MOJOKERTO – Meski Permenkes Nomor 64 Tahun 2016 dinilai memberatkan rumah sakit swasta, namun badan pelayanan kesehatan nonpemerintah ini tetap menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
”Tidak ada (mengundurkan diri), semua memperpanjang kerja sama di tahun ini,” ungkap Ike Teryastuti, Humas Kantor BPJS Kesehatan Cabang Mojokerto Rabu (11/1).
Hingga saat ini, tercatat ada 30 fasilitas pelayanan kesehatan (faskes) menjalin kerja sama dengan BPJS kesehatan. Yakni, melayani pasien yang tercover dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Seperti diketahui, sejak pemberlakuan Permenkes 64/2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program JKN mulai tahun ini kurang berjalan mulus.
Itu setelah beberapa rumah sakit di luar Mojokerto memutuskan mengundurkan diri dengan tidak memperpanjang kontrak kerja sama lagi dengan BPJS kesehatan sebagai bentuk protes kebijakan itu.
Bahkan, pada 2017 ini terdapat dua rumah sakit (RS) swasta baru mulai melakukan kerja sama, yakni RS Dian Husada dan RS Reksa Waluya. Sehingga, jumlah total faskes yang telah melakukan kerja sama di tahun ini sebanyak 30 rumah sakit.
Rinciannya, 12 faskes di kabupaten dan 6 faskes di Kota Mojokerto. Sedangkan sisanya, 12 faskes tersebar di Jombang. Jumlah tersebut meliputi RS Umum Daerah (RSUD), swasta, dan klinik kesehatan.
”Untuk rumah sakit milik pemerintah memang wajib. Tapi yang swasta setiap tahun harus memperpanjang kerja samanya,” ulas dia. Ike menambahkan, kenaikan kelas rawat inap oleh peserta JKN merupakan kewenangan pasien, kecuali bagi peserta JKN Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Namun, selisih pembayarannya harus ditanggung peserta BPJS Kesehatan sendiri. Dengan catatan, tambahan pembayaran tersebut adalah selisih dari tarif kamar rawat inap dikurangi tarif kamar sesuai dengan kelas sebelumnya, dan mengacu Indonesia-Case Base Groups (INA-CBGs).
”Misalnya dari kelas II naik ke kelas I, pembayarannya dikurangi haknya dia (pasien) dengan selisih INA-CBGs kelas II,” ujarnya. INA-CBGs merupakan sistem pengelompokkan penyakit berdasarkan ciri klinis yang sama, dan sumber daya yang digunakan sebagai standar dalam pengobatan.
Disinggung terkait dengan Permenkes Nomor 64 Tahun 2016, Ike enggan berkomentar banyak. Dia menilai, hal kewenangan Kementerian Kesehatan. ”BPJS kan hanya melaksanakan saja apa yang menjadi regulasi,” tandas dia.
Sebagaimana diketahui, melalui Permenkes Nomor 64 Tahun 2016 ini pemerintah akan menyamakan pembayaran selisih bagi pasien yang naik kelas dengan besaran maksimal 75 persen dari tarif INA-CBGs. (ram/ris)
Sumber: jawapos.com