Archive for 2015
Mayapada berambisi membangun 50 rumah sakit
JAKARTA. Mayapada Group masih melihat peluang meraih cuan pada bisnis rumah sakit. Perusahaan yang didirikan oleh taipan Dato Sri Tahir itu, berencana membangun 50 rumah sakit berbendera RS Mayapada dalam dua tahun ke depan, alias hingga 2017.
Dari total 50 rumah sakit tersebut akan memuat 6.000-7.000 tempat tidur. Mayapada Group akan merealisasikan mimpi mereka melalui anak perusahaan yang memang bergerak pada bisnis rumah sakit, yakni PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk.
Untuk membangun satu rumah sakit, Mayapada Group harus merogoh kocek Rp 50 miliar – Rp 250 miliar. Besaran biaya investasi tergantung lokasi rumah sakit. Dengan begitu, dana untuk membangun 50 rumah sakit sekitar Rp 2,5 triliun – Rp 12,5 triliun.
Khusus untuk tahun 2016, Mayapada Group berencana merealisasikan pembangunan 15 rumah sakit. “Itu yang sudah terkonfirmasi,” terang Dato Sri Tahir yang juga menjabat sebagai Chief Executive Officer Mayapada Group, kepada KONTAN, Rabu (25/11).
Pilihan lokasi Mayapada Group yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Banjarmasin. Meskipun memilih lokasi kota besar, manajemen perusahaan ini memastikan akan selektif memilih lokasi persisnya. Tujuan mereka, agar tak mematikan keberadaan rumah sakit milik pemerintah.
Rancangan Mayapada Group, dari 15 rumah sakit tadi, sebanyak lima hingga enam rumah sakit di antaranya akan berlokasi di sekitar ibu kota. Salah satu rumah sakit yang akan mereka bangun ada di Jakarta Timur. Perusahaan itu mengaku sudah membeli lahan di kawasan Jakarta Garden City.
Informasi saja, Jakarta Garden City adalah proyek yang kini dikembangkan oleh PT Modernland Realty Tbk. Total luas lahan proyek kawasan itu 370 hektare (ha).
Tak cuma memikirkan lokasi, Mayapada Group juga serius menggarap konsep rumah sakit. Mereka mengklaim, konsep rumah sakitnya berbeda dengan kompetitor, seperti RS Mitra Keluarga milik PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk, atau RS Siloam milik milik Lippo Group.
Tahir mengatakan, tolok ukur RS Mayapada yakni rumah sakit di Singapura. Nah, salah satu rumah sakit yang telah mengusung konsep seperti yang dia harapkan yakni RS Mayapada di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. “Kami akan membangun rumah sakit yang komprehensif seperti RS Mayapada di Jakarta Selatan,” terang Tahir.
Saat ini Mayapada Group sudah mengoperasikan dua rumah sakit, yaitu di Tangerang, Banten dan Jakarta Selatan. Keduanya berisi total 500 tempat tidur.
Asal tahu saja, selain rumah sakit, Mayapada Group juga berencana mengembangkan bisnis klinik. Laman perusahaan itu menyebutkan, jika mereka ingin membangun sebanyak 150 klinik di bawah bendera Your Clinic. Bisnis klinik berada di bawah PT Prima Healthcare Solutions.
Selain menggarap bisnis kesehatan, Mayapada Group juga mengembangkan empat sektor bisnis lain. Keempat sektor tersebut yakni jasa keuangan, real estat, ritel dan media.
Sumber: kontan.co.id
Puskesmas Disiapkan Jadi RS di Aceh Selatan
Tapaktuan – Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 2016 menganggarkan dana Rp15 miliar untuk merevitalisasi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Labuhanhaji Barat menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak.
“Peningkatan pembangunan Puskesmas Labuhanhaji Barat menjadi rumah sakit menjadi program prioritas untuk direalisasikan tahun 2016, karena wilayah ini merupakan pintu masuk sebelah barat kabupaten,” kata Bupati Aceh Selatan H T Sama Indra kepada wartawan di Tapaktuan, Rabu.
Bupati menyatakan, untuk persiapan realisasi pembangunan rumah sakit tersebut, pihaknya telah menganggarkan anggaran mencapai Rp15 miliar bersumber Dana Alokasi Khusus (DAK) tambahan tahun 2016 serta penambahan lahan seluas 2 hektare dari yang sudah ada 1 hektare sehingga menjadi 3 hektare.
