Halo Pengunjung web,
Ini adalah hari pertama Presiden dan Wakil Presiden yang baru dilantik bekerja. Kita berharap semoga sistem kesehatan khususnya rumah sakit menjadi lebih maju, didukung oleh sistem pembiayaan kesehatan yang baik, mampu melayani masyarakat dan menjangkau hingga ke pelosok sembari di sisi lain bersaing dan mampu bersuara di kancah internasional.
20 Oct2014
Perki-Rumah Sakit Otorita Batam Pelatihan ‘EKG’manajemenrumahsakit.net :: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Cabang Batam bekerja sama dengan Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB) menggelar pelatihan Elektro Kardiogram untuk meningkatkan keahlian para anggota. ‘Sebagai organisasi, kami ingin meningkatkan kemampuan para anggota, sehingga kegiatan ini digelar rutin,’ kata Ketua Perki Cabang Batam, dr Afdhalun A Hakim pada kegiatan di Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB) Badan Pengusahaan Batamdi Sekupang, Sabtu. Elektro Kardiogram (EKG) merupakan rekaman listrik jantung yang diperoleh dengan bantuan elektroda yang ditempel pada permukaan tubuh seseorang. EKG merupakan salah satu pemeriksaan penunjang noninvasif, relatif murah, praktis dan dapat dibawa ke mana-mana, serta sebagai alat bantu untuk mendiagnosis penyakit. Pelatihan tersebut diikuti 36 peserta yang terdiri atas para dokter dan paramedis berasal dari sejumlah rumah sakit di berbagai daerah di Kepulauan Riau, seperti Tanjung Pinang, Lingga, Tanjungbalai Karimun, Batam dan Natuna. ‘Peserta pelatihan yang termasuk pengetahuan dasar ini diberikan teori atau pengetahuan untuk bisa membaca rekam dan gambar grafik jantung, praktik penggunaan peralatan dan mendiagnosa penyakit,’ kata dia. Dengan pelatihan tersebut, kata Afdhalun, diharapkan mampu meningkatkan kemampuan para dokter dalam membaca rekaman dan gambar grafik sehingga mampu menangani pasien lebih maksimal. ‘Dengan meningkatkan kemampuan, diharapkan akan lebih bisa memberikan layanan terbaik kepada masyarakat,’ kata Afdalun.(ant/rd) Sumber: ciputranews.com
20 Oct2014
Kunjungan Kerja Anggota DPRD Kabupaten Kapuas ke RSUDmanajemenrumahsakit.net :: Pada hari Jum’at, 17 Oktober 2014 anggota DPRD Kabupaten Kapuas mengadakan kunjungan ke RSUD dr. H. Soemarno Sosroatmodjo. Dalam kunjungan ini anggota dewan menanyakan masalah pasien-pasien BPJS Kesehatan. Selain itu dewan juga menanyakan tentang rehab ruang Anggrek dan lelang Paviliun. Direktur menjelaskan bahwa saat ini masyarakat miskin memerlukan dana premi untuk BPJS Kesehatan. Tentang rehab anggrek akan diusahakan dari dana yang ada. Diharapkan tahun depan dapat 10 ruangan. Sedangkan untuk paviliun belum digunakan untuk perawatan karena bangunan belum selesai. Anggota dewan mengeluhkan bahwa masyarakat yang tinggalnya jauh tidak bisa membayar premi karena di pedalaman tidak ada bank. Direktur menjelaskan tentang niat Bupati untuk menjadikan rumah sakit menjadi tipe B. Untuk mendanai dokter spesialis digunakan dana BLUD. Selain itu beliau juga menjelaskan tentang keluhan masyarakat yang menyatakan lama menunggu dokter spesialis. Hal itu terjadi karena dokter spesialis harus periksa pasien di ruangan atau sedang operasi. Mengenai tenaga kesehatan direktur menjelaskan bahwa rumah sakit kekurangan tenaga yang bersifat khusus seperti spesialis. Anggota dewan menanyakan tentang kelengkapan persyaratan BPJS Kesehatan. Selain itu juga ada pertanyaan tentang dana premi untuk pasien BPJS Kesehatan. Sumber: kapuas.info
20 Oct2014
