WHO telah memberikan peringatan mengenai keterbatasan suplai Alat Perlindungan Diri (APD) berupa masker yang terjadi secara global dapat membahayakan tenaga medis dari resiko terkena infeksi COVID-19 ataupun penyakit infeksi lainnya. Keterbatasan masker yang terjadi secara global ini disebabkan oleh kenaikan permintaan barang atau demand, fenomena panic buying, ataupun perilaku oknum – oknum khusus yang melakukan penimbunan dan penyalahgunaan masker.
Peran Lintas Sektor dalam Pencegahan Penyebaran Covid-19
Virus Covid-19 akhirnya merebak di Indonesia. Sejak 30 Desember 2019 sampai 16 Maret 2020 pukul 08.00 WIB, terdapat 1.138 orang yang diperiksa dari 28 provinsi dengan hasil pemeriksaan yaitu 1.011 orang negatif (188 orang ABK kru kapal World Dream dan 68 orang ABK Diamond Princess), 134 kasus konfirmasi positif Covid-19 dan 10 sampel masih dalam pemeriksaan. Adapun wilayah Indonesia yang penduduknya terkena virus Corona meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat (Kab.Bekasi, Depok, Cirebon, Purwakarta, Bandung), Banten (Kab. Tangerang, Kota Tangerang, Tangerang Selatan), Jawa Tengah (Solo), Kalimantan Barat (Pontianak), Sulawesi Utara (Manado), Bali dan DI Yogyakarta.
Covid-19 dan Keadilan Sosial Bagi Masyarakat Rentan
Jika berbicara Covid-19, kesadaran akan kesehatan seperti cuci tangan, tetap di rumah jika sakit, tutup mulut saat batuk atau bersin, karantina mandiri, social distancing, menjadi hal yang sangat dipertimbangkan saat ini. Namun, apakah kita juga mempertimbangkan masyarakat rentan? Disparitas terpapar, seperti di transportasi publik, pemukiman padat penduduk, ataupun kondisi pekerjaan menjadi determinan sosial tersendiri. Social distancing menjadi absurd bagi masyarakat yang bekerja menggunakan transportasi umum, seperti diberitakan penuhnya halte bus atau MRT karena diberlakukan pengurangan jam dan rute operasional sehingga terjadi antrean dan kerumunan padat yang dapat meningkatkan resiko terpapar virus tersebut. Hal yang sama juga menjadi tantangan bagi para petugas kesehatan yang merupakan garda terdepan untuk penanggulangan pandemik ini.
Penanganan COVID-19: Lesson Learnt Dari Negara Lain untuk RS di Indonesia
Awal tahun 2020 dunia dihebohkan dengan merebaknya kasus infeksi virus Corona yang berawal di Provinsi Hubei Tiongkok pada Desember 2019. Dengan penyebarannya yang cepat dan belum diketahui dengan pasti bagaimana persisnya virus ini menyebar – diduga melalui droplet dan kontak langsung – WHO telah menyatakan kejadian ini sebagai pandemi. Per 9 Maret 2020 sudah ada hampir 110.000 kasus positif yang dikonfirmasi oleh 73 negara, dan 80% kasus tersebut ada di Tiongkok. Meskipun demikian, saat ini Italy muncul sebagai episentrum baru penyebaran virus tersebut dengan cepatnya pertambahan kasus positif disana. Secara geografis jarak Italia cukup jauh dari Tiongkok, namun hari per Hari Senin, 9 Maret BBC menyebutkan jumlah kematian melonjak dari 366 menjadi 463, sementara jumlah kasus terkonfirmasi positif meningkat 24% dari hari sebelumnya. Ini menjadikan Italia sebagai negara dengan tingkat keparahan tertinggi setelah Tiongkok. Kasus positif ditemukan di 20 area di Italia. Editorial di The Lancet menyebutkan sudah ada 11 provinsi di Italia yang di-lockdown untuk meminimalisir penyebaran virus lebih jauh. Kondisi ini telah membuat shock dan khawatir para pemimpin negara – negara di Eropa, mengingat bebasnya jalur keluarmasuk antarnegara di Uni-Eropa.
10 Teknologi Terbaru Menghadapi Covid-19
Perkembangan infeksi Covid-19 hingga saat ini masih menjadi perhatian besar masyarakat dunia, pasalnya jumlah negara yang mengkonfirmasi kasus infeksi ini terus bertambah. Indonesia sendiri hingga Selasa (10/3) malam tercatat memiliki 27 kasus positif infeksi Covid-19. Namun demikian, hingga saat ini WHO masih menyatakan bahwa infeksi Covid-19 sebagai sebuah kejadian luar biasa atau outbreak.
