JAKARTA, KOMPAS.com
Archive for 2014
Naik Status Menjadi Type C,RSUD Bateng Terima Pasien Rujukan
manajemenrumahsakit.net :: KOBA-Masyarakat Kabupaten Bangka-Tengah (Bateng) kini tak perlu repot-repot untuk berobat dan dirujuk jauh-jauh. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bateng yang sebelum bertype D kini naik tingkat bertype C.
Penetapan tersebut, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.03/I/3366/2014 tentang penetapan Kelas RSUD Bangka-Tengah. Dengan demikian, RSUD Bateng dapat menjadi rujukan bagi rumah sakit yang masih bertype D. Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Bateng, dr. H. Bahrun Siregar Sutrisno mengakui, naiknya type RSUD Bateng tersebut semenjak diterimanya surat dari Kementerian Keseharan RI tertanggal 23 Oktober 2014. “Jadi dengan naiknya kelas RSUD Bateng ini menjadi C, tentunya dapat menjadi kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Bangka-Tengah. Selain itu, tentunya diharapkan dapat meningkat pula kualitas pelayanan rumah sakit yang diberikan,”ujar dr. Bahrun Jum
Wisata Ilmiah di RS Cicendo Bandung
manajemenrumahsakit.net :: Perjalanan penulis hari kedua yaitu tanggal 17 Desember 2014 dilanjutkan dengan kunjungan ke Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, Jawa Barat. Rombongan berangkat dari hotel El Cavana Bandung pada pukul 8.45 WIB, dengan menggunakan bus menuju RS Cicendo. Sesampainya di RS Cicendo rombongan disambut oleh Direktur Utama RS Mata Cicendo Bandung, dr.Hikmat Wangsaatmadja, Sp.M (K) infeksi dan imunologi, M.Kes
Tahun 16 Januari 2009 RS Cicendo diresmikan sebagai Rumah Sakit Pusat Mata Nasional oleh almh. Ibu Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH. Hal ini disebabkan karena angka kebutaan di Indonesia merupakan nomor 2 (dua) tertinggi di dunia setelah Ethiopia. Prevalensi angka kebutaan di Indonesia yg tertinggi di Nusa Tenggara Barat (NTB) sebesar 4%, angka morbiditas akibat kebutaan seharusnya dibawah 1,5% dan ini merupakan suatu masalah nasional di Indonesia.
RS Mata Cicendo sebagai rumah sakit berskala internasional, melayani pelayanan di dalam dan di luar gedung rumah sakit. Pelayanan yang dilakukan antara lain poli reguler Senin – Jumat (07.00-15.00 WIB) dan poli sore Senin – Jumat (15.00-20.00 WIB). Tren penungjung yang datang antara 140.000-150.000 orang pertahun. Cicendo lasik center di RS Cicendo, dapat digunakan untuk mengurangi morbiditas akibat myopia (rabun jauh). Pembangunan kamar operasi yang dilakukan saat ini berupaya untuk meningkatkan pelayanan bedah mata yang mencapai angka 17000 kasus pertahun. Alat penunjang medis untuk pemeriksaan mata di RS Cicendo ini baik dan tergolong alat baru. Kunjungan yang terbanyak dari luar Jawa Barat sekitar 58,20%. Bandung 33, 42%. Dari luar negeri terutama berasal dari negara tetangga.
Edumata Wisata, merupakan wisata ilmiah yang ditujukan untuk anak sekolah dasar, sambil berwisata ke kota Bandung dapat dilakukan pengenalan ke RS mata Cicendo ini, karena disediakan
Rumah Sakit Siloam Kupang Fokus Layani Peserta BPJS Kesehatan
manajemenrumahsakit.net :: Kupang – Siloam Hospital terus menghadirkan fasilitas kesehatan dengan pelayanan berstandar internasional ke seluruh daerah. Kali ini Siloam Hospital hadir di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk memberikan pelayanan kesehatan paripurna bagi seluruh masyarakat di provinsi timur Indonesia itu.
