JAMBI- Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden Mattaher (RM) saat ini mengalami kekurangan tenaga dokter spesialis. Diakui dr Rambe, Direktur SDM RSUD RM, kekurangan jumlah dokter spesialis yang dialami oleh RSUD RM mencapai sebanyak 257 orang.
JAMBI- Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden Mattaher (RM) saat ini mengalami kekurangan tenaga dokter spesialis. Diakui dr Rambe, Direktur SDM RSUD RM, kekurangan jumlah dokter spesialis yang dialami oleh RSUD RM mencapai sebanyak 257 orang.
REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK — Program pemerintah untuk kesehatan yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan rupanya belum diminati oleh sebagian besar rumah sakit (RS) swasta di Depok. Setidaknya berdasarkan informasi yang diperoleh Republika, dari 15 RS swasta baru lima RS yang sudah melaksanakan MoU dengan program BPJS Kesehatan di Kota Depok, selebihnya masih menolak bekerja sama.
Kelima RS swasta itu adalah RS Tugu Ibu, RS Harapan Depok, RS Tumbuh Kembang, RS Hasanah Graha Afifah (HGA), dan RS Simpangan Depok. Menurut anggota DPRD Kota Depok dari Komisi A yang membidangi masalah kesehatan, Mutaqien Syafi, keengganan rumah sakit swasta untuk bergabung dimungkinkan karena mereka belum cocok dengan hitung-hitungan harga yang diharapkan.
”RS swasta mungkin hitung-hitungan juga, mungkin juga pricing mereka belum cocok juga,” kata Mutaqien saat dihubungi Republika, Kamis (27/2).
Selain itu, lanjutnya ternyata belum ada peraturan yang mewajibkan RS swasta untuk menjalankan program BPJS. ”Setahu saya, pada 2019 RS swasta baru wajib,” ungkap calon legislatif (caleg) DPRD Kota Depok dari PKS daerah pemilihan (dapil) Beji-Limo-Cinere ini. ”Semuanya itu tergantung kerjasama RS dengan pihak BPJS,” tegasnya.
Menurut Mutaqien, program BPJS Kesehatan itu bukan kewenangan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok, tapi kewenangan Pemerintah Pusat. ”Tapi kita dorong kerjaasam dipercept, karena untuk pelayananya masyarakat yang tak mampu lebih optimal,” tuturnya yang juga mengungkapkan Komisi D DPRD Depok sudah mendesak ke Kementrian Kesehatan untuk segera menyelesaikan masalah kekisruhan pelaksanaan BPJS Kesehatan.
Mutaqien menganjurkan kepada masyarakat tak mampu untuk segera mendaftarkan Jamkesda ke BPJS Kesehatan. ”Nanti pihak RS wajib menerima pasien tak mampu dengan BPJS Kesehatan. Kalau ada RS yang tidak mau terima ada sanksinya, ya akan dicabut ijinnya, karena dalam pengajuan ijin operasinal RS itu wajib 20 persen menyediakan pelayanan kesehatan untuk masyarakat tak mampu dan pelayanan kamarnya harus disediakan yakni di ruang kelas 3,” tuturnya.
Sumber: republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK — Sejumlah rumah sakit (RS) di Depok menolak bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam program Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN). Kondisi tersebut ternyata belum mendapatkan solusi. Bahkan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok mengakui tak mampu berbuat banyak atas penolakan tersebut.
”Kami tidak bisa berbuat apa-apa selain sebatas imbauan. Kami mengimbau, kalau bisa RS yang menolak BPJS ikut menandatangani MoU untuk pelayanan maksimal kepada masyarakat. Namun semua itu terpulang kembali kepada masing-masing manajemen RS, karena masih ada keterbatasan seperti kekurangan tempat tidur di RSUD Depok,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Noerzamanti Lies,
Penetapan Klasifikasi RS adalah pengelompokan RS berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan yang penetapannya dengan SK Menkes. Rumah Sakit sebagai salah satu institusi pelayanan publik harus da
INILAH.COM, Bandung – Selama sebulan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Kantor Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Soreang, belum ada rumah sakit yang mengajukan klaim pembiayaan pasien BPJS.
Kepala BPJS Soreang Rahmad Widodo mengatakan, selama satu bulan pelaksanaan JKN, dari lima rumah sakit yang melayani BPJS, yakni RSUD Soreang, RSUD Cicalengka, RSUD Majalaya, RSUD Al Ihsan dan RS swasta AMC Cileunyi, belum mengajukan klaim biaya.
