Serang
Archive for 2014
Edisi Minggu ini: 22 – 28 April 2014
Website ini akan update setiap Selasa pagi. Nantikan Informasi terbaru setiap minggunya. | |||
Minggu ini akan ada seminar lain yang membahas Reformasi Pengorganisasian Rumah Sakit, juga di FK UGM. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari diskusi-diskusi sebelumnya yang membahas mengenai peran Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Daerah, yang selama ini belum berjalan dengan harmonis. Seminar akan diselenggarakan pada Hari Rabu, 23 April 2014, Pukul 10.00
22 Apr2014
RS Pendidikan dan Distribusi Dokter SpesialisBelakangan ini, isu mengenai penggunaan tenaga residen di rumah sakit pendidikan dan afiliasi RS pendidikan semakin ramai dibicarakan. Ada yang menganggap bahwa residen adalah mahasiswa atau peserta didik, sehingga “tindakannya” belum bisa dipertanggungjawabkan secara penuh sebagaimana tenaga kesehatan lainnya. Sebagian lainnya berpendapat bahwa residen sudah menggunakan keterampilannya untuk memberikan pelayanan di RS sehingga penempatan, pemberian tanggungjawab dan haknya perlu diatur sebagai tenaga kesehatan-tenaga kesehatan lainnya.
Bagaimana sebenarnya menyikapi isu ini?
UU Praktek Kedokteran menyatakan bahwa profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan keilmuan, kompetensi, yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Berdasarkan definisi ini, maka residen (PPDS) adalah dokter/dokter gigi yang telah memiliki kompetensi untuk memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Namun demikian, karena pendidikan kedokteran adalah proses yang sifatnya berjenjang, maka tingkat kompetensi yang dimiliki oleh residen yunior adalah kompetensi dasar. Semakin mendekati tahun terakhir maka logikanya kompetensi yang dimiliki sebagai dokter spesialispun akan semakin baik. Bahkan ada yang berpendapat bahwa residen semester akhir sudah dapat dikategorikan sebagai dokter spesialis.
Mengapa isu ini penting dibahas?
Hingga saat ini, Indonesia menghadapi masalah distribusi dokter spesialis yang sangat tidak merata. Menurut hasil penelitian terbaru PKMK FK UGM, untuk setiap 100.000 penduduk DKI Jakarta ada orang 52,75 dokter spesialis. Ini merupakan rasio tertinggi di Indonesia. Perlu diingat bahwa DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk terbanyak, sehingga jumlah dokter spesialis yang bekerja di provinsi ini juga sangat banyak. Sebaliknya, rasio terendah ada di Provinsi NTT, yaitu 1,64. Jika dilihat secara lebih spesifik pada beberapa jenis spesialisasi, maka terlihat bahwa Provinsi DKI memiliki 6,70 dokter spesialis obsgyn untuk setiap 100.000 penduduk dan NTT memiliki 0,26 dokter spesialis obsgyn per 100.000 penduduk. Dokter spesialis anak di Provinsi DKI Jakarta ada 6,42 sedangkan di Sulawesi Tenggara dan NTT hanya 0,22-0,23 per 100.000 penduduk.
Banyak provinsi tidak memiliki dokter spesialis bedah anak. Di Papua dan Sulawesi Tenggara hanya ada satu dokter spesialis patologi anatomi, sementara di DKI Jakarta ada 65 orang. Di Bengkulu hanya ada 1 orang dokter spesialis radiologi sementara di DKI Jakarta ada 182 dan di Jawa Timur ada 178 orang. Di Bengkulu dan Sulawesi Tenggara hanya ada dua orang dokter spesialis mata sedangkan di DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat masing-masing ada 296, 237 dan 205 orang dokter spesialis mata.
Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab tidak meratanya distribusi tenaga spesialis ini, antara lain kurangnya perekrutan tenaga di daerah dan infrastruktur minim menyebabkan sulitnya transportasi, sarana pendidikan dasar dan menengah serta berbagai pelayanan publik lainnya sangat kurang. Ini membuat banyak daerah yang belum berkembang menjadi semakin tidak menarik sebagai tempat bekerja bagi para profesional kesehatan.
