JAKARTA – Puluhan orang terlihat duduk menunggu panggilan di depan loket utama pelayanan BPJS Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (4/9) pagi itu. Para pasien menunggu giliran mereka dilayani atau diarahkan ke loket poliklinik selanjutnya. Sama seperti kebanyakan pelayanan BPJS di rumah sakit pemerintah, antrean panjang adalah pemandangan umum yang biasa terlihat dan dirasakan pasien BPJS.
Tak jarang bahkan pasien harus mengantre sejak pagi buta agar mereka dapat dilayani oleh pihak rumah sakit. Jika tidak begitu maka nomor antrean yang didapat sudah pada angka ratusan dan artinya harus menunggu lama untuk dilayani.
Pengamatan Validnews di sejumlah rumah sakit pemerintah di Jakarta, menggambarkan proses berobat mulai dari pemeriksaan, penanganan dan pengambilan obat bisa memakan waktu hingga petang, bahkan bukan tidak mungkin sampai malam.
Antrean pasien BPJS yang sering kali dimulai dari pagi buta diakui petugas keamanan RSUD Pasar Minggu bernama Rusmanto. Menurutnya pasien BPJS yang datang ke rumah sakit tersebut sudah terlihat mulai pukul 04.00 WIB. Karena itu mereka yang datang di atas pukul 07.00 WIB menurutnya sudah kesiangan, dan antrean sudah terlalu panjang.
“Kalau datang jam segini sudah kesiangan,” ucap Rusmanto.
Di antara pasien yang duduk menunggu, ada warga Ciganjur bernama Utami yang datang bersama anaknya. Menurut pengakuan Utami, ia sebenarnya masuk dalam layanan BPJS. Namun hari itu ia dan anaknya memilih untuk berobat tidak melalui jalur BPJS. Alasannya, tidak mau menunggu lama, dan proses berbelit-belit.
“Kalau BPJS harus pakai rujukan dulu. Udah gitu antreannya panjang, lama. Sementara ini anak saya yang nemenin saya harus izin kerja. Kan nggak bisa bolak-balik rumah sakit,” ungkap Utami.
Antrean lebih panjang terlihat di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Di rumah sakit tersebut ratusan pasien pun menunggu giliran dipanggil di loket utama pelayanan BPJS sebelum akhirnya diarahkan ke poli masing-masing sesuai rujukan dari puskesmas.
Serupa dengan di RSUD Pasar Mingu, pasien yang antre menunggu pelayanan di rumah sakit tersebut sudah terlihat sejak pagi buta. Meski loket pelayanan baru dibuka pukul 07.00 WIB, para pasien sudah mulai mengantre sejak pukul 04.30 WIB.
Tujuannya pun sama, mendapatkan pelayanan lebih cepat agar proses berobat bisa lebih cepat. Mereka yang datang setelah loket pelayanan dibuka, maka harus rela menunggu lama.
“Saya datang jam 08.00, ini udah dapat nomor antrean di atas lima ratusan,” ungkap warga Kampung Dukuh, Kramat Jati, Jakarta Timur bernama Ratno yang datang menemani istrinya untuk pemeriksaan kandungan.
Pada kesempatan tersebut Ratno juga mengeluhkan prosedur pelayanan BPJS yang harus membuat dia dan istrinya bolak balik rumah sakit. Ia merasa kesulitan dengan prosedur yang menurutnya berbelit-belit dan memakan waktu lama untuk mendapat pelayanan kesehatan.
Tak Selesai Sehari
Pasien lain bernama Diana mengungkapkan hal lain yang dirasa menyulitkan pasien BPJS adalah proses penanganan tidak dilakukan secara menyeluruh. Untuk satu keluhan penyakit, proses penanganan dan pemeriksaan yang harus dijalani tidak bisa selesai dalam satu hari.