RS Nur Rohmah Gelar Pengobatan Gratismanajemenrumahsakit.net :: GEDANGSARI, (KH) — Rumah Sakit Nur Rohmah, Bandung, Playen, Gunungkidul menggelar pengobatan gratis di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Sabtu (18/10/2104). Antusias masyarakat cukup tinggi, hingga sebelum acara dimulai mereka telah mengantri di tempat pendaftaran yang disediakan panitia. Humas Rumah Sakit Nur Rohmah, Wahyu Hidayat mengatakan, bakti sosial pengobatan gratis ini sebagai bentuk nyata pengabdian RS. Nur Rohmah kepada masyarakat. Rumah sakit tipe D ini berkomitmen memberikan manfaat dengan mengedepankan pelayanan terbaik guna menjadikan manusia yang sehat. “Dengan acara ini kita berharap kedekatan antara RS Nur Rohmah dengan masyarakat bisa terwujud, acara pengobatan gratis ini kita gelar setiap tiga bulan sekali di seluruh pelosok Gunungkidul,” kata Wahyu, saat ditemui di Balai Desa Ngalang seusai membuka acara. Sementara itu, dr. Sukma, salah satu dokter yang bertugas di RS. Nur Rohmah mengatakan, pemeriksaan kesehatan meliputi cek tekanan darah serta cek gula darah. Bagi pasien yang memiliki potensi gula darah tinggi dilakukan uji laboratorium yang telah disediakan oleh pihak RS. Nur Rohmah. “Para pasien yang sudah kita periksa, kita diagnosa kemudian diberikan obat secara gratis. Ada sekitar 150 warga yang mengikuti acara ini, 75 persen merupakan lanjut usia, sisanya anak-anak dan remaja,” ucapnya. Dia menambahkan, dalam pemeriksaan gratis tersebut, RS. Nur Rohmah juga menyediakan pelayanan bedah minor atau operasi ringan. Layanan tersebut belum sepenuhnya dimengerti oleh para pasien, sehingga hanya ada 2 orang yang mendapat penanganan bedah minor. “Mereka masih merasa asing dengan operasi yang dilakukan pada saat pengobatan gratis. Masalah persendian atau yang lebih kita kenal dengan penyakit reumatik menjadi keluhan terbanyak dari pasien. Meskipun disini tidak dipungut biasa (gratis), namun pelayanan yang kita berikan tetap sama seperti yang kita berikan di rumah sakit,” tegas dr. Sukma. Dalam kesempatan tersebut, RS Nur Rohmah tidak hanya memberikan pengobatan gratis, 2 dokter RS. Nur Rohmah yang bertugas, juga memberikan edukasi hidup sehat kepada warga yang hadir. Mereka diajak menjaga kesehatan dengan menanamkan pola hidup sehat dan tidak meninggalkan olahraga. Terpisah, Kepala Desa Ngalang, Ngaderi berharap, upaya pendekatan RS Nur Rohmah kepada masyarakat diharapkan dapat menumbuhkan ikatan batin di masyarakat. Pihaknya menyambut baik acara tersebut. Pengobatan gratis ini diharapkan dapat meringankan beban masyarakat. “Saya sangat berterimakasih kepada pihak RS Nur Rohmah, semoga kegiatan serupa dapat kembali digelar ditahun-tahun berikutnya,” Pungkasnya.(Juju/Tty) Sumber: kabarhandayani.co
20 Oct2014
Ada Rumah Sakit Baru di Kulonprogo, Bagaimana Perekrutan Karyawan?manajemenrumahsakit.net :: KULONPROGO
20 Oct2014
Seluruh RS di Kabupaten Bekasi Harus Terima Pasien BPJS
17 Oct2014
Hari 2, 16 Oktober 2014Menyongsong HKN ke 50 dan Perubahan Sistem Pelayanan Kesehatan Sebagai Dampak Dari Pelaksanaan UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN 15 Oktober 2015 – 18 Oktober 2015 Hari 1 :: Hari 2 :: Hari 3 :: Hari 4 Paripurna 4 : Dampak Implementasi JKN Terhadap Provider Swasta Pada hari kedua ini sesi awal lebih banyak membahas mengenai dampak implementasi JKN terhadap rumah sakit swasta yang bermitra dengan BPJS. Sesi ini dimoderatori oleh Drs. Odang Muchtar, MBA dengan beberapa narasumber yaitu dr. Chairul R. Nasution, Sp.PD, K-GEH, Finasim, FACP, M. Kes (Direktur BUK Rujukan Kemenkes RI), dr. Mohammad Edison, MM, AAK (Kepala Grup Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan), dr. Daniel B. Wibowo, M. Kes (PERSI/Direktur RS Panti Wilasa Dr. Cipto), dan Laurensia, MSc (IBI).
