TASIK
Pemkab Muratara Usulkan Penambahan Fasilitas Rumah Sakit
Skalanews – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Musirawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan, mengusulkan penambahan beberapa fasilitas rumah sakit umum setempat yang saat ini masih memprihatinkan.
Fasilitas bangunan diusulkan itu antara lain penambahan ruangan pasien, gawat darurat dan ruangan dokter spesialis, kata Penjabat Bupati Muratara H Akisropi Ayub melalui Kabag Humas Sunardin, di Musirawas Utara, Rabu.
Ia mengatakan, bila fasilitas bangunan rumah sakit itu sudah ditambah, maka pelayanan kepada masyarakat bisa ditingkatkan termasuk penambahan tenaga dokter.
Sebagai kabupaten pemekaran dari kabupaten induk Musirawas beberapa bulan lalu masih banyak fasilitas yang perlu ditambah, namun lebih mengutamakan pelayanan rumah sakit.
Apa lagi Rumah sakit Umum itu berada di pinggir Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum), tidak hanya melayani warga setempat, tapi bisa melayani pengguna jalinsum yang terkena musibah.
Dana pembangunan rumah sakit yang diusulkan itu mencapai miliaran rupiah dan diharapkan bantuan dari Kabupaten induk Musirawas dan Provinsi Sumatera Selatan, ujarnya.
Direktur Rumah sakit Umum Daerah (RSUD) Rupit, Muratara dr Arios Saplis mengatakan, pihaknya mengusulkan penambahan empat bangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Keempat bangunan tersebut, yaitu ruang kamar operasi, ruang ICU, rontgen dan gudang diharapkan bisa direalisasikan 2014-2015 termasuk penambahan peralatan medis lainnya.
Hal itu bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat setempat dan warga lainnya serta bisa sejajar seperti rumah sakit tetangga lebih maju.
Selain itu, pihaknya juga mengusulkan peralatan ke pusat, baik Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pelatihan-pelatihan tingkat nasional.
“Kita akan bekerja sama dengan Universitas-Universitas fakultas kedokteran dan pihak Rumah Sakit Sobirin Musirawas, RS Siti Aisyah Lubuklinggau, terutama dibidang spesialis, yakni spesialis dalam, bedah kandungan, mata, anak, serta penyakit dalam,” Ujarnya. (ant/mar)
Sumber: skalanews.com
RS PKU Muhammadiyah Bantul Miliki Tim Siaga Bencana Beranggotakan 20 Orang
Bantul – Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga akhir pekan lalu menangani sebanyak 32 pasien akibat hujan abu erupsi Gunung Kelud Kediri, Jawa Timur. Mereka dirawat di Instalasi Gawat Darurat dan ditangani tim medis siaga bencana RS itu yang beranggotakan 20 orang, sementara untuk IGD dioperasikan lima sampai tujuh orang. Jumlah tim itu diharapkan bisa membantu korban korban bencana yang lazimnya datang bersamaan.
Kesiapsiagaan RS dalam menangani korban bencana diterapkan pascabencana erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman DIY pada 2010 lalu, tim medis mendapat pelatihan penanganan risiko bencana.
Jumlah korban kemungkinan bisa bertambah mengingat hujan abu vulkanik lembut masih terjadi hingga Jumat siang.
BPJS Kesehatan: Pemerintah Pastikan RS Tetap Untung
Bisnis.com, BANDUNG–Kementerian Kesehatan memastikan rumah sakit masih mendapatkan untung atau margin minimal sebesar 30% ketika menganut tarif paket Indonesia Nasional Case Base Groups (INA-CBG’s) dalam pelaksanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan.
Kepala Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri mengatakan, kisruh pelaksanan BPJS Kesehatan diantaranya tidak lepas dari INA CBG’s yang dianggap oleh rumah sakit nilainya terlalu rendah. Hal ini terjadi karena opini tersebut keluar dari penyataan pribadi bukan institusi.
“Kalau dilihat sejarahnya INA CBG’s telah dilaksanakan sejak 2006, lantas
JKN, Dirut RS Tarakan Rencanakan Pendaftaran Online untuk Berobat
DALAM sistem pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), harus diakui masih banyak kekurangan, salah satunya antrian panjang peserta yang berobat di rumah sakit. Antrian yang panjang peserta ini pada akhirnya menyebabkan penumpukan sehingga banyak keluhan dari masyarakat.