Rumah Sakit Umum Siloam Hospital (RSUSH) Kupang adalah rumah sakit ke-19 yang telah dibangun Lippo Group dan akan menyusul peresmian yang ke-20 di Medan pada Desember 2014 ini.
Berbeda dengan lainnya, RS Siloam Kupang lebih fokus melayani pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebagian besar atau sekitar 70 persen fasilitas layanannya diperuntukkan bagi pasien peserta JKN.
Workshop Peningkatan Kesehatan Ibu dan Imunisasi
“LINDUNGI IBU DAN BAYI”
Workshop Peningkatan Kesehatan Ibu dan Imunisasi
PPSDM Kementerian Kesehatan, 17-19 Desember 2014
Reportase oleh: Putu Eka Andayani
Foto-foto: Putu Eka Andayani
Sambutan Dirjen dan Pembukaan oleh Menkes
Workshop yang diselenggarakan oleh GAVI Alliance bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan ini dibuka oleh Menteri Kesehatan, Prof. dr. Nila A. Moeloek, SpM pada malam tanggal 17 Desember 2014 di Gedung PPSDM Kementerian Kesehatan, Jakarta. Menkes mengatakan bahwa kurang gizi masihmenjadi tantangan besar bagi Indonesia. Faktanya, angka stunting sangat tinggi. Dari setiap empat anak, 1 diantaranya mengalami stunting atau pendek (kerdil). Penyebab utamanya adalah kekurangan gizi pada ibu hamil, bahkan sejak ibu masih remaja. Untuk mengatasi masalah ini, Menkes menekankan bahwa partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka mengintensifkan upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Tentu saja upaya ini menjadi sangat penting, karena menurunkan angka kematian dan meningkatkan kesehatan. Sebelumnya, Dirjen Bina Gizi, dr. Anung Sugiantono, MKes, menyampaikan laporan mengenai upaya yang dilakukan oleh Kementerian, yaitu sosialisasi program menurunkan angka kematian ibu dan bayi kepada masyarakat, dalam bentuk kaleidoskop.
Upaya ini secara resmi dimulai pada tanggal 21 April, bertepatan dengan hari lahir RA Kartini. Menurut dr. Anung, tanggal ini dipilih bukan semata-mata karena Kartini adalah salah satu pahlawan wanita nasional, namun juga Kartini meninggal saat melahirkan putra pertamanya dalam usia muda. Ini merupakan gambaran masalah kematian ibu di Indonesia yang masih banyak terjadi pada masa kini. Program ini ditutup pada tanggal 22 Desember, pada usia program 9 bulan sebagaimana usia kehamilan seorang ibu, bertepatan dengan perayaan Hari Ibu.
Hal yang menarik pada malam pembukaan ini adalah adanya Tarian Inesare, yang menggambarkan budaya masyarakat NTT yang awalnya percaya pada dukun sebagai penolong persalinan. Di fase berikutnya, masyarakat mulai percaya pada nakes dan mulai ada network antara dukun bersalin dengan nakes. Peran suami juga lebih terlihat selama proses ANC hingga persalinan. Tarian ini merupakan bentuk promosi kesehatan yang menggunakan pendekatan budaya.