Meski belum ada klaim, pihaknya mengaku telah menyiapkan dana untuk 50 persen biaya yang telah dipakai oleh peserta BPJS. Kata dia, dana ini baru diberikan kepada RSUD Majalaya sebesar Rp1,7 miliar dari total klaim yang harus dibayar BPJS sebesar Rp3,5 miliar.
“Meski belum ada klaim, kami siapkan 50 persennya. Tapi yang sudah diserahkan baru kepada RSUD Majalaya,” kata Rahmad, Kamis (27/2/2014).
Pertimbangan memberikan 50 persen ini, kata Rahmad, agar operasional rumah sakit bisa terus berjalan. Menurutnya, jangan sampai rumah sakit berhenti beroperasi hanya karena klaim belum dibayar BPJS.
Apalagi, sejak diberlakukannya BPJS, dia melihat jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit terus meningkat. Seperti di Al Ihsan, dalam sehari tidak kurang dari 500 pasien datang, dengan 10 persen di antaranya merupakan pasien rawat inap.
“Begitu juga pendaftar peserta BPJS di kantor kami dalam sehari rata-rata 200 orang. Dari jumlah tersebut, 20 persen adalah pendaftar yang sakit dan 10 persennya harus menjalani rawat inap,” katanya.
Selama sebulan pelaksanaan JKN ini, lanjut Rahmad, memang RS Al Ihsan menjadi rumah sakit paling banyak dikunjungi oleh pasien peserta BPJS. Kedua adalah RSUD Majalaya, yang perharinya sekitar 350 orang. Sedangkan tiga rumah sakit lainnya masih normal.
“Tingginya kunjungan pasien di kedua rumah sakit tersebut, mungkin karena memang daerah tersebut padat penduduk dan menjadi rujukan dari berbagai Puskesmas di Kabupaten Bandung,” katanya.
Tingginya rujukan ke rumah sakit, lanjut dia, karena belum maksimalnya pemberdayaan tahap pertama, yakni puskesmas dan dokter praktek swasta yang ditunjuk.
“Sehingga, orang lebih memilih minta rujukan ke rumah sakit. Ini karena pemberdayaan tingkat satu belum maksimal,” ujarnya.
Humas RS Al-Ihsan Ahmad Dahlan membenarkan pihaknya belum mengajukan klaim biaya kesehatan kepada BPJS. Hal ini terjadi karena data surat kebenaran pasien (SEP) dari peserta non-Askes seperti polisi, tentara dan peserta Jamsostek di rumah sakit masih manual. Data manual ini, tidak terbaca oleh sistem yang dimiliki BPJS.
“Saat ini, pihak BPJS masih memverifikasi data tersebut. Jadi memang benar kami belum mengajukan klaim,” ujarnya. [hus]
Sumber: inilahkoran.com
REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK– Direktur Rumah Sakit (RS) Bhakti Yudha Depok, Syahrul Amri dengan tegas menolak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Kami menolak dan belum menyetujui aturan main dan besaran tarif dalam BPJS. Selain itu BPJS masih kurang sosialisasi serta tidak ada petunjuk teknis pelayanan kepada masyarakat,” ujar Syahrul di Depok, Kamis (27/2).
Syahrul yang juga sebagai Wakil Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Kota Depok ini mengatakan RS swasta itu berorientasi bisnis, walau juga tetap memiliki coorporate social respon (CSR). “Sebenarnya kami mendukung program BPJS. Tapi kami tidak menampik kendala di lapangan. Hingga saat ini belum ada deal jasa pelayanan dokter. Kami ingin kesejahteraan teman-teman diperhatikan,” tuturnya.
Syahrul mengungkapkan di Depok baru lima RS swasta yang menandatangani kesepakatan dengan BPJS. Kelima rumah sakit itu, RS Tugu Ibu, RS Harapan Depok, RSIA Hasana Graha Afiah, dan RS Tumbuh Kembang dan RS Simpangan Depok. Namun para dokter di lima RS itu belum ada kesepakatan mengenai tarif jasa pelayanan dokter dengan manajemen RS. Sehingga program BPJS belum dilaksanakan.
“Tarif RS swasta itu berdasarkan Indonesia-Case Based Group (INA CBG) yang ditetapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Namun tarif itu tak dapat mengatasi biaya operasional RS. Kita kan orientasinya juga bisnis,” jelas Syahrul.
Menurut Syahrul, pihak RS swasta juga dihadapkan oleh kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) yang setiap tahun naik. Hal itu pun membuat RS swasta harus menyesuaikan jasa dokter yang sudah berkiprah belasan tahun dan dokter yang baru bekerja lima tahun.
“Di RS tipe C saja diasumsikan rawat inap itu 100 persen biayanya. Program BPJS itu tarifnya 47 persen untuk rawat inap, sisanya untuk rawat jalan,” paparnya.