“Program peningkatan pembangunan Puskesmas Labuhanhaji Barat sudah lahir sejak awal kepemimpinan kami. Dari lubuk hati yang dalam, keinginan itu sedikit tersandung karena kesiapan anggaran. Kita berminat peningkatan pembangunan Puskesmas ini lebih maksimal dengan serapan anggaran yang lebih lumayan,” kata Sama Indra.
Menurutnya, pembangunan Puskesmas Labuhanhaji Barat harus didesain dengan baik dan matang, sehingga tatanan dan letak ruangan pengobatan, rawat inap, poli, administrasi dan fasilitas lain bisa mengakomodir kebutuhan sesuai perkembangan zaman.
“Kami tidak menginginkan program pembangunan yang dilakukan tanpa perencanaan yang matang bagaikan diibaratkan arang habis besi binasa. Pemkab Aceh Selatan akan menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk memajukan Puskesmas ini, sehingga kelak Puskesmas Labuhanhaji Barat ini akan menjadi rumah sakit,” tambah Bupati.
Menurut Bupati, rencana pembangunan Rumah Sakit Ibu dan Anak tersebut telah mendapat dukungan dari beberapa kepala daerah kabupaten/kota tetangga.
Pihaknya meyakini, jika Puskesmas Labuhanhaji Barat tersebut berhasil direvitalisasi menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak maka akan menjadi salah satu rumah sakit rujukan di pesisir Pantai Barat Selatan Provinsi Aceh.
“Untuk mewujudkan aspirasi ini, kami siap bekerja keras dan malaksanakan peningkatan pembangunan secara strategis, bertahap dan berkesinambungan, sebab masyarakat di sini sangat mendambakan hadirnya rumah sakit tersebut,” imbuhnya.
Bupati menambahkan, peningkatan pembangunan fasilitas kesehatan masyarakat tidak hanya terfokus di Labuhanhaji Barat.
Pihaknya juga sedang giat membangun beberapa Puskesmas lain di beberapa kecamatan dengan menggelontorkan dana mencapai puluhan miliar rupiah. Seperti pada tahun anggaran 2015, telah dilaksanakan revitasilasi atau peningkatan pembangunan Puskesmas Kluet Selatan, Sawang, Labuhanhaji Timur, Trumon Tengah dan Kluet Timur.
Sumber: antaranews.com
Rumah Sakit di Bojonegoro Belum Memiliki Insinerator
Kota – Bojonegoro memiliki beberapa rumah sakit. Di antaranya adalah Rumah Sakit Umum Daerah Sosodorojatikusumo, RS Aisyiah dan lain-lain. Namun semuanya belum memiliki insinerator atau mesin pengolah limbah medis.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH), Elsadeba. Limbah, kata Elsadeba, merupakan masalah yang serius untuk diselesaikan. Terutama untuk limbah dari rumah sakit. Rumah sakit memiliki dua limbah yaitu limbah lokal dan limbah medis.
Untuk limbah lokalnya sudah dikelola upal, namun untuk limbah medis diperlukan cara khusus yaitu menggunakan insinerator. Namun sampai saat ini Rumah Sakit Di Bojonegoro rupanya belum memiliki insinerator pengolah limbah medis.
“Kalau limbah medis ini tidak dibuang, melainkan harus dibakar menggunakan insinerator. Namun pembuatan insinerator harus memenuhi syarat-syarat ijinnya. Salah satu syarat pembuatan, tidak di tengah pemukiman penduduk,” jelas Elsadeba kepada BeritaBojonegoro.com (BBC) hari ini, Rabu (25/11).
Elsa menambahkan kalau Rumah sakit Umum dulunya ada, namun tidak memenuhi persyaratan. Karena pembuatan insinerator harus memenuhi 18 item yang dicukupi. Sehingga, sampai saat ini Rumah Sakit harus kerja sama dengan pihak ketiga.
