manajemenrumahsakit.net :: Jakarta, Dwi Meilesmana menggugat Rumah Sakit (RS) kenamaan di Bandung karena memasang pen tanpa izinnya. Namun gugatan senilai Rp 7 miliar itu kandas.
Kasus bermula saat Dwi berolahraga voli pada 31 Mei 2011 malam dan lutut kirinya terkilir. Lalu ia dibawa ke RS kenamaan dengan hasil rontgen menunjukkan tulang kaki kiri Dwi dinyatakan baik, tidak ada fraktur. Namun saat dilakukan MRI, ‘suspect intrasubstance tear maniscus lateral’, ACL tear disertai MCL tear hemarthrose. Adapun penampakan luar tidak lagi bengkak.
Namun menurut dokter yang memeriksa, harus dilakukan operasi terhadap lutut Dwi jika tidak mau mengalami kelumpuhan. Dwi percaya dengan diagnosa dokter dengan jaminan akan sembuh total setelah 3 bulan setelah rekonstruksi ACL tersebut. Lantas dilakukan operasi pada 1 Juli 2011 selama 3 jam. Dwi dibius total dan begitu bangun mengalami rasa sakit yang luar biasa.
“Ketika saya sadar, maka saya merasa sakit yang luar basa di kaki kiri dan terasa kaki putus dan pendarahan pada tumit,” kata Dwi sebagaimana tertulis dalam berkas gugatan yang dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), Kamis (11/6/2016).
Sejak dilakukan operasi, Dwi merasa sakit yang luar biasa dan merintih kesakitan. Obat yang diberikan untuk menahan sakit tidak dapat mengurangi penderitaan Dwi.
“Sampai menurut perawat saya telah diberi obat MST, sejenis morfin,” cerita Dwi.
Dua hari setelah dioperasi, kaki tersebut dirontgen dan Dwi baru mengetahui di kaki kiri telah dipasang 2 pen screw yang sangat besar. Ia diberitahu jika pen itu akan terpasang seumur hidup. Dwi kaget karena tidak diberitahu sebelumnya.
“Saya diberitahunya kaki kiri akan dioperasi karena ada yang sobek di dalamnya maka perlu dijahit. Namun yang sobek itu tidak pernah diperlihatkan atau pun diberitahukan bagian mananya,” tutur Dwi.
Pada 9 Juli 2011 ia diperbolehkan pulang dengan kondisi masih sakit dan menggunakan 2 tongkat brace dengan flexi 30 derajat dan harus istirahat hingga sepekan. Sepekan setelah itu ia kontrol kembali dan dibuka jahitannya tapi sakitnya belum sembuh.
“Setelah operasi itu rasa sakit dan bengkak pada kaki kiri tidak pernah hilang, hanya bisa tidur paling lama 2 jam sehari,” ujar Dwi.
Hingga dua bulan setelah setelah operasi, Dwi salat masih duduk dan tengkuk hanya bisa menekuk 40 derjat dengan rasa sakit sekali.
“Tidur pun tersiksa” tutur Dwi yang menyerahkan permasalahan hukum itu kepada Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Dede Sumanta SH- Yusuf Suparma SH & Rukan.
Pada 1 September 2011, Dwi kembali dioperasi kedua oleh dokter yang sama dengan dibius total. Keadaan membaik yaitu bisa menekuk 90 derajat tetapi kaki kiri sangat sakit dan terdapat memar serta banyak luka bekas suntikan. Saat hal ini ditanyakan ke dokter spesialis lain di RS itu, Dwi malah dimarahi dan diminta memasang total knee dengan alasan tulang Dwi sudah keropos.
“Apabila diperhatikan dengan seksama rupanya upaya itu untuk menutupi dan menghilangkan bukti kesalahan operasi yang telah melakukan dengan memanfaatkan kebodohan dan ketidaktahuan pasien. Untung saja saya menolak untuk dilakukan totol kneee tersebut,” cerita Dwi
Pada 7 September 2011 Dwi kembali pulang tapi dengan kondisi masih sakit dan bengkak. Otot-otot kiri terasa pecah dan bengkak serta memas. Apalagi kalau berdiri sangat sakit sekalil. Sepekan setelahnya, ia kembali ke RS mmeinta untuk di-MRI tetapi ditolak dengan alasan ada metal.
Karena rasa sakitnya tidak kunjung sembuh, Dwi lalu konsultasi ke berbagai dokter untuk mendapatkan second opinion. Pada 17 Oktober 2011 ia melakukan MRI di rumah sakit kenamaan di Jakarta Selatan. Hasilnya, ditemukan vertikal ACL graft karena pemasangan screw dan implant yang ditanam jauh dari standar medis. RS tersebut lalu menganjurkan melakukan operasi ulang.
Atas temuan itu, Dwi mendatangi lagi RS pertama yang memasang pen tanpa izinnya. Anehnya, RS itu malah memberikan rujukan untuk operasi di RS lain dan menawarkan untuk membantu biaya operasi ulang. Mendapati layanan tersebut, Dwi memilih melakukan operasi ulang di Jakarta Selatan pada Juli 2012. Tapi karena sudah salah dari awal, alhasil Dwi mengalami cacat seumur hidup.
Atas apa yang dialami, Dwi meminta pertanggungjawaban terhadap RS di Bandung. Tapi karena cara kekeluargaan tidak menemui titik temu, Dwi mengajukan gugatan dengan meminta ganti rugi Rp 7 miliar. Tapi apa kata Pengadilan Negeri (PN) Bandung?
“Menolak gugatan untuk seluruhnya,” putus majelis PN Bandung yang diketuai majelis Amron Sodik dengan anggota Maringan Marpaung dan Rinu Sesulih Bastam. Atas putusan itu, Dwi mengajukan banding pada 4 Maret 2015.