|
Penyusunan Unit Cost untuk Pengendalian Biaya
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah memasuki tahun kelima. Melalui JKN, diharapkan seluruh masyarakat indonesia dapat mengakses fasilitas layanan kesehatan. Pemerintah menargetkan pada 2019 seluruh masyarakat indonesia terdaftar sebagai peserta BPJS. Pelaksanaan JKN ini erat kaitannya dengan mutu dan efisiensi yang dicanangkan pemerintah melalui Kementrian Kesehatan. Mutu dan efisiensi selalu melekat pada fasilitas layanan kesehatan atau rumah sakit. Rumah sakit dituntut untuk bisa melayani pasien atau peserta BPJS dengan baik tentunya dengan tarif INA CBG’s yang sebagian tarifnya dimungkinkan lebih kecil dari unit cost rumah sakit. Jika terjadi hal seperti itu maka rumah sakit harus memikirkan agar biaya yang telah dikeluarkan untuk pelayanan kesehatan bisa tertutup dengan tarif INA CBG’s. Pendampingan Penyusunan Rencana Operasional RS Rujukan PKMK FK UGM menggelar webinar dengan tema pendampingan penyusunan rencana operasional RS Rujukan yang dimulai pada Senin (15/1/2018). Pendampingan ini hanya akan menampung 10 RS per kelas, yang meliputi kelas Rujukan Nasional, Rjukan Provinsi dan Rujukan Regional, agar proses pendampingan lebih fokus. Tujuan pendampingan ini agar RS mampu menyusun menyusun rencana operasional berdasarkan Renstra masing-masing. Selengkapnya, simak di sini |
|||
| Website ini akan update setiap Selasa pagi. Nantikan Informasi terbaru setiap minggunya. | |||
|
+ Arsip Pengantar Minggu Lalu |
|||
|
|
Outlook Bidang Manajemen Rumah Sakit Tahun 2018 |
|
Kaleidoskop Divisi Manajemen Rumah Sakit 2017 |
RS PKU Muhammadiyah Gelar Periksa Kesehatan Gratis
SOLO — Memperingati hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-53,Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta menggelar pemeriksaan kesehatan geratis bagi warga Solo. Pemeriksaan kesehatan berlangsung di acara Car Free Day (CFD) Jalan Slamet Riyadi, pada Ahad (12/11).
Periksa kesehatan gratis yang diberikan meliputi pemeriksaan tensi tekanan darah dan pemeriksaan gula darah. Warga pun antusias mendatangi stand pemeriksaan kesehatan tersebut. Mereka mengantre rapi menunggu giliran untuk diperiksa.
Salah satu pengunjung, Slamet (50 tahun) merasa terbantu dengan adanya periksa kesehatan gratis itu, terutama pemeriksaan laboratorium gula darah. Sebab untuk cek glukosa darah biasanya Slamet harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 30 ribu. Mumpung ini gratis dan saya kebetulan lewat jadi sekalian mampir saja. “Mau beli alatnya mahal, kalau periksa ada biayanya juga tapi ini gratis,” tutur Slamet.
Begitupun dengan Ami Hamdi (42 tahun) yang ikut mengantre untuk memeriksakan kesehatannya. Ia berinisiatif untuk datang ke standpemeriksaan kesehatan PKU Muhammadiyah setelah mengalami sakit kepala pada malam harinya. “Semalem sampai tak bisa tidur, sakit kepalanya. Pagi katanya cek gratis. Ya saya datang saja,” katanya.
Usai periksa kesehatan, warga yang mengalami gangguan kesehatan fisik tertentu mendapat rekomendasi untuk mengkonsumsi obat-obat sesuai penyakit yang dideritanya. Selain periksa kesehatan gratis, RS PKU Muhammadiyah juga mengisi Hari Kesehatan Nasional dengan beragam kegiatan seperti senam dan konsultasi kesehatan meliputi konsultasi gizi anak, psikologi, konsultasi anak, konsultasi kebinanan dan penyakit kandungan, konsultasi jantung, laktasi dan ASI Ekslusif. Pada kesempatan itu, RS PKUMuhammadiyah juga memperkenalkan Club Parenting Smart Mom Solo, sebuah wadah bagi ibu-ibu untuk saling berbagi pengetahuan tentang pengasuhan dan pendidikan anak. Diharapkan kehadiran Club Parenting itu dapat menambah wawasan orang tua terkait tumbuh kembang anak.
