Memimpin Peningkatan Mutu dengan Pendekatan Sistem Mikro Klinik (Clinical Microsystem)
Sistem Mikro Klinik (Clinical Microsystem)
Dalam skema rantai efek peningkatan kualitas pelayanan kesehatan (Berwick 2002), sistem mikro klinik berada diantara pasien dan sistem makro. Sistem makro, dengan demikian adalah kumpulan dari beberapa sistem mikro. Mari kita simak ilustrasi berikut ini.
Sepasang suami istri, Ny. F. (18) dan Tn. M. (18) sedang menantikan kelahiran anak pertamanya yang kebetulan kembar. Ketika cukup bulan, Ny. F. mengalami kejang di rumah. Suaminya yang kebingungan segera membawa istrinya ke bidan yang membuka praktek dekat rumah mereka. Ibu bidan yang sedang menangani pasien lain meninggalkan pasien tersebut dan segera membawa Ny. F. ke Puskesmas terdekat.
Di ruang gawat darurat, Ny. F. mendapatkan perawatan segera. Petugas segera memasang infus dan infus segera dipasang, obat anti kejang diberikan, dan direncanakan untuk transportasi ke rumah sakit daerah. Suaminya, Tn. M., diberi tahu untuk memanfaatkan kartu Jampersal. Bersamaan dengan proses itu, Puskesmas menghubungi rumah sakit daerah bahwa akan merujuk seorang ibu hamil dengan kejang.
Ketika Ny. F. tiba di rumah sakit, semua sudah siap. Dokter segera melakukan stabilisasi setelah transportasi di IGD, lalu mengirimnya ke kamar bedah agar dokter Obsgyn bisa segera melakukan tindakan pembedahan. Setelah selesai, Ny. F. dirawat di ruang perawatan. Bayi kembarnya lahir sehat. Setelah beberapa hari perawatan, Ny. F. diperbolehkan pulang bersama dengan kedua bayinya.
Perjalanan Ny. F. mulai dari kejang sampai dengan pulang dari rumah sakit digambarkan dengan alur seperti di bawah ini.
Peraga 1. Alur perjalanan Ny. F. sejak kejang sampai pulang dari rumah sakit. Cerita diadaptasi dari sini.
Grafik di atas menunjukkan dua macam kotak, yaitu kotak berwarna putih dan kotak berwarna abu-abu. Kotak berwarna abu-abu menunjukkan proses di mana pasien bertemu dengan tenaga pelayanan kesehatan. Pertemuan dengan tenaga kesehatan pada tempat pelayanan kesehatan inilah yang disebut dengan sistem mikro klinik.
Pada sistem mikro klinik inilah pertemuan terjadi antara tenaga kesehatan dan pasien dan/atau keluarga. Pada tempat yang sama juga terjadi berbagai “keajaiban” pengobatan dan “kesalahan tragis dibuat” (Nelson et al. 2007). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sistem mikro klinik adalah kelompok kecil orang yang bekerja bersama secara teratur untuk menyediakan pelayanan pada subpopulasi pasien tertentu. Di dalamnya terdapat tujuan klinis dan bisnis, proses-proses yang terhubung dan lingkungan informasi yang terbagi untuk menghasilkan luaran kinerja. Sistem mikro berkembang dari waktu ke waktu dan sering kali merupakan bagian dari organisasi yang lebih besar. Sistem mikro klinik merupakan sistem adaptif dan karenanya perlu melakukan tugas utama sesuai tujuan utama, mempertemukan kebutuhan anggotanya, dan menjaganya sebagai unit klinis.
Peraga 2. Rantai efek dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan (Berwick 2002).
Grafik di atas menunjukkan bahwa sistem mikro klinik berada dalam garis depan pelayanan kesehatan karena langsung bertemu dengan pasien dan/keluarganya sekaligus sebagai bagian dari suatu sistem makro. Pelayanan kesehatan yang paripurna disusun dari banyak sistem mikro klinis yang saling berkaitan.
Sistem Mikro Klinik dengan Kinerja Tinggi
Penelitian menunjukkan bahwa walaupun sistem mikro klinik yang kinerjanya tinggi memiliki elemen yang kompleks dan dinamis untuk menghasilkan kinerja yang superior, tidak ada satu karakteristik tunggal yang berkaitan dengan hasil sistemik bernilai tinggi (Nelson E. C., et al., 2002). Terdapat sembilan karakteristik penentu dalam semua sistem mikro klinik yang diteliti. Kesembilan karakteristik itu digambarkan dalam peraga berikut.
Peraga 3. Kesembilan faktor sukses pada sistem mikro klinik (Nelson et al. 2002).