Tidak meratanya dstribusi dokter spesialis ini semakin memperlebar jurang ketidakadilan bagi masyarakat Indonesia. RS-RS di Jawa, sebagian Sumatera dan Sulawesi memiliki jumlah yang banyak dengan jenis yang beragam, sehingga kompetensi RS-nya pun tinggi. Artinya, banyak kasus kompleks yang membutuhkan teknologi tinggi dapat ditangani oleh RS-RS tersebut. Dengan berlakunya program JKN, dana yang dikelola oleh BPJS dapat diserap dengan baik oleh daerah-daerah dengan RS yang berteknologi tinggi.
Sebaliknya, kehadiran dokter spesialis di berbagai RS pada sebagian Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua sangat minim, menyebabkan kompetensi RS rendah. Kasus sulit tidak mampu ditangani, sehingga RS hanya mampu menyerap dana JKN untuk kasu sederhana bertarif murah. Secara akumulatif, dana JKN yang berputar di daerah-daerah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan daerah lain yang lebih maju.
Memang tanggung jawab untuk memperbaiki rasio dokter spesialis ada pada pemerintah. Kemenkes sempat memiliki program flying doctor (FD) untuk melayani masyarakat di Kepulauan Seribu. Namun, sebagaimana yang pernah dibahas pada seminar “Pengembangan Dukungan untuk Dokter di Daerah Terpencil” (link: http://manajemenrumahsakit.net/2014/04/seminar-pengembangan-dukungan-untuk-dokter-di-daerah-terpencil/) yang dibahas pada awal April lalu di FK UGM, Australia pun mengakui bahya flying doctor membutuhkan dana yang sangat besar. Selain itu, Indonesia memiliki 17.500 pulau besar dan kecil yang sebagian besar memiliki infrastruktur transportasi yang minim, sehingga akan dibutuhkan banyak sekali tim FD untuk bisa melayani pulau-pulau tersebut.
Strategi lain yang dimiliki oleh Kemenkes adalah program wajib kerja bagi dokter spesialis yang baru lulus. Mereka harus menghabiskan enam bulan pertamanya sebagai dokter spesialis di daerah terpencil pilihan sesuai dengan daftar yang ada di Badan PPSDM. Namun program ini hanya berlaku bagi dokter spesialis yang sebelumnya menerima bantuan pendidikan dari Badan PPSDM. Program ini pun belum bisa secara maksimal memenuhi kebutuhan tenaga spesialis di berbagai daerah.
Dengan kata lain, pemerintah pusat tidak dapat bekerja sendirian. RS Pendidikan dapat memegang peranan yang lebih penting dalam mengatasi masalah ini, yaitu dengan mengembangkan “Unit Pengiriman Residen”. RS Pendidikan memiliki peserta didik yang sebenarnya merupakan tenaga kerja profesional, yaitu residen. Pendidikan dokter dan dokter spesialis berjenjang membuat peserta didik belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Selain menimba pengalaman di RS tempatnya menempuh pendidikan, peserta didik juga perlu menimba pengalaman di RS lain dengan setting masyarakat yang berbeda, misalnya di provinsi lain. Dengan demikian, mereka memiliki pemahaman lebih baik mengenai keragaman masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Proses ini akan mendatangkan manfaat juga bagi RS yang dituju, khususnya apabila RS tersebut tidak memiliki tenaga spesialis. Misalnya peserta didik di Bagian Obsgyn RSCM, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Sardjito dan sebagainya menjalani salah satu stasenya di NTT sekaligus untuk mengisi kekurangan dokter spesialis Obsgyn disana. Peserta didik di Bagian Mata RS Pirngadi, RS Sanglah atau RSUP Dr. Wahidin bisa mengisi kekurangan tenaga di Bengkulu dan Sulawesi Tenggara. Dan seterusnya. Daerah dapat mengalokasikan APBD untuk insentif bagi para (calon) dokter spesialis tersebut yang jumlahnya akan lebih kecil dbandingkan dengan harus merekrut dokster spesialis sendiri.
Namun program ini perlu pengelolaan yang baik dan dapat dilakukan dengan lebih efektif jika ada unit khusus yang bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Mengatur jadwal dan perjalanan misalnya, menjadi rumit dan memiliki risiko terjadinya miss-communication yang tinggi, jika tidak dikelola secara khusus. Oleh karenanya, RS Pendidikan perlu meningkatkan kemampuan dalam mengelola UPR demi mendapatkan manfaat yang lebih optimal. Bukan tidak mungkin suatu saat unit ini akan menjadi salah satu “core business” RS Pendidikan di Indonesia, selain pelayanan kesehatan, riset dan pendidikan tenaga kesehatan itu sendiri. (pea)
21 Apr2014
REFORMASI DALAM PENGORGANISASIAN RUMAH SAKITDalam Seri Diskusi mengenai
21 Apr2014
Dinkes Sulut Programkan Rumah Sakit MataDinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sulawesi Utara, memprorgramkan untuk pembangunan Rumah Sakit Mata di daerah itu.