“Ini menjadi wadah baru terutama bagi ibu-ibu yang konsen terhadap tumbuh kembang anak. Apalagi Solo merupakan kota ramah anak, PKU Muhammadiyah mendukung itu maka kita pun menjadi rumah sakit yang ramah anak,” tutur Kepala Komunikasi RS PKU Muhammadiyah, Betty Andriani.
Disamping itu, Betty mengatakan sebagai bentuk simpatik bagi pasien, RS PKU Muhammadiyah juga membagi-bagikan cindera mata bagi pasien rawat jalan.
Sumber: republika.co.id
Pasien BPJS tak Boleh Dipulangkan dari Rumah Sakit Sebelum Sembuh
BATUSANGKAR – Bagi pasien BPJS yang dirawat di rumah sakit tidak boleh dipulangkan sebelum sembuh. Pihak RS dilarang menyuruh pasien yang baru dirawat tiga atau empat hari pulang ke rumah, apa lagi kondisinya belum pulih seutuhnya.
“Dalam kesepakatan tertulis antara BPJS dan pihak rumah sakit bersangkutan. Kecuali kalau rumah sakit itu tidak bekerja sama dengan BPJS, “terang Anggota Komisi IX DPR H. Suir Syam, Minggu (12/11).
Ia menegaskan hal ini menyusul pertanyaan salah seorang kader BKKBN yang menanyakan, adanya pasien rumah sakit disuruh pihak rumah sakit pulang ke rumah dalam kondisi belum sembuh, padahal baru dirawat empat hari.
Dia mengharapkan pihak rumah sakit mulai direktur hingga para medis mesti memahami peraturan tersebut, sehingga tidak terjadi saling tuntut menuntut ke pengadilan nanti.
“Kalau masih ada masyarakat atau keluarga pasien yang menemukan tindakan sewenang-wenang semacam itu dari pihak rumah sakit, tolong minta surat pemulangan itu kepada pihak rumah sakit. Diminta kepada masyarakat harus berani menanyakan atau menantang pihak rumah sakit, “kata dokter ini di sela-sela sosialisasi KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) Kreatif di hadapan para kader BKKBN di kantor camat Limokaum, baru-baru ini.
Kepala perwakilan BKKBN Sumbar H Syahrudin senang dengan kehadiran anggota DPR H Suir Syam yang mensosialisasikan KIE Kreatif dan program BKKBN,sehingga akan menarik minat ibu-ibu menyemarakkan program KB.
Khusus di Tanah Datar, kata dia, berdasarkan laporan Kadinas PMDPPKB Tanah Datar Adrion Nurdal,peserta KB sudah mencapai 67 persen, dan diharapkan menjelang akhir Desember 2017 ini meningkat. Untuk itu perlu kerja ektra keras dari kader-kader BKKBN untuk merealisasikan target peserta KB itu.
Bupati Tanah Datar diwakili Kadinas PMDPPKB, Adrion Nurdal menilai sosialisasi KIE Kereatif cukup mengena karena aktivitas itu bermanfaat bagi semua pihak terutama kader Bkkbn, peerta KB dan masyarakat. (pendi)
Sumber: hariansinggalang.co.id
Rumah Sakit Wajib Tegakkan SOP
Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandarlampung serta beberapa rumah sakit swasta belakangan benar-benar mendapat sorotan banyak pihak. Selain datang dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung serta DPRD Lampung, tanggapan terkait kinerja rumah sakit di provinsi ini juga datang dari kalangan akademisi.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan managemen rumah sakit guna mengurangi kesalahpahaman antara pihak rumah sakit dan keluarga pasien. Demikian diungkapkan Eko Budi Sulistio, pengamat kebijakan Publik dari Universitas Lampung (Unila).
Pertama, pihak rumah sakit wajib memperjelas Standar Operasional Prosedur (SOP) yang harus benar-benar ditaati pegawainya. ’’Di era modern saat ini, semua pelayanan harusnya punya SOP sendiri. Agar tidak ada lagi kesan nego-nego dengan pasien di akhir pelayanannya,” ujar Eko.
