|
Outlook Manajemen RS 2016 ![]() Peserta Diskusi Outlook Manajemen Rumah Sakit
Menyambut tahun 2016 ini, Divisi Manajemen Rumah Sakit PKMK FK UGM mengadakan diskusi mengenai Outlook Manajemen Rumah Sakit 2016 dengan harapan mendapatkan masukan mengenai peran PKMK FK UGM untuk mengantisipasi perubahan dan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap pelayanan kesehatan yang lebih baik. Diskusi ini diadakan pada Selasa, 12 Januari 2016 dengan mengundang berbagai pihak pengambil kebijakan kesehatan maupun pelaku di industri kesehatan. Pada diskusi ini dipaparkan 2 topik yaitu “Outlook Pasca JKN dan Menjelang MEA” dan “Sumber Daya Manusia Kesehatan” . Dalam diskusi muncul pula hal lain yang menjadi tantangan bagi para pengelola dan pembuat kebijakan perumahsakitan di Indonesia, antara lain mengenai belum dimasukkkannya residen sebagai bagian dari tenaga kesehatan dan peran IT dalam pelaksanaan JKN di RS. Silakan ikuti reportase selengkapnya disini. ARTIKEL PENELITIAN:
Persepsi Perawat Terhadap Budaya Organisasi dan Kaitannya dengan Budaya Melaporkan Error: Kasus dari RS Publik di Pakistan
Nurse perceptions of organizational culture and its association with the culture of error reporting: a case of public sector hospitals in Pakistan Sara Rizvi Jafree, Rubeena Zakar, Muhammad Zakria Zakar and Florian Fischer
|
|||
| Website ini akan update setiap Selasa pagi. Nantikan Informasi terbaru setiap minggunya. | |||
|
+ Arsip Pengantar Minggu Lalu |
|||
| Frequently Asked Questions: Implementasi Billing System Berbasis Open Source | |||
Outlook Manajemen Rumah Sakit 2016
Outlook Manajemen Rumah Sakit
2016
Reportase
Elisabeth Listyani

Peserta Diskusi Outlook Manajemen Rumah Sakit
Menyambut tahun 2016 ini, Divisi Manajemen Rumah Sakit PKMK FK UGM mengadakan diskusi mengenai Outlook Manajemen Rumah Sakit 2016 dengan harapan mendapatkan masukan mengenai peran PKMK FK UGM untuk mengantisipasi perubahan dan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap pelayanan kesehatan yang lebih baik. Diskusi ini diadakan pada Selasa, 12 Januari 2016 dengan mengundang berbagai pihak pengambil kebijakan kesehatan maupun pelaku di industri kesehatan.
Pada diskusi ini dipaparkan 2 topik. Topik yang pertama yaitu Outlook Pasca JKN dan Menjelang MEA yang disajikan oleh Ir. Sarwestu Widyawan, MPH. Pada pembahasan yang pertama ini mencermati mengenai isu utama yang terjadi pada 2015 yaitu JKN dimana rumah sakit masih banyak menumpuk di wilayah tertentu. Pertumbuhan rumah sakit selama 2012 – 2015 masih banyak terjadi di Pulau Jawa dan lebih banyak didominasi oleh rumah sakit swasta for profit. Akreditasi juga mendapatkan perhatian dimana dengan akreditasi versi 2012 ini rumah sakit-rumah sakit didorong untuk lulus akreditasi tersebut, salah satu tujuannya agar dapat bekerja sama dengan BPJS. Selain itu BLUD mendapatkan sorotan dimana setelah 8 tahun implementasi baru 60% RSD yang mendapatkan status BLUD, sedangkan sisanya 40% masih belum dengan berbagai kendala salah satunya adalah perbedaan persepsi antara pemerintah daerah setempat dengan pihak rumah sakit. Isu lain adalah dengan adanya MEA akan memberi peluang masuknya tenaga kerja asing termasuk tenaga kerja kesehatan ke Indonesia.
Sebagai outlook di tahun 2016 ini dimana JKN sudah mulai berjalan baik namun masih banyak terjadi keluhan dan rumah sakit belum semua siap secara sistem. Implementasi BLUD yang diterapkan oleh RSD diharapkan akan membawa RSD menjalankan rumah sakitnya secara efisien, efektif, transparan, dan akuntabel walaupun implementasinya masih akan banyak dipengaruhi secara politik. Selain itu isu rujukan berjenjang dimana rumah sakit pusat yang menjadi rujukan nasional akan menghadapi kelangkaan dokter sub spesialis. Hal lain yang perlu menjadi perhatian di tahun 2016 ini dengan diberlakukannya MEA selain tenaga kerja asing yang akan masuk ke Indonesia, akan ada pula investor asing yang tertarik untuk mengembangkan layanan kesehatan di Indonesia.