Kepala Dinkes Sulawesi Utara (Sulut) dr Grace Punu, di Manado, Sabtu, mengatakan, akan meningkatkan status dari Balai Kesehatan Mata (BKM) yang ada di daerah itu.
‘Peningkatan status tersebut dari balai menjadi Rumah Sakit khusus mata,’ kata Grace.
GracePunu mengatakan, pembangunan rumah sakit itu direncanakan selesai pada tahun 2015.
Rumah Sakit mata itu nantinya merupakan pertama di kawasan timur Indonesia.
‘Saat ini pemerintah telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp8 miliar untuk pembangunan rumah sakit itu,’katanya.
Menurut Grace, BKM dimiliki daerah itu memiliki peralatan cukup baik dan terus berupaya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat di daerah.
Dengan pelayanan tersebut, BKM itu mendapatkan penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri untuk pelayanan prima.
Pelayanan yang baik dan didukung dengan peralatan memadai membuat animo masyrakatdatang ke balai tersebut untuk pemeriksaan dan pengobatan mata terus meningkat.
‘Animo masyarakat yang begitu besar sehingga memprogramkan pembangunan rumah sakit mata,’ katanya.(ant/rd) Sumber: ciputranews.com
21 Apr2014
Standar Pelayanan JKN Akan Diberlakukan di Rumah Sakit Swasta
“Alasannya, standardisasi BPJS masih berbeda dengan standardisasi pelayanan dokter terkait biaya. Untuk itu kami akan memberikan rekomendasi terkait standar clinical pathway atau aturan dan pedoman pokok, yang berbeda antar rumah sakit,” ujar Sjahrul di Depok, Jawa Barat (Jabar), Ahad (20/4).
Diakui Sjahrul, sejak 100 hari digulirkan, evaluasi terhadap pelayanan BPJS masih terus dilakukan. Evaluasi terkait masih banyaknya keluhan baik pasien maupun dokter selaku pemberi jasa dan fungsi sosial.
“Itu tidak gampang mewujudkan standar pelayanan JKN dan itu menjadi pekerjaan rumah kami,” terang Sjahrul.
Menurut Syahrul, kendala itu lantaran sampai saat ini pemerintah dan BPJS belum mempunyai standar jasa pelayanan fee dokter. Padahal, standardisasi itu wajib segera dibuat dengan tetap mengutamakan peranan dokter sebagai fungsi sosial.
“Dokter spesialis itu pasti mahal, apalagi di rumah sakit swasta mereka banyak yang bukan dokter tetap. Untuk itu tarif harus memiliki standar,” jelasnya.
Lanjut Syahrul, cukup dilematis, jika dokter di rumah sakit swasta bisa ‘jual mahal
21 Apr2014
Komite Keperawatan RSUD selenggarakan In House Training
Sumber: rsudtpi.kepriprov.go.id
21 Apr2014
JR Tasikmalaya Lakukan MOU Penanganan Korban Laka Lantas Terpadu dengan 2 Rumah Sakit di Ciamis
21 Apr2014
Irwan Prayitno Puji Sistem Pelayanan RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi
“Rumah Sakit Umum Daerah Achmad Mochtar dengan type B, merupakan kebanggaan kita bersama, dedikasi, perhatian terus meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap publik tentu juga menambah kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kita akan terus mendorong peningkatan pelayanan kesehatan oleh RSUD Achmad Mochtar untuk terus menjadi lebih baik dan mampu pula memotivasi pelayanan rumah sakit lainnya di Sumatera Barat,” ujar Irwan.
Kunjungan Irwan Prayitno ke RSUD Achmad Mochtar ini merupakan bagian dari respon penilaian Ombudsman RI Perwakilan Sumbar, yang mengacu pada kepatuhan daerah melaksanakan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik beberapa waktu lalu. Adapun parameternya standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi pelayanan publik, sumber daya manusia, unit pengaduan, sarana bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus, visi dan misi dan motto, sertifikat ISO 9000:2008, atribut dan sistem pelayanan terpadu.