Rumah sakit swasta belum banyak yang menjadi mitra BPJS karena merasa klaim tidak sesuai, misal pelayanan di rumah sakit tersebut sudah termasuk tersier namun klasifikasi rumah sakit masih tipe C. Untuk itu, Dr. Chairul menyarankan perlunya penyesuaian tarif dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti fasilitas rumah sakit, SDM, maupun status rumah sakit (pendidikan dan non pendidikan, serta clinical pathway). Severity level yang berkaitan dengan clinical pathway perlu menjadi perhatian agar PPK 2 dan PPK 3 tidak memberikan pelayanan yang overlap di rumah sakit yang pada akhirnya dapat menjadi temuan. Evaluasi severity level dengan menggunakan credentialing apakah sudah tepat bagi rumah sakit dalam menerapkan CBG’s sehingga dapat meningkatkan tipe rumah sakit. Skenario penyesuaian tarif 2014 perlu dilakukan dengan melihat kondisi keuangan BPJS (rasio klaim), pendapatan rumah sakit per tahun, keadilan tarif antar rumah sakit, sistem rujukan berdasar pola penyakit, pola rujukan, dan utilisasi penyakit, serta peningkatan tipe rumah sakit tipe C dan D dinaikkan menjadi 80%. Untuk tarif rawat jalan terdapat 30 tarif yang disesuaikan berdasar kelompok tarif JKN yaitu rumah sakit tipe A, B, C, D, RSUP nasional, dan rumah sakit rujukan nasional. Tarif BPJS perlu disesuaikan dengan pertimbangan faktor yang mempengaruhi biaya rumah sakit seperti penggunaan teknologi kedokteran, obat, pemeriksaan laboratorium, jasa dokter, perubahan pola penyakit, dan biaya umum rumah sakit. Disisi lain rumah sakit harus bekerja sesuai dengan cinical pathway, misal penanganan demam thypoid harus sesuai dengan obatnya. Dengan bekerja sesuai pedoman pelayanan kedokteran dan panduan praktek klinik serta mengedepankan kendali mutu dan kendali biaya maka rumah sakit akan dapat berhasil dalam era BPJS. dr. Mohammad Edison, MM, AAK sebagai narasumber kedua mengemukakan mengenai meningkatkan peran rumah sakit swasta dalam JKN ke depan. Ketersediaan fasilitas kesehatan diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN Pasal 23, UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS Pasal 11 dan Perpres 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Peningkatan fasilitas kesehatan harus dibarengi dengan kendali mutu dan biaya. Saat ini terdapat 617 rumah sakit swasta (40%) sebagai fasilitas kesehatan rujukan BPJS. Rasio kecukupan fasilitas sekunder berdasar NHS UK adalah 1 : 50,000 – 500,000 dan menurut FKRTL JKN sebesar 1 : 81,339. Namun yang menjadi isu adalah distribusi yang tidak merata. Fasilitas primer dan sekunder idealnya harus saling bekerja sama. Untuk itu sebaiknya fasilitas primer dioptimalisasi karena masih dibawah utilisasi dalam hal program rujuk balik. Topik lain yang juga menarik adalah kebijakan program JKN yang tidak kondusif bagi pengembangan rumah sakit swasta yang dibawakan oleh dr. Daniel B. Wibowo, M. Kes. Seperti kita ketahui bahwa sebanyak 671 rumah sakit swasta (40%) merupakan mitra BPJS, namun masih lebih dari 50% rumah sakit