Sikap Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya belum berubah. Surat izin praktik (SIP) yang penerbitannya dikeluhkan kalangan dokter tidak akan dikeluarkan jika rumah sakit tidak menaati ketentuan tentang klasifikasi RS.
Kepala Dinkes Surabaya Febria Rachmanita menyatakan, pihaknya menemukan mayoritas rumah sakit tipe C memiliki jumlah dan jenis dokter yang seharusnya dimiliki RS tipe B. Selain itu, banyak RS tipe B yang klasifikasinya mengarah ke tipe C. Dinkes juga menemukan RS tersebut tidak memiliki sarpras yang menyokong tenaga dokter spesialis itu ”Kasihan pasien. Saat ke RS tipe D, alat enggak ada. Dirujuk lagi ke B, alat tetap nggak ada,” ujarnya kemarin (14/5).
Feni mengadakan konferensi pers di kantor humas pemkot. Dalam acara itu, turut hadir perwakilan direktur RS William Booth serta Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi). Feni ingin menunjukkan bahwa rumah sakit sudah mau berkomitmen untuk mematuhi aturan yang ada.
Namun, para dokter yang protes belum mau menerima kebijakan itu. Mereka melapor ke DPRD Surabaya. Bahkan, laporan tersebut sudah ditindaklanjuti dengan diadakannya rapat dengar pendapat pada Senin (13/5).
Dalam pertemuan itu, dokter dan dinkes punya beda pandangan terkait Permenkes 56/2014 tentang Perizinan dan Klasifikasi Rumah Sakit. Dinkes beralasan, ketentuan itu bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk tidak menerbitkan SIP. Namun, kalangan dokter merasa tidak ada pasal larangan yang melarang rumah sakit memiliki dokter spesialis di luar dokter spesialis yang menjadi persyaratan.
Jika dinkes tetap bersikukuh dengan pendapatnya dan rumah sakit belum mau naik kelas, dokter-dokter spesialis harus mencari tempat praktik lain. Namun, Feni memberikan keringanan. Jika rumah sakit mau membuat komitmen untuk mematuhi aturan klasifikasi dan memenuhi persyaratannya, izin dapat dikeluarkan. ”Sekecil apa pun komitmennya, akan kami hargai,” jelasnya.
Setelah membuat komitmen, dinkes bakal memantau dan membantu perkembangan rumah sakit untuk bisa naik kelas. Peralatan, bangunan, dan dokter-dokter harus dipenuhi. Semua dipenuhi untuk memastikan keamanan pasien, dokter, serta rumah sakit itu sendiri. Sebab, Feni tidak ingin kasus saling lempar rujukan terjadi lagi gara-gara alat tidak tersedia, tetapi dokter ada.
Koordinator Persi Wilayah Surabaya Herminiati menerangkan bahwa persoalan izin praktik muncul akibat adanya perbedaan tafsir Permenkes 56/2014. Namun, dia berharap kalangan dokter tidak melihat persoalan tersebut dari satu sudut pandang saja. ”Permenkesnya jangan dibaca satu pasal saja, tapi seluruhnya,” katanya.
Di daerah lain, persoalan itu belum mencuat. Bahkan, di Jakarta tidak ada dokter yang protes karena SIP mereka tidak dikeluarkan. Hermin tidak mempermasalahkannya. Menurut dia, Surabaya bisa menjadi inisiator pemerataan dokter. ”Di daerah lain dokter kurang, sedangkan di Surabaya dokter spesialisnya terlalu banyak,” paparnya.
Hermin menjelaskan, di Surabaya ada tujuh fakultas kedokteran. Di dalamnya terdapat banyak dosen yang juga membuka praktik di Surabaya. Kondisi tersebut turut membuat penumpukan dokter spesialis. Dia juga tidak menampik bahwa masih ada rumah sakit yang belum memiliki sarpras yang sesuai dengan jumlah dokter spesialis yang dimiliki. ”Rumah sakit harus nurut ke dinkes agar pasien selamat, dokter selamat, dan rumah sakit selamat,” jelas Hermin.
RS William Booth Komit Naik ke Tipe B
DIREKTUR RS William Booth T.B. Rijanto angkat bicara terkait dengan polemik penerbitan izin praktik dokter. Dia hadir dalam konferensi pers yang diadakan pemkot kemarin (14/5). ”Diakui atau tidak, polemik ini memang diawali dari dua dokter kami yang melapor ke dewan tanpa koordinasi dengan kami,” katanya.
Dia menyatakan, dinkes tidak pernah mempersulit penerbitan SIP dokter yang berpraktik di rumah sakitnya. Permasalahan muncul akibat miskomunikasi. Awal tahun ini, Rijanto dan dinkes sebenarnya sudah membicarakan kenaikan kelas rumah sakit dari C ke B. Rencana itu telah dibahas di rapat kerja nasional (rakernas) William Booth. Kebetulan, Surabaya menjadi tuan rumah. Namun, hingga rakernas usai, belum ada tanggapan dari yayasan.
Rijanto menyebutkan, dirinya hanya memiliki kewenangan anggaran di bawah Rp 1 miliar. Kewenangan dana Rp 15 miliar untuk kebutuhan kenaikan kelas itu menjadi ranah pimpinan nasional di Bandung. ”Lebih dari itu langsung ke kantor pusat kami di London,” jelas dia.
Untuk naik kelas, rumah sakit memang butuh investasi besar. Mereka harus meningkatkan kualitas dan kuantitas gedung, teknologi, serta peralatan medis, hingga memenuhi syarat minimal jumlah dokter spesialis Biaya bulanan bakal melonjak seiring dengan kenaikan kelas tersebut. Permasalahan tersebut harus dipikirkan matang dan perlu waktu.
Ada birokrasi yang ketat dalam internal William Booth. Jadi, keputusan untuk naik kelas tidak bisa diambil sekejap. Namun, baru-baru ini Rijanto sudah mendapat kabar bahwa pimpinan yayasan menyetujui kenaikan kelas tersebut. Problemnya, sejumlah dokter dari William Booth telanjur melapor ke dewan sebelum ada keputusan untuk naik kelas. Mereka datang bersama dokter-dokter lain dari RS tipe C di Surabaya. Rijanto memastikan bahwa saat ini sudah tidak ada persoalan dokter di rumah sakitnya.
—
SIP Masih Jadi Polemik
– Mediasi dokter dan dinkes di DPRD Surabaya belum menghasilkan titik temu.
– Permenkes 56/2014 ditafsirkan berbeda oleh dinkes dan kalangan dokter.
– Dinkes memakai pemahamannya untuk tidak menerbitkan izin praktik dokter dengan alasan penegakan ketentuan klasifikasi rumah sakit dan pemerataan dokter.
– Sebagian dokter merasa tidak ada pasal larangan bagi rumah sakit tipe C dan D untuk memiliki tenaga spesialis melebihi syarat minimal dalam permenkes itu.
– Di daerah lain tidak terjadi kasus serupa sehingga Surabaya tidak bisa belajar dari daerah lain.
Sumber: jawapos.com