Jakarta — Tak hany bicara soal urusan halal-haram produk makanan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) ternyata ikut memantau urusan ummat Islam dalam bidang kesehatan. Salah satunya dengan mengeluarkan panduan membangun Rumah Sakit Syariah.
Wakil Ketua MUI, Prof Yunahar Ilyas, mengatakan dalam panduan RS Syariah yang dikeluarkan MUI di antaranya mengurus pembiyaaan dengan perbankan syariah, memproses asuransi dengan menggunakan asuransi yang syariah.
“Transaksi membeli obat-obatan juga harus syariah, obat-obatnya juga harus yang bersertifikasi halal. “Selebihnya, lebih banyak kepada pelayanan yang Islami. Pelayanan yang Islami baik oleh dokter maupun perawat, lingkungan dan sebagainya yang serba ideal,” katanya, Senin (28/8/2017).
Untuk diketahui, saat ini MUI sudah memiliki pedoman penyelenggaraan rumah sakit berdasarkan prinsip syariah. Pedoman tersebut tercantum dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 107/DSN-MUI/X/106.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini juga menambahkan, fatwa tersebut pada prinsipnya berisi lima hal, yakni tentang akad, pelayanan, obat-obatan dan pengelolaan dana finansial.
“Yang penting transaksi di dalam RS Syariah harus mengacu pada uhkum Islam fiqih mu’amalah. Dalam hal pelayanan memberikan yang baik, jelas antara hak dan kewajiban. Kalau bisa lebih, sesuai dengan standar panduan praktis klinis,” ucapnya.
Yunahar mengungkapkan akhlak dalam pelayanan rumah sakit harus santun, ramah, transparan, berkualitas, adil. Dalam menghitung biaya, juga harus ada kewajaran.
“Walaupun punya otoritas untuk menetapkan, tapi perhitungan wajar tergantung hati nurani. Dalam pelayanan spiritual, mendoakan pasien dan untuk mendoakan anak kecil berbeda dengan orang dewasa. Dalam mendoakan pasien jangan terlalu boros menggunakan kata ‘sabar’. Harus tunjukkan empati, kalau pasien kesakitan empati dulu jangan bilang ‘sabar’. Misalnya, “saya bisa merasakan memang sakit”,” tuturnya.
Sementara untuk obat harus yang halal dan diutamakan, harus sudah ada sertifikasi halal. “Supaya dokter dan rumah sakit tenang dan gampang. Kalau tidak ada sertikasi halal, harus hati-hati kalau diketahui tidak ada, tetapi diperlukan itu tindakan darurat, baru diperbolehkan,” tutupnya.
Sumber: harianamanah.com