Kesehatan Ibu dan Imunisasi dari Perspektif Agama dan Budaya
Topik yang dibahas difokuskan pada perspektif agama Islam. Narasumber dari Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa menurut pandangan Islam, segala upaya (ikhtiar) yang dilakukan harus untuk kemaslahatan umat, bukan hanya individu. Jika di satu lingkungan ada satu orang yang diimunisasi lalu ada satu anak lainnya tidak diimunisasi, sementara disitu ada potensi penularan penyakit, maka yang tidak diimunisasi akan memiliki potensi terkena penyakit dan menularkannya ke angggota masyarakat lainnya. Wajib hukumnya dalam Islam untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Lebih lanjut narasumber mengutip ayat Al Quran mengenai ASI, dimana ada keharusan untuk memberikan ASI yang pertama keluar (colostrum, al-liba’) kepada anaknya. Kaidah ini menunjukkan bahwa menolak penyakit dengan daya kebal atau daya tangkal yang kuat itu lebih utama, lebih ampuh dan lebih mudah dibandingkan dengan mengobati penyakit yang sudah terlanjur menempel di tubuh. Menurut fatwa MUI, penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan adalah haram kecuali jika memenuhi syarat berikut: digunakan dalam kondisi keterpaksaan yang mengancam jiwa, belum ditemukan bahan yang halal dan suci, sertarekomendasi dari tenaga medis yang kompeten dan terpercaya bahwa tidak ada obat yang halal. Jadi, vaksinasi atau imunisasi adalah upaya mencegah penyakit yang sejalan dengan anjuran agama. Namun di sisi lain pemerintah juga diharapkan menjamin ketersediaan vaksin halal melalui sertifikasi.
Dari sudut budaya, penelitian yang dilakukan oleh Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sebagian suku-suku di Indonesia, khususnya yang bermukim di pedalaman atau daerah terpencil, masih memegang teguh adatnya termasuk dalam memperlakukan ibu hamil, nifas dan bayi. Misalnya pada etnik Laut, ibu hamil sedikit makan sayur dan banyak makan ikan, serta mengunyah rumput untuk kemudian dimuntahkan. Bayi baru lahir dilulur dengan campuran bedak bayi, garam dan air untuk melepas tali pusar. Di Madura, bayi yang baru lahir dimandikan oleh dukun. Persalinan dilakukan sendiri tanpa bantuan dukun. Di Pulau Rote, NTT, ibu hamil justru bekerja lebih keras secara fisik, karena dipercaya dapat memperlancar proses persalinan. Setelah melahirkan, selama masa nifas ibu dan bayi melakukan panggang punggung, yaitu duduk dekat dan membelakangi perapian yang menggunakan kayu bakar. Ini dimaksudkan untuk membersihkan darah kotor. Ritual ini juga dilakukan oleh Suku Gayo, di Aceh Tengah.
Berbagai kepercayaan dan kebiasaan masyarakat tersebut membawa kontribusi pada tingkat kesehatan masyarakat, khususnya ibu hamil, nifas dan bayi. Rekomendasi penting yang disampaikan oleh tim peneliti antara lain adalah perlunya kemitraan dengan bidan kampung (dukun), nakes diberi pengetahuan mengenai tradisi agar tidak bentrok dengan masyarakat, mengurangi seringnya mutasi nakes dan memaksimalkan peran suami.
Bentuk Nyata Peran Serta Masyarakat
Ibu Siti, dukun bayi dari Jawa Barat, sudah praktek menolong persalinan sejak jaman DI/TII. Tujuannya untuk menolong persalinan dan mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Berdasarkan pengalamannya, selama ini belum pernah ada ibu atau bayi yang ditolong oleh Ibu Siti meninggal, karena yang ditolong hanya yang persalinan normal tanpa masalah. Jika ada ibu hamil yang mengalami kesulitan apalagi pendarahan, langsung dirujuk ke puskesmas. Pasien digotong menggunakan tandu yang terbuat dari sarung dan bambu.
Kasus lain yang diangkat adalah pengembangan rumah tunggu di NTT, salah satunya dikelola oleh Ibu Yosefa di suatu kecamatan di kaki Gunung Kelimutu, Ende. Bu Yosefa adalah pensiunan yang pernah bekerja sebagai pendidik selama 36 tahun, pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah dan Pengawas. Pada akhir tahun 2011 Ibu Yosefa mendapat undangan dari Puskesmas untuk menghadiri sosialisasi KIA. Istilah ini asing baginya ynag tidak pernah berkutat dengan masalah kesehatan. Setelah mengikuti pertemuan muncul kesadaran bahwa kesehatan bukan hanya tanggung jawab nakes dan masyarakat perlu secara proaktif melakukan upaya membantu ibu-ibu menjelang melahirkan. Ibu Yosefa menginisiasi dikembangkannya rumah tunggu. Ibu-ibu hamil yang lokasi tinggalnya jauh dari faskes dapat menginap di rumah tunggu dua hari sebelum dan sesudah partus, bersama dengan keluarga. Dengan demikian, akses ibu hamil dan neonatus ke faskes menjadi jauh lebih mudah.