Topik kedua yang diangkat pada acara ini adalah Sumber Daya Manusia Kesehatan oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M. Kes, MAS. SDM kesehatan menjadi salah satu faktor kunci dalam menjalankan JKN. Yang menjadi isu di tahun 2015 diantaranya kegaduhan ala SDM kesehatan yaitu distribusi dan retensi SDM kesehatan, dual practice, kompetensi SDM kesehatan, kesenjangan kompetensi dalam sistem rujukan, remunerasi, gratifikasi, jaminan keamanan dan keselamatan SDM kesehatan di daerah terpencil, dan dokter layanan primer. Hal lain yang seharusnya menjadi kegaduhan adalah MEA, namun sepertinya hal tersebut belum dikerjakan oleh pemerintah dan asosiasi profesi. Pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan adalah menyelesaikan UU tenaga kerja kesehatan dan UU profesi dan mendidik tenaga kesehatan yang ada di wilayah terpencil.
Sebagai outlook di tahun 2016 ini bahwa Indonesia saat ini sudah keluar dari konteks krisis tenaga kesehatan dan mulai masuk ke kinerja SDM kesehatan, kompetensi, dan distribusinya. Hal tersebut diserahkan pada mekanisme pasar seperti yang terjadi di rumah sakit – rumah sakit di Thailand, Malaysia, maupun Singapore. Produksi dokter spesialis terjadi peningkatan yang cukup di Thailand, sedangkan di Indonesia trendnya terjadi penurunan. Dengan berlebihnya pasokan tenaga spesialis di sebuah negara maka akan memicu negara tersebut untuk mengirimkan kelebihan tenaga spesialis ke negara lain. Berbagai upaya dilakukan agar tenaga spesialis tidak keluar (brain drain) seperti yang telah dilakukan di Thailand yaitu dengan mendorong universitas untuk meningkatkan jumlah dosen di Fakultas Kedokteran, demikian pula di Malaysia dengan mengupayakan medical tourism.
Untuk tahun 2016 ini belum ada inovasi karena beratnya unfinished business di tahun 2015, tahun ini merupakan tahun komunikasi dan koordinasi untuk menghasilkan regulasi yang acceptable, dan tahun kritis untuk persiapan MEA. Hal yang ditunggu saat ini dari pemerintah pusat adalah penuntasan DLP, revitalisasi CCF, memastikan kompetensi SDM kesehatan, membuat regulasi mengenai gratifikasi dan remunerasi, serta menentukan strategi menghadapi MEA.
Setelah pemaparan kedua topik tesebut, maka dilanjutkan dengan diskusi dari berbagai narasumber yang hadir baik di lokasi undangan maupun webinar. Diskusi pertama yang dilontarkan oleh dr. Tonang Dwi Aryanto yang mewakili Persi dan Arsada menbahas mengenai pengendalian biaya pada implementasi JKN yang akan berpengaruh terhadap mutu layanan. Diharapkan ke depannya dengan mutu yang akan dicapai maka berapakah biaya yang akan dikeluarkan. Penyebaran SDM kesehatan di beberapa wilayah masih kurang dan dikuatirkan dengan berlakunya MEA maka rumah sakit privat jejaring akan semakin melebarkan sayap ke daerah-daerah dan potensi rumah sakit daerah untuk memberikan layanan akan semakin tersaingi. Demikian pula Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD memberikan pendapatan bahwa saat ini ada 2 isu yang saling berlawanan yaitu adanya BPJS, peningkatan penduduk dan peningkatan rumah sakit for profit di Pulau Jawa versus produksi jumlah dokter spesialis yang menurun, masih diperparah lagi dengan pencatatan dimana residen belum dimasukkan sebagai SDM kesehatan. Tenaga lain yang belum dimasukkan ke dalam pencatatan adalah dokter sub spesialis, padahal permintaan terhadap tenaga tersebut cukup tinggi, dimana banyak penduduk Indonesia yang berobat ke luar negeri untuk mencari sub spesialis. Ke depannya perlu dimasukkan sebagai tenaga kesehatan. Di negara maju, residen menjadi tumpuan layanan kesehatan.
Hal tersebut juga ditanggapi oleh dr. Meliala, dimana gap ketersediaan dokter spesialis tersebut akan ditangkap oleh MEA. Perlu belajar dari Tiongkok dimana barefoot doctor dihitung sebagai tenaga kesehatan. Diharapkan residen dengan kemampuan level tertentu dapat ditempatkan ke daerah terpencil yang kekurangan tenaga spesialis dan aspek hukum juga perlu diperhatikan untuk melindungi tenaga tersebut. Lebih lanjut, saat ini dalam sistem pendidikan juga belum fokus atau masih generik dalam memberikan pendidikan kepada manajer rumah sakit, semestinya dibedakan untuk rumah sakit di daerah atau untuk rumah sakit di kota besar yang kental dengan kompetisi dengan rumah sakit luar negeri.
Dari sisi teknologi informasi yang disampaikan oleh Guardian Y. Sanjaya bahwa penggunaan IT di rumah sakit – rumah sakit salah satunya merupakan dorongan dari diberlakukannya JKN. Penggunaan aplikasi di rumah sakit sebenarnya cukup banyak pilihan, namun saat implementasi rumah sakit belum siap sampai pada tahap pemeliharaan, selain itu SDM yang dimiliki juga belum mendukung.