Menurut Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan, dr. Kusmedi Priharto, Sp.OT, untuk mengatasi permasalahan penumpukan peserta di rumah sakit harus dilakukan perbaikan di sistem pendaftaran.
Kemenkes: BPJS Kesehatan Tak Perlu Juklak-Juknis
INILAH.COM, Bandung – Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan, Usman Sumantri mengatakan BPJS Kesehatan tak memerlukan aturan tambahan. Sebab, aturan yang ada sekarang, sudah lebih dari cukup.
“Juklak (petunjuk pelaksanaan) juknis (petunjuk teknis) tidak perlu. Cukup dengan 15 peraturan, ditambah aturan tentang BPJS,” ujar Usman seusai konferensi pers Sosialisasi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Bandung, Kamis (20/2/2014).
Seperti diketahui, rumah sakit maupun petugas BPJS kerap menjadikan juklak dan juknis sebagai alasan tidak maksimalnya pelayanan. Mereka mengaku membutuhkan juklak-juknis yang mengatur lebih detail tentang apapun.
Menanggapi itu, Usman menjawab ringan. “Tak perlu. Baca saja perpres lebih hebat dari juklak-juknis. Tak perlu lah kita menambah lagi aturan,” tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad) Nunung Nurwati mengatakan, dalam konteks kelembagaan, BPJS masih ada di persimpangan jalan.
“Bukan cuma kasus klaim saja yang sulit. Secara kelembagaannya saja masih belum jelas. Aturan hukum yang memayungi BPJS belum rampung,” kata Nunung.
Menurutnya, dari 14 peraturan pemerintahan (PP) yang kudu diselesaikan, baru 7 PP yang rampung. Meski rampung, ke tujuh PP tersebut belum memiliki petunjuk pelaksaan dan petunjuk teknis (Juklak-Juknis) yang jelas.
“Makanya, itu menyebabkan karut-marut BPJS hingga kini. Itu terasa hingga di bawah, tataran lapangan,” ungkap perempuan yang menjabat kepala Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan SDM Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unpad. [rni]
Sumber: inilahkoran.com
BPJS Kesehatan, Margin Keuntungan RS 30 Persen
INILAH.COM, Bandung – Kementerian Kesehatan menegaskan, tarif paket Indonesia Nasional Case Base Groups (INA-CBG’s) dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan BPJS Kesehatan sudah dilakukan sejak 2006. Bahkan, rumah sakit mengantongi margin minimal 30 persen.
“Saya heran, aturan ini sudah berlangsung sejak lama, kenapa baru ramai di 2014. Padahal dulu, nilainya jauh lebih rendah dibanding sekarang,” ungkap Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan, Usman Sumantri seusai konferensi pers Sosialisasi Program JKN melalui BPJS Kesehatan di Bandung, Kamis (20/2/2014).
Usman menyatakan, keluhan terlalu rendahnya INA CBG’s dikeluarkan oleh individu bukan rumah sakit secara institusi. Karena, dari hasil survei sembilan rumah sakit yang dilakukan belum lama ini, delapan rumah sakit mengantongi margin keuntungan minimal 30 persen. Sembilan rumah sakit yang di survei di antaranya Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
“Ini memerlukan pemahaman yang panjang. Kalau rugi mereka ribut, tapi kalau untung mereka diam,” cetus Usman.
Usman mengingatkan, kesehatan pada dasarnya adalah kemanusiaan. Makanya berdasarkan UU, RS sama sekali tidak boleh menolak pasien. Ketika pasien tersebut datang ke rumah sakit tertentu, mau tak mau RS harus menerimanya, siapapun itu.
