RS Premier Bintaro Hadirkan “Vascular Centre”
Seiring bertambahnya usia harapan hidup seseorang, semakin banyak permasalahan kesehatan yang dihadapi. Hal ini dikarenakan menurunnya fungsi sistem tubuh secara keseluruhan sehingga rentan terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penuaan atau penyakit degeneratif.
Penyakit degeneratif yang dihadapi antara lain yaitu masalah pembuluh darah. Spesialis Bedah Vaskular RS Premier Bintaro dr. Suhartono, Sp.B(K)V mengatakan, banyak penyakit yang diakari oleh permasalahan pada pembuluh darah. Penyakit-penyakit itu di antaranya aneurisma, insufisiensi vena kronik, emboli paru, komplikasi diabetes dan beberapa penyakit lain.
Guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat akan layanan khusus komplikasi penyakit pembuluh darah, RS Premier Bintaro meresmikan Vascular Centre, Minggu (26/5/2013) di RS Premier Bintaro, Tangerang Selatan. Layanan ini, kata Suhartono, merupakan layanan yang diharapkan menjadi salah satu unggulan dan ciri khas dari RS Premier Bintaro.
Suhartono memaparkan, Vascular Centre memiliki pelayanan unggulan untuk penanganan pembesaran aorta (aneurisma aorta). Pembuluh aorta merupakan pembuluh yang berada di sekitar rongga perut yang keluar dari jantung. Usia lanjut di atas 60 tahun merupakan faktor risiko dari penyakit ini.
Komplikasi dari pembesaran aorta cukup fatal, antara lain menekan organ-organ yang berada di sekitar rongga perut sehingga mengganggu fungsinya. Selain itu jika biarkan gangguan ini dapat menyebaban aorta pecah dan mengakibatkan kematian.
Jika dulu pembesaran aorta ditangani dengan operasi besar dengan prosedur pemasangan pembuluh baru di aorta, namun kini prosedur tersebut dapat diganti dengan Endovascular Aneurysm Repair(EVAR) dengan tindakan pembedahan minim invasif.
“Artinya, risikonya jauh lebih kecil sehingga menurunkan kematian drastis, namun tetap memberikan hasil yang maksimal,” jelas Suhartono.
Secara umum, tindakan medis yang dilakukan di Vascular Centre dibagi menjadi dua, yaitu operasibypass dan tindakan minim invasif antara lain balloning, stenting, dan angioplasty. Tindakan yang dipilih pada pasien berdasarkan pada kebutuhan pasien.
Direktur Utama RS Premier Bintaro dr. Juniwati Gunawan mengatakan, Vascular Centre yang ada di RS Premier Bintaro diharapkan dapat memberi kemudahan bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan yang terintegrasi. Hal ini memungkinkan pasien mendapat pelayanan lengkap dari mulai diagnostik, penanganan, hingga fisioterapi.
Sumber: http://health.kompas.com/read/2013/05/26/22085837/RS.Premier.Bintaro.Hadirkan.Vascular.Centre.
Rumah Sakit di Riau tak Kalah dengan Malaysia
PEKANBARU – Walau banyak masyarakat melakukan pengobatan ke rumah sakit di Malaysia, namun sebenarnya rumah sakit di Riau juga tak kalah hebat dari negeri Jiran tersebut. Pengakuan itu diungkapkan oleh Wakil Menteri Kesehatan Prof Dr Ali Ghufron Mukti, Jumat (24/5/2013) di Pekanbaru.
”Kalau kita bandingkan dengan Malaysia, saya rasa tidak kalah dari segi bangunan, juga cukup bagus,” ujanya di RSUD Arifin Achmad.
Menurutnya, Provinsi Riau, khususnya Kota Pekanbaru memiliki banyak rumah sakit yang bagus, termasuk rumah sakit milik pemerintah RS Umum Daerah Ariffin Ahmad yang terletak di Jalan Diponegoro
Bahkan menurut pria kelahiran tanggal 17 Mei 1962 ini, banyak mahasiswa Malaysia yang juga mengenyam pendidikan di perguruan tinggi di Indonesia. ”Ya, kalau kita lihatkan banyak juga mahasiswa-mahasiswa dari Malaysia yang sekolah, kuliah di perguruan tinggi yang ada di negeri kita Indonesia, termasuk di Fakultas Kedokteran, ini menunjukkan bahwa mutu pendidikan kita lebih baik,” tegasnya.