swasta yang belum menjadi mitra BPJS. Dalam kurun waktu Mei 2013 sampai dengan September 2014 terdapat penambahan jumlah rumah sakit sebanyak lebih dari 200 buah dimana rumah sakit swasta tipe C dan D serta rumah sakit yang belum ditetapkan kelas lebih banyak mendominasi penambahan jumlah tersebut. Rumah sakit swasta diharapkan segera mempunyai penetapan kelas sehingga dapat menjadi mitra BPJS. Dr. Daniel mengajak untuk melihat posisi rumah sakit swasta dimana dalam 16 bulan terakhir terdapat penambahan jumlah rumah sakit lebih dari 200 buah, kontribusi TT untuk ICU sebesar 6.97% dan VVIP sebesar 13.15%. Sebagian besar rumah sakit tersebut adalah tipe C dan D, bahkan ada yang kelasnya belum ditetapkan belum ditetapkan kelas. Distribusi rumah sakit swasta belum merata. Pemerintah belum membuat kebijakan untuk memberikan insentif bagi investasi. Selain itu ada juga faktor beban biaya masih dibayar oleh jasa pelayanan dan bukan donasi, kesulitan pemenuhan spesialisasi dan tenaga lainnya, serta kesenjangan gaji antara rumah sakit pemerintah dan swasta yang perlu mendapat perhatian. Di era JKN ini, rumah sakit swasta akan berkembang dalam kuantitas dan karena adanya TT. Rumah sakit swasta kecil tidak akan dapat memenuhi persayarat rumah sakit sesuai regulasi sehingga tidak dapat menjadi mitra BPJS. Selain itu rumah sakit swasta menengah kecil akan kekurangan pasien karena tidak menjadi mitra BPJS dan pada akhirnya akan tutup. Hanya rumah sakit yang kompeten yang akan bertahan dalam era BPJS. Harapannya adalah pelayanan pasien sesuai dengan standar pelayanan, tidak terjadi masalah hukum dan menerapkan efisiensi beban biaya. Rumah sakit swasta merasa kebijakan JKN kurang kondusi untuk pengembangan karena regionalisasi tarif berdasarkan provinsi. Biaya rumah sakit di kota besar tentunya lebih besar dibanding kota kecil dalam 1 regional. Regionaliasi tarif sesuai dengan indeks kemahalan di kabupaten atau kota, perbedaan tarif rumah sakit pemerintah dan swasta, regulasi urun biaya, bobot kasus yang belum sesuai dengan unit cost seperti ada beberapa tarif rawat jalan dan ICU yang belum sesuai dengan bobot kasus, diskriminasi pengadaan obat dimana beberapa obat di e-catalog dapat dibeli oleh rumah sakit swasta namun dengan harga mahal, regulasi berlaku surut, dan tidak ada insentif bagi rumah sakit swasta merupakan faktor-faktor yang ikut membebani pengembangan RS swasta di era BPJS. Dr. Daniel berharap ada pembobotan ulang mengenai tarif untuk beberapa kasus tertentu. Rumah sakit swasta misalnya diberi password untuk dapat akses ke e-catalog sehingga dapat membeli obat dengan harga e-catalog yang berlaku, serta berharap adanya insentif dari pemerintah terhadap fasilitas dan pajak rumah sakit swasta. Narasumber ketiga membahas mengenai apakah kebijakan BPJS merugikan profesi bidan pelayanan mandiri? Menurut Laurensia dari Ikatan Bidan Indonesia, kebijakan BPJS didalamnya belum mendukung kebijakan-kebijakan yang memihak pada praktek bidan. Praktek bidan yang di dalamnya dapat menangani praktek emergensi dalam persalinan malah tidak dapat masuk menjadi mitra BPJS, sedangkan praktek dokter yang tidak mencakup layanan emergensi malah dapat menjadi mitra BPJS. Selain itu alat kontrasepsi dasar dijamin oleh Pemerintah namun tidak dijamin oleh BPJS. Pada klinik pratama, bidan hanya dapat melayani persalinan namun ANC tidak diperkenankan. Paripurna 5 : Evaluasi Tarif INA CBG’s