Dicontohkannya, setelah diperiksa di puskesmas, dirinya mendapat rujukan ke salah satu poli di rumah sakit tersebut. Saat pertama kali datang di rumah sakit tersebut, ia dikejutkan dengan antrean yang begitu panjang di loket utama.
“Saya kira datang jam tujuh pagi itu sudah pagi betul. Ternyata tidak, itu nomor antrean udah ratusan. Setelah ke poli kita antre lagi. Setelah diperiksa dokter, saya dikasih resep, ambil obat di apotik, di situ antre lagi. Saya baru bisa pulang sore, bahkan pernah pulang malam,” ungkap Diana.
Kerumitan tidak sampai di situ, karena besoknya dia harus kembali ke laboratorium untuk pemeriksaan darah. Menurut dia saat ke laboratorium, prosesnya memang terbilang lebih singkat. Namun tetap saja, esoknya lgi ia harus kembali ke rumah sakit dan membawa hasil laboratorium ke poli sebelumnya.
Saat diperiksa di poli awal, ia dirujuk ke poli lainnya untuk menjalani pemeriksaan. Itu pun harus dilakukan keesokan harinya lagi. Siklus antrean sejak pagi pun harus dijalani Diana sekali lagi, termasuk pengambilan obat hingga petang. Anehnya, kata dia, meski beberapa kali menjalani pemeriksaan, keluhan lain yang dialaminya saat diperiksa tidak bisa ditangani saat itu juga.
“Saya memang dari poli mata. Terus sempat dirujuk ke poli penyakit dalam karena ada gula juga katanya. Nah saat itu saya sempat mengeluhkan nyeri di ulu hati. Tapi katanya yang harus ditangani itu soal gula darah saya dulu. Akhirnya pulang dari rumah sakit saya ke puskesmas lagi periksa ulu hati saya itu,” jelas Diana.
Prosedur pelayanan BPJS yang memakan waktu sehari penuh karena antrean yang panjang, ditambah pemeriksaan lanjutan yang membuat pasien bolak-balik rumah sakit sangat menyulitkan. Sebagai pedagang kelontong dia harus berkali-kali menutup warungnya karena harus bolak-balik ke rumah sakit.
“Masih mending saya, paling kehilangan pelanggan. Gimana mereka yang penghasilannya hari itu untuk makan hari itu. Bisa-bisa nggak makan gara-gara waktunya buat cari makan habis dipakai buat bolak-balik rumah sakit,” ungkap Diana.
Zonasi
Kepala Humas RSUD Pasar Rebo, Sukartiono Pri Prabowo membenarkan terjadinya antrean panjang di rumah sakit tersebut. Sering kali pasien memang harus datang pagi jauh sebelum loket pelayanan dibuka.
Penyebabnya, banyak masyarakat yang merasa bahwa semenjak BPJS diterapkan pelayanan di rumah sakit menjadi lebih mudah didapat. Akhirnya masyarakat lebih mudah untuk buru-buru ke rumah sakit ketika ada keluhan mengenai kesehatan. Bahkan sering ditemukan masyarakat sendiri yang meminta kepada pihak puskesmas agar langsung dirujuk ke rumah sakit.
“Panas sedikit langsung minta ke rumah sakit. Padahal belum perlu, selama penyakitnya tidak berulang,” ucap Pri kepada Validnews di ruang kerjanya.
Berdasarkan data diperoleh, setiap hari Senin sampai Jumat ada sekitar 1000 sampai 1300 pasien yang datang ke RSUD Pasar Rebo. Dari data tersebut, hanya 10% pasien non BPJS. Sedangkan poliklinik yang ada di rumah sakit tersebut 17 klinik.
Pihak rumah sakit kata Pri berusaha meningkatkan pelayanan dengan menyediakan layanan antrean viatelepon. Namun nyatanya hal itu kurang efektif juga lantaran pasien tetap datang pagi sekali meski sudah mendapat nomor dan waktu pelayanan.