Kesembilan karakteristik tersebut dikelompokkan dalam empat kelompok yang saling berinteraksi dengan dinamis yang kemudian saling terhubung dan membentuk siklus sebagaimana peraga di atas. Kesembilan cakupan karakteristik sukses tersebut dijelaskan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Cakupan karakteristik kesuksesan pada sistem mikro klinik (Nelson et al. 2007).
Karakteristik | Cakupan Karakteristik Kesuksesan |
Kepemimpinan | Peran kepemimpinan pada sistem mikro adalah menjaga keberlangsungan tujuan, menumbuhkan tujuan dan harapan yang jelas, membina budaya positif, dan mengadvokasi sistem mikro klinis pada organisasi yang lebih besar. |
Dukungan Organisasi | Organisasi yang lebih besar menyediakan pengenalan, informasi, dna sumber daya untuk memperkuat dan meligitimasi usaha sistem mikro. |
Fokus pada Pasien | Tujuan utama adalah memenuhi kebutuhan pasien: perawatan, didengarkan, pendidikan, respon terhadap kebutuhan, inovasi terkait kebutuhan pasien, layanan yang lancar, dan mengembangkan hubungan dengan komunitas dan sumber daya lain. |
Fokus pada Staf | Sistem mikro merekrut orang yang tepat, mengintegrasikan staf baru pada budaya dan peran kerja, dan sinkronisasi peran kerja dengan kompetensi. Staf mengharapkan kinerja, pendidikan berkelanjutan, pertumbuhan profesional, dan jaringan kerja. |
Pendidikan dan Pelatihan | Harapan tinggi terhadap kinerja, pendidikan berkelanjutan, pertumbuhan profesional, dan jaringan kerja. |
Saling Ketergantungan | Interaksi antar staf berciri kepercayaan, kolaborasi, kemauan saling membantu, penghargaan, dan pengakuan pada semua yang secara individual berkontribusi pada tujuan bersama. |
Informasi dan Teknologi Informasi | Informasi adalah esensial. Teknologi memungkinkan hubungan antara informasi dan pelayanan pasien dengan menyediakan akses kepada lingkungan yang kaya informasi. Teknologi memungkinkan komunikasi efektif dan berbagai kanal formal dan informal dipakai memastikan setiap orang dapat mengakses informasi setiap saat, membantu orang lain mendengarkan ide orang lain, dan memastikan setiap orang terhubung pada topik yang penting. |
Perbaikan Proses | Atmosfer untuk pembelajaran dan redesain didukung oleh pengawasan perawatan yang berkelanjutan, penggunaan kaji banding, pengujian perubahan yang berulang, dan pemberdayaan staf untuk berinovasi. |
Hasil Kinerja | Kinerja berfokus pada luaran pasien, biaya yang bisa dihindari, melancarkan pelayanan, menggunakan data untuk umpan balik, mempromosikan kompetisi positif, dan diskusi terbuka megenai kinerja. |
Selain kesembilan karakteristik tersebut, ada tiga karakteristik lain yang juga muncul dalam penelitian dalam konsistensi yang lebih rendah. Ketiganya adalah keselamatan pasien, pendidikan staf dan lingkungan eksternal tempat sistem mikro klinik terletak.
Memimpin Sistem Mikro Klinik
Berbagai sistem mikro klinik yang diteliti menghasilkan tiga proses fundamental yang dibutuhkan bagi seorang pemimpin untuk kepentingan peningkatan mutu sistem mikro klinik yang dipimpinnya. Ketiga proses fundamental itu adalah: 1) membangun pengetahuan; 2) mengambil tindakan; dan 3) mengulas dan merefleksi (Batalden et al. 2003). Dalam tabel berikut disajikan berbagai kebiasaan baik yang dilakukan sesuai dengan ketiga proses fundamental tersebut.
Tabel 2. Proses fundamental kepemimpinan sistem mikro klinik (Batalden et al. 2003).
Proses Fundamental | Berbagai Kebiasaan Baik yang Dilakukan |
Membangun Pengetahuan |
|
Mengambil Tindakan |
|
Mengulas dan Merefleksi |
|
Dalam memimpin proses peningkatan mutu, seorang pemimpin memerlukan hubungan yang baik dengan staf sistem mikro klinik yang dipimpinnya. Untuk menjadi pemimpin yang efektif, ada empat elemen penting yang “bermain” di sini, yaitu kepercayaan, saling menghormati, dukungan, dan komunikasi (Manion 2011).