Dr. Supriyantoro mengemukakan bahwa kurang lebih 78% pasien di RSCM adalah pasien JKN. Hal ini berkaitan dengan banyaknya puskesmas yang tidak siap menerima rujukan balik. Gambaran beberapa efek dari sistem BPJS sebelum bridging adalah antrian lama bahkan bisa 2 kali dari antrian biasa serta entri aplikasi BPJS bisa 2 kali. Banyak rumah sakit yang masih merasa ketidakadilan dalam penentuan tarif BPJS. Dalam hal ini beberapa rekomendasi yang dapat diberikan agar BPJS dapat berjalan lebih baik di berbagai rumah sakit adalah pemberian remunerasi secara mutlak, sosialisasi CBG’s kepada para klinisi, clinical pathway, kendali mutu dan biaya, re-evaluasi tarif dan iuran, isu kewaspadaan fraud namun harus disikapi dengan positif, serta mengoptimalkan ketersediaan faskes dan nakes.
Agar rumah sakit tidak mengalami defisit pembiayaan salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi length of stay. Potensi efiensi lainnya yang dapat dilakukan adalah dari sisi farmasi, coding yang baik, memahami regulasi dalam sistem JKN dan tidak melakukan fraud. E-catalog juga sangat membantu dalam lelang obat sehingga dapat lebih efisien, selain itu dengan menerapkan clinical pathway maka ALOS dapat diturunkan dan tentu saja biaya dapat ditekan.Rumah sakit yang untung dalam era BPJS ini adalah rumah sakit yang menerapkan efisiensi dan efektivitas biaya, dapat membangun manajemen kesehatan yang baik, mutu coding yang baik, mutu klaim yang baik dan tentu saja tidak melakukan fraud.
Saat mempersiapkan penerapan casemix, RS Siloam Lippo Village terlebih dahulu memahami konsep CBG’s, membentuk tim casemix yang terdiri dari steering committee (termasuk direktur, keuangan, bagian pembelian) dan working committee (termasuk didalamnya klinisi, rekam medik dan tim sistem informasi). Hal lain yang perlu disiapkan adalah SOP alur pasien rawat jalan dan rawat inap, persiapan ruangan, menyiapkan SDM yang akan menangani kode, costing dan verifikasi internal, melakukan training, serta menyediakan perlengkapan lain seperti mesin fotokopi. Tugas dari steering committee diantaranya menyusun strategi dan kebijakan, sistem casemix dan melakukan monitoring. Tugas working committee adalah melakukan coding, costing dan revisi clinical pathway. Tim clinical pathway meliputi dokter, perawat, ahli gizi, rekam medik, laboratorium dan farmasi. Sosialisasi casemix juga diperlukan dengan melakukan pemberian informasi, meningkatkan kemampuan agar paham menggunakan sistem CBG’s, mengubah perilaku menjadi efisien, efektif, melakukan standarisasi dan kelengkapan rekam medik.