Dari diskusi yang dilontarkan oleh berbagai narasumber yang hadir dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi manajemen SDM yang diperkuat dengan regulasi dan peraturan beban kerja, mendefinisikan tenaga kesehatan seperti tenaga sub spesialis, IT, dan manager rumah sakit, menyelaraskan rumah sakit dengan SDM, pembiayaan JKN yang lebih transparan. Kesemua isu-isu tersebut selayaknya digulirkan kepada pihak-pihak terkait agar dapat ditindaklanjuti. (EL)
RS BaliMed Selenggarakan Bakti Sosial di Padangsambian
Memperingati Hari Gizi Nasional yang jatuh pada tanggal 25 Januari, Rumah Sakit (RS) BaliMed bekerja sama dengan Asoisiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) mengadakan bakti social pada Minggu (17/1) kemarin di Balai Banjar Padnagsambian, Denpasar. Kegiatan tersebut berupa pemeriksaan kesehatan anak dan bayi, pemberian edukasi gizi (MPASI) di Posyandu Banjar Padangsambian, Posyandu Banjar Minggir dan Posyandu Banjar Anyar.
Ka. Div. Pemasaran dan Hubungan Pelanggan RS BaliMed Madi Adi Krisna Dwipayana, S.E., M.Par. mengatakan, kegiatan ini dilaksanakan sebagai bentuk perhatian RS BaliMed terhadap status kesehatan, khususnya gizi anak-anak di Kelurahan Padangsambian dengan harapan masyarakat lebih mengenal gizi seimbang bagi balita.
Kegiatan yang bertemakan “Balita Sehat Balita Kreatif” itu, diisi dengan kegiatan penimbangan bayi dan balita, pemeriksaan oleh dokter umum, demo pembuatan MPASI, pembagian bubur kacang hijau dan vitamin.
Lurah Padangsambian, I Wayan Yusswara mengatakan dengan adanya kegiatan baksos ini, diharapkan masyarakat semakin sadar bahwa posyandu di masing-masing banjar sangat penting dan memiliki peran yang besar. Dengan memperkuat posyandu, diharapkan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. “Kegiatan ini diharapkan bukan saja di banjar ini (Banjar Padangsambian), tetapi juga banjar yang lain” harapnya
Selain itu masyarakat diharapkan proaktif mengikuti kegiatan dan memanfaatkan pelayanan yang ada. Ia menilai sangat banyak masyarakat yang membuthkan pelayanan kesehatan, tidak hanya balita, tetapi juga lansia.
Meskipun angka gizi buruk nol di Kelurahan Padangsambian, diharapkan pelayanan seperti itu dapat dilakukan juga oleh rumah sakit yang lain. “Lebih baik penyaluran bantuan langsung ke objek (masyarakat), jangan terfokus pada satu titik, kami siap memfasilitasi” ujarnya.
Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS BaliMed dr. I Putu Oka Dharmawan, MARS mengatakan, setiap tahun RS BaliMed menjadwalkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekitar RS BaliMed dan masyarakat Kota Denpasar pada umumnya. Sebelumnya, pihaknya yang mengadakan kegiatan di Dwijendra yang menyasar remaja di Kota Denpasar dalam bentuk seminar dengan tema HIV/AIDS. Ke depannya, pihaknya pun telah menyiapkan program untuk remaja, dewasa muda dan lansia.
Dipilihnya tiga banjar tersebut dengan tujuan agar pelayanan kepada kepada masyarakat di sekitar RS BaliMed lebih merata, kaena sebelumnya telah dilakukan kegiatan serupa di wilayah Padangsambian bagian selatan dengan menyasar kelompok lansia. Selain memperingati hari gizi nasional, pelayanan kesehatan yang dikemas dalam bentuk bakti sosial seperti ini dilakukan sebagai bentuk ucapan terima kasih Rumah Sakit BaliMed kepada masyarakat sekitarnya karena telah mempercayakan pelayanan kesehatan keluarganya kepada Rumah Sakit BaliMed. (red)
Sumber: padangsambian.denpasarkota.go.id
Pengamat: RS Provider BPJS Kesehatan Abaikan Kesepakatan Harus Ditinjau Ulang
Praktisi kesehatan Sumatera Utara, Dr. H. Del Yuzar, menyayangkan sikap pihak Rumah Sakit (RS) Royal Prima yang tidak mematuhi kesepakatan yang telah di sepakati antara rumah sakit dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Medan, yakni menerima layanan pasien pemegang kartu BPJS. Menurutnya, sekelas rumah sakit sederhana sekalipun diwajibkan menerima dan melayani pasien BPJS. Karena hal tersebut sudah tertuang dalam Memorendum of Understanding (Mou).
“Kalau rumah sakit swasta sudah komit menjadi provider BPJS, ya harus dijalani semua standart dan prasyarat yang tertuang dalam perjanjian (MoU). Jadi tak boleh ada perbedaan layanan antara pasien BPJS dengan pasien biasa,” tegasnya, Sabtu (16/1/2016), menyikapi temuan Komisi B DPRD Medan, saat menggelar sidak ke RS Royal Prima yang menemukan adanya penelantaran pasien BPJS kemarin.