Karena itu Wamenkes minta masyarakat Riau tetap memanfaatkan rumah sakit di dalam negeri khususnya di Pekanbaru karena baik dari fasilitas maupun layanan tetap berimbang. ”Kecuali sudah tidak tertangani di sini, dan kalau memang harus dirujuk ke sana saja, ya apa boleh buat. Tapi sebaiknya tetap di sini,” tegasnya.
Sumber: goriau.com
DPRD DKI Panggil 16 Petinggi Rumah Sakit Terkait KJS
Jakarta, GATRAnews – Ricuh program Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang dirilis Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, mengundang keprihatian DPRD DKI. Sebagai langkah tindak lanjut, Komis E DPRD DKI Jakarta yang membidangi kesehatan memanggil 16 rumah sakit yang sempat dikabarkan akan hengkang dari program itu.
Ke-16 rumah sakit yang hadir dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi E DPRD DKI Jakarta, antara lain RS Thamrin, RS Admira RS Bunda Suci, RS Mulya Sari, RS Satya Negara, RS Paru Firdaus, RS Islam Sukapura, RS Husada, RS Sumber Waras, RS Suka Mulya, RS Port Medical, RS Puri Mandiri Kedoya, RS Tria Dipa, RS JMC, RS Mediros, dan RS Restu Mulya.
Selain Komisi E dan rumah sakit, perwakilan eksekutif diwakili oleh Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dien Emmawati. Menurut Kadis, masalah yang dihadapi oleh rumah sakit adalah kecilnya tarif yang diatur oleh sistem INA-CBG’s yang dianut BPJS. “Ini hanya masalah kecilnya tarif yang diatur dalam INA-CBG’s. Oleh karenannya perlu disesuaikan, itu yang dikeluhkan oleh teman-teman rumah sakit,” ungkapnya dihadapan rapat dengar DPRD DKI Jakarta, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (23/5) siang.
INA-CBG’s mengatur pemberian pelayanan kesehatan berdasarkan jenis penyakit dalam bentuk paket. Tak terkecuali untuk obat yang diberikan kepada pasien dan tarif yang akan diklaimkan kepada Pemerintah DKI Jakarta. Hingga berita ini diturunkan, rapat dengar masih berlangsung dengan alot disertai sejumlah interupsi dari pihak rumah sakit maupun DPRD.
Sumber: gatra.com
2 Keluhan utama rumah sakit pada sistem INA CBG’s
Rumah sakit swasta yang sebelumnya mundur dari KJS mengungkapkan alasan mereka mengambil langkah itu. Salah satunya, tarif pengobatan yang berlaku saat ini menggunakan paket Indonesian Case Based Group’s (INA CBG’s).
Dalam sistem itu, pembayaran klaim kesehatan maksimal 75 persen dari tagihan. Hal itu berdasarkan aturan dari PT Askes sebagai perusahaan asuransi yang bekerja sama dengan Pemprov DKI untuk program ini.
Untuk diketahui, sistem INA CBG’s mulai diterapkan di DKI per 1 April lalu. Sebelumnya, saat KJS baru diluncurkan sistem pengobatan bebas, sehingga tagihan dapat dibayar 100 persen. Anehnya, meski baru berlaku, sistem itu berlaku surut sejak KJS diluncurkan.
“Karena program Jamkesmas pada waktu itu adalah kecukupan dananya tertentu, sehingga yang diberlakukan baru 75 persen dari hitungan kami. Dan pada prinsipnya selama ini tarif itu di kelas III itu masih subsidi. Kalau terjadi di Jakarta ini sangat jauh berbeda, padahal di 500 rumah sakit swasta di berbagai kota itu bisa menjalankan, ini yang perlu diteliti,” ujar Wakil Ketua Nasional Center for Casemix (NCC), Achmad Soebagyo di Gedung DPRD Jakarta, Kamis (23/5).
Meski demikian, Achmad masih akan meneliti standar tarif pengobatan di Jakarta. Caranya, dengan mengumpulkan rumah sakit yang keberatan dengan sistem ini. Dalam pertemuan dengan rumah sakit ini, dirinya akan mempertanyakan biaya pengobatan di setiap rumah sakit tersebut berdasarkan penyakit.
“Jangan tarif. Itu beda. Karena tarif kan mungkin ada tambahan biaya lain. Unit cost itu yang harus diteliti. Kalau mau diteliti itu harus dari unit costnya terdiri dari apa aja sehingga terjadi gabungan sedemikian rupa. Ada juga kelas rumah sakit yang lebih tinggi tapi masih di posisi rendah jadi dapatnya rendah,” terangnya.