Dia berpesan pihak rumah sakit lebih baik mengedepankan transparansi biaya sejak awal. Hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Pelayanan Publik nomor 25 tahun 2009.
Kemudian, pihak rumah sakit diharapkan untuk tidak pernah menolak pasien. Dalam kondisi apapun. Terlebih untuk Bandarlampung banyak rumah sakit yang biasanya ramai pasien rujukan dari daerah.
Selanjutnya, seluruh petugas yang berhubungan langsung dengan pelayanan masyarakat harus diberikan pelatihan khusus. Tujuannya agar tidak hanya pimpinan rumah sakit saja yang tahu SOP yang berlaku. ’’Kalau nantinya ada kekeliruan antara BPJS dan pasien, harusnya bisa diselesaikan menyusul. Jangan seperti contoh terakhir tak bisa membawa pulang anak jenazah dengan ambulans yang akhirnya menggunakan travel,” sesalnya.
Padahal, sambung dia, pelayanan kesehatan menjadi prioritas. Apalagi, BPJS sebenarnya sudah bisa mengkover semua biaya. Seluruh warga yang ikut serta dalam BPJS mandiri pun diwajibkan membayar iuran per bulannya.
Menyikapi polemik yang kerap membuntuti kinerja rumah sakit, Pemprov Lampung menyakatakn ambil sikap. Khusnya menindaklanjuti tragedi penahanan kepulangan pasien RSUDAM. Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra Hery Suliyanto berjanji memanggil manajemen RSUDAM untuk mendapat kejelasan terkait hal tersebut.
’’Insya Allah Senin (13/11) kami panggil (manajemen RSUDAM) untuk diklarifikasi mengapa sampai terjadi seperti itu,” ujarnya kepada awak media di kompleks sekretariat Provinsi Lampung Jumat (10/11).
Mantan kepala Dinas Pendidikan Lampung ini mengatakan, seharusnya hal itu tidak terulang. Sebaliknya, ada perlakuan khusus yang harus diberikan untuk pasien kurang mampu. Terutama yang mengalami persoalan administrasi pelayanan BPJS Kesehatan.
’’Saya kira untuk hal-hal yang seperti itu ada anggarannya. Untuk orang yang nggakmampu itu ada plot anggarannya. Mengapa tidak digunakan?” sesalnya.
Soal punishment yang kemungkinan diberikan, dia mengaku akan mengkonfirmasinya lebih dahulu terkait bagaimana detail kejadian sebenarnya. Di mana menurut informasi yang didapatnya sang pasien sudah ada yang menjamin. ’’Seharusnya memang tidak seperti itu. Karena bisa menjelekkan nama baik Gubernur. Mengenai bentuk teguran, ya kita panggil dulu saja,” kata dia.
Sementara, anggota komisi V DPRD Lampung Garinca Reza P. mengaku sangat menyayangkan kejadian ini. Sebab, dalam kurun beberapa waktu belakangan, kejadian penelantaran pasien tidak hanya terjadi sekali oleh manajemen rumah sakit yang menjadi rujukan seluruh Lampung tersebut. ’’Sudah seharusnya ada punishment yang diberikan kepada manajemen karena tidak hanya satu kali,” kata dia.
Dirinya mengaku heran, jika memang tersedia anggaran untuk permasalahan seperti ini, mengapa tidak diterapkan. Sebab, jika anggaran sudah masuk dalam APBD sesuai dengan DIPA yang ada, harus dikeluarkan sesuai dengan perencanaan. ’’Kalau tidak digunakan kan membingungkan. Apakah kurang informasi, atau seperti apa?,” sesalnya.
Dia juga mengatakan dalam waktu dekat akan memanggil pihak RSUDAM untuk mengklarifikasi. ’’Saya akan lapor pimpinan untuk menindaklanjutinya. Tentu ini tanggungjawab kita juga sebagai legislatif,” kata dia.