Jaminan Kesehatan Universal untuk Wanita, Anak dan Remaja
Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) memandang jaminan kesehatan universal sebagai suatu investasi politik dan juga sebagai sebuah kesempatan untuk memajukan kesehatan pada kaum wanita, anak – anak, dan para remaja. Jaminan kesehatan ini bersifat universal dan berlaku untuk semua orang, termasuk kaum rentan. Pada pertemuan yang dilakukan oleh PBB mengenai jaminan kesehatan, ditekankan peran penting pelayanan kesehatan primer, yang terdiri dari partisipasi komunitas, layanan primer, dan aksi multisektor.
Laporan Terbaru Infeksi Covid-19 : 2 WNI Positif
Senin (2/3) pagi, Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo mengumumkan bahwa Indonesia baru saja menemukan 2 kasus positif Covid-19 yang saat ini telah dirawat di RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta Utara. Kedua WNI yang terjangkit infeksi Covid-19 ini merupakan seorang wanita berusia 64 tahun dan anaknya seorang wanita berusia 31 tahun, dimana pasien berusia 31 tahun tersebut merupakan orang yang memilki kontak dengan WNA Jepang yang belum lama dinyatakan positif infeksi Covid-19.
Banjir, Kesenjangan Masyarakat dan Disparitas Pasca Bencana
Banjir hampir setiap tahun terjadi di berbagai lokasi di Indonesia. Warga yang dilanda banjir harus menghadapi konsekuensi oleh banjir tersebut. Suatu bencana alam, apakah itu banjir, puting beliung, longsor, tsunami, apapun itu, dapat saja menimpa semua penjuru tanpa diskriminasi. Tetapi, apakah semua individu di daerah tersebut akan menghadapi konsekuensi yang sama?
Rokok, Pemerintah Indonesia dan Kesenjangan Kesehatan
Rokok, Pemerintah Indonesia dan Kesenjangan Kesehatan
Fakta rokok erat kaitannya dengan berbagai penyakit sudah menjadi pengetahuan umum di masyarakat, namun merokok masih menjadi sesuatu yang wajar dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Biasanya, jika diketahui suatu kegiatan yang sering dilakukan oleh masyarakat di penjuru negeri akan berdampak buruk pada kehidupan mereka, pemerintah seharusnya membuat kebijakan dan atau melakukan upaya untuk memperbaiki keadaan tersebut. Mungkin hasil dari tindakan tersebut tidak meperbaiki keadaan sepenuhnya, namun setidaknya bisa menjadi lebih baik. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan dengan data pada 2007 dan 2014 menunjukan jika dalam jangka waktu tujuh tahun tersebut, secara keseluruhan tidak ada perbaikan dalam konsumsi merokok di Indonesia.
Amalia B. et al. (2019) melakukan penelitian tentang konsumsi rokok di Indonesia, secara tidak langsung menunjukkan keefektifan kebijakan dan upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganan konsumsi rokok. Penelitian tersebut juga menggali tentang kesenjangan merokok di masyarakat. Data yang digunakan untuk penelitian tersebut diambil dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) yang dilakukan pada 2007 (IFL4) dan 2014 (IFL5). Data tersebut merepresentasikan 83% populasi di Indonesia. Secara singkat, analisa yang dilakukan pada jurnal Amalia B. et al. (2019) menyatakan prevalensi merokok di Indonesia tidak menurun antara 2007 dan 2014. Berdasarkan IFLS, pada 2007, populasi perokok mencakup 30.8%, yang tidak jauh berbeda dengan yang 2014 yang mencakup 31.9%. Dilihat dari segi demografis sosial di Indonesia, terlihat perbedaan kecenderungan untuk memulai dan berhenti merokok antar kelompok sosial ekonomi yang berbeda.
Kondisi dimana kurangnya progress terkait prevalensi merokok sesuai dengan penelitian yang ada sebelumnya, dimana ditemukan Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan populasi perokok terbanyak yang tidak menunjukan penurunan prevalensi merokok dari 2005 sampai 2015. Tren tersebut diduga berkaitan dengan kontrol tembakau yang buruk dari pihak pemerintah Indonesia, yang tidak mendirikan kebijakan yang menurunkan permintaan tembakau seperti negara yang lain. Perlu diperhatikan juga jika Indonesia merupakan anggota PBB yang tidak menandatangani WHO FCTC, dimana 168 negara lain di dunia sudah menyetujui traktat tersebut yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif tembakau.