Dalam UU NO 25 Tahun 2009, tidak ada pembedaan penilaian terhadap SKPD atau penyelenggara pelayanan yang melakukan pelayanan publik atau tidak. Alasannya, SKPD yang tidak langsung memberikan pelayanan, tetap dihitung sebagai SKPD yang menjalani proses pemberian pelayanan. Jika tidak menempelkan visi dan misinya serta maklumat pelayanan, otomatis mengurangi penilaian. Demikian juga ketika tidak menyiapkan pelayanan khusus kelompok rentan dan tidak memiliki informasi pelayanan publik, juga menjadi indikator penilaian.
Berdasarkan zonasi Provinsi Sumbar dari 15 SKPD yang disurvei, hanya 5 SKPD mengantongi penilaian sedang. Sisanya merah. Yang dapat rapor merah DPKD, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bapedalda, Kesbangpol Sumbar, Disperindag, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Prasjal Tarkim.
Dalam kesempatan tersebut Irwan Prayitno juga melakukan peninjauan ke pelayanan Samsat Kota Bukittinggi di jalan Bukittinggi – Medan Km 6 Baringin JR. PGRM Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, yang dirasa cukup jauh dari tempat kediaman penduduk.
“Tentunya ini perlu kita pikirkan bagaimana kegiatan samsat Bukiittinggi ini dapat dekat dengan masyarakat, sehingga mudahkan pelayanan kepada masyarakat atau publik,” ungkap Irwan.
Dalam kesempatan itu Irwan Prayitno juga menyampaikan apresiasi atas sistem dan mekanisme pelayanan publik yang telah dilakukan RSUD Ahmad Mukhtar.
“Pimpinan, para dokter dan karyawan RSUD Ahmad Mukthar Bukittinggi telah melakukan sistem pengaduan lewat telepon dan sms, merespon keluhan masyarakat dan pasien, sehingga selalu berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik,” katanya.
Dalam kunjungan ke RSUD Ahmad Mukhtar tersebut Gubernur Irwan Prayitno di dampingi Direktur RSUD Ahmad Mukthar Dr. Hj Ernamawati, M.Kes serta beberapa pejabat RS lainnya.[dm/humas sumbar] Sumber: pkssiak.org
18 Apr2014
RS Happyland Miliki Unit Hemodialisa BaruYOGYA (KRjogja.com) – RS Happy Land Yogyakarta, Senin (15/04/2014) resmi memiliki Unit Hemodialisa, atau unit untuk cuci darah baru. Pembukaan dan peresmian unit seluas 650 meter persegi di lantai dua RS ini dilakukan Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti. “Hal ini diharap bisa melengkapi cakupan layanan rumah sakit ini, dimana dengan peralatan yang ada terbuka kesempatan masyarakat memanfaatkan fasilitas sebaik-baiknya. Diharapkan bisa melayani masyarakat dengan lebih cepat, lebih baik, lebih mudah, dan lebih murah kalau bisa,” jelas walikota. Direktur RS Happyland Endang Pudjiastuti menerangkan, peresmian ruang baru ini akan menjadikan RS yang dipimpinnya bermakna lebih, karena akan menjadi fasilitas kesehatan sekunder di Kota Yogya yang lebih baik. Bahkan, siap membantu program Pemkot Yogya, dalam melayani kesehatan masyarakat. “Kami terus mengejar untuk pelayanan kesehatan tingkat tersier, namun harus terus memperbaiki berbagai fasilitas dan dokter,” ujarnya. Sementara Wakil Direktur Pelayanan Medis RS Happyland Zeni Komarudin menerangkan, fasilitas hemodialisa sebenarnya sudah dimiliki RS ini tahun 2008, yang terletak di bagian barat rumah sakit. Fasilitas lama memiliki 11 mesin dari Swedia. Sekarang fasilitas baru memiliki 15 unit mesin baru dari Jerman, dan akhir tahun ditargetkan ditambah menjadi 30 mesin. “Ruangan juga dipindah ke sebelah timur rumah sakit, yang lebih nyaman dan luas, sehingga pasien cuci darah bisa lebih nyaman,” jelasnya. Ia menerangkan, sebanyak 90 persen pasien cuci darah di RS ini adalah pasien BPJS Kesehatan. Sementara dalam sebulan selama ini dilakukan sebanyak rata-rata 450 ‘treatment’ pasien hemodialisa. “Diharapkan fasilitas baru ini bisa melayani lebih banyak pasien, terutama pasien gagal ginjal kronik,” ujarnya. (Den) Sumber: krjogja.com |