Beruntung, pasien atasnama Indarti, warga Kelurahan Gapura, Kotabumi, Lampung Utara yang sempat tertahan di ruangan Delima kelas 1 C akhirnya bisa pulang ke kampung halamannya, sekitar pukul 10.00 Wib Jumat (10/11). Itu setelah biaya administrasi ditanggung donatur dari Forum Masyarakat Transparansi Lampung (FMTL). Hal itu dibenarkan Humas RSUDAM Akhmad Safri. ’’Ia tadi (kemarin, Red.) pasien Indarti telah keluar dan biayanya telah dibiayai donatur,” terangnya. (rma/sur)
Sumber: radarlampung.co.id
Dijamin BPJS Kesehatan, Rumah Sakit Kebanjiran Pasien Cuci Darah
Jakarta – Meski masih banyak persoalan di dalam pelaksanaannya, program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang dikelola BPJS Kesehatan membawa manfaat bagi masyarakat yang membutuhkan. Mereka yang sebelumnya sulit mendapatkan layanan pengobatan karena kendala biaya atau minimnya akses terhadap fasilitas kesehatan, sekarang lebih dimudahkan. Salah satunya adalah pasien hemodialisa atau cuci darah.
Sejak program JKN-KIS diberlakukan 1 Januari 2014, euforia pasien hemodialisa untuk berobat ke rumah sakit semakin meningkat. Salah satu rumah sakit yang kebanjiran pasien hemodialisa adalah Rumah (RS) Kartika Pulomas, Jakarta Timur.
Direktur RS Kartika Pulomas, Feronika Hardanti, mengatakan, hemodialisis adalah jenis terapi yang berbiaya mahal. Biaya sekali cuci darah sebesar Rp 1 juta, dan 80 persen pasien menjalaninya seumur hidup. Dulu, yang melakukan cuci darah kebanyakan yang mampu secara finansial. Banyak pasien sedapat mungkin menghindari cuci darah.
Tetapi, saat ini terapi cuci darah tersebut sudah ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Pasien gagal ginjal tidak perlu dipusingkan dengan biaya cuci darah yang dijalaninya seumur hidup. “Semua pasien cuci darah yang kami layani adalah peserta BPJS Kesehatan,” kata Feronika dalam keterangan pers di Jakarta, Minggu (12/11).
Menurut Feronika, RS Kartika ini belum lama melayani pasien cuci darah. Meski begitu, jumlah pasien gagal ginjal yang menjadi pasien tetap cuci darah di rumah sakit tersebut jumlahnya sudah cukup banyak. Mereka tidak hanya berasal dari Jabodetabek, tapi juga daerah lain.
“Saat ini ada 48 pasien kami yang menjalani cuci darah rutin dua kali dalam seminggu. Tapi dengan 11 mesin, kami baru bisa melayani 60 persen dari kebutuhan. Kami rencana akan menambah 18 mesin lagi,” kata Feronika.
Beberapa pasien, kata Feronika, harus mengantre untuk cuci darah karena keterbatasan fasilitas di rumah sakit. Tidak semua rumah sakit juga memiliki fasilitas hemodialisa. Pasien baru yang mengantre atau menunggu giliran untuk cuci darah mencapai 20-25 orang.
Feronika menambahkan, dengan penggunaan peralatan baru dan serba canggih, pasien cuci darah peserta BPJS Kesehatan tidak dipungut biaya tambahan apapun. Mereka bisa melakukannya dengan gratis sepanjang pembayaan iuran ke BPJS Kesehatan tidak menunggak atau bermasalah.
Cuci darah adalah terapi yang harus dijalani oleh pasien gagal ginjal. Ini adalah terapi teknologi tinggi dimana darah dialirkan melalui mesin yang dapat menyaring sisa metabolisme, zat kimia yang tidak dibutuhkan agar keluar dari tubuh. Hemodialisa berfungsi menyingkirkan sisa metabolisme tubuh, mengeluarkan kelebihan air dalam tubuh serta menjaga keseimbangan zat kimia, seperti garam dan air di dalam tubuh.
Pada beberapa kasus ginjal perlu dilakukan cuci darah. Tetapi bila penyebab penyakit ginjalnya dapat diobati maka funsgi ginjal akan kembali membaik dan tidak perlu cuci darah. Pasien cuci darah kebanyakan berusia produktif, dan sudah bekerja.
Sumber: beritasatu.com
Kapal Rumah Sakit Terapung Layani Pasien Kepulauan Terluar di Sumenep
SURABAYA – Kapal Rumah Sakit Terapung (RST) Ksatria Airlangga yang digagas alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya akan berlayar ke kepulauan di Sumenep, Jawa Timur, Sabtu (11/11/2017).