Sebenarnya, kata Achmad, di DKI tidak ada persoalan tentang dana. Tapi kalau memang sistem ini membuat rumah sakit takut biaya klaim akan terhambat, maka evaluasi memang harus dilakukan.
“Ini memang seperti kata pak Wagub akan mengevaluasi. Kalau kurang ya itu ada buktinya kurang di mana,” tegasnya.
Sebenarnya, sistem INA CBG’s sudah berlaku pada program Jamkesmas di 1.200 rumah sakit di seluruh Indonesia yang sebagian besar 500 rumah sakit swasta. Dengan sistem ini, pengobatan akan dibuat pake. Misalnya, seseorang yang sakit usus buntu tanpa komplikasi, maka paket obat yang disediakan sudah ditentukan. Dengan hal ini, diharapkan bisa mengendalikan biaya dan tak akan menurunkan mutu pelayanan kesehatan itu sendiri.
“Pada waktu dulu belum ada program Jamkesmas rumah sakit itu nombokin sendiri. Dan di situ kita tidak turunkan mutu. Nah dengan adanya program ini mungkin ketercukupan tidak harus turunkan mutu. Tapi kita usahakan tarif itu cukup. Nah biasanya rumah sakit lakukan cross subsidi. Misal kelas A dan B menutupi kelas III tadi,” jelasnya.
Penentuan standar pola pelayanan atau mutu atau yang disebut Clinical Pathway ditentukan oleh profesi dan rumah sakit masing-masing sesuai dengan sarana dan prasarana.
Masalah lain dengan diberlakukannya sistem ini adalah jasa dokter yang kurang.”Kalau saya kepala rumah sakit secara otomatis biasanya akan dibayarkan obat, sarana lain-lain dan setelah sudah, sisanya baru bisa dibagi sebagai jasa. Nah di sini memang jasa ini juga harus diatur standar nya. Kalau ada nanti bisa kita masukan dalam unit cost CBG’s sehingga lebih baik,” jelasnya.
Sumber: merdeka.com
Pemkab Bengkulu Utara bangun rumah sakit mini
Bengkulu (Antara Bengkulu) – Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, membangun rumah sakit mini (nonkelas) di kawasan Kota Terpadu Mandiri Lagita di Kecamatan Ketahun.
“Pembangunan rumah sakit itu untuk melengkapi sarana pada Kota Terpadu Mandiri (KTM) Lagita yang akan menghabiskan dana sekitar Rp25 miliar,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Utara Ikhsan di Bengkulu, Jumat.
Ia mengatakan pembangunan rumah sakit itu mulai berjalan dan berada pada areal seluas lima hektare, dekat dengan pusat pemukiman penduduk KTM tersebut.
Bangunan rumah sakit itu akan dilengkapi fasilitas 50 tempat tidur dan peralatan medis, tenaga kesehatan, serta dana operasional yang disiapkan pemerintah daerah setempat.
“Kita harapkan pembangunan rumah sakit itu rampung pada akhir 2013 serentak dengan sarana pembangunan lainnya, seperti jalan, pembangunan gedung pusat perbelanjaan dan lainnya,” katanya.
Keberadaan rumah sakit itu tidak hanya melayani masyarakat yang bermukim di kawasan KTM tersebut, akan tetapi bisa melayani masyarakat lain yang memerlukan bantuan pengobatan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bengkulu Husni Hasanuddin mengatakan proyek KTM Lagita itu berada dalam wilayah lima kecamatan dan penduduknya sebagian besar warga ekstransmigrasi.
KTM Lagita berada dekat kawasan pantai hingga daerah perbukitan yang berada dalam Kecamatan Ketahun, Lais, Giri Muliya, Napal Putih Padang Jaya, dan Batik Nau dengan luas seluruhnya mencapai 99.251 hektare.
“Kita mengharapkan program KTM itu dapat difungsikan akhir 2013 karena sebagian besar pembangunan sarana di dalammnya sudah rampung,” katanya.
Bila kota terpadu mandiri itu sudah berjalan, katanya, roda perekonomian masyarakat Bengkulu Utara bahkan Provinsi Bengkulu dapat meningkat sesuai program Bupati Bengkulu Utara Imron Rasysdi.