Rumah sakit swasta lain yang memaparkan pengalamannya menjadi mitra BPJS adalah RS Al Islam Bandung. Di sesi ini kiat rumah sakit swasta non grup tetap survive dengan tarif INA CBG’s menjadi topiknya. Dr. Sigit Gunarto sebagai direktur rumah sakit ini memaparkan profil dari RS Al Islam Bandung yang memiliki 243 TT, rawat jalan sekitar 18,000 kunjungan per bulan, pasien rawat inap sekitar 575 pasien per bulan dan pasien HD sebanyak 106 pasien per bulan dengan 1,016 tindakan HD per bulan. Selama 8 bulan menjadi mitra BPJS, RS Al Islam Bandung mengalami margin dalam pengelolaan biaya. Namun RS ini juga menghadapi masalah dari sisi internal seperti mental dan mindset dimana personil rumah sakit banyak yang resah dan bingung. Hal ini diubah dengan menjadikannya sebagai peluang. Kemudian dari sisi tarif, pelayanan, dan sistem pengendalian menjadi masalah internal yang dihadapi. Disisi lain masalah eksternal adalah tarif, regulasi, dan tidak adanya dukungan atau insentif dari pemerintah. Masalah lain yang dihadapi adalah kapasitas karena meningkatnya kunjungan pasien rawat jalan maka solusinya adalah dengan pembatasan sesuai kapasitas, selain itu banyak keluhan pasien. Agar mengurangi antrian maka dilakukan terobosan dengan pendaftaran melalui sms atau telepon. Piutang juga semakin meningkat namun realisasi pembayaran BPJS N+25 hari dapat terealisasi. Piutang ini tentunya berpengaruh pada cashflow sehingga rumah sakit melakukan penjadwalan ulang pembayaran kepada suplier obat dan BHP. Sarana fisik, sistem informasi, dan sistem rujukan juga menjadi masalah yang dihadapi oleh RS AL Islam. Namun kesemuanya itu dengan menjadi mitra BPJS, RS Al Islam mendapatkan manfaat.
Dengan adanya JKN tidak dipungkiri kunjungan rawat jalan dan pasien rawat inap meningkat namun sistem rujukan berjenjang belum berjalan baik. Pasien dengan tingkat keparahan 3 masih langsung datang ke rumah sakit tersier. Hal ini seharusnya dapat ditangani oleh rumah sakit sekunder. Banyaknya kejadian pasien non-PBI kelas 3 yang naik kelas ke paviliun kerena mereka hanya menambah sedikit biaya dengan adanya cost sharing. Untuk menghadapi hal ini RSU Soetomo Surabaya melakukan penyempurnaan dan pengembangan dengan mengembangkan sistem pelayanan yang meliputi melakukan akreditasi, penyusunan dan penerapan clinical guideline. Selain itu mengembangkan sistem pengelolaan dan pembayaran klaim dengan efisiensi obat dan BHP, sadar mutu dan biaya, juga menerapkan remunerasi. RS juga perlu menerapkan sistem jaga mutu pelayanan. Paripurna 6 : Regionalisasi Pola Tarif INA CBG’s yang Berkeadilan Pada sesi ini para narasumber memaparkan penerapan tarif CBG’s dibeberapa regional yaitu Papua, Sulawesi, Sumatera, dan Bali. Moderator pada sesi ini adalah dr. Sintak Gunawan, MA dengan naasumber dr. Jerry Nikijuluw Sp. B (Ketua PERSI Papua Barat/Direktur RSUD Kabupaten Sorong), dr. H. Leo Prawirohardjo, SP. OG (K), M. Kes, MM, PhD (Ketua I PERSI Daerah Sulawesi Selatan), dr. Azwan Lubis, SpA, MARS (Ketua PERSI Sumatera Utara), dan dr. I Wayan Sutarga, MPHM (Ketua PERSI Bali).