Aktivis kesehatan dan juga sekaligus pendiri Lembaga Sosial Masyarakat Jaringan Kesehatan Masyarakat (LSM JKM) ini menuturkan, siapapun masyarakat yang menggunakan kartu BPJS Kesehatan untuk berobat, mereka tidaklah gratis. Melainkan membayar dengan biaya pertanggungannya di ambil alih oleh pemerintah, perusahaan atau mandiri. “Jika rumah sakit provider tidak mematuhi kesepakatan, saya meminta pihak BPJS Kesehatan mengkaji ulang kontrak kerjasama yang diberikan,” ketusnya.
Pada berita sebelumnya, Komisi B DPRD Medan menyarankan agar RS Royal Prima turun kelas. Pasalnya dalam sidak yang mereka gelar Jumat (15/1/2016) kemarin, banyak menemukan keganjalan. Seperti yang ditemukan anggota Komisi dari Fraksi PKS, Rajudin Sagala. Dimana dirinya menemukan pasien BPJS yang tidak terlayani dan makanan pasien lainnya kurang higenis, karena ditemukan ada lintah dan belatung pada sayuran. Kuat dugaan juru masak rumah sakit lalai dalam tugas.
“Ini kan luar biasa. Kok bisa rumah sakit yang harusnya menjaga kesehatan pasien malah tidak memperhatikan ada hal-hal yang bisa merusak kesehatan pasien,” kesal Rajudin.
Sementara anggota Komisi B lainnya, Bahrumsyah, juga menemukan keanehan. Sambil menunjukkan bukti administrasi dari RS Royal Prima, ia menceritakan adanya seorang pasien miskin bernama Aida yang mendapat perlakuan buruk di RS Royal Prima. Pasien tersebut dirawat pada tanggal 24 Desember 2015 lalu. Saat itu ia dirawat tidak menggunakan BPJS Kesehatan karena masih dalam proses pengurusan. Karena itulah, pasien diberikan waktu selama 3 hari untuk mengurus itu semua.
Namun sayangnya ia meninggal keesokan harinya. Celakanya lagi, jenazah Aida sempat ditahan oleh pihak RS karena belum membayar biaya perobatan sebesar Rp6 juta. Susah payah, akhirnya keluarga berhasil mengumpulkan sejumlah uang yang diminta. Jenazah Aida pun dibawa pulang dan keluarganya dijanjikan pihak RS, bahwa uang tersbeut bisa dikembalikan jika rekomendasi dari Dinsosnaker Medan atau BPJS Kesehatan itu sudah keluar.
Tanggal 28 Desember, surat rekomendasi pun keluar. Pihak keluarga dengan penuh harap datang ke RS untuk menebus uang sebesar Rp6 juta tersebut. Tapi pihak RS ingkar janji. Dengan beribu alasan pihak RS mengatakan uang yang dimaksud tidak bisa dicairkan kembali. Takut ditangkap KPK katanya.
“Kalau udah keluar katanya bisa di klaim. Tapi sampai sekarang barang itu (Rp6 juta,red) tak juga keluar. Katanya gak bisa, nanti bisa ditangkap KPK. Tolong ibu Wadir (Wakil Direktur) jelaskan kenapa bisa begini,” tanya Bahrumsyah di dalam ruangan Wadir Keuangan RS Royal Prima usai menggelar sidak.
Menjawab temuan itu, Wadir Keuangan RS Royal Prima, Rosita Ginting, mengaku akan mendalami kasus pasien miskin bernama Aida. Dijelaskannya, khusus kasus tersebut merupakan biaya gantung. Artinya pihak RS bisa mengembalikan biaya yang telah dibayarkan kepada pasien atau keluarga pasien jika rekomendasi dari Dinsosnaker atau BPJS Kesehatan sudah ada.
“Inikan bahasanya biaya gantung ya pak. Biasanya yang seperti itu ditunggu 3 x 24 jam. Tapi kalau hari libur gak terhitung. Kalau BPJS sudah bilang oke, maka kami pasti kembalikan uang itu. Nanti akan saya telusuri dan mencoba bicara dengan BPJS-nya langsung. Tapi kami tidak pernah menolak pasien BPJS. Kalau harus menunggu 3 x 24 jam ya kami akan tunggu,” kilahnya.
Sumber: matatelinga.com
Bisnis Rumah Sakit Ibu dan Anak Masih Jarang
Meski tidak tercantum sebagai kebutuhan pokok, kesehatan merupakan masalah vital bagi manusia. Setiap manusia ingin selalu sehat supaya bisa melakukan aktivitas dan rutinitas sehari-hari. Apalagi, bagi yang sedang sakit, mereka ingin segera sembuh dengan berobat ke dokter atau rumah sakit.
Lantaran menjadi kebutuhan vital, tak heran, industri rumah sakit terus bertumbuh. Prospek dan peluang bisnis rumah sakit pun masih bagus, mengingat jumlah penduduk yang terus berkembang. Cucu Setiawan, pemilik RSIA Insan Permata, pun meyakini prospek cerah ini karena pertambahan penduduk selalu sebanding dengan kebutuhan kesehatan.