Pelayaran ini merupakan pelayaran pertama setelah dilakukan percobaan berlayar untuk membantu pembentukan rumah sakit di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik.
“Di Sumenep banyak kepulauan yang tidak terjangkau fasilitas kesehatan. Kami ingin membantu pemerintah daerah setempat untuk mengatasi kesenjangan fasilitas kesehatan yang selama ini tidak bisa teratasi,” ungkap Ketua Yayasan Ksatria Medika Airlangga, dr Christijogo Sumartono di sela pemberangkatan kapal tersebut di Surabaya North Quay.
Sumenep dipilih hasil koordinasi dengan Dinas Kesehatan Sumenep, yang menyarankan kapal RST untuk pergi ke Pulau Kangean, Sapudi dan Masalembu, yang merupakan wilayah terluar di Provinsi Jawa Timur yang dihuni banyak penduduk.
“Pada Bulan November, Desember dan Januari, Masalembu tidak bisa dilalui apa-apa, putus. Selain angin, ombak besar dan kapal pun tidak bisa mendarat di sana,” jelasnya
Christijogo menjelaskan, untuk sementara kapal RST hanya membawa peralatan dasar pada pembedahan.
Karena operasi-operasi yang ditangani berkisar operasi hernia, usus buntu, persalinan dan katarak.
Namun pihaknya berjanji akan segera melengkapi dengan alat pembedahan pada penyakit spesialis. Sebab beberapa spesialis juga telah diterjunkan sebagai dokter kapal.
“Beberapa kasus sudah dipilih dan disesuaikan dengan perlengkapan kami agar tidak mubazir. Memang di kepulauan ada beberapa penyakit, yang paling banyak penyakit diabetes, hipertensi. Jadi nanti kami akan membawa empat dokter spesialis, perawat dan lima kru kapal,” ujarnya.
Di dalam kapal tersebut dilengkapi kamar operasi yang sengaja didesain untuk menuntaskan segala masalah kesehatan di pulau tersebut, termasuk tindakan operasi karena tentu saja di kepulauan itu tidak selengkap di Pulau Jawa.
Kapal RST juga melakukan pelayanan mulai dari promotif, preventif, dan kuratif sekaligus rehabilitatif.
“Beberapa kasus sudah dipilih dan disesuaikan dengan perlengkapan kami agar tidak mubazir. Memang di kepulauan ada beberapa penyakit, yang paling banyak penyakit diabetes, hipertensi. Jadi nanti kami akan membawa empat dokter spesialis, perawat dan lima kru kapal,” ujarnya.
Di dalam kapal tersebut dilengkapi kamar operasi yang sengaja didesain untuk menuntaskan segala masalah kesehatan di pulau tersebut, termasuk tindakan operasi karena tentu saja di kepulauan itu tidak selengkap di Pulau Jawa.
Kapal RST juga melakukan pelayanan mulai dari promotif, preventif, dan kuratif sekaligus rehabilitatif.
Kalau melihat jumlah penduduknya, menurutnya di Sapudi ada 25 ribu jiwa, paling tidak ada 30 kasus yang harus ditangani dan itu butuh waktu tiga hari.
Selain mengobati, pihaknya juga ingin membina kesadaran masyarakat.
“Kami ingin menguatkan pemerintah setempat, kami hadir bukan untuk menghilangkan arti pemerintah, justru menjembatani, minimal pelayaran ini akan berlangsung selama seminggu,” tutur Chirstijogo.
Kedepannya, pelayaran kapal ini direncanakan akan merambah hingga Maluku.
Meskipun saat ini masih berkonsentrasi dengan sejumlah pulau di Jawa Timur. (Surya/Sulvi Sofiana)
Sumber: tribunnews.com
Fortis Hospital case: The other perspective
In the wake of a seven-year-old girl’s death after she was admitted to Fortis Hospital-Gurugram for treatment of dengue and the family getting a bill of Rs 16 lakh, everybody seems to be aware of the truth. But to honestly examine the facts in a methodical manner has not been attempted at all. Doctors have been unilaterally judged by Aamir Khan, judiciary, union and state governments, media and almost everyone, writes Dr Arun Kochar, Senior Consultant, Cardiology, Fortis Hospital-Mohali.