Kepercayaan adalah komponen krusial dalam hubungan apapun. Untuk mendapatkan kepercayaan, seorang pemimpin memerlukan tiga bahan esensial, yaitu kompetensi, kongruensi, dan ketetapan. Kompetensi berarti pada pengikut harus percaya bahwa pemimpin mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan. Kongruensi berarti ada kesesuaian antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Terakhir, ketetapan merujuk bahwa pemimpin harus dapat dipercaya, dapat menjadi tempat bergantung, dan konsisten (Manion 2011).
Saling menghormati berarti memiliki kepercayaan terhadap, atau menghargai keterampilan maupun karakteristik orang lain. Dari sisi pemimpin, ada dua cara pemimpin menghargai staf. Cara pertama adalah penghargaan tak bersyarat dan cara kedua adalah penghargaan berbasis kinerja. Cara paling umum pemberian penghargaan pada orang lain adalah dengan menanyakan opini dan melibatkan dalam pengambilan keputusan (Manion 2011).
Dukungan adalah elemen ketiga yang penting diperhatikan. Mendukung berarti memelihara atau menyediakan penghidupan, suatu jalan dua arah dari pemimpin ke pengikut dan sebaliknya. Pemimpin dapat memberikan dukungan pada staf pada kejadian positif maupun pada kejadian negatif. Kejadian positif terjadi tiga sampai lima kali lebih sering pada seseorang daripada kejadian negatif (Manion 2011).
Terakhir, elemen penting untuk menjadi pemimpin efektif adalah komunikasi. Tidak ada pemimpin yang efektif tanpa komunikasi yang baik dengan orang lain. Ini memerlukan kemampuan komunikasi dan juga kemauan untuk berbincang pada masalah tersebut. Seorang pemimpin dapat saja sangat terampil namun tidak mau mengerjakan komunikasi yang dianggap membuang waktu (Manion 2011).
Menggunakan Siklus PDSA dan SDSA
Model perbaikan atau improvement model perlu dipahami oleh seluruh anggota sistem mikro klinik untuk memahami jalan yang harus ditempuh dalam perjalanan peningkatan mutu. Model perbaikan menyediakan kerangka kerja untuk menguji ide yang dianggap dapat meningkatkan mutu. Model perbaikan terbagi menjadi dua, yaitu pertanyaan untuk membuat pekerjaan perbaikan menjadi fokus dan metode PDSA/Plan – Do – Study – Act (Nelson et al. 2007).
Beberapa pertanyaan yang harus diajukan untuk menjelaskan perbaikan apa yang akan diuji adalah: 1) “Apa yang akan dicapai?” atau tujuan; 2) “Bagaimana kita tahu bahwa perubahan itu adalah perbaikan?” atau pengukuran; dan 3) “Apa perubahan yang dapat dibuat untuk mencapai perbaikan?” atau perubahan. Kemudian, perubahan-perubahan yang direncanakan diuji dengan empat langkah yang dikenal sebagai metode PDSA / Plan – Do – Study – Act.
Fokus metode PDSA adalah eksperimentasi, seperti misalnya menguji ide perubahan baru untuk melihat apakah ada hasil lebih baik darinya. Pada fase plan, dijelaskan tujuan dan perubahan spesifik yang akan diuji. Langkah ini menjelaskan persiapan yang harus diselesaikan sebelum pengujian dilakukan dan mempertimbangkan dampak baik ataupun buruk.
Pada fase do, pengujian telah dilakukan sebagai pengujian awal berdasarkan persiapan pada fase sebelumnya. Dalam fase ini, para staf yang terlibat harus melakukan pencatatan data baik kualitatif maupun kuantitatif atas penelitian pilot yang dilakukan. Dokumentasi harus mencakup kejadian yang tidak diduga, umpan balik staf terhadap perubahan yang diujikan, dan pengamatan terhadap hasil yang diukur.
Fase study muncul setelah fase do selesai. Pada fase ini, analisis data dilakukan, refleksi terhadap hasil dikerjakan, dan mendengarkan pengalaman staf terhadap penelitian pilot perubahan yang dilakukan. Waktu untuk refleksi harus dialokasikan dengan baik. Data dan informasi yang dikumpulkan harus dievaluasi dan dibandingkan dengan apa yang diharapkan terjadi. Lalu, simpulkan pembelajaran yang diperoleh.
Fase terakhir, act, muncul ketika pemimpin dan tim telah menentukan apakah ide yang telah diuji tersebut harus dimodifikasi atau dibatalkan mengingat hasil yang telah dicapai. Setelah pembelajaran yang dilakukan, apakah langkah selanjutnya? Ketika tim memutuskan langkah selanjutnya, entah memperbaiki, membatalkan, maupun mencoba pada skala lebih besar, siklus berikutnya akan dimulai.