Tak heran, setelah sepuluh tahun bergelut dalam dunia kesehatan, Cucu, yang juga berprofesi sebagai dokter, mengembangkan klinik dan rumah bersalin miliknya menjadi rumah sakit . “Saat itu memang ada tuntutan dari masyarakat untuk meningkatkan rumah bersalin menjadi rumah sakit ,” terang Cucu, mengenang.
Sedikit menengok ke belakang, sebagai dokter, Cucu mengawali kiprahnya dalam bisnis dunia kesehatan ini dengan membuka praktik pribadi sejak 1998. Sementara istrinya, Riesnita Yuniar Rachmiati, membuka praktik bidan swasta yang berlokasi di kediamannya, Jalan Bhayangkara 1, Pakujaya, Tangerang, Banten.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan layanan kesehatan, pada 2004, Cucu mengembangkan praktik bidan istrinya menjadi rumah bersalin. “Saya yang semula praktik di Rumah Sakit Bhakti Asih, bergabung di sini untuk memberikan layanan poli umum,” jelas Cucu.
Karena berkembang sesuai kebutuhan kesehatan masyarakat di sekitar rumah sakit , Cucu pun menyebut rumah sakit nya sebagai rumah sakit tumbuh. Secara bertahap pula, dia membeli lahan-lahan di sekitar rumah sakit nya dan mendirikan gedung-gedung baru.
Pada tahun 2010, rumah bersalin itu berganti status sebagai rumah sakit ibu dan anak (RSIA), tentu dengan penambahan sejumlah fasilitas dan layanan kesehatan. Kini, selain memberikan pelayanan berkaitan dengan kelahiran dan poli umum, RSIA Insan Permata juga menyediakan kamar operasi, laboratorium, rontgen, dan lainnya. Dokter yang berpraktik di rumah sakit seluas 2.000 m2 ini juga lebih lengkap, seperti poliklinik gigi, THT, kulit kelamin dan kecantikan, pusat khitan, dan lainnya.
Saban bulan, Cucu bilang, ada sekitar 3.000 hingga 5.000 pasien yang datang untuk melakukan pemeriksaan kesehatan/rawat jalan di rumah sakit nya. Dari jumlah itu, ada yang kemudian dirujuk untuk menjalani rawat inap. Yang pasti, rata-rata tingkat hunian kamar-kamar rawat inap mencapai 70%.
Untuk rawat inap, Insan Permata menyediakan 45 tempat tidur yang terbagi dalam beberapa kelas, mulai dari kelas 3, kelas 2, kelas 1, VIP dan VVIP. Untuk rawat inap, tarif harga per kamar mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 600.000.
Sayang, Cucu enggan menyebutkan omzet maupun keuntungan yang diperoleh dari bisnis rumah sakit ini. “Yang terpenting bagi kami adalah memberikan pelayanan terbaik untuk pasien,” ungkap dia.
Pengusaha lain yang sukses mendirikan rumah sakit ialah Bambang M. Roeslan. Awalnya, Bambang mendirikan Klinik dan Rumah Bersalin Bina Medika di Bekasi, Jawa Barat. Dalam pengembangannya, klinik tersebut berkembang menjadi RS Permata Bunda.
Ekspansi rumah sakit ini cukup gencar sejak dia menawarkan waralaba pada 2010. “Sekarang, kami punya tujuh cabang rumah sakit ,” ujar Bambang. Senada dengan Cucu, Bambang menuturkan, bisnis rumah sakit punya prospek yang cerah. Meski pemerintah terus mengupayakan tempat pelayanan kesehatan, tapi kebutuhan tumbuh lebih cepat.
Mengutip data BPS, misalnya. Dari total penduduk yang ada di Bekasi dan Tangerang, tingkat kunjungan untuk berobat masyarakat masih 20%. Total biaya kesehatan yang dikeluarkan sebesar Rp 3,1 triliun per tahun. “Penambahan tempat pelayanan kesehatan masih sangat diperlukan,” tegas Bambang.
Namun, untuk merintis bisnis rumah sakit , Bambang berpesan agar investor menganalisis pasar terlebih dulu. “Pemilik harus tahu siapa yang mau dibidik, lantas perhatikan apakah segmentasi pasarnya masuk atau tidak. Jangan lupa analisis perilaku pasar yang mau disasar, apakah mereka medical minded atau tidak,” ujarnya.
Setelah data terkumpul, yang tak kalah penting ialah membuat feasible study, berikut simulasi dengan asumsi versi optimistis dan realistis. “Hal ini penting dibuat agar pada saat versi optimistis tak tercapai, program contingency plan-nya sudah ada.
Setelah hal itu sudah clear, baru dibuat objektif: strategi dan action plan yang bergaris lurus dengan visi dan misi serta motto perusahaan,” terang pria 56 tahun ini. Bambang bilang, untuk terjun di bisnis rumah sakit memang tidak mutlak harus punya latar belakang medis. Bambang sendiri merupakan tenaga ahli di bidang marketing beberapa perusahaan farmasi. “Sebagai stake holder, sebaiknya berlatar belakang medis, tapi share holder tidak harus. Buktinya, pemilik Siloam Group bukan dokter,” jelas dia.