Sumber: antarabengkulu.com
DPR: Mundur dari KJS, Rumah Sakit Langgar Undang-Undang
JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning menilai seluruh rumah sakit yang mundur dalam memberikan layanan kesehatan melalui Kartu Jakarta Sehat (KJS) sama dengan melanggar undang-undang. Ia menganggap keputusan mundur dari KJS dikarenakan rumah sakit lebih mengutamakan bisnis ketimbang memberikan layanan sosial.
Politikus PDI Perjuangan itu megnatakan, dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan Pasal 191 ayat 1 dan 2, dikatakan bahwa rumah sakit tidak bisa menolak pasien atau meminta biaya administrasi di muka. Selain itu, rumah sakit juga dilarang memperjualbelikan darah dengan alasan apa pun.
“Jadi kalau rumah sakit menolak pasien dan meminta uang di depan, itu sudah melanggar UU Kesehatan,” kata Ribka di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (23/5/2013).
Ribka menambahkan, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 poin F juga diterangkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan layanan hidup sehat yang tidak dibeda-bedakan. Atas dasar itu, ia mempertanyakan alasan yang melatarbelakangi belasan rumah sakit mundur dari KJS.
“Mundur dari KJS itu melanggar undang-undang,” ujarnya.
Saat ini ada 16 rumah sakit yang keberatan mengikuti program KJS. Rumah sakit tersebut keberatan dengan tarif harga Indonesia Case Base Group (INA-CBG’s) yang dikeluarkan PT Askes (Persero). Tarif yang diberlakukan berdasarkan sistem paket ini dinilai merugikan rumah sakit. Sebelumnya, model pembayaran klaim rumah sakit diberikan untuk setiap jenis pelayanan.
KJS merupakan salah satu program unggulan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Target utamanya adalah seluruh warga Ibu Kota yang masuk dalam kategori miskin. Untuk mendapatkan KJS, warga Jakarta hanya perlu mendaftar di puskesmas dengan menggunakan KTP dan kartu keluarga (KK). Selanjutnya, layanan kesehatan dimulai di puskesmas dan bisa dirujuk ke rawat inap kelas III bila diperlukan dan gratis.
Sumber: kompas.com
RSUD Kupang Objek Politisasi
SUDAH terlalu lama manajemen RSUD Prof WZ Johannes Kupang dipolitisasi melalui intervensi penempatan pejabat-pejabat struktural. Kasus pengangkatan Kepala Instalasi Farmasi Nelci Ndun hanya bagian kecil dari politisasi itu, yang entah kapan bisa dihentikan.
Demikian intisari pendapat pengurus YLKI NTT dr Teda Littik, anggota Komisi D DPRD NTT Angela Mercy Piwung dan Anton Timo, yang dihubungi terpisah, Jumat (17/5). Ketiganya dimintai pendapat mengenai pengangkatan Nelci Ndun menjadi Kepala Instalasi Farmasi RSUD Kupang, padahal yang bersangkutan belum memiliki kapasitas kefarmasian sesuai keahlian medis maupun Kepmenkes RI Nomor 1197 Tahun 2004.
Teda Littik bahkan menilai bahwa politisasi di tubuh manajemen rumah sakit milik Pemprov itu jauh lebih gawat dari kegawatdaruratan di IGD. Kuatnya campur tangan Pemprov NTT membuat manajemen rumah sakit itu tak berdaya sama sekali.
“Pengangkatan jabatan tidak sesuai prosedur memang kuat mengarah pada kepentingan satu pihak, entah itu tekanan politik, tekanan ekonomi, tekanan bisnis hingga kepentingan proyek. Semua itu membuat manajemen di rumah sakit menjadi tidak berdaya,” katanya.
Teda juga mempertanyakan apakah RSUD Kupang mempunyai Komite Analisis Jabatan? “Jangan-jangan ada malah tidak berfungsi. Kalau memang tidak ada ya bisa minta bantuan Pusat karena pengangkatan jabatan harus melalui analisis beban kerja,” ujarnya.
Menurut dia, solusinya untuk mengatasi persoalan tersebut hanya satu yaitu menyerahkan rumah sakit itu ke Pusat agar semua manajemen diatur Pusat. “Sebab, kenyataannya daerah tidak sanggup mengelola, dan jika daerah masih mempertahankan maka saya yakin lima tahun ke depan rumah sakit itu akan seperti itu terus, tidak ada perubahan,” tegasnya.
Menurut dia, ada ketakutan tersendiri bagi DPRD jika rumah sakit itu diserahkan ke Pusat. “Sebab kalau sudah di tangan Pusat, mereka tidak dapat proyek lagi. Jadi DPRD dan Pemprov sama-sama mempertahankan dan kondisi di rumah sakit itu tidak akan berubah,” katanya.