Sementera itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Depok, Fakhrurrozi menjelaskan, para dokter di Depok siap melaksanakan program BPJS Kesehatan. Namun jasa pelayanan dokternya belum sesuai. Di Puskesmas saja dana dari BPJS itu antara Rp 3.000-Rp 6.000. Tarif itu untuk jasa layanan dokter dan obat. Di tingkat klinik dan dokter praktek itu nominalnya antara Rp 8.000-Rp 10.000.
“Kira-kira jasa dokter itu berapa. Dokter juga harus mendapatkan keadilan. Sekolah dokter itu dari ratusan juta hingga Rp 1 miliar. Kalau preminya Rp 50.000-Rp 60.000 apa bisa mencukupi kehidupan para dokter?,” tanyanya.
Sumber: republika.co.id
KENDARI – Krisis obat-obatan dan tumpukan utang dari berbagai apotek dan distributor farmasi yang kini dialami RSUD Abunawas, Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) dijamin tidak mengganggu pelayanan kesehatan di rumah sakit plat merah itu. Khusus mereka yang datang memeriksakan kesehatan dengan bermodal kartu asuransi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) jangan buru-buru apatis tak mendapat layanan maksimal. Pihak RSUD Abunawas menjamin, sampai saat ini stok obat untuk pasien miskin masih cukup.
Kepala Bidang Penunjang Non-Medis RSUD Abunawas, Heny, SKM, M.Kes bersama Kepala Instalasi Farmasi RSUD Abunawas, Yusriani, S. Farm. Apt mengakui jika instansinya saat ini memang sedang krisis obat-obatan. Tetapi, demi mengatasi persoalan itu, mereka terpaksa melakukan pembelian secara langsung ke apotek, sebab pedagang besar farmasi (PBF) yang biasa mensuplai obat ke rumah sakit itu kini menghentikan karena hutang obat yang sudah menumpuk dan belum tertagih.
“Tapi, meski krisis obat untuk pasien Jamkesmas, kami tetap berupaya untuk melayani kebutuhan obat setiap pasien Jamkesmas. Kami dengar ada dana yang disiapkan Pemkot Kendari untuk menalangi kebutuhan tersebut sebesar Rp 1 M, tapi biasanya itu digunakan untuk membeli obat secara langsung keapotek,” kata Heny seperti yang dilansir Kendari Pos (JPNN Group), Rabu (26/2).
Heny menjelaskan, persoalan kebutuhan obat yang akan digunakan oleh RSUD Abunawas tergantung jumlah kebutuhan yang digunakan oleh RSUD. Dirinyapun tak memberikan kepastian berapa pesanan kebutuhan obat yang digunakan RSUD secara pasti. Artinya bahwa, obat yang dipesan sesuai dengan kebutuhan rumah sakit. “Kebutuhan obat ini tidak bisa dipastikan berapa dalam sebulan. Tapi stok obat untuk pasien Jamkesmas masih cukup, tapi sampai kapan bertahan, kami tak bisa pastikan,” katanya.
Soal stok obat apa saja yang kini persediaannya terbatas, keduanya enggan memberikan jawaban pasti. Namun merka menjamin, kebutuhan obat sampai hari ini masih cukup, baik obat generik maupun penyedian tabung oksigen. “Kalau tabung oksigen masih mencukupi, yang disediakan rumah sakit ada delapan tabung. Tetapi itu masih ada tabung yang disediakn oleh pihak ketiga sebanyak 5-10 tabung oksigen dalam satu ruangan,
Liputan6.com, Jakarta Meski pro dan kontra seputar tarif paket dalam Rumah Sakit yang dikenal dengan InaCBGs terus bergulir, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan sejauh ini 9 rumah sakit sudah menyatakan surplus karena ikut JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
“Semua kan sudah diatur, biaya, petunjuk juga sudah diberikan. Secara menyeluruh kini ada 9 Rumah Sakit pemerintah yang surplus dan positif balance,” kata Menkes saat peringatan acara HGN (Hari Gizi Nasional) ke 54 di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa (25/2/2014).
Menurut Menkes, meski saat ini baru ada 9 RS yang surplus, tapi ia mengaku masih ada yang masih perlu perlu diperbaiki seperti misalnya biaya untuk tenaga profesi. “Masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki seperti mempertimbangkan biaya untuk tenaga profesi”.
Meski demikian, Menkes menolak jika dikatakan sistem biaya Ina CBGs terlalu kecil. Menurutnya, hal ini terkait dengan masih banyaknya yang masih menggunakan pedoman lama yaitu fee for service.
“Jangan salah InaCBGs itu nggak kecil. karena dia masih