Penelitian tersebut mendapati laki – laki berumur kurang dari 55 tahun dan kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah adalah faktor resiko terbesar untuk merokok di Indonesia. Pola kesenjangan merokok tersebut telah diteliti secara luas pada penelitian di negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang menunjukan adanya kecenderungan pada demografis sosial. Bukti menunjukan peningkatan harga tembakau mempunyai efek paling besar dari segi sosial ekonomi untuk memperkecil kesenjangan merokok. Sistem cukai tembakau yang berlapis – lapis di Indonesia telah menghasilkan harga rokok yang beragam dan menyebabkan perokok memilih jenis rokok yang terjangkau harganya dibanding berhenti merokok. Alhasil, harga rokok di Indonesia tetap terjangkau, termasuk untuk masyarakat muda. Perokok dengan edukasi yang tinggi mempunyai pengeluaran uang dan juga konsumsi rokok yang lebih tinggi, walaupun di sisi lain diperoleh data jika lulusan universitas mempunyai kecenderungan rendah untuk menjadi perokok. Hal ini diduga seseorang dengan edukasi tinggi mempunyai penghasilan lebih dan sanggup untuk mengeluarkan lebih untuk konsumsi rokok. Akan tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan hal tersebut.
Pengeluaran untuk rokok naik pada rentang 2007 dan 2014, dari segi tingkat per individu maupun per rumah tangga, dimana hasilnya tidak menunjukkan perbedaan walau setelah disesuaikan sesuai inflasi. Kondisi tersebut diduga dari terjangkaunya harga rokok di Indonesia. Kondisi tersebut sesuai dengan penilitian lain, dimana antara tahun 2003 dan 2006, harga rokok di negara berkembang menjadi terjangkau, termsuk di Indonesia. Pada tahun 2014, pajak tembakau di Indonesia hanya dikenakan 53.4% dari harga eceran jauh dibawah standar WHO 70%. Tidak akan memungkinkan untuk pemerintah Indonesia memenuhi standar WHO dikarenakan undang – undang cukai menentukan untuk tidak melebihi 57% dari harga dasar.
Walaupun pemerintah telah mendirikan peraturan mengenai tembakau dan implementasikan MPOWER pada jangka waktu tujuh tahun tersebut, angka perokok di Indonesia pada 2007 hingga 2014 tidak berubah. Malahan, jika kondisi disesuaikan dengan inflasi, pengeluaran uang dan konsumsi rokok meningkat diantara para perokok, tidak tergantung status demografis sosial. Indonesia tidak berkomitmen pada WHO FCTC, walaupun bukti menunjukan kalau implmentasi kunci WHO FCTC yang terkait tindakan menurunkan permintaan, terutama pajak dan kampanye kontrol tembakau, dapat menurunkan prevalensi perokok secara signifikan. Telah dilaporkan kalau semua tindakan MPOWER di Indonesia tidak dilakukan sesuai rekomendasi WHO FCTC.
Indonesia mempunyai objektif mengenai penghentian merokok melalui Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan. Akan tetapi peta jalan tersebut tidak berelaborasi secara spesifik untuk menghentikan rokok. Ditambah lagi, bantuan dalam penghentian dan medikasi tidak terjangkau untuk kelas bawah, karena hal tersebut tidak dicakup oleh jaminan kesehatan nasional. Penemuan tersebut menyoroti perlunya intervensi lebih lanjut untuk membuat dukungan pengentian merokok menjadi lebih terjangkau untuk semua pihak. (Eugeu Yasmin)
Referensi
Amalia. B., Cadongan. L. S., Prabandari. S. Y., Filippidis. T. F. (2019) Socio-demographic inequalities in cigarette smoking in Indonesia, 2007 to 2014. Preventive Medicine 123. pp.27-33
Mengenal Kembali Academic Health System (AHS) Dalam Pendidikan Kedokteran Indonesia
Mengenal Kembali Academic Health System (AHS)
Dalam Pendidikan Kedokteran Indonesia
Academic Health System (AHS) atau sistem kesehatan akademis merupakan pengorganisasian yang terdiri dari Rumah Sakit Pendidikan, Fakultas Kedokteran, satu atau beberapa Istitusi Pendidikan Profesi Kesehatan lainnya, lembaga riset, wahana pendidikan, dan institusi yang melakukan perencanaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan. AHS merupakan bagian dari suatu sistem pelayanan kesehatan terintegrasi yang berkomitmen untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat melalui pendidikan tenaga kesehatan dan riset unggul dalam mendukung pelayanan kesehatan yang berkualitas.