JAKARTA – Kasus meninggalnya bayi Tiara Debora saat dalam penanganan Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres dengan birokrasi yang ruwet menjadi tamparan keras untuk mengingatkan bahwa tiap rumah sakit memiliki fungsi sosial yang wajib dilaksanakan.
Fungsi sosial tiap rumah sakit tersebut tertulis dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 29 ayat (1) huruf f.
Ayat tersebut berbunyi: “Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban melaksanakan fungsi sosial, antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.”
Kasus RS Mitra Keluarga Kalideres muncul sebagai pelajaran bagi rumah sakit lainnya, khususnya rumah sakit swasta, untuk tidak melanggar undang-undang dengan melaksanakan kewajiban sosial rumah sakit. Karena cerita klise nan memilukan seseorang yang meninggal karena tidak mampu untuk membayar biaya rumah sakit bukan kali pertama terjadi.
Berdasarkan hasil penelusuran investigasi yang dipublikasi oleh Kementerian Kesehatan terkait kasus RS Mitra Keluarga Kalideres, dijabarkan bahwa pasien bayi Debora (empat bulan) datang ke rumah sakit sudah dalam kondisi kritis.
Kemenkes mengakui bahwa pihak rumah sakit telah melaksanakan tindakan medis untuk menyelamatkan nyawa pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
“Artinya pasien tidak ditelantarkan,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Oscar Primadi dalam keterangannya di kantor Kementerian Kesehatan Jakarta, Rabu (13/9).
Kendati demikian, Oscar menekankan bahwa pihak rumah sakit juga meminta uang muka kepada keluarga pasien sebagai biaya rawat inap di ruangan rawat intensif untuk bayi atau PICU mengingat kondisi bayi.
Hasil penelusuran investigasi menyebutkan keluarga pasien membayar biaya tersebut dan pihak rumah sakit menerimanya. Pihak RS juga mengetahui bahwa pasien merupakan peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dalam keterangan tertulis RS Mitra Keluarga Kalideres disebutkan bahwa dokter menyarankan untuk merujuk ke rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Namun perlu digarisbawahi adalah pernyataan dari Kementerian Kesehatan yang mengatakan bahwa pihak RS mengetahui pasien tidak “transferable” atau tidak memungkinkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan lain.
Fakta temuan lainnya ialah diketahui bahwa RS Mitra Keluarga Kalideres juga sudah sering kali melakukan klaim secara rutin untuk pasien gawat darurat ke BPJS Kesehatan.
“Melakukan klaim sebanyak 27 kali dengan 24 terbayarkan dan tiga klaim masih dalam proses,” kata Oscar.
Dalam kesimpulannya, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa terdapat kesalahan pada layanan administrasi dan keuangan yang diberikan oleh RS Mitra Keluarga Kalideres terhadap status pasien.
Kemenkes juga menyatakan kebijakan adanya uang muka tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan, yakni UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Lebih dari satu pasal, bahkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 mengamanatkan pada pasal 32 ayat (1) yang berbunyi: “Dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.”
Lebih lanjut UU Nomor 36 Tahun 2009 Ayat (2) menyatakan: “Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah dan swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.”
Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI di Gedung Parlemen, Senin (11/9) menyatakan akan ada tindakan tegas bagi rumah sakit jika terbukti terjadi kelalaian pelayanan dan mendahulukan meminta uang muka dalam kasus kegawatdaruratan.
Atas kejadian tersebut, Oscar mengatakan, Kementerian Kesehatan telah memberikan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, dan pencabutan izin operasional. Menurut dia, hal ini adalah sesuatu yang cukup serius, karena sudah ada teguran lisan, teguran tertulis, kemudian pencabutan izin operasional itu juga sudah.
Namun dia menekankan sanksi tidak akan berhenti diberikan hanya sebatas itu, melainkan masih ada audit medik yang dilakukan oleh profesi untuk mengetahui sesuai tidaknya tindakan medis yang dilakukan oleh pihak rumah sakit terhadap pasien. Sanksi yang diberikan kemudian akan menyesuaikan dengan hasil audit tersebut.
Perlu diingat juga bahwa kewenangan atas pemberian sanksi tersebut juga berada di wilayah Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, sementara Kementerian Kesehatan dan Menteri Kesehatan bertindak sebagai regulator yang memberikan perintah, atau rekomendasi pada suatu kasus.
Tindak Lanjut
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta pada Jumat (14/9) telah melakukan tanda tangan nota kesepahaman dengan seluruh rumah sakit, mulai dari swasta hingga rumah sakit umum daerah di DKI Jakarta yang berisi perjanjian untuk tidak menagih uang muka biaya pelayanan kesehatan kepada pasien gawat darurat.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Koesmedi Priharto mengatakan penandatanganan perjanjian tersebut dimaksudkan agar kejadian meninggalnya bayi Debora karena terkendala biaya dalam penanganan gawat darurat bisa terhindarkan di kemudian hari.
Dinas Kesehatan DKI juga mengeluarkan surat edaran tentang kewajiban pelayanan yang harus diberikan rumah sakit dengan aman, bermutu, anti-diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai standar pelayanan rumah sakit.
Koesmedi dalam surat edarannya juga mengingatkan tiap rumah sakit untuk melaksanakan fungsi sosial dalam pelayanan gawat darurat tanpa meminta uang muka. Dia juga meminta rumah sakit yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk tetap memberikan pelayanan secara gratis pada pasien peserta BPJS Kesehatan dalam keadaan darurat sampai kondisinya stabil, setelahnya RS bisa mengklaim biaya pelayanan ke BPJS Kesehatan.
Dinkes DKI Jakarta juga mengimbau pada seluruh rumah sakit di Jakarta untuk memberikan pelayanan gawat darurat terlebih dahulu berupa pertolongan pertama dan tindakan penyelamatan hinga kondisi pasien stabil sesuai dengan kemampuan pihak RS sebelum melakukan rujukan ke rumah sakit lain.
Pihak rumah sakit juga diwajibkan berkoordinasi dengan rumah sakit penerima rujukan untuk memastikan pasien dapat diterima dalam keadaan gawat darurat. Koesmedi juga mengingatkan bahwa pihak rumah sakit dilarang menyuruh keluarga pasien mencari tempat rujukan sendiri.
Terakhir, Koesmedi mengingatkan apabila ada rumah sakit yang tidak melaksankan isi surat edaran tersebut akan diberikan sanksi berupa pencabutan rekomendasi perpanjangan izin operasional rumah sakit oleh dinas kesehatan. (Ant/SU02)
Sumber: seruji.co.id