SEMARANG – Seorang pasien di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi Semarang mengeluhkan sistem RSUP Dr Kariadi Semarang tidak profesional. Pasien tersebut diminta antre selama 6 hari untuk bisa menjalani operasi.
Selama 6 hari itu, pasien dibebani harus membayar biaya kamar inap setiap hari Rp 1 juta rupiah. Panjangnya masa tunggu ini diduga adanya ulah oknum yang bermain, yakni siapa pasien yang bisa ‘titip’ uang lebih banyak, maka operasi bisa didahulukan.
Salah satu keluarga pasien, Sholehah, 37, warga Kecamatan Gabus, Grobogan, Jawa Tengah, mengaku kecewa berat atas sistem tersebut. Ia mempertanyakan apakah sistem itu resmi diberlakukan di RSUP Dr Kariadi Semarang, ataukah ulah oknum pegawai yang tidak bertanggungjawab.
“Saya mengantar ayah saya, Solihin, 60, karena sakit komplikasi. Tapi lebih dispesifikkan ke Ginjal. Awalnya, seminggu lalu dirawat di RSUD dr R Soedjati Soemodiarjo Purwodadi. Sejak Senin (29/5) lalu, dirujuk dan diminta dibawa ke RSUP dr Kariadi Semarang, karena perlu operasi ke dokter spesialis Urologi,” kata Sholehah.
Sesampai di RSUP dr Kariadi Semarang pada Senin, pertama kali ia langsung mendaftarkan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Namun saat itu, ia baru mengetahui ternyata untuk bisa mendapatkan kamar inap sangat sulit. Petugas menjelaskan tidak ada kamar kosong.
Ia panik, karena kondisi fisik ayahnya sudah cukup parah. Sedangkan pihak RSUP dr Kariadi tidak bisa melakukan penanganan secara cepat. “Saya tidak percaya, masak rumah sakit sebesar ini tidak ada kamar kosong satupun. Saking jengkelnya, saya berdebat dengan petugas, karena ini urusan nyawa kok tidak segera ditangani,” katanya.
Akhirnya, Sholehah terus melobi agar ayahnya mendapatkan kamar inap dan penanganan medis. Dia kemudian mendapat masukan untuk mendaftar di kelas VVIP Paviliun Garuda. Agar segera mendapat penanganan medis, ia menerima dan menganggap tidak ada masalah meski tarifnya cukup mahal.
“Saya tahu, tarifnya cukup mahal, sehari Rp 1 juta. Itu baru biaya kamar, belum biaya obat dan biaya operasi. Itu masih harus bayar minimal Rp 5 juta hingga Rp 10 juta di awal. Saya memang bukan pengguna BPJS. Tapi dengan pertimbangan harus segera mendapatkan penanganan medis, saya anggap tidak ada masalah. Selasa (30/5), ayah saya menempati salah satu ruang VVIP di Paviliun Garuda lantai 8,” katanya.
Hari itu juga, ayahnya langsung ditemui oleh dokter Ardy di dalam kamar inap tersebut. Saat itu langsung mendapat penjelasan oleh dokter, bahwa operasi Urologi akan dilakukan pada Sabtu (3/6). “Selama menunggu operasi yang dijadwalkan Sabtu, ayah saya diminta istirahat. Tidak ada penindakan medis selama menunggu operasi. Sampai di sini, saya masih menganggap tidak ada masalah meski jengkel. Puncak kekesalan terjadi pada Sabtu pagi, saya tanya ke petugas, kenapa mau operasi kok tidak diminta puasa? Petugas malah menjawab bila operasinya diundur pada Senin (5/6). Lho?” katanya.
Tentu saja, jawaban itu membuat Sholehah tidak habis percaya. Ia merasa dirugikan terkait jadwal operasi yang tiba-tiba diundur tanpa ada pemberitahuan maupun penjelasan apapun. Mau tidak mau, pasien harus memperpanjang masa tunggu. Padahal biaya kamar inap tersebut harus membayar Rp 1 juta setiap hari. “Petugas itu malah bilang, biasanya operasi ada yang harus antre sampai tiga bulan. Lho gimana sih?” katanya.
Alasannya, Sabtu-Minggu tidak ada kegiatan operasi. Padahal dokternya, Ardy sendiri bilang bahwa operasi akan dilakukan pada Sabtu. “Admin itu tiba-tiba membuat jadwal operasi menjadi Senin. Saya sangat menyesalkan karena tanpa pemberitahuan,” katanya.
Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang Laser Narendro mendorong agar Komisi IX DPR RI turun tangan di RSUP dr Kariadi Semarang. Ia mengakui bahwa selama ini manajemen RSUP dr Kariadi kurang profesional. “Pengalaman saya, memang manajemen RSUP dr Kariadi kurang profesional. Cuma memang, RSUP dr Kariadi karena di bawah kewenangan Kemenkes RI, jadinya Pemkot Semarang tidak mempunyai wewenang untuk melakukan negosiasi. Seharusnya, Komisi IX DPR RI melakukan audiensi atau kunjungan lapangan ke RS kariadi untuk mengecek pelayanannya,” kata politisi dari Fraksi Partai Demokrat ini.
Sedangkan informasi terkait dugaan adanya oknum yang melakukan praktik “uang titipan”, mengaku belum pernah mendengar hal itu. “Kalaupun ada, monggo diinfokan ke tim Saber Pungli. Selama ada bukti atau saksinya, untuk pelapor dijamin kok kerahasiaan dan keamanannya,” katanya.
Kalau prioritas tindakan pada pasien memang hak prerogratif dari dokter karena yang mengetahui kondisi pasien adalah dokter tersebut. “Jadi penentuan prioritas urutan dikembalikan ke dokter. Kalau ada pungli monggo langsung laporkan ke tim saberpungli,” ujar Laser.
Sementara itu, pihak RSUP dr Kariadi saat berusaha dikonfirmasi belum ada respon.(el)
Sumber: beritajateng.net