Peraga 4. Siklus plan – do – study – act atau lazim dikenal sebagai PDSA (Nelson et al. 2007).
Bila fokus PDSA adalah eksperimentasi, fokus metode SDSA adalah standarisasi. Metode SDSA adalah singkatan dari standardize – do – study – act. Ide pokok di balik metode ini sederhana namun kuat. Lakukan siklus PDSA beberapa kali sampai mencapai hasil yang terukur sesuai tujuan awal. Sekali level kinerja ini tercapai, suatu standar baru harus diimplentasikan untuk memastikan cara ini dilakukan dengan tepat secara berkelanjutan. Untuk mencapainya, siklus SDSA dapat dilakukan (Nelson et al. 2007).
Pendekatan SDSA berfokus pada mempertahankan pencapaian yang telah dicapai selama pengulangan siklus PDSA sebelumnya. Walau demikian, setelah perubahan menjadi standar, hal ini bukanlah akhir cerita. Seiring waktu, teknologi baru ditemukan, tuntutan masyarakat berubah, dan lingkungan berevolusi. Selalu ada alasan bagi sistem mikro klinik untuk meningkatkan mutu pelayanan.
Ketiga langkah: do – study – act antara siklus PDSA dan SDSA tidak banyak berbeda. Konteks antara pengujian ide dan standarisasi akan memerlukan penyesuaian, namun secara garis besar, apa-apa saja yang dilakukan sama. Perbedaan utama terjadi pada langkah standardize yang akan dijelaskan di bawah ini.
Fase standardize dimulai dengan pembuatan diagram alir yang berisi siapa semestinya mengerjakan apa dan dengan urutan bagaimana. Pertimbangan mengenai bagaimana bentuk lingkungan diperlukan juga untuk membantu berjalannya proses dengan terpercaya dan konsisten. Apa saja kebiasaan-kebiasaan yang telah timbul selama implementasi proses PDSA sebelumnya? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat membantu pemimpin dan staf menilik diri bagaimana menjaga perbaikan mutu ini dengan menggeser perubahan yang telah sukses ini menjadi kebiasaan baru.
Peraga 5. Siklus standardize – do – study – act atau lazim dikenal sebagai SDSA (Nelson et al. 2007).
Kesimpulan
Pendekatan sistem mikro klinik dapat diaplikasikan di semua institusi pelayanan kesehatan. Instalasi gawat darurat rumah sakit maupun klinik kebidanan. Sementara, Puskesmas adalah sistem mikro klinik. Penanggung jawab kualitas pelayanan kesehatan secara nasional sebenarnya adalah kinerja ribuan sistem mikro klinik ini, karena kinerja sistem makro tidak akan melebihi kinerja sistem mikro yang terdapat didalamnya. Kepemimpinan efektif diperlukan dalam peningkatan mutu di sistem mikro klinis. Salah satu metode peningkatan mutu adalah menguji perubahan dengan siklus PDSA sampai tingkat keberhasilan yang diharapkan dilanjutkan dengan penerapan siklus SDSA.
Referensi
Nelson, EC, Batalden, PB, Huber, TP, Johnson, JK, Godfrey, MM, Headrick, LA & Wasson, JH 2007, ‘Success Characteristics of High-Performing Microsystems: Learning From the Best’, in Quality By Design: A Clinical Microsystem Approach, Jossey-Bass, San Fransisco.
Berwick, DM 2002, ‘A user’s manual for the IOM’s ‘Quality Chasm’ report’, Health Affairs, vol 21, no. 3, pp. 80-90.
Nelson, EC, Batalden, PB, Huber, TP, Mohr, JJ, Godfrey, MM, Headrick, LA & Wasson, JH 2002, ‘Microsystems in Health Care: Part 1. Learning from High-Performing Front-Line Clinical Units’, The Joint Commission Journal on Quality Improvement, vol 28, no. 9, pp. 472-493.
Batalden, PB, Nelson, EC, Mohr, JJ, Godfrey, MM,HTP, Kosnik, L & Ashling, K 2003, ‘Microsystems in Health Care: Part 5. How Leaders Are Leading’, Joint Commission Journal on Quality and Safety, vol 29, no. 6, pp. 297-308.
Manion, J 2011, From Management to Leadership: Strategies for Transforming Health Care, 3rd edn, Jossey-Bass, San Fransisco.
Penulis
Artikel ini ditulis dr Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H., alumni Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada untuk acara workshop penyusunan learning centre di Kabupaten Ende. Penulis terlibat dalam tim sister hospital Revolusi KIA RS Panti Rapih – RSUD Ende sejak Juli 2010.