kebiasaan masyarakat tersebut membawa kontribusi pada tingkat kesehatan masyarakat, khususnya ibu hamil, nifas dan bayi. Rekomendasi penting yang disampaikan oleh tim peneliti antara lain adalah perlunya kemitraan dengan bidan kampung (dukun), nakes diberi pengetahuan mengenai tradisi agar tidak bentrok dengan masyarakat, mengurangi seringnya mutasi nakes dan memaksimalkan peran suami.
Bentuk Nyata Peran Serta Masyarakat
Ibu Siti, dukun bayi dari Jawa Barat, sudah praktek menolong persalinan sejak jaman DI/TII. Tujuannya untuk menolong persalinan dan mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Berdasarkan pengalamannya, selama ini belum pernah ada ibu atau bayi yang ditolong oleh Ibu Siti meninggal, karena yang ditolong hanya yang persalinan normal tanpa masalah. Jika ada ibu hamil yang mengalami kesulitan apalagi pendarahan, langsung dirujuk ke puskesmas. Pasien digotong menggunakan tandu yang terbuat dari sarung dan bambu.
Kasus lain yang diangkat adalah pengembangan rumah tunggu di NTT, salah satunya dikelola oleh Ibu Yosefa di suatu kecamatan di kaki Gunung Kelimutu, Ende. Bu Yosefa adalah pensiunan yang pernah bekerja sebagai pendidik selama 36 tahun, pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah dan Pengawas. Pada akhir tahun 2011 Ibu Yosefa mendapat undangan dari Puskesmas untuk menghadiri sosialisasi KIA. Istilah ini asing baginya ynag tidak pernah berkutat dengan masalah kesehatan. Setelah mengikuti pertemuan muncul kesadaran bahwa kesehatan bukan hanya tanggung jawab nakes dan masyarakat perlu secara proaktif melakukan upaya membantu ibu-ibu menjelang melahirkan. Ibu Yosefa menginisiasi dikembangkannya rumah tunggu. Ibu-ibu hamil yang lokasi tinggalnya jauh dari faskes dapat menginap di rumah tunggu dua hari sebelum dan sesudah partus, bersama dengan keluarga. Dengan demikian, akses ibu hamil dan neonatus ke faskes menjadi jauh lebih mudah.
Kepala desa dan pemangku kepentingan diundang untuk terus menerus membantu memberikan motivasi dan dorongan, sehingga partisipasi masyarakat bisa tinggi (termasuk dalam hal urunan). Dana operasional rumah tunggu berasal dari iuran sukarela masyarakat sebesar Rp 8,5 juta dalam 1 tahun, digunakan untuk mengadakan perlengkapan bagi ibu, mulai dari kasur, seprei, hingga sabun mandi dan bahan makanan. Kini ada bantuan dari desa sebesar Rp 500.000 per tahun. Hingga Desember 2014, rumah tunggu binaan Ibu Yosefa sudah dimanfaatkan oleh 340 orang ibu. Pada tahun terakhir jumlah kunjungan ibu melahirkan di faskes melonjak, salah satunya adalah karena masyarakat merasa sangat terbantu dengan adanya rumah tunggu yang memudahkan akses mereka. Apalagi sebagian masyarakat yang bermukim disekitar rumah tunggu dapat menggunakan fasilitas ini secara gratis, sebagian lain hanya perlu membayar Rp 10.000 untuk menganti biaya pembelian bahan habis pakai (sabun, pembersih dan sebagainya).
Mini University – Berbagi Pengalaman dari NTT
Salah satu sesi pada workshop ini adalah sharing dari pengalaman Sister Hospital dan PML di NTT kepada seluruh peserta yang hadir. Sesi ini diisi oleh Dr. Ali Sungkar, SpOG dari RSCM yang merupakan mitra RSUD Ruteng (Manggarai), Putu Eka Andayani, SKM, MKes (PKMK FK UGM, Koordinator PML), dr. Lely Harakai (Direktur RSUD Umbu Rara Meha, Sumba Timur) dan dr. Bernadette Rizky Natalia (Kepala Puskesmas Halilulik, Kab. Belu).
Dr. Ali Sungkar, SpOG memaparkan tentang kegiatan Sister Hospital dan secara spesifik kemitraan antara RSCM dengan RSUD Ruteng. Sejak tahun 2010 RSCM telah melakukan berbagai program pegembangan kapasitas untuk dan bersama RSUD Ruteng, dari aspek klinis maupun manajemen. Menurutnya, Kabupaten Manggarai yang subur sangat potensial bagi pengembangan ekonomi rakyat dan juga fasilitas publik khususnya RSUD.
Putu Eka Andayani menjelaskan tentang PML dan bagaimana peran PKMK FK UGM pada saat awal bersama dengan Dinkes Provinsi NTT dan AIPMNH mendesain program SH-PML, sebagai koordinator yang juga melakukan monitoring dan evaluasi di 11 RSUD yang terlibat. Secara keseluruhan, pencapaian program PML cukup baik, yaitu seluruh RS sudah meiliki ijin opeasional tetap, terakreditasi dan sebagian besar telah ditetapkan sebagai BLUD. Namun, masih banyak juga program yang belum mencapai hasil yang diharapkan.
Meskipun demikian, menurut dr. Lely, kegiatan SH-PML sangat banyak manfaatnya bagi RS. Salah satunya adalah menjadikan pribadi yang lebih tangguh, tidak mudah mengeluh karena mengeluh tidak menyelesaikan masalah. Direktur RS dituntut untuk bisa kreatif memikirkan solusi. Misalnya jika dulu ada WC mampet, cara termudah adalah menempelkan tulisan “WC mampet, jangan digunakan”. Namun dengan adanya pendampingan oleh RS A, UGM dan AIPMNH, hal-hal seperti itu – yang ditemukan saat monev – akan di-published pada saat pertemuan koordinasi sehingga RS yang bersangkutan akan merasa malu dan berusaha untuk memperbaiki. Capacity Building yang dilakukan oleh RS Mitra A telah membuka wawasan SDM di RS tentang bagaimana seharusnya RS dikelola dan seperti apa output pelayanan yang diharapkan.
Tantangan bagi RSUD dan Pemda setempat adalah bagaimana meneruskan program ini agar berlanjut, karena program ini dirasakan membawa manfaat dalam meningkatkan kinerja dan mutu pelayanan RS.
Dari pengalaman Puskesmas dalam melaksanakan PML, dr. Bernadette menyampaikan bahwa telah terjadi peningkatan pengetahuan dan kemampuan pengelola dan staf Puskesmas. Contohnya dalam penggunaan internet, dulu banyak kepala dan staf puskesmas yang merasa asing dengan teknologi ini. Namun dengan terlibat di PML, maka banyak kegiatan – termasuk pelatihan jarak jauh – yang dilakukan melalui media internet. Kini, para petugas di Puskesmas bisa lebih aktif meng-update pengetahuan dan informasi untuk terus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bidang kesehatan. (pea)
Memastikan kesehatan ibu hamil dan memberikan edukasi tentang masa kehamilan hingga menyusui penting dilakukan untuk meminimalkan angka kematian pada ibu dan anak. Bertolak dari hal itu, Gerakan Peduli Ibudan Anak Sehat (Geliat) Airlangga menyelenggarakan sosialisasi pendampingan bagi ibu hamil.Selengkapnya baca di sini: http://news.unair.ac.id/2021/10/15/cegah-kematian-ibu-dan-anak-geliat-airlangga-berikan-sosialisasi-pendampingan-ibu-hamil/