“Ketika kami mengeluarkan sebuah program, kami memperhatikan RS. Yang penting RS tidak rugi,” pungkasnya. [rni]
Sumber: inilahkoran.com
BPJS Kesehatan: RS Terlalu Kaku
INILAH.COM, Bandung – Sejumlah masalah pelayanan kesehatan yang terjadi belakangan ini, salah satunya disebabkan sikap rumah sakit yang terlalu kaku menafsirkan aturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Seperti kasus di RSUD Cibabat, Cimahi. RSUD tersebut menolak pasien dari wilayah Kabupaten Bandung karena tidak termasuk rayon Cimahi. “Pasien dari Kabupaten Bandung lebih dekat ke RSUD Cibabat, makanya mereka datang kesana dan tidak diterima RSUD Cibabat. Saya langsung klarifikasi ke RS bersangkutan,” ujar Kepala Kanwil BPJS Kesehatan Jawa Barat Aris Jatmiko dalam konferensi pers Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Bandung, Kamis (20/2/2014).
Aris menyatakan, seharusnya rumah sakit tidak kaku dalam persoalan rayonisasi tersebut. Siapapun pasien yang datang harus dilayani. Ditanya mengenai sanksi, Aris mengatakan, pihaknya tidak akan memperpanjang kerja sama dengan rumah sakit yang banyak dikeluhkan masyarakat.
Hal senada disampaikan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan, Usman Sumantri. Dia menjelaskan, selama ini rumah sakit terlalu kaku menghadapi masyarakat.
Misalnya, pemahaman tentang kondisi gawat darurat yang berbeda antara masyarakat dan rumah sakit. Pernah terjadi kasus dokter mempertanyakan kenapa pasien ada di UGD padahal penyakitnya tidak memerlukan tindakan yang emergency. Sedangkan keluarga pasien beranggapan, pasien dalam kondisi parah sehingga harus dibawa ke UGD.
“Tapi kita tidak bisa memaksa masyarakat memahami arti emergency. Rumah sakit harus lebih cair dengan hal-hal seperti ini. Memang harus diakui, ini membutuhkan pemahaman yang panjang,” ucapnya.
Usman menjelaskan, ada 155 penyakit yang bisa dikerjakan primer (tidak perlu rumah sakit). Ke depan, Puskesmas maupun klinik akan menangani 155 penyakit tersebut. Jika ada dokter yang merujuk pasien dengan 155 penyakit tersebut ke rumah sakit, dokter tersebut bisa kena teguran.
“Tapi butuh waktu lama untuk ke arah sana, di atas 10 tahun lah. Korea juga membutuhkan waktu 12 tahun, dan Australia dengan penduduk yang sedikit, membutuhkan waktu 10 tahun. Kita sendiri baru mulai,” terangnya. [rni]
Sumber: inilahkoran.com
RS Swasta di Jabodetabek Masih Enggan Terima Program JKN
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Masih enggannya rumah sakit swasta di Jabodetabek untuk bekerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), berdampak pada pelayanan JKN di RSUD sekitar Jabodetabek.
Menurut Direktur Utama RSUD Tarakan, Koesmedi Priharto, di beberapa daerah lainnya seperti Lampung dan Bandung menunjukkan angka yang cukup bagus mengenai jumlah rumah sakit swasta yang bekerjasama dengan BPJS.
“Di Lampung, rumah sakit swastanya hampir semuanya mengikuti (JKN). Di Bandung, saya terima laporannya hanya tinggal satu rumah sakit yang belum bekerjasama dengan BPJS,” kata Koesmedi di Media Center BPJS, Kamis (20/2/2014).
“Yang jadi masalah memang Jabodetabek. Rumah sakit swastanya masih sedikit yang mengikuti JKN. Sehingga RSUD banyak menampung (pasien JKN) yang tidak bisa ke rumah sakit swasta,” ujarnya.
Adapun hal klasik yang menyebabkan rumah sakit swasta enggan bekerjasama menjalankan program kesehatan dari pemerintah adalah mengenai masalah klaim tagihan berobat.
Namun BPJS Kesehatan sudah menegaskan akan membayar 50 persen terlebih dulu uang muka, maksimal 15 hari setelah tagihan klaim diterima. Jika ada potensi keterlambatan pembayaran klaim, BPJS Kesehatan bersedia membayar 75 persen uang muka. Dan bila terlambat membayar klaim, BPJS Kesehatan bisa dikenakan denda satu persen dari tagihan klaim.
Sumber: tribunnews.com