“Biasanya mereka melakukan Mou dengan pihak ketiga. Limbah medis diangkut oleh pihak ketiga,” tandasnya.(ver/moha)
Sumber: beritabojonegoro.com
Polisi Geledah RS Awal Bros Bekasi Usut Dugaan Malapraktik
Jakarta — Kepolisian Daerah Metro Jaya menggeledah Rumah Sakit Awal Bros Kota Bekasi semalam untuk menindaklanjuti laporan dugaan malapraktik terhadap tewasnya bayi Falya Raafani Blegur yang berusia setahun dua bulan.
Hal tersebut disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar M. Iqbal kepada CNN Indonesia, Selasa pagi (24/11).
“Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus melakukan penggeledahan untuk mencari bukti dugaan malapraktik RS Awal Bros Bekasi,” kata Iqbal.
Dalam penggeledahan tersebut, kepolisian menyita beberapa dokumen untuk upaya pengungkapan kasus.
“Kami masih akan mempelajari dokumen tersebut sebelum menarik kesimpulan,” ujar Iqbal.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Kota Bekasi sekaligus paman dari Falya, Yusuf Blegur, menyatakan RS Awal Bros sempat menawarkan uang sebesar Rp150 juta kepada pihak keluarga Falya. Rencananya uang tersebut diberikan sebagai solusi gugatan malapraktik terhadap rumah sakit swasta tersebut.
“Dari RS itu ada penawaran jangan sampai masalah ini tersebar luas dan ada bentuk perhatian secara uang duka sebesar Rp150 juta dari pihak RS Awal Bros kepada keluarga,” ujar Yusuf usai melakukan laporan ke Polda Metro beberapa waktu lalu.
Yusuf mengatakan pihak keluarga menilai uang yang ditawarkan oleh RS Awal Bros merupakan itikad baik atas meninggalnya Falya yang baru berusia 14 bulan. Namun, kata Yusuf, pihak keluarga tidak meminta uang tersebut, melainkan meminta penjelasan atas meninggalnya Falya.
“Kami sekeluarga menolak uang itu. Kami hanya meminta penjelasan secara medis dan keterangan sebenar-benarnya kenapa kondisi Falya menurun dan kritis sampai meninggal,” ujar Yusuf.
Lebih lanjut, Yusuf mengatakan tawaran uang Rp150 juta terjadi dalam sebuah pertemuan pada Sabtu dua pekan lalu yang dilakukan di ruang Dinas Kesehatan Kota Bekasi dan dihadiri oleh perwakilan Dinas kesehatan Kota Bekasi dan perwakilan RS Awal Bros.
Yusuf mengaku sampai saat ini pihak keluarga belum mendapatkan keterangan langsung dari RS Awal Bros. Keluarga Falya menduga ada kelalaian yang dilakukan oleh RS Awal Bros hingga menyebabkan Falya meninggal dunia.
“Sampai saat ini belum ada informasi lisan maupun tulisan tentang penyebab kematian Falya. Katanya sudah ada hasil investigasi tentang kematian, namun belum diberitahukan ke kami,” ujar Yusuf.
Sementara itu M. Ihsan, pengacara keluarga korban, mengatakan pukul 10.00 WIB hari ini, pihak keluarga dipanggil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bekasi. Keluarga mengaku kecewa karena sejak melapor sejak 9 November lalu, hingga kini belum ada perkembangan sama sekali.
“Keluarga korban semakin khawatir karena lambatnya respons dari Dinas Kesehatan Bekasi mengenai kasus ini,” kata Ihsan.
Falya dinyatakan meninggal usai menjalani perawatan di RS Awal Bros, awal November tahun lalu. RS Awal Bros sebelumnya menyatakan Falya hanya mengalami dehidrasi ringan. Namun kondisinya makin buruk setelah diberi suntikan antibiotik hingga akhirnya meninggal dunia.
Sementara itu, RS Awal Bros Bekasi masih belum mau memberikan respons baik via telepon atau pesan singkat hingga berita ini diturunkan. (utd)
Sumber: cnnindonesia.com
Rumah Sakit Veteran Mendesak Dioperasikan
manajemenrumahsakit.net :: Mudahnya masyarakat Bojonegoro dalam memperoleh pelayanan kesehatan karena adanya program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) maupun Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) menjadikan rumah sakit umum daerah (RSUD) Sosodoro Djatikoesoemo sering terjadi overload. Sehingga diperlukan segera mengoperasikan rumah sakit di Jalan Veteran untuk mengatasi masalah tersebut agar pelayanan masyarakat maksimal.