Menjaring pasien melalui asuransi
Keberadaan asuransi sebagai mitra rumah sakit ternyata menguntungkan berbagai pihak, termasuk pasien dan rumah sakit . Dari sisi pasien, asuransi memudahkan mereka untuk mendapat layanan kesehatan. Pasalnya, asuransi menanggung biaya kesehatan. Sementara, dari sisi rumah sakit , asuransi jadi daya tarik bagi pasien.
Semakin banyak asuransi yang dijaring rumah sakit , maka peluang untuk mendapatkan pasien pun terbuka lebar. “Sekarang era asuransi, karena rata-rata pasien memiliki asuransi, jadi kami berusaha untuk bekerjasama dengan asuransi,” ujar Cucu Setiawan, pemilik RSIA Insan Permata.
Akan tetapi, rumah sakit pun tak boleh sembarangan bermitra dengan asuransi. Pasalnya, ada beberapa asuransi yang malah merugikan. Bambang M. Roeslan, pemilik RS Permata Bunda, menuturkan ada beberapa asuransi yang sering terlambat membayar biaya kesehatan kliennya. “Bahkan ada yang sampai 6 bulan baru bayar. Saya juga pernah dapat kasus asuransi yang tak sanggup bayar sehingga tutup,” ucap dia.
Untuk menghindari itu, Bambang menyarankan agar rumah sakit selalu melakukan pemantauan piutang. Pemilik RS juga harus selektif dalam menjalin kerjasama dengan pihak asuransi. Perhatikan jejak rekam asuransi tersebut. Hingga saat ini, Permata Bunda bermitra dengan 90% asuransi swasta yang ada di dalam negeri. “Kami cut off asuransi yang mangkir dan kami imbau pasien untuk tidak lagi menggunakan asuransi itu karena kendala prosedur,” tukasnya.
Sumber: pemudawirausaha.com
Rumah Sakit di Inggris akan Kenakan Pajak Gula
London – Pajak gula akan diterapkan di rumah sakit-rumah sakit di Inggris guna mengatasi kegemukan. Badan layanan kesehatan Inggris atau National Health Service (NHS) England menyatakan, Senin (18/1), penerimaan dari pajak ini bisa mencapai 40 juta poundsterling per tahun.
Chief Executive Officer (CEO) NHS England Simon Stevens mengungkapkan, pajak tersebut akan dikenakan terhadap makanan ringan dan minuman berkadar gula tinggi yang dijual di mesin-mesin penjual serta kafe-kafe di rumah sakit. Pemberlakuannya tapi baru akan dimulai pada 2020.
Skema ini diperkirakan menghasilkan penerimaan antara 20 juta poundsterling (US$ 28,5 juta) dan 40 juta poundsterling.
“Kami akan mengonsultasikan dulu pengenaan pajak gula pada berbagai minuman dan makanan berkadar gula lainnya di seluruh level NHS. Pada 2020, kami akan menjalankannya sendiri atau perangkatnya disediakan oleh pihak rumah sakit,” ujar Stevens, seperti dikutip AFPdari wawancaranya dengan harian The Guardian.
NHS England tidak menyebutkan berapa besar pajak gula tersebut. Namun, lembaga-lembaga medis dan badan-badan amal kesehatan Inggris menginginkan sampai 20%.
Badan layanan kesehatan tersebut mengungkapkan, diet yang buruk sekarang sudah mengalahkan merokok sebagai penyebab utama timbulnya berbagai penyakit terkait gaya hidup.
“Merokok masih menjadi penyebab kematian 80.000 lebih orang per tahunnya, merokok masih menjadi persoalan sangat besar. Tapi diet ternyata sudah melebihinya. Kami semuanya di NHS tidak hanya bertanggung jawab mereka yang merawat para pasien tapi juga membuat perubahan lebih luas yang akhirnya akan meningkatkan kesehatan bangsa ini,” papar Stevens.
Iwan Subarkah/SN
Sumber: beritasatu.com
Pengelolaan Limbah Rumah Sakit di Pekanbaru Belum Baik
PEKANBARU– Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Pekanbaru mencatat bahwa Rumah Sakit yang beroperasi di Ibu Kota Provinsi Riau tersebut belum optimal dalam menangani limbah bahan beracun berbahaya (B3). Dan juga banyak yang tidak memberikan laporannya ke BLH Pekanbaru.
Seperti yang disampaikan Kepala BLH Pekanbaru, Zulfikri melalui Kepala Bidang AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), Suandhi kepada kru bertuahpos.com. “Selain Eka Hospital dan Santa Maria, rumah sakit lainnya untuk implementasi penanganan limbah yang mengandung B3 (bahan beracun berbahaya) masih belum baik,” katanya di ruang kerja, Senin (18/01/2016).