“Kita sendiri tidak tahu kenapa mereka datang pagi begitu, mereka mungkin ingin dapat pelayanan segera,” kata Pri.
Persoalan antrean tidak hanya disebabkan persoalan teknis seperti itu saja. Melainkan juga belum optimalnya sistem zonasi pelayanan kesehatan dan belum meratanya fasilitas kesehatan di semua rumah sakit yang ada di lima wilayah di Jakarta.
“Saat ini kita masih nampung dari (Jakarta) Selatan. Kalau (sistem) zonasi harusnya sudah tidak boleh,” ungkap dia.
Masalah lainnya adalah tidak meratanya ketersediaan tenaga ahli. Dicontohkan dia, jika di RSUD Pasar Minggu kurang tenaga ahli, maka akan dirujuk ke RSUD Pasar Rebo yang stratanya lebih tinggi. Namun ternyata jika tenaga ahli yang dibutuhkan juga tidak ada maka harus dirujuk lagi ke RS Polri, Kramat Jati.
“Kalau begitu berapa lama nih pasien harus beredar, mangkanya harus ada jejaring dari Depkes entah Dinkes yang membangun satu sistem terpadu. Saat ini sedang dibangun,” kata dia.
Ia pun berharap ada pengkajian ulang mengenai jumlah dokter di sebuah rumah sakit dan jumlah pasien yang bisa ditangani. Pasalnya, berdasarkan informasi yang ia ketahui, seorang dokter memiliki batas jumlah pasien yang bisa ditangani dalam sehari. Hal ini berkaitan dengan jumlah dokter yang perlu disediakan di sebuah rumah sakit yang menangani pasien BPJS.
Diakuinya, umlah pasien yang ditangani di RSUD Pasar Rebo melebihi batas pelayanan yang semestinya bisa dilayanai dokter, dan bukan tidak mungkin itu berdampak pada kurang optimalnya pelayanan. Akan tetapi harus ada regulasi yang harus mendukung jika memang ingin ada penambahan tenaga dokter di sebuah rumah sakit untuk melayani pasien BPJS.
Perihal satu penanganan (tindakan) per satu hari, Pri mengatakan hal itu berkaitan dengan sistem pembayaran BPJS yang harus dilakukan dalam satu paket. Selain itu satu penanganan per hari juga disesuaikan dengan waktu berobat yang harus dijalani pasien saat berada di rumah sakit.
Dicontohkan dia, jika di satu poliklinik atau satu penanganan saja pasien bisa memakan waktu dari pagi hingga petang, maka jika penanganan lebih dari satu waktu yang diperlukan akan lebih panjang lagi.
“Dia (pasien) akan lebih delay lagi pulang ke rumahnya. Makanya dia selesai dulu satu, besok dilanjutkan kembali,” tegas Pri.
Perbandingan jumlah tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk memang saat ini menjadi salah satu persoalan di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk (per provinsi) per 100.000 penduduk, untuk wilayah DKI Jakarta saja, rasio dokter umum dengan penduduk yakni 1 berbanding 39.
Menjawab persoalan di atas Kepala Humas BPJS Nopi Hidayat menyebut pihaknya bersama-sama pemerintah, dalam hal ini pemberi pelayanan, melakukan kendali mutu kendali biaya.
“Jadi kita memastikan pembayaran diberikan bersamaan dengan mutu diberikan yang baik kepada peserta,” kata Nopi kepada Validnews, Minggu (3/9).
Terkait adanya kekurangan dalam pelayanan dipastikan Nopi akan menjadi pengawasan semua pihak, baik Kementerian Kesehatan BPJS Kesehatan atau pemerintah daerah.
“Kita akan memfeedback indicator pelayanan, termasuk keluhan yang terjadi akibat tidak standarnya pelayanan disepakati,” tegasnya. (Jenda Munthe/Teodora Nirmala Fau/M Bachtiar Nur)
Sumber: validnews.co