Kepala desa dan pemangku kepentingan diundang untuk terus menerus membantu memberikan motivasi dan dorongan, sehingga partisipasi masyarakat bisa tinggi (termasuk dalam hal urunan). Dana operasional rumah tunggu berasal dari iuran sukarela masyarakat sebesar Rp 8,5 juta dalam 1 tahun, digunakan untuk mengadakan perlengkapan bagi ibu, mulai dari kasur, seprei, hingga sabun mandi dan bahan makanan. Kini ada bantuan dari desa sebesar Rp 500.000 per tahun. Hingga Desember 2014, rumah tunggu binaan Ibu Yosefa sudah dimanfaatkan oleh 340 orang ibu. Pada tahun terakhir jumlah kunjungan ibu melahirkan di faskes melonjak, salah satunya adalah karena masyarakat merasa sangat terbantu dengan adanya rumah tunggu yang memudahkan akses mereka. Apalagi sebagian masyarakat yang bermukim disekitar rumah tunggu dapat menggunakan fasilitas ini secara gratis, sebagian lain hanya perlu membayar Rp 10.000 untuk menganti biaya pembelian bahan habis pakai (sabun, pembersih dan sebagainya).
Mini University – Berbagi Pengalaman dari NTT
Salah satu sesi pada workshop ini adalah sharing dari pengalaman Sister Hospital dan PML di NTT kepada seluruh peserta yang hadir. Sesi ini diisi oleh Dr. Ali Sungkar, SpOG dari RSCM yang merupakan mitra RSUD Ruteng (Manggarai), Putu Eka Andayani, SKM, MKes (PKMK FK UGM, Koordinator PML), dr. Lely Harakai (Direktur RSUD Umbu Rara Meha, Sumba Timur) dan dr. Bernadette Rizky Natalia (Kepala Puskesmas Halilulik, Kab. Belu).
Dr. Ali Sungkar, SpOG memaparkan tentang kegiatan Sister Hospital dan secara spesifik kemitraan antara RSCM dengan RSUD Ruteng. Sejak tahun 2010 RSCM telah melakukan berbagai program pegembangan kapasitas untuk dan bersama RSUD Ruteng, dari aspek klinis maupun manajemen. Menurutnya, Kabupaten Manggarai yang subur sangat potensial bagi pengembangan ekonomi rakyat dan juga fasilitas publik khususnya RSUD.
Putu Eka Andayani menjelaskan tentang PML dan bagaimana peran PKMK FK UGM pada saat awal bersama dengan Dinkes Provinsi NTT dan AIPMNH mendesain program SH-PML, sebagai koordinator yang juga melakukan monitoring dan evaluasi di 11 RSUD yang terlibat. Secara keseluruhan, pencapaian program PML cukup baik, yaitu seluruh RS sudah meiliki ijin opeasional tetap, terakreditasi dan sebagian besar telah ditetapkan sebagai BLUD. Namun, masih banyak juga program yang belum mencapai hasil yang diharapkan.
Meskipun demikian, menurut dr. Lely, kegiatan SH-PML sangat banyak manfaatnya bagi RS. Salah satunya adalah menjadikan pribadi yang lebih tangguh, tidak mudah mengeluh karena mengeluh tidak menyelesaikan masalah. Direktur RS dituntut untuk bisa kreatif memikirkan solusi. Misalnya jika dulu ada WC mampet, cara termudah adalah menempelkan tulisan “WC mampet, jangan digunakan”. Namun dengan adanya pendampingan oleh RS A, UGM dan AIPMNH, hal-hal seperti itu – yang ditemukan saat monev – akan di-published pada saat pertemuan koordinasi sehingga RS yang bersangkutan akan merasa malu dan berusaha untuk memperbaiki. Capacity Building yang dilakukan oleh RS Mitra A telah membuka wawasan SDM di RS tentang bagaimana seharusnya RS dikelola dan seperti apa output pelayanan yang diharapkan.