A lot has been written, debated and criticised about doctors and hospitals recently and everyone seems to be vociferous about the health facilities and care givers. Doctors and hospitals are actually being portrayed worse than terrorists and the entire Fourth Estate rhetoric is focused on the irregularities, negligence and exorbitant cost of healthcare services.
In its enthusiasm to punch the medical community to pulp, the entire nation, including the government, is hyperbole on the supposed absolute apathy and callous, heartless attitude of the medical fraternity. It is without a doubt that loss of life due to negligence or absence of fundamental care to save a life is to be condemned and deplored in the strongest possible terms. The outcry in such a situation is overtly reasonable and needs to be scrutinised in detail. At the same time, going with the same rational would it not be public vigilantism to suspiciously doubt all doctors and hospitals? Would not that be equivalent of “lynching” without considering the counter argument?
Everybody seems to be aware of the truth, but to actually honestly examine the facts in a methodical manner has not been attempted at all. Doctors have been unilaterally judged by Aamir Khan, judiciary, union and state governments, media and almost everyone.
The present healthcare in India is actually a sad reflection of years of governmental negligence and insensitivity. Even after 70 years of independence who is to blame when India spends 1% of its GDP on health. A recent research by ‘Lancet’ shows India ranks 154 out of 195 countries in terms of access to healthcare, which is worse than Bangladesh, Nepal, Ghana and Liberia. Who is to be blamed when only 30% of health care is managed by government?
The gap for the need has been filled adeptly by the private sector. Hospitals like Fortis have created a niche for themselves globally where not only quality services are being offered but standards of care are also equivalent to Joint Commission International (JCI). Maintaining quality criteria is a huge task and involves millions. Sadly, nobody is willing to pay the cost of maintaining standards of care.
No politician studies for 12 years to start working as a professional. An average doctor needs to keep studying even after the retirement age. Not to mention long duty hours, threatening attention from patient’s relatives, litigation fears and rising cost of living. It has been argued that not all doctors are ethical. Are all teachers, lawyers, politicians, bureaucrats, police personnel or businessmen principled? Doctors are part of the society and perhaps are as blameworthy as any other.
We would have been convinced of Aamir Khan’s intentions had he done up with a show on casting couch in films or
delinquency of police force or rampant legal hassles for a common man.
There is also a great hue and cry over bill that a patient has to pay in private hospitals. Patients compare quality of care with the Western standards and cost of the treatment with Indian public hospitals. Most of these government hospitals are short of manpower, equipment, basic facilities and oxygen.
In Indian private hospitals cost of bypass surgery is 40 times lower than USA and they are able to maintain same indices of patient outcome in terms of mortality and morbidity. Could government bear partial or total cost of the patients getting treated at private hospitals? Perhaps global insurance for all citizens would be a minimal payback by the government to the middle class tax paying Indians.
Lastly, we need to remember that doctors are as human as any other professional who are trying to do their best. Modern medicine is a highly evolved science where sensitive investigations, evidence based treatment algorithms and complex interrelated specialties are involved. Maintaining quality is not a low cost affair, especially when a human life is involved.
There is intricate interdependence and close relationship amongst all these and one hospital bill may not be interpreted, judged and prosecuted by a media overstatement.
Source: eletsonline.com
Bekasi punya rujukan baru pengobatan jantung
JAKARTA. Masyarakat di wilayah Bekasi memiliki rujukan baru jika ingin mendapatkan pengobatan penyakit jantung. Sebab, kini masyarakat bisa menjalani pengobatan dan layanan kesehatan di rumah sakit Awal Bros Bekasi Timur yang memiliki klinik kardiovaskular yakni sebagai fasilitas untuk penanganan dini pasien yang terserang penyakit jantung.
CEO Rumah Sakit Awal Bros dr. Ferdy Tiwow menyampaikan penyakit jantung masih menjadi momok bagi masyarakat perkotaan, termasuk di wilayah Bekasi. Kondisi tersebut merupakan konsekuensi yang diperoleh dari perubahan pola hidup masyarakat perkotaan yang cenderung tidak dijaga dengan baik.