Selain masalah tarif yang dihadapi di Papua adalah belum adanya clinical pathway, diagnosa yang tidak spesifik oleh dokter, audit medis belum berjalan, rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS belum memiliki tenaga medis yang cukup, peran tim casemix rumah sakit belum maksimal, banyak rumah sakit belum berstatus BLUD dan pembagian jasa layanan masih bermasalah. Masalah lain yang dihadapi adalah banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang sistem JKN, banyaknya masyarakat miskin dan tidak mampu yang belum terdaftar sebagai peserta PBI, birokrasi pengurusan peserta JKN mandiri masih rumit, tempat pembayaran iuran hanya Bank Mandiri dan BNI padahal di Papua banyaknya adalah BRI, belum ada penetapan rumah sakit pusat rujukan regional Papua Barat, tarif regional 5 masih dibawah tarif penghitungan unit cost dimana rumah sakit dan petugas medis merugi, adanya pemerintah kabupaten yang belum bersedia menjalankan jaminan kesehatan dan tidak ada sistem zona tarif kapitasi di pelayanan dasar.
Pembahasan selanjutnya mengenai penerapan tarif CBG’s di Regional Sulawesi dipaparkan oleh dr. Leo Prawirohardjo yang menyatakan bahwa dengan adanya UU 36/2009 dan 44/2009 maka rumah sakit dipaksa untuk berubah dengan adanya UHC. Fee for service berubah menjadi prospective payment (tarif paket). Manfaat dari implementasi ini adalah tarif terstandar dan transparan serta penghitungan tarif lebih objektif. Namun tidak dipungkiri terdapat masalah di rumah sakit dalam menghadapi penerapan tarif ini diantaranya mindset dari stakeholder, persepsi masyarakat tentang sakit dan sehat, sistem rujukan yang belum berjalan baik, penulisan rekam medik belum baik, ALOS masih panjang dan pola tarif belum berdasarkan unit cost. Demikian juga adanya potensi inefisiensi pada farmasi.
Penerapan tarif INA CBG’s di Regional Sumatera masih menyimpan ketidakadilan berdasarkan severitas. Hal tersebut diungkapkan oleh dr. Azwan Lubis. Banyak kasus di rumah sakit daerah kabupaten/kota yang tingkat severitasnya lebih tinggi daripada rumah sakit di provinsi sehingga muncul pertanyaan yang berhubungan dengan fraud. Sistem paket tarif diharapkan dapat meningkatkan kualitas rumah sakit. Namun disisi lain jika ada kesalahan dalam sistem layanan akan mengurangi kualitas rumah sakit. Pelayanan yang diberikan kepada pasien non BPJS dan BPJS harus berkualitas sama dan clinical pathway harus seragam. Hanya dari sisi kenyamanan bisa berbeda dalam melayani kedua jenis pasien tersebut.
Level severitas di RSUD Tabanan menunjukkan bahwa severitas level 1 lebih banyak dibanding level 3, namun di RSUD Sanglah severitas level 3 lebih banyak dibanding level 1. Seharusnya severitas level 3 lebih rendah dibanding level 1 padahal trauma center di RSUD Sanglah berjalan dengan baik. Sejak diterapkannya tarif INA CBG’s 1 Januari 2014 di Bali sejumlah rumah sakit mitra BPJS masih merasa rugi karena tarif INA CBG’s masih dibawah tarif rumah sakit, sehingga beberapa hal dilakukan dengan menerapkan efisiensi layanan kesehatan, meningkatkan kualitas rekam medis, meningkatkan kualitas klaim dan memberikan remunerasi sehingga dapat memotivasi dokter. Paripurna 7 : Virus Ebola Menghantui Dunia Topik yang sedang hangat akhir-akhir ini adalah virus ebola yang menjadi pandemi di dunia. Kita melihat banyak media yang mengulas mengenai berita ini. Pada sesi ini dimoderatori oleh dr. Santoso Soeroso, Sp A, MARS dengan narasumber dr. I Nyoman Kandun, MPH, Prof. dr. Chandra Yoga Aditama, SpP, MARS, dan Dr. dr. Fatmawati, MPH (Dirut RSPI Sulianti Saroso).