Hal ini sangat disayangkan Suandhi. Dirinya mengaku BLH Kota Pekanbaru selalu melakukan sosialisasi ke seluruh Rumah sakit, Rumah Bersalin dan jasa – jasa kesehatan yang ada di Pekanbaru tentang pengelolaan lingkungan. “Yang sering kita libatkan pihak hotel dan restoran, rumah sakit, serta bengkel. Karena kita menilai ada banyak B3 yang penanganannya harus dioptimalkan,” katanya.
Suandhi menuturkan memang hampir seluruh Rumah Sakit sudah memiliki dokumen yang lengkap seperti punya Intalansi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) tetapi belum bekerja secara optimal. “Seperti ada insenerator, tetapi saat kita lakukan pemantauan limbah padat yang seharusnya dibakar menjadi abu ternyata masih ada nampak jenisnya seperti botol kaca. Seharusnya kan sudah jadi abu,” paparnya.
Belum lagi petugas yang menangani limbah tersebut, kata Suandhi kebanyakan merangkap. “Jadi operatornya harus yang bersertifikasi, dan tidak merangkap,” katanya.
Selain itu dirinya mengatakan rumah sakit atau rumah bersalin di Pekanbaru banyak tidak melaporkan penanganan limbahnya kepada BLH. Padahal semestinya pelaporan dilakukan sekali dalam enam bulan.
Sehingga pihak BLH dapat memberikan masukan terkait pengelolaan limbah B3. “Yang rutin menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan hanya beberapa saja seperti Eka Hospital atau Santa Maria mereka komit. Sedangkan yang lain belum,” katanya.
Selain IPAL, pihak rumah sakit juga harus punya Upaya Pengelolaan Lingkunga (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL) serta Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). “Kalau alasannya membutuhkan biaya seharusnya bukan jadi alasan. Karena saat akan berinvestasi seharusnya sudah diperhitungkan biaya yang diperlukan untuk penanganan limbah dan lingkungan. Karena ini menyangkut kepentingan publik,” sebutnya.
Menurut WHO, beberapa jenis limbah rumah sakit dapat membawa risiko yang lebih besar terhadap kesehatan, yaitu limbah infeksius (15% s/d 25%) dari jumlah limbah rumah sakit. Diantara limbah¬limbah ini adalah limbah benda tajam (1%), limbah bagian tubuh (1%), limbah obat-obatan dan kimiawi (3%), limbah radioaktif dan racun atau termometer rusak (< 1%).
Pada dasarnya limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Limbah rumah sakit dapat berbentuk padat, cair, dan gas yang dihasilkan dari kegiatan diagnosis pasien, pencegahan penyakit, perawatan, penelitian, imunisasi terhadap manusia dan laboratorium yang mana dapat dibedakan antara limbah medis maupun non medis yang merupakan sumber bahaya bagi kesehatan manusia maupun penyebaran penyakit di lingkungan masyarakat. (Riki)
Sumber: bertuahpos.com
‘Peduli Sehat’ Bersama RS Evasari Jakarta
Peresmian RS Permata Cirebon Meriah
CIREBON, Rumah Sakit (RS) Permata Cirebon yang berada di Jalan Tuparev, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon telah diresmikan pada Minggu (17/1/2015). Peresmian yang digelar berlangsung sangat meriah.
Kegiatan tersebut diresmikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Alma Lucyati dan dihadiri Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadisastra, ketua DPRD Kota dan Kabupaten Cirebon, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, M Sofyan, tokoh-tokoh masyarakat, kepala puskesmas se-Kabupaten Cirebon, serta ratusan tamu undangan turut memeriakannya.
Disampaikan Direktur RS Permata Cirebon, dr Asad, berdirinya RS tersebut dengan kelas B akan mampu memberikan pelayanan pelangkap bagi masyarakat di se-Wilayah III Cirebon khususnya.
“Insya Allah keberadaan RS ini akan menjadi pelengkap pelayanan RS di Ciayumajakuning,” kata Asad.
Pihkanya juga telah menyiapkan RS Permata Cirebon tersebut dengan tenaga-tenaga atau Sumber Daya Manusia yang unggul yang nantinya mampu memberikan pelayanan secara maksimal bagi masyarakat.
“Kami sangat mengharapkan bimbingan, masukan pemda, tokoh masyarakat agar kami bisa mengemban amanah ini dengan baik,” ujar Asad.
Sementara itu, Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadisastra menyampaikan, di Kabupaten Cirebon, RSUD yang kelas B baru dua dan masih belum bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Maka dengan hadirnya RS Permata Cirebon sangat membantu pihaknya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
“Keberdaan RS Permata Cirebon ini bagi Pemda Kabupaten Cirebon sangat ditunggu karena sangat membantu. Mudah-mudahan dengan adanya RS ini masyarakat Kabupaten Cirebon tidak jauh-jauh harus ke Jakarta untuk mendapatkan pelayanan,” kata Sunjaya. (Ismail)
Sumber: kabar-cirebon.com
Tidak Memaksimalkan Layanan BPJS, Tipe RS Royal Prima Akan Diturunkan
Soalnya, rumah sakit yang beroperasi sejak Februari 2014 lalu dianggap belum mampu memberikan layanan yang prima kepada pasien peserta BPJS. Status rumah sakit tipe B yang disandang oleh Rumah Sakit Royal Prima, Jalan Ayahanda Medan dianggap tidak pantas.
Untuk itulah, Komisi B DPRD Kota Medan siap memberikan rekomendasi kepada Dinas Kesehatan Kota Medan untuk menurunkan tipe ruma sakit dari tipe b ke c bila manajemen rumah sakit itu tidak memaksimalkan layanan BPJSnya.
“Bila layanan BPJS di rumah sakit ini masih minim, bisa saja kira rekomendasikan tipe rumah sakit agar diturunkan. Soalnya, ada saja masyarakat yang mengeluhkan layanan BPJS di rumah sakit ini,” paparnya saat Kunker Komisi B DPRD Kota Medan ke rumah sakit Royal Prima, Jalan Ayahanda, Medan, Jumat kemarin (15/1/2015).
Sebagai anggota dewan dari Dapil III, Rajuddin Sagala sering menerima laporan dari masyarakat yang mengeluhkan layanan BPJS yang tidak maksimal di rumah sakit tipe b tersebut.
“Ada pasien yang berasal dari Dapil III ini mengadu ke saya bahwa dia tidak dilayani disini, walau sudah satu jam berada disini . Itu karena pasien itu menggunakan kartu BPJS. Tidak hanya itu, istri saya sendiri yang menggunakan kartu BPJS juga tidak dilayani saat mau berobat di malam tahun baru. Tidak ada satu dokter pun yang stand by disini,” paparnya.
Hal senada diungkapkan oleh anggota Komisi B DPRD Kota Medan, T Bahrumsyah yang ikut Kunker ke RS Royal Prima itu. T Bahrumsyah mengungkapkan adanya keluhan warga miskin yang berobat di rumah sakit Royal Prima itu namun belum terdaftar sebagai peserta BPJS. Memang, pihak rumah sakit menerima pasien itu dengan catatan, pihak keluarga langsung mengurus BPJS pasien miskin itu dalam tempo waktu 3×24 jam. Sayangnya, setelah satu hari pasien itu berada di rumah sakit itu, pasien itu meninggal dunia.
“Ketika keluarga pasien itu ingin mengambil mayatnya, pihak rumah sakit ini tidak memperbolehkannya dan harus membayar sejumlah uang sekitar Rp 5 juta dengan catatan uang itu akan dikembalikan setelah BPJSnya siap. Sayangnya, setelah BPJSnya siap, uang yang sudah dibayarkan ke rumah sakit ini tidak juga dikembalikan ke keluarga yang telah meninggal itu. Untuk itulah, saya mempertanyakan kejelasan masalah itu disini,” paparnya.
Menanggapi hal itu, Wakil Direktur Umum dan Keuangan Rumah Sakit Royal Prima, Rosita Ginting S mengucakan terima kasih atas masukan yang diberikan oleh para anggota dewan yang berkunjung ke rumah sakit tersebut.
Sebagai rumah sakit yang baru beroperasi sejak Februari 2014 lalu, Rosita mengaku belum maksimal dalam memberikan pelayanan kepada pasiennya. Namun demikian, manajemen rumah sakit itu berkomitmen untuk terus meningkatkan layanannya, khususnya layanan kepada pasien peserta BPJS.
“Kami menampung seluruh masukan yang diberikan kepada kami. Masukan-masukan ini menjadi bahan bagi kami untuk meningkatkan pelayanan kepada seluruh pasien,” akunya.
(Mtc)
Sumber: matatelinga.com

Pakistan belum memiliki sistem penelusuran error pada sektor pelayanan kesehatan publiknya, juga kekurangan literatur mengenai budaya pelaporan error dalam pelayanan kesehatan. Perawat merupakan lini terdepan pelayanan di RS yang mengetahui dan banyak terekspos budaya organisasi maupun error sharing. Untuk mengukur enam dimensi budaya organisasi, penelitian ini menggunakan “Practice Environment Scale-Nurse Work Index Revised“. Sebanyak tujuh pertanyaan digunakan untuk mengukur budaya pelaporan error. Penelitian ini melibatkan 309 perawat dari berbagai tingkatan di RS. Hasilnya menunjukkan ada tiga area yang berada pada peringkat terburuk, yaitu (i) melaporkan kesalahan budaya, (ii) kepegawaian dan kecukupan sumber daya, dan (iii) nurse foundation untuk kualitas pelayanan. Hasil regresi multivariabel menunjukkan bahwa enam kategori budaya organisasi, termasuk: (1) kemampuan manajer perawat, kepemimpinan dan dukungan, (2) partisipasi perawat dalam urusan rumah sakit, (3) partisipasi perawat dalam pemerintahan, (4) nurse foundation untuk kualitas pelayanan , (5) hubungan perawat-rekan kerja, dan (6) perawat staf dan kecukupan sumber daya, secara positif terkait dengan budaya pelaporan error. Selain itu, ditemukan bahwa perawat yang sudah menikah dan perawat kontrak permanen lebih mungkin untuk melaporkan error di tempat kerja. Selengkapnya silakan klik 