Kepala RSUD Sosodoro Djatikoesomo Bojonegoro, Hariono menjelaskan, sebagian besar pasien yang berobat di RSUD Sosodoro adalah warga yang menggunakan Jamkesmas dan Jamkesda, di susul kemudian peserta BPJS. Jamkesmas dan Jamkesda adalah pasien tidak mampu yang mendapat biaya pengobatan gratis di kelas III.
“70 persen pasien di sini menggunakan Jamkesmas dan Jamkesda, 20 persennya BPJS, dan 10 persen umum,” ujar Hariono.
Karena itu, dirinya sangat mendukung jika rumah sakit di Jalan Veteran segera dioperasikan. Alasannya, akan mampu menampung pasien karena selama ini RSUD Sosodoro sering mengalami overload.
“Itu akan sangat membantu masyarakat,” tegasnya.
Dikonformasi terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial (Disnakertransos) Bojonegoro, Adie Witjaksono, mengungkapkan, jumlah masyarakat tidak mampu yang mengurus Jamkesda setiap harinya rata-rata sebanyak 20 orang.
“Tahun lalu sejak pengurusannya dialihkan ke sini dari Dinas Kesehatan jumlahnya mencapai 5500 orang,” sambung Adie.
Pengurusan Jamkesda di Disankertransos ini hanya membutuhkan waktu sehari jika persyaratan yang diajukan pemohon lengkap. Untuk mengurus Jamkesda ini, warga harus meminta surat keterangan tidak mampu dari desa yang diketahui desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Rukun Tetangga, Rukun Warga (RW), dan tokoh masyarakat.
Setelah itu, surat keterangan dari Polindes dan Puskesmas yang dilengkapi surat rujukan untuk di bawa ke Kecamatan. Dari Kecamatan baru dibawa ke Disnakertransoso dengan dilengkapi surat permohononan kepada Bupati Bojonegoro.
“Kalau berkasnya lengkap, pagi dimasukan siang sudah bisa diambil,” pungkas Adie.(dwi/kominfo)
Sumber: bojonegorokab.go.id
RSUD Dr Soetomo Gelar Pekan Akreditasi JCI
Surabaya – RSUD Dr Soetomo menggelar pekan akreditasi Joint Commission International (JCI) dengan pameran internal yang bertujuan untuk menyambut kedatangan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang akan mengakreditasi rumah sakit rujukan di Indonesia Timur ini pada Desember mendatang.
Pameran pekan akreditasi RSUD Dr Soetomo Surabaya ini menyuguhkan 13 stand pameran yang terdiri dari instalasi dan unit pelayanan rumah sakit. Stand yang berjajar rapi tersebut untuk memberikan tambahan wawasan bagi setiap karyawan dan dokter yang mengunjunginya agar para tenaga medis tersebut memperoleh tambahan informasi terkait setiap instalasi yang ada di rumah sakit.
Choirul Anam, Koordinator Keperawatan Kamar Operasi RSU dr Soetomo Surabaya, menjelaskan, setiap orang yang mengunjungi stan akan diberi penjelasan prosedur memasuki kamar operasi yang telah dikreteriakan oleh KARS dalam akreditasi nasional.
“Berdasarkan standart JCI, setiap pasien tidak diperbolehkan masuk ruang operasi sebelum lengkap esesmen anestesi, nyeri, informasi pembedahan dan lainnya. Selain itu penerapan kesepakatan dalam bentuk tanda tangan yang dimaksudkan untuk melakukan izin pembedahan, dna penandatanganan lokasi operaso,” ungkapnya ujarnya, Senin (23/11/2015).
Ia mengatakan, perlakuan seperti ini telah diterapkan sehari-hari dalam melayani pasien, jadi untuk saat ini dalam menyambut akreditasi nasional hanya butuh rutinitas atau eksistensi serta tambahan sosialisasi sedikit kepada setiap karyawan rumah sakit dari masing-masing instalasi.
Sementara itu, dr Harsono, Plt direktur RSUD dr Soetomo Surabaya, menyatakan pekan akreditasi yang dibuka selama 5 hari ini sebagai miniatur sarana yang ada di rumah sakit agar diketahui bagi seluruh karyawan dan dokter.
“Mengetahui semua instalasi di rumah sakit menjadi syarat mutlak untuk persiapak kedatangan KARS,” tuturnya.
Harsono yang diketahui menjadi kepala dinas kesehatan Jawa Timur ini juga berharap dengan sosialisasi seperti ini, semua standar bisa diterapkan dan mampu menyajikan pelayanan utama untuk keselamatan pasien.
“Namun, kami tidak memungkiri masih dalam penerapan hal tersebut juga masih diperlukan sejumlah penambahan fasilias di beberapa instlasi. Kalau dari segi standarisasi kami sudah berstandar. Selain itu, maintenance baru juga harus dilaksanakan agar puncak kualitas tetap terjaga terus,” paparnya.
Selain itu, dari segi SDM yang menjadi pendukung untuk peningkatan kompetisi, pihaknya juga menjalin kerjasama dengan Universitas yang memiliki fakultas kedokteran yang bagus dan potensi.
“Untuk peningkatan kompetensi dokter-dokternya juga terus dilakukan, salah satunya menjalin kerjasama dengan Universitas Airlangga,” tandasnya. [ito/but]
Sumber: beritajatim.com
Rumah Sakit Apung Primadona Masyarakat Miskin Pedalaman
Surabaya – Rumah sakit apung atau rumah sakit yang berada di atas perahu dan lokasinya pun berada di daerah khusus pedesaan pedalaman saat ini sedang menjadi primadona dan pilihan masyarakat miskin. Rumah sakit apung dokter share diprakarsai oleh dr. Lie Dharmawan Ph.D Sp.B Sp. BTKV.
Lie merupakan salah satu dokter yang memiliki jiwa besar dan idealisme yang tinggi. Ia mengaku sedih dan risau dengan kondisi masyarakat miskin yang tidak mempunyai dana untuk memeriksakan keluhan penyakitnya, terutama masyarakat pelosok.
“Saya ingin beramal di dunia sebanyak-banyaknya, dan saya dapat rejeki dari surga, hingga sekarang rumah sakit apung hanya mendapatkan dana dari donatur,” terang dr. Lie di Auditorium, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), Senin (23/11/2015).
Ia menekankan dengan mahasiswa kedokteran UKWMS mengaku kurang nyaman dengan sifat hedonisme yang menjadi sifat masyarakat modern. Padahal tugas utama dokter menjadi pelayan masyarakat tanpa melihat status pasien.
“Dan akhirnya saya menjual satu rumah, saya untuk beli kapal, meskipun kecil, setidaknya kapal ini menjadi rumah sakit yang fleksibel bisa menjangkau masyarakat pedalaman,” jelasnya.
Menurutnya, anak muda yang memiliki idealisme jika tidak dikumpulkan dan diarahkan, maka akan berubah sesuai dengan kumpulan besar dan idealismenya akan tergerus.
“Saya akan berdosa besar jika saya tidak menggebrak dengan suatu aksi yang nyata,” tegasnya.
Rumah sakit apung yang ia kelola bukan berarti tidak mengalami masalah, mulai dari peluncuran tanggal 16 Maret 2013 itu saja masih terganjal dengan perijinan berlayar. Tanggal 15 Maret 2013, ia menunggu dengan relawan dengan cemas terkait perijinan. Baru jam 02.00 WIB surat perijinan akhirnya keluar.
“Saya yakin, jika berbuat baik, pasti selalu ada jalannya,” tegasnya.
Pasalnya, dana untuk biaya operasional kapal apungnya tidak didukung dana dari pemerintah, tapi dapat sumber dana dari para donatur. “Donatur yang unik itu ada yang menyumbang 10.002 ada juga 10.006 rupiah, ini yang unik dan menarik,” katanya.
Ia berpesan sebagai pelayan masyarakat, dokter muda sekarang jangan hanya berfikir tentang uang dan keuntungan tetapi juga berfikir untuk kebaikan umat.
“Tidak masalah dibilang gila, tapi bermanfaat bagi masyarakat banyak,” tutupnya. [ito/but]
Sumber: beritajatim.com
Edisi Minggu ini: 24 – 30 November 2015
Dear Pengunjung website, Hambatan RSUD menerapkan PPK-BLUD: kurangnya tenaga akuntansi dan keuangan? Saat ini Rumah Sakit Umum Daerah masih berada pada periode transisi dalam hal Pengelolaan keuangan. Disebut periode transisi karena sejak 8-9 tahun lalu pemerintah telah menetapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU/D), namun hingga kini belum semua RS pemerintah menerapkannya sesuai dengan amanat UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit. Dukungan Pemerintah terhadap fleksibilitas pengelolaan keuangan telah jelas melalui Peraturan Pemerintah tentang Badan Layanan Umum, permasalahannya adalah siapkah Rumah Sakit Umum Daerah untuk menjalankannya. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan bahwa sampai Desember 2014 Rumah Sakit daerah yang menerapkan BLUD sudah 279 RSD atau 44% dari total 639 Rumah Sakit daerah yang ada di Indonesia. Hal ini menggambarkan bahwa jangkauan pencapaian RSUD untuk menjadi BLUD masih lambat atau dapat dikatakan respon terhadap pola pengelolaan keuangan RSUD BLUD masih rendah. Rendahnya respon terhadap pola pengelolaan keuangan RSUD BLUD ini perlu dikaji penyebabnya. Beberapa keluhan yang sering muncul adalah kurangnya tenaga akuntansi dan keuangan di rumah sakit. Hambatan RSUD menerapkan PPK-BLUD: Permendagri No. 61/2007 kurang jelas? ![]() Dari kiri ke kanan: DR. Hari Nur Cahya Murni, M.Si (Plt. Direktur BUMD, BLUD dan Barang Milik Daerah), Indra Baskoro (Sekretaris Ditjen Bina Keuangan Daerah) dan DR. Hendriwan, MSi (Kasubdit BLUD) Terkait dengan masih terhambatnya pelaksanaan PPK-BLUD di berbagai daerah, Kementerian Dalam Negeri berinisiatif menyelenggarakan pertemuan yang membahas tentang rencana revisi Permendagri 61/2007. Pertemuan ini dihadiri oleh para praktisi PPK-BLUD (RSD yang telah ditetapkan sebagai BLUD), asosiasi RSD (ARSADA), akademisi dan pakar keuangan lembaga pelayanan publik. Pertemuan ini membahas points apa saja yang masih harus diperjelas dalam revisi peraturan agar kedepannya tidak ada perbedaan penafsiran dalam mengimplementasikan peraturan tersebut. Silakan ikuti reportase selengkapnya disini. |
|||
Website ini akan update setiap Selasa pagi. Nantikan Informasi terbaru setiap minggunya. | |||
+ Arsip Pengantar Minggu Lalu |
|||
|
Sistem Remunerasi Dokter di RSUD di NTT |
Hambatan RSUD menerapkan PPK-BLUD: Permendagri No. 61/2007 kurang jelas?
Reportase:
Hambatan RSUD menerapkan PPK-BLUD: Permendagri No. 61/2007 Kurang Jelas?
Pertemuan Rencana Revisi Permendagri 61/2007 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD)
Jakarta, 17-20 November 2015

Dari kiri ke kanan: DR. Hari Nur Cahya Murni, M.Si (Plt. Direktur BUMD, BLUD dan Barang Milik Daerah), Indra Baskoro (Sekretaris Ditjen Bina Keuangan Daerah) dan DR. Hendriwan, MSi (Kasubdit BLUD)
Menyikapi belum berjalannya Permendagri 61/2007 sesuai dengan yang diharapkan, Ditjen Keuadangan Daerah Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan sebuah pertemuan yang dihadiri oleh para praktisi (direktur RSUD), asosiasi RS Daerah (ARSADA), akademisi dan tenaga ahli manajemen keuangan lembaga pelayanan publik di Jakarta minggu lalu. Pertemuan ini bertujuan untuk membahas berbagai kendala, khususnya yang disebabkan oleh karena perbedaan dalam menafsirkan isi Permendagri tersebut di berbagai daerah. Para audiences diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka merevisi peraturan tersebut.
Setjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Indra Baskoro, dalam sambutannya menegaskan bahwa kebijakan ini harus diteruskan karena hanya dengan cara inilah kualitas pelayanan publik bisa ditingkatkan. Namun ia mengakui bahwa memang ada hal-hal yang perlu diperbaiki sehingga dengan adanya revisi ini maka kedepannya akan semakin memudahkan bagi SKPD khususnya rumah sakit daerah yang menerapkan PPK-BLUD.
Menurut DR. Hari Nur Cahya Murni, M.Si (Plt. Direktur BUMD, BLUD dan Barang Milik Daerah), kendala dalam menerapkan PPK-BLUD diberbagai daerah antara lain adalah sulitnya mengubah pola pikir birokrat terkait dengan penyusunan pola penganggaran yang lebih efisien, efektif dan lebih menekankan pada produktivitas dan kinerja, kurangnya SDM yang memahami BLUD serta BLUD belum dianggap prioritas bagi peningkatan kinerja pelayanan publik (belum memberikan kontrbusi yang signifikan bagi peningkatan kinerja pelayanan publik di instansi pemerintah).
Perubahan Permendagri 61/2007 yang didahului dengan perubahan PP 32/2004 menjadi 23/2014 pada intinya untuk memperbaiki pelaksanaannya di daerah dengan prinsip tidak mempersulit, tidak berimplikasi hukum dan memberikan implikasi pada peningkatan kinerja pelayanan.

Para undangan rapat
Fleksibilitas yang diberikan pada BLUD harus disertai dengan pengawasan yang ketat. Hal ini merupakan bentuk tuntutan terhadap akuntabilitas lembaga pelayanan publik atas kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumber daya publik. Namun demikian, masih ada cukup banyak kerancuan penggunaan istilah dalam aturan ini, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi yang pada akhirnya menghambat implementasi BLUD. Kerancuan istilah antara lain:
- “Diaudit secara independen”, masih menjadi perdebatan karena menurut UU lembaga pemerintah hanya diaudit oleh BPK.
- Biaya (pada Bab X): masih belum jelas apakah yang dimaksud pada bagian tersebut belanja pada konteks penganggaran atau beban pada laporan operasional
- Penggunaan istilah investasi yang merujuk pada pengeluaran untuk modal tetap
- Ambang batas
- Kalimat yang tidak paralel, misalnya: Pasal 71 (2) “Penyusunan RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun berdasarkan prinsip anggaran berbasis kinerja, perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanan, kebutuhan pendanaan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, APBD, APBN dan sumber-sumber pendapatan BLUD lainnya. “
- Kalimat yang tidak jelas seperti pada Pasal 79
- Istilah tidak pas pada Pasal 89 dan 90 terkait dengan utang
- Standar akuntansi tidak relevan karena sudah keluar PP 71/2010, karena ini antara SKPD dengan BUMD
- Ada ketimpangan dalam pengaturan pengukuran kinerja
dan sebagainya.
Dalam pertemuan ini, dr. Kuntjoro A. Purjanto (Ketua ARSADA Pusat) menyampaikan bahwa dalam menyusun draft revisi Permendagri 61/200 7 ini, seluruh stakeholders perlu memahami hakekat RS: yang beda dengan lembaga pelayanan publik lainnya. Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan 1) apakah ada mandat konstitusi untuk melaksanakan pelayanannya (msialnya pada kasus RS, bahwa di suatu daerah harus ada RSD), 2) ada hak konstitusi yang dimiliki oleh rakyat dan juga oleh RSD. Pasiem yang mencari pelayanan kesehatan ke RSD berharap sembuh. Sehingga mereka yang di pulau dan pelosok mempunyai hak sama dengan yang ada di pusat-pusat pemerintahan. Artinya ada kewajiban yang sifatnya public goods yang harus dipenuhi, kewajiban pemerintah, misalnya imunisasi, dan sebagainya, tegas Kuntjoro. Pihak yang dilayani oleh RSD adalah individu dan ini menuntut dimana tidak boleh ada kesalahan. Hal ini berbeda dengan hiburan, yang semakin lucu semakin tidak diatur maka semakin mahal harganya. Industri kesehatan mirip dengan penerbangan. Namun bedanya, pada industri penerbangan jika pilot melakukan kesalahan maka pilot akan ikut menjadi korban dalam kecelakaan. Pada industri kesehatan, jika dokter atau petugas kesehatan lainnya melakukan kesalahan, yang menjadi korban hanya pasien. Dokternya masih bisa praktek dan seterusnya.