Hal senada disampaikan Mercy Piwung dan Anton Timo. Menurut Mercy, pengangkatan Kepala Instalasi Farmasi itu diduga sarat kepentingan pihak tertentu. Seharusnya penempatan pejabat itu memperhatikan latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, pangkat, dan golongan. “Jangan tempatkan orang yang tidak punya kapasitas,” tegasnya.
Penempatan pejabat hanya karena faktor kedekatan atau hubungan emosional, akan menimbulkan konflik internal. “Bisa juga muncul kecemburuan yang berujung pada mogok kerja. Ini tidak hanya merugikan manajemen rumah sakit tapi masyarakat umum sangat dirugikan,” katanya.
Anton Timo menambahkan, penempatan pejabat memperhatikan setidaknya tiga hal, yakni kepangkatan, kemampuan, dan profesi yang merupakan dasar dari prinsip “the right man on the right place”.
Juru bicara para apoteker Instalasi Farmasi RSUD, Muhajirin Dean mengatakan, pelayanan kesehatan, terutama kebutuhan obat-obatan, dan alat kesehatan di RSUD dalam beberapa waktu ke depan akan terganggu karena kebijakan penempatan Kepala Instalasi Farmasi yang salah.
Menurut dia, pejabat yang baru itu tidak bisa melakukan pemesanan obat dan alat kesehatan sesuai tanggung jawabnya sebagai Kepala Instalasi Farmasi karena dia belum memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA).
“Aturannya, dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, kepala instalasi farmasi harus punya SIPA. Kalau tidak, maka tidak bisa pesan obat dan alat kesehatan. Stok obat setiap hari menipis. Perusahaan obat juga tidak mau langgar aturan,” ujarnya.
Ia mengatakan, bila dalam beberapa minggu ke depan tidak ada pemesanan obat dan alat kesehatan, maka aktivitas pelayanan kesehatan akan terganggu. Masyarakat yang tidak tahu menahu soal kebijakan tersebut menjadi korban. Selain itu, masyarakat juga akan berpikir buruk kepada para apoteker dan petugas pelayanan kefarmasian karena tidak mendapatkan pelayanan obat dan alat kesehatan.
“Kebijakan yang keliru ini diambil lalu kita jadi sasaran kemarahan pasien,” keluhnya.
Sumber: victorynews-media.com
Tuntut direktur mundur, RSUD Manokwari lumpuh
Menuntut Direktur Sakit Umum Daerah (RSUD) Manokwari, sejumlah tenaga medis mogok kerja. AKibatnya, aktivitas rumah sakit milik daerah tersebut lumpuh total.
“Kami sepakat untuk mogok kerja sejak pagi hari. Pembenahan sistim manajemen dan pergantian direktur rumah sakit harus segera dilakukan,” jelas Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUD Manokwari, Samuel Asaribab, di RSUD Manokwari, Rabu (22/5/2013).
Menurutnya, tuntutan ini merupakan aspirasi semua perawat yang menginginkan adanya perubahan, untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat.
Hingga Rabu (22/5/2013) siang, puluhan perawat hanya berkumpul di depan ruangan Direktur rumah sakit. Mereka bersikeras akan menunggu kepastian tuntutan yang disampaikan ke Pemda Manokwari.
Rencananya, Bupati Manokwari, Bastian Salabay akan menemui perawat untuk menyelesaikan masalah ini.
Sejumlah pasien yang hendak berobat, sempat kaget saat tiba di RSUD. Mereka mendapati sejumlah ruangan yang terkunci dan tanpa aktivitas. Beberapa pasien terpaksa pulang dan mencari rumah sakit lainnya untuk berobat.
“Harusnya ada kebijakan. Boleh saja aksi tetapi harus diingat bahwa banyak masyarakat yang sakit dan ingin berobat,” ujar Boby, salah satu keluarga pasien.
Menurut informasi yang diterima Sindonews.com, aksi mogok perawat ini berlangsung sejak pukul 06.00 wit. Sejumlah pintu ruangan dikunci dan di tempel kertas berisikan “Rumah sakit tutup untuk sementara”.
Mereka mengancam akan mogok dalam waktu yang tidak ditentukan jika tuntutan mereka tidak dijawab.
