Reportase Webinar
Residen : Peserta Didik ataukah Tenaga Profesional
Pembukaan | Sesi 1 | Sesi 2 | Sesi 3 | Sesi 4 | Kesimpulan & Penutup
16 April 2014
Reportase oleh: Tri Yuni Rahmanto, SE, S.Kep, Ners.
Sesi IV: Pembayaran untuk Residen oleh BPJS: Mungkinkah?
Pada sesi ini sebagai moderator, dr. Andreasta Meliala, MAS mengawali dengan pentingnya pembayaran kepada residen dan menyampaikan tiga variabel penting dalam pembayaran, sumbernya, mekanisme dan regulasinya, kemudian dikenalkan pula pembicara Andayani Budi Lestari, Kepala BPJS Div. Regional VI dan Abidin Widjanarko-Asosiasi RS Pendidikan (ARSPI) dan mempersilahkan Andayani untuk mengawali.
Andayani memaparkan sistem rujukan berjenjang yang mengacu pada Permenkes dan BPJS Regional meliputi layanan primer adalah dokter umum, sekunder adalah spesialis, dan tersier adalah sub spesialis. BPJS Kesehatan bekerjasama dengan institusi pelayanan kesehatan bukan professional personal dalam sistem menjaga mutu JKN, BPJS sebagai pembayar dan penerima iuran PBI, Peserta membayar premi, dan RS-sebagai manajemen pelayanan kesehatan. Readmission bisa menjadi beban untuk BPJS Kesehatan jika pelayanan ditangani residen dan harus kembali ke RS. Prinsip pembayaran pelayanan kesehatan adalah BPJS Kesehatan membayar biaya melalui kerjasama dengan fasilitas kesehatan, membayar yankes dan membayar manfaat atas pelayanan kesehatan yang diberikan. MoU dengan RS pada dasarnya berisi pelayanan kesehatan yang baik, tidak ada keluhan, tidak ada angka klaim yang aneh, masyarakat sehat dan pengelolaan keuangan diserahkan pada RS provider. Pada prinsipnya BPJS Kesehatan ialah pasien dilayani baik dan tidak ada readmission without planning.
Sementara itu pembicara kedua Abidin Widjanarko dari asosiasi RS Pendidikan (ARSPI) yang membahas Sistem Kompensasi bagi Dokter PPDS memberikan pembahasan paradigma residen lama adalah dokter asisten, sedang belajar, bersedia berkorban-waktu, financial dan keluarga serta kenyataan masa lalu yang harus menabung sebelum PPDS. Pada saat ini Indonesia mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi bervariasi, salah satunya adalah era JKN yang menghilangkan hambatan keuangan menuju fasilitas kesehatan sehingga penting untuk segera diwujudkan kelengkapan regulasi agar insentif residen dapat diberikan.
Pada sesi diskusi, Sumedi dari RS Sanglah berpendapat bahwa tidak logis tindakan yang sama tapi tarifnya berbeda di BPJS, mohon penjelasan? Andayani menjawab BPJS tidak membuat tarif itu tetapi itu kewenangan NCC. Khanafi juga mengingatkan tentang kekhawatirannya terhadap arah diskusi, jangan mengubah RS Pendidikan menjadi transaksional dan hati-hati mengenai penghargaan finance untuk residen. Kebutuhan pendidikan menuntut residen harus mencapai level of competence, sehingga harus menangani banyak kasus. Di USA yang RS Pendidikannya baik, SOP nya sangat ketat karena supervisi dari DPJP juga ketat mengawasi. Atas komentar ini Prof. Laksono juga berpendapat bahwa di USA residen dianggap sebagai pekerja dan mereka mendapatkan gaji bulanan/tahunan, yang penting adalah perlu dilakukan pemertaan residen sesuai kebutuhan dan mengacu pada paradigma JCI bahwa residen dibayar BPJS.
Peserta lain, Abidin menanyakan BPJS dan JKN adalah kebijakan yang perlu dievaluasi untuk kebaikan bersama. Andayani menanggapi program JKN-BPJS tidak ideal karena RS terbatas, klasifikasi RS menuntut sarana prasarana faskes harus dipenuhi dan mengajak melihat kembali paradigm, residen ini siapa? Pembentukan BPJS-memenuhi mandat UUD 45 agar rakyat mendapat pelayanan kesehatan yang baik.
Pada akhirnya sebagai moderator, Andreasta menyimpulkan semangatnya sebenarnya bukan transaksional financial tapi lebih pada “mengorangkan” residen dan direktur sebenarnya berkewajiban dan punya kewenangan untuk memikirkan ini.