Tantangan bagi RSUD dan Pemda setempat adalah bagaimana meneruskan program ini agar berlanjut, karena program ini dirasakan membawa manfaat dalam meningkatkan kinerja dan mutu pelayanan RS.
Dari pengalaman Puskesmas dalam melaksanakan PML, dr. Bernadette menyampaikan bahwa telah terjadi peningkatan pengetahuan dan kemampuan pengelola dan staf Puskesmas. Contohnya dalam penggunaan internet, dulu banyak kepala dan staf puskesmas yang merasa asing dengan teknologi ini. Namun dengan terlibat di PML, maka banyak kegiatan – termasuk pelatihan jarak jauh – yang dilakukan melalui media internet. Kini, para petugas di Puskesmas bisa lebih aktif meng-update pengetahuan dan informasi untuk terus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bidang kesehatan. (pea)
Workshop Pengembangan/Upgrade Sistem Informasi Akuntansi dan Penghitungan Biaya Pelayanan TB di RS
Workshop Pengembangan/Upgrade Sistem Informasi Akuntansi dan
Penghitungan Biaya Pelayanan TB di RS
Tantangan Program Penanggulangan TB di Rumah Sakit Indonesia
Tingkat prevalensi (prevalency rate) dan kejadian (incidence rate) Tuberkulosis (TB), yaitu 297 dan 185 per 100.000 penduduk, Indonesia masih menduduki posisi keempat, negara dengan beban kasus TB yang tinggi secara global (WHO, 2013). Meskipun kemajuan yang luar biasa dari program pengendalian TB nasional, Indonesia menghadapi ancaman baru, yaitu epidemi TB-MDR. Data resmi MDR-TB mencatat 1,9% dari kasus TB baru dan 12% MDR-TB dari kasus TB lanjutan (WHO, 2013). MDR-TB sangat memungkinkan terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas dikarenakan TB dan menjadi beban yang lebih tinggi dari sistem pelayanan kesehatan.
Initiatif Public-Private Mix yang melibatkan rumah sakit di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1999 dan secara nasional terus ditingkatkan sejak tahun 2003 hingga sekarang. Evaluasi sebelumnya mengungkapkan bahwa rumah sakit memberikan kontribusi yang signifikan untuk pendeteksian dan pelaporan kasus TB (Irawati et al, 2007). Di sisi lain, evaluasi lain juga menunjukkan sub-optimal manajemen kasus TB di rumah sakit dan bahkan kehilangan kesempatan-kasus TB didiagnosis dengan baik dan dipantau dalam sistem rumah sakit (Probandari et al, 2010). Ada hambatan dalam melaksanakan standar internasional untuk mendiagnosis, pengobatan TB di beberapa layanan kesehatan (Utarini et al, 2006). Dengan demikian, peningkatan layanan TB dalam hal kualitas klinis sangat penting sebagai upaya untuk mencegah epidemi TB-MDR.
Upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas layanan TB di rumah sakit telah dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan (dokter umum, spesialis paru, spesialis penyakit dalam, dan sebagainya) pada program pengendalian TB dan pelaksanaan ISTC. Namun, Monitoring Mission Joint External pada 2001 mencatat bahwa upaya itu tidak cukup mempengaruhi kualitas layanan klinis TB di rumah sakit. Lembaga ini sangat merekomendasikan pendekatan regulasi yaitu dengan akreditasi. Rekomendasi ini telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan sejak tahun 2013.