Sumber: daerah.sindonews.com
Manajemen RS Bahtermas Kerap Ditegur
Wagub : “Saya Sepakat Usulannya Menkes
KENDARINEWS.COM: Sampai kapan pelayanan di RS Bahtermas Sultra itu berhenti dikeluhkan masyarakat? Pertanyaan ini sulit sekali terjawab karena sejak dibukanya RS yang digadang bisa bertaraf internasional itu, keluhan soal pelayanan tenaga medisnya seperti tak habis-habisnya. Mulai dari dokter yang belum professional, perawat yang diskriminatif, fasilitas yang dibawah standar, hingga aksi premanisme di lingkungan kawasan rumah sakit itu.
“Sudah berulang kali kita panggil manajemen RS Bahteramas itu untuk kita minta penjelasan soal banyaknya keluhan, tapi entah kenapa selalu saja terjadi berulang-ulang dan kasusnya selalu sama,” terang Wakil Gubernur Sultra, Saleh Lasata, kemarin saat ditemui usai acara Rakor Penguatan Kebahasan Nasional di salah satu hotel, kemarin.
Padahal, lanjut Wagub, sebagai professional, para tenaga medis itu mestinya harus bersungguh-sungguh dalam melaksanakan pekerjaannya. “Boleh tanya, Kepala RS setiap waktu kita panggil untuk evaluasi. Namun kesalahan sama terus saja terjadi. Entah kurang apa lagi gubernur memperhatikan mereka,” ungkapnya.
Jangan sampai karena intensifnya masih kurang pak ? 02 Sultra itu membantah. Menurutnya, Pemrov sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi berbagai tuntutan para tenaga medis di RS Bahteramas. “Iya kita penuhi itu, walaupun mungkin mereka anggap masih kurang. Tapi wajarlah, yang namanya manusia tidak pernah puas,” jelasnya.
Persoalan di RS Bahtermas memang seperti tak habis-habis. Ada keluhan soal kurang cermatnya seorang dokter ahli ortopedi dalam mendiagnosa pasien, sehingga tanpa banyak pertimbangan, langsung memutuskan langkah amputasi, meski sang pasien awalnya hanya terluka biasa saja. Kasus ini bahkan bukan sekali dua kali dialami pasien, sehingga ada kecurigaan, sang dokter bermotif profit, karena dengan amputasi ada insentif operasi disitu, plus jika ada keinginan pasien menggunakan kelengkapan tubuh imitasi, dokter bisa memberi rekomendasi.
Sempat juga ada cerita mengenai dokter yang marah-marah kepada seorang pasien Jamkesmas, bahkan sang pasien disebut membebani negara karena miskin. Para perawat yang cuek jika ada pasien yang hanya berbekal kartu miskin saat menebus obatnya. Sebaliknya jika seseorang yang menebus obat di jalur umum, pelayananya penuh senyum.
Fasilitas juga parah. WC di kawasan itu banyak yang tak punya sarana air bersih. Kotor, jorok dan bau pesing jadi pemandangan lumrah di RS Bahtermas. Para penyewa kamar VIP bahkan ada yang terpaksa membeli air diluar karena toilet di kamar VIP tak menyediakan air. Koridor yang gelap dan rawan juga jadi masalah. Belum masalah premanisme di kawasan parker RS tersebut.
“Kritik yang disampaikan Menkes menjadi masukan buat kita agar bisa lebih baik lagi kedepan. Termasuk soal pelayanan mestinya sudah mengevaluasi diri bagi pihak yang belum maksimal melaksanakan tugasnya,” kata Saleh Lasata lagi. Makanya, ia setuju dengan rencana Menkes mendrop tenaga dokter di daerah ini, karena dianggap bisa jadi solusi dari persoalan pelayanan itu. Minimal kesalahan yang sama sebagaimana sebelumnya tidak lagi terulang. Bahkan, bisa saja dokter yang selama ini dianggap bandel akan tergusur dengan kehadiran mereka itu.
“Pastinya kita berharap pelayanan sudah harus lebih baik. Jangan lagi ada diskriminasi,” tandasnya. Sejauh ini memang rasio doker di Sultra masih kurang, meskipun secara statistik bertambah, yakni rasio dokter spesialis 2,31 (2007) menjadi 3,07 (2011), standar 4 orang/100 ribu penduduk, sedangkan rasio Dokter umum 9,94 (2007) menjadi 19,5 (2011), standar 25 orang/100 ribu). Keadaan ini diduga menjadi alasan yang membuat para dokter itu jual mahal.
Sumber: kendarinews.com