Virus ebola termasuk dalama family fitoviriade dan genusnya adalah ebola viruse. Ebola merupakan penyakit yang mematikan dan merupakan wabah. Masa inkubasi sekitar 4-10 hari dimana penderita tidak akan menularkan saat masa inkubasi tersebut. Moda penularan dari penyakit ebola adalah ditularkan dengan kontak langsung dari darah, cairan tubuh, dan jaringan yang terinfeksi. Penularan terjadi pada mereka yang terinfeksi dengan gejala klinis. Virus dapat ditemukan pada sperma 3 bulan setelah penderita sembuh. Penularan di luar rumah tangga dapat terjadi saat memegang jenzah, infeksi nosokimial, dan kontak langsung dengan penderita. Sumber penularan dapat melalui hidung dan kulit. Belum ada vaksin dan pengobatan spesifik. Situasi penyebaran ebola secara intens (Guinea, Liberia dan Sierra Leone). Dapatkan virus ebola masuk ke Indonesia? Jawabannya adalah mungkin. Potensi masuknya virus ini dapat dari pelancong, petugas kesehatan yang menjadi volunteer di luar Kesiapan rumah sakit di Indonesia dalam mengantisipasi wabah virus ebola dipaparkan oleh Prof. dr. Chandra Yoga Aditama. Sampai dengan Oktober 2014 terdapat 8,000 kasus ebola dan 4,000 diantaranya meninggal. Angka kematian untuk penyakit ini mencapai 25% sampai dengan 90%. Rumah sakit perlu memperhatikan jika ada gejala khusus dengan monitoring pasien dan juga pengunjung. Tiga perkembangan terbaru obat ebola adalah dengan plasma pasien yang sudah sembuh dan diberikan kepada pasien penderita virus ebola, dengan vaksin dan beberapa jenis obat seperti ZMapp. Namun obat ini masih diujicobakan pada binatang.
Pada sesi ini juga hadir Dirut RSPI Sulianti Saroso yaitu Dr. Fatmawati yang menggambarkan kesiapan RSPI Sulianti Saroso dalam menghadapi kasus ebola di rumah sakit. RSPI Sulianti Saroso sebagai pusat rujukan penyakit infeksi telah banyak pengalaman dalam menangani kasus pandemi seperti H5NI, MERS, dan juga saat ini ebola suspek. Dr. Fatmawati menyatakan bahwa rumah sakit yang ditunjuk oleh Kemenkes harus siap menghadapi pandemi tersebut. Kesiapan yang dimiliki oleh RSPI Sulianti Saroso adalah dari sisi SDM, SOP, ruang isolasi APD dan juga rumah sakit ini sudah melakukan simulasi. RSPI Sulianti Saroso siap menerima rujukan minimal 2 jam setelah ada rujukan dari puskemas atau rumah sakit lain dengan menyiapkan ruang isolasi untuk pasien ebola di isolasi ICU ataupun isolasi rawat inap biasa dan pemeriksaan laboratorum yang hasilnya dapat dikeluarakn dibawah 24 jam. Reporter: Elisabeth Listyani Editor: Putu Eka Andayani
17 Oct2014
Penyediaan Hand Sanitizer Masih Minim di Rumah Sakitmanajemenrumahsakit.net :: KEHADIRAN hand sanitizer yang kian mendunia ternyata mampu menggantikan eksistensi dari kebiasaan mencuci tangan memakai sabun. Meskipun tujuannya m emang tetap sama, tapi
17 Oct2014
18 Rumah Sakit di Indonesia Sudah Berakreditasi Internasionalmanajemenrumahsakit.net :: Jakarta – Menteri Kesehatan RI, Nafsiah Mboi baru saja menyerahkan Sertifikat Akreditasi Internasional dari Joint Commission International (JCI) kepada RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta dan empat RS Awal Bros di Bekasi, Tangerang, Pekanbaru, dan Batam. Dengan sertifikat ini, maka total sudah ada 18 RS di Indonesia yang berakreditasi internasional.
17 Oct2014
Hospital Expo Diikuti 169 Perusahaan Luar Negerimanajemenrumahsakit.net :: Jakarta – Penyedia alat kesehatan dan produk perumahsakitan yang berpameran di Hospital Expo ke-28 bukan hanya berasal dari Indonesia. |
21 Oct2014