Dari sudut pandang rumah sakit, soal laik, efektif dan efisien untuk penanganan kasus TB dan manajemen kasus MDR-TB di rumah sakit masih relevan. Upaya untuk meningkatkan kualitas manajemen kasus TB harus dimasukkan dalam sistem perbaikan klinis di rumah sakit. Seluruh upaya peningkatan kualitas klinis akan diarahkan pada peningkatan efisiensi pelayanan.
Hasil dari ‘Sustainable Hospital Delivery and Management System for TB/MDR-TB (HDMS) Phase 1’
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gadjah Mada (UGM- CHPM) bekerja sama dengan Otsuka Foundation, telah mengembangkan pilot dan menerapkan model inovatif manajemen rumah sakit untuk kasus TB/TB-MDR. Fase 1 kegiatan ini dilakukan selama 2013, yang bertujuan untuk menganalisis masalah-masalah TB dan manajemen kasus TB-MDR saat ini di rumah sakit.
Temuan dari HDMS Fase 1 menunjukkan bahwa belum maksimalnya pelaksanaan standar internasional (ISTC) untuk pelayanan TB, diskontinuitas pelayanan TB dan kasus TB-MDR, masalah pengendalian infeksi serta sistem rujukan untuk TB-MDR. Hasil ini sungguh sangat mengkhawatirkan, dan mendorong kita untuk berupaya peningkatan kualitas klinis pada TB dan pelayanan TB-MDR. Temuan dari Fase 1 ini juga menunjukkan bahwa biaya dan pelayanan TB dan TB-MDR sangat beragam dan sangat disayangkan bahwa inefisiensi pelayanan sangat sulit untuk dapat disimpulkan.
Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk pengembangan sistem pengelolaan data pembiayaan dalam rangka meningkatkan efisiensi layanan TB dan TB-MDR. Inisiatif untuk meningkatkan, baik sistem manajemen mutu dan sistem manajemen data pembiayaan untuk kasus TB dan TB-MDR diusulkan melalui proyek ‘Sustainable Hospital Delivery and Management System for TB/MDR-TB Fase 2 (HDMS Fase 2)’.
Strategi Intervensi
Untuk meningkatkan pengelolaan keuangan rumah sakit kami berencana untuk strategi intervensi:
- Analisis biaya berdasarkan clinical pathway TB/MDR-TB
- Mengembangkan/upgrade sistem informasi akuntansi ( AIS )
Intervensi ini akan dilakukan di tiga RS, yaitu RS Bethesda, Yogyakarta, RS Islam Jakarta dan RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.
Analisis biaya akan diawali dengan mengidentifikasi alur pasien berdasarkan clinical pathway dan pedoman pelayanan klinis terbaru. Setelah itu langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi jumlah sumber daya yang terlibat dan yang tersedia dalam alur pasien dan mengidentifikasi biaya untuk setiap sumber daya yang terlibat. Langkah terakhir adalah menganalisis biaya per pasien.
Untuk mengembangkan sistem informasi akuntansi, diperlukan kesediaan RS yang bersangkutan, karena kegiatan ini akan menelusuri proses bisnis RS yang umumnya merupakan informasi sensitif dan sangat confidential. Oleh karena itu, kegiatan ini hanya akan dilakukan apabila RS ang terlibat bersedia. Langkah-langkahnya meliputi pemetaan sistem informasi akuntansi yang ada, mengembangkan atau memperbarui kebijakan akuntansi, mengembangkan atau memperbarui SOP akuntansi untuk pendapatan, biaya dan persediaan. Setelah itu, ada proses implementasi dari SOP dan alur yang telah diperbarui tersebut dan kemudian evaluasi di akhir periode. Ini merupakan siklus pertama dari intervensi. Hasil evaluasi akan digunakan untuk memperbaiki SOP dan alur informasi untuk kemudian diimplementasikan kembali dan dievaluasi. Ini merupakan siklus kedua, yang dirancang sebagai siklus terakhir dari periode intervensi ini. Kegiatan direncanakan berakhir pada Oktober 2015.