Jadi, penting untuk digarisbawahi bahwa niat dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah: patient safety danstandar mutu. Untuk itu, maka fleksibilitas memang sangat dibutuhkan untuk mewujudkan niat tersebut. Namun, RSD bukanlah lembaga yang terpisah dari pemerintah daerah, karena RSD menjalankan misi dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam hal pelayanan kesehatan.
Untuk menghindari polemik yang berkepanjangan dan mengurangi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan selanjutnya, menurut Sudaryanto, SE, MM (Kabag pada Biro Keuangan dan Aset, Setjen Kementerian Dalam Negeri) seharusnya Permendagri disusunsejelas mungkin agar tidak menimbulkan terlalu banyak pertanyaan. Selain itu, hal tersebut juga untuk memunculkan persepsi yang sama (tidak menimbulkan persepsi yang berbeda). Aturan boleh saja rigid namun tetap fleksibel. Misalnya rincian obyek, rincian sebatas mana fleksibilitas itu diberikan, sehingga tidak melanggar aturan lain yang sudah ada. Ini contoh tata keuangan yang sedang direvisi. Agar ketika BLUD melaksanakan, ada dasar hukumnya. Saat tidak ada dasar hukumnya di Permendagri 61/2007, akan banyak pertanyaan dan jawaban yang diberikan secara lisan dan ini berbahaya. Pada akhirnya akan berkembang banyak versi penafsiran.

Para undangan rapat
Salah satu contoh dampak dari perbedaan penafsiran adalah BLUD menyusun dua dokumen perencanaan jangka menengah, yaitu rencana strategis dan rencana strategis bisnis. Hal ini karena Permendagri 61/2007 tidak mengatur bagaimana mengkonsolidasikan Renstra Kepala Daerah dengan RSB BLUD. Akibatnya jika BLUD tidak menyusun Renstra (hanya menyusun RSB sebagaimana yang diamanatkan Permendagri), maka perencanaan BLUD akan sulit masuk dalam Renstra Pemda dan akhirnya tidak mendapatkan alokasi anggaran dari APBD. Kasus ini terjadi pada tiga RSUD yang telah ditetapkan sebagai BLUD di Kota Bandung, dimana program-program pada RSB tidak terkonsolidasi dalam RPJMD. Di sisi lain, DPRD menggunakan RPJMD sebagai dasar untuk mengesahkan anggaran. Akibatnya, ada beberapa rencana investasi pengembangan RS tertunda pelaksanaannya karena belum adanya alokasi APBD.
Ada penelitian yang menemukan bahwa banyak RS tidak menyusun RSB dan RBA namun ditetapkan sebagai BLUD. Selain tidak menyusun RSB dan RBA juga sebagian RSD lebih merasa sebagai BUMD dan membuat aturan-aturan yang tidak ada payungnya. Hal ini terjadi karena 1) DPKAD tidak “ngeh” atau tidak tahu, 2) RS merasa memiliki kewenangan. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa meskipun membuat RSB namun tidak dimasukkan dalam RPJMD. Ini menjadi masalah pada RKTD, karena dewan menggunakan RPJMD sebagai dasar untuk menyetujui anggaran.
Dengan berbagai masalah tersebut, harus jelas mana fleksibilitas yang boleh diberikan mana yang tidak dan mana yang dikecualikan. Hal penting yang juga masih luput dari perhatian adalah pengukuran kinerja yang masih timpang. Saat ini belum jelas bagaimana sistem pengukuran kinerjanya. Misalnya jika akan menggunakan Balanced Scorecard, salah satu kata kunci yang unik adalah adanya “manfaat sosial” di samping manfaat ekonomi. Tujuan-tujuan ini yang belum pernah dinyatakan atau dikemas dengan lebih baik dalam Permendagri 61/2007 tersebut. Jadi secara keseluruhan setidaknya ada tiga isu yang perlu digarisbawahi dalam revisi Permendagri ini, yaitu 1) isu tentang fleksibilitas, 2) isu tentang pengendalian, 3) isu tentang pengendalian kinerja. (pea)