Penanganan tidak bisa telat dan harus segera, karenanya kami hadir di wilayah Bekasi Timur untuk menjadi rumah sakit tujuan penanganan pasien penyakit jantung. Masyarakat perkotaan kerap terserang dengan pola hidup tidak teratur seperti makan tidak teratur, kurang istirahat, dan jarang berolahraga, jelas dia saat meresmikan RS Awal Bros Bekasi Timur, Rabu (1/11).
Menurut Ferdy, pada penanganan penyakit jantung, RS Awal Bros Bekasi Timur saat ini masih melayani pemasangan ring pada pasien penyakit jantung, setelah sebelumnya pasien telah diberikan rujukan di rumah sakit lainnya. Namun kedepannya rumah sakit ini akan memberikan pelayanan yang lengkap dalam memberikan pengobatan kepada pasien yang terkena serangan jantung.
Ferdy melanjutkan, tercatat di setiap bulannya sekitar 120 pasien penderita penyakit jantung yang menjalani operasi pemasangan ring di rumah sakit Awal Bros Bekasi Barat.
Selain siap melayani pasien penyakit jantung yang akan menjalani pemasangan ring, pihaknya juga tengah bersiap melayani operasi bypass. Namun layanan bypass baru diterapkan di RS Awal Bros Bekasi Barat, sedangkan RS Awal Bros Bekasi Timur akan melayani pemasangan ring dulu sementara ini,” katanya.
Rumah sakit yang baru diresmikan oleh Walikota Bekasi Rahmat Efendi ini memiliki 8 lantai yang memberikan layanan kesehatan bukan hanya khusus penyakit jantung tapi juga salah satunya layanan kesehatan ibu dan anak. RS Awal Bros Bekasi Timur berada di Jalan Joyomartono, Kacamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi akan melengkapi keberadaan rumah sakit yang telah ada sebelumnya di wilayah Bekasi Barat.
Dalam kesempatan yang sama, COO RS Awal Bros Leona Karnali menyebutkan RS Awal Bros Bekasi Timur dilengkapi dengan Multi Slice CT Scan 128 slice yang berfungsi sebagai alat deteksi bagian dalam tubuh termasuk jantung. Apalagi tambahnya, RS Awal Bros khusus mengembangkan bidang jantung agar pasien jantung dapat segera ditangani, dapat menjalankan kateterisasi jantung dan juga intervensi jantung koroner (PCI) tanpa harus keluar negeri.
Saat ini RS Awal Bros memberikan layanan kesehatan melalui 11 rumah sakit yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia diantaranya Batam, Bekasi Barat, Bekasi Timur, Pekanbaru, Tangerang, Jakarta, Makassar, Ujung Batu, Panam dan Palangka Raya (coming soon). Rumah sakit yang telah mendapatkan akreditasi JCI berada di wilayah Tangerang, Bekasi, Batam dan Pekanbaru.
Mendapatkan akreditasi JCI adalah proses yang panjang, namun hal ini merupakan value yang bermanfaat. Hal ini pada akhirnya dapat menciptakan kepuasan masyarakat terhadap RS Awal Bros sehingga menciptakan trust masyarakat kepada kami sebagai bagian dari pelaku industri pelayanan kesehatan di Indonesia, jelasnya.
Sumber: kesehatan.kontan.co.id
Rumah Sakit Daerah Sukoharjo Ganti Nama jadi RSUD Ir. Soekarno
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani, meresmikan perubahan nama rumah sakit umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sukoharjo menjadi RSUD Ir. Soekarno.
Penggunaan nama proklamator sebagai identitas rumah sakit, membawa konsekuensi yang tidak ringan. Salah satunya adalah menjaga kredibilitas dari nama yang disandang.
“Tadi saya bertanya kepada pasien mereka cukup puas dengan pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit, serta pelayanan Jamkesmas dan BPJS kesehatan berjalan sebagaimana mestinya,” kata Puan, Rabu (8/11), melalui rilis media.
Peresmian perubahan nama RSUD yang terletak di Jalan Dr. Moewardi yang digelar Selasa (7/11) kemarin itu ditandai penandatanganan prasasti dan penekanan tombol yang membuka kain selubung patung Ir. Soekarno oleh Puan.
Puan juga memberikan bantuan berupa pemberian makanan tambahan (PMT) untuk anak sekolah, balita, dan ibu hamil sebanyak 1,5 ton.
Bantuan lainnya berupa program keluarga harapan (PKH) untuk 30 kelompok usaha bersama senilai Rp 20 juta, ODF (Pembangunan Jamban) kepada 3.451 KK dengan total nilai Rp 5,17 miliar, Sertifikat Proda 485 sebanyak sertifikat, MOP (KB bagi bapak-bapak) sebanyak 6 orang, dan Paket Sembako untuk 147 keluarga miskin dengan nilai Rp 150.000 per paket.
Menurut Puan, mutu dan kualitas pelayanan kesehatan itu dapat diukur melalui akreditasinya. RSUD Kabupaten Sukoharjo lolos dalam standar akreditasi penilaian tertinggi.
“Jadikan rumah sakit tak hanya sebagai rujukan orang yang sakit, namun sekaligus fungsikan peran rumah sakit untuk sarana edukasi kesehatan. Buka rumah sakit bagi masyarakat yang ingin berkonsultasi mencegah sakit dengan upaya promotif preventif,” katanya.
Yang tak kalah penting, rumah sakit juga harus mampu menunjukkan keramahan dalam pelayanan, sehingga tak membuat masyarakat takut berobat dan khawatir ditolak atau tak dilayani. Oleh karena itu pelayanan kepada masyarakat harus dioptimalkan.
“Pengelolaan SDM rumah sakit harus prima, layani pasien dengan senyum, ikhlas, dan sabar. Pelayanan yang baik tak hanya pada saat pengobatan, namun berbagai layanan lainnya,” kata Puan. [DAS]
Sumber: koransulindo.com
Dinkes Kabupaten Bekasi: 19 Rumah Sakit Belum Layanani BPJS
CIKARANG — Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat mencatat dari 45 rumah sakit swasta yang ada di daerah setempat, 19 RS di antaranya belum melakukan kerja sama dengan Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Kami masih mengupayakan agar 19 RS swasta tersebut juga berpartisipasi dan bekerja sama dengan BPJS,” kata Sekretaris Dinkes Kabupaten Bekasi, Sry Eni di Kabupaten Bekasi, Rabu.
Dikatakan, dalam regulasi kerja sama BPJS hanya tertulis bahwa rumah sakit umum milik daerah setingkat provinsi, kota maupun kabupaten yang lebih dianjurkan.
Adanya acuan tersebut berarti rumah sakit swasta tidak diharuskan, namun bila hendak mengikutinya maka akan jauh lebih baik.
Selain itu dalam hal ini tidak bisa memaksakan jika RS swasta menolak kerjasama dengan BPJS. Dikarenakan tidak ada aturan arau regulasi yang mengharuskan untuk mengikuti kerjasama tersebut.
Tetapi guna menyikapi beberapa masalah yang menyangkut bidang kesehatan maka Dinkes Kabupaten Bekasi sedang melakukan upaya agar rumah aakit swasta juga bila memberikan pelayanan kepada peserta BPJS.
Ia menambahkan adanya keterbatasan sarana dan prasarana maupun sumber daya manusia pada rumah sakit swasta yang menyebabkan kerjasama tersebut belum bisa maksimal.
Namun hal itu bukan menjadi permasalahan utama yang mendasar dan sebagai jawaban dari 19 rumah sakit swasta tersebut untuk melakukan kerja sama dengan BPJS.
Tetapi lebih kepada cara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berbentuk kesehatan.
Dalam hal ini juga mempunyai harapan agar pada Tahun 2018 semua rumah sakit yang ada di kabupaten Bekasi sudah bekerjasama semua dengan BPJS.
“Sehingga dengan harapan tidak ada lagi masyarakat peserta BPJS ditolak, lantaran RS itu belum ada perjanjian dengan BPJS,” katanya.
Eny menjelaskan upaya dan sosialisasi kepada pelaku usaha bidang kesehatan ini terus dilakukan dan berupaya agar dapat melakukan kerjasama.
“Saat ini terus kami upayakan agar ke 19 RS itu bisa bekerjasama dengan BPJS. Mudah-mudahan tahun 2018 semua RS sudah bekerjasama dengan pemerintah melalui BPJS,” katanya (Ant).
Sumber: cendananews.com