Biaya dan Tarif
Dampak dari peningkatan biaya kesehatan tentunya dirasakan oleh masyarakat pengguna layanan di RS. Lembaga pembayar dan penyelenggara pelayanan kesehatan terutama rumah sakit. Untuk itu, rumah sakit dituntut untuk mampu mengelola keuangannya secara efisien dan efektif sehingga dapat mengoptimalkan kinerja dengan dana yang ada.
Informasi biaya menjadi hal yang penting, karena dengan adanya informasi ini pihak pimpinan akan dapat menilai kinerja setiap instalasi guna peningkatan kinerja di masa datang. Di samping itu, informasi biaya khususnya unit cost juga bisa dijadikan dasar dalam penetapan tarif pelayanan di rumah sakit. Jika rumah sakit ingin menciptakan pembiayaan yang optimal dan mutu yang baik, seharusnya tarif yang ada harus bisa mencerminkan realitas biaya yang terjadi.
Namun RS dan komunitas kesehatan pada umumnya seringkali salah kaprah terhadap istilah biaya dengan tarif. Biaya tidak sama dengan tarif. Biaya adalah sumber daya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk atau layanan tertentu, sedangkan tarif adalah harga yang dikenakan bagi konsumen atau pengguna atas produk atau pelayanan yang dikonsumsi. Jadi tarif adalah biaya, tapi dari perspektif pengguna. Kesalahan perepsi ini pada akhirnya memicu timbulnya kesalahan dalam perlakuan terhadap biaya dan tarif. Misalnya pada tarif INA-CBGs, jika lebih besar dari tarif RS maka dianggap menguntungkan, sebaliknya, jika lebih kecil akan dianggap merugikan.
Oleh karena itu, RS masih memerlukan pelatihan mengenai penghitungan biaya pelayanan, untuk mampu mengidentifikasi biaya yang sebenarnya terjadi untuk menghasilkan pelayanan, dalam hal ini untuk menangani kasus TB/MDR-TB. Pelatihan dilaksanakan di RS Bethesda dan RS Islam Jakarta pada Desember 2014, dan RSUP Dr. Sarjito yang rencanannya akan dilaksanakan pada Januari 2015.
Pelatihan ini bertujuan untuk mengenakan template penghitungan biaya berdasarkan clinical pathway, melatih peserta untuk mengidentifikasi dan menganalisis pelayanan langsung maupun tidak langsung sesuai dengan clinical pathway tersebut dan mengawali proses identifikasi biaya tersebut. Peserta pelatihan bukan hanya kepala dan staf Bagian Keuangan, namun juga klinisi dan penanggung jawab dan staf yang mewakili beberapa unit pelayanan yang terkait, misalnya rawat jalan, rawat inap, laboratorium dan sebagainya (pea).
Siloam International Investasi RS di Kupang Rp350 Miliar
manajemenrumahsakit.net :: PT Siloam International Hospitals Tbk, Sabtu 20 Desember 2014 membuka RS Siloam Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai jaringan rumah sakit ke-19 dengan nilai investasi lebih dari Rp350 miliar.
Dalam peresmian kemarin, Presiden Joko Widodo hadir didampingi oleh Gubernur NTT, Frans Lebu Raya.
Founder Siloam Hospitals Group, James T. Riady, mengatakan, Siloam Hospitals Kupang akan terintegrasi dengan
Pengerjaan Proyek RSUD H. M. Raba
manajemenrumahsakit.net :: Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Raba’in Muara Enim yang menelan dana miliyaran rupiah hingga sekarang masih banyak yang belum dikerjakan.
Harapan masyarakat Rumah sakit ini selesai dengan baik sesuai dengan waktu yang ditentukan. Sebab kalau Rumah Sakit ini selesai, pelayanan kepada masyarakat bisa maksimal dan lebih baik lagi.
Pihak RS Dibuat Bingung Aturan Aktivasi Kartu BPJS 7 Hari
manajemenrumahsakit.net :: Jakarta – Aturan yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tentang aktivasi kartu peserta membutuhkan waktu tujuh hari menuai kritik dari Perhimpunan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi).