Menyongsong HKN ke 50 dan Perubahan Sistem Pelayanan Kesehatan Sebagai Dampak Dari Pelaksanaan UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN
15 Oktober 2015 – 18 Oktober 2015
Hari 1 :: Hari 2 :: Hari 3 :: Hari 4
Paripurna 11 : Patient Centered Care Dalam Akreditasi Versi 2012
Hari terakhir pada Seminar Nasional XIII PERSI, Seminar Tahunan VIII Patient Safety dan Hospital Expo XXVII membahas topik mengenai patient centered. Pada sesi ini, dr. Djoni Darmadjaya, SpB, MARS bertindak sebagai moderator. Sementara, narasumber sesi ini terdiri atas: dr. Nico A. Lumenta, K. Nefro, MM, MH.Kes (KARS) dan dr. Djoti Atmodjo, SpA, MARS (KARS). Untuk narasumber lain yaitu Prof. Dr. Hardyanto Soebono, dr, Sp KK (K) dan Prof. Dr. dr. Herkutanto, SpF, SH, LLM (Ketua Konsil Kedokteran) berhalangan hadir namun inti dari bahan yang akan disampaikan oleh kedua narasumber tersebut dipaparkan dalam pembahasan narasumber lainnya, sehingga peserta tetap mendapatkan pemaparan yang lengkap.
Dr. Nico A. Lumenta menyoroti mengenai kolaborasi interprofesional dalam asuhan pasien pada standar akreditasi baru yaitu akreditasi versi 2012 dimana pelayanan berfokus pada pasien (Patient Centered Care). Hal ini tentunya membutuhkan kolaborasi interprofesional dan kompetensi interprofesional. Pada model tradisional, dokter menjadi pusat pelayanan dan nakes berada di sekeliling sehingga patient safety tidak terjamin. Terdapat dua kubu yaitu dokter vs pasien sehingga dapat terjadi potensi konflik yang tinggi. Sedangkan dengan konsep PCC yang menjadi pusat pelayanan adalah pasien dan keluarga. Nakes diposisikan di sekeliling pasien dan menjadi partner dari pasien. Hal ini berbeda jauh dengan model tradisional dan nakes harus mempunyai kompetensi yang baik dan melakukan tugas mandiri. Dengan konsep PCC ini pasien dengan dokter dan nakes menjadi satu kubu dan potensi terjadinya konflik menjadi rendah.
Konsep PCC dilihat dari sisi pasien akan lebih memberikan martabat dan respek (menghormati dan menghargai) terhadap pasien, berbagi informasi, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan dapat berkolaborasi. Sedangkan dari sisi nakes, dengan konsep PCP ini terdapat hubungan interdisiplin, interprofesional (kolaborasi dan pendidikan), kompetensi, dan DPJP sebagai clinical leader. Beberapa elemen dalam praktek kolaborasi diantaranya tanggung jawab, akuntabel, koordinasi, komunikasi, kerja sama, asertif, otonomi, serta percaya dan respek. Kompetensi interprofesional meliputi beberapa ranah kompetensi. Ranah kompetensi pertama adalah nilai atau etika dalam praktek interprofesional yang meliputi kerja sama nakes dari berbagai profesi lainnya. Ranah kompetensi kedua adalah peran atau tanggung jawab dimana mengkomunikasikan secara jelas peran dan tanggung jawab nakes kepada pasien. Ranah kompetensi ketiga adalah komunikasi interprofesional dimana mengkomunikasikan secara konsisten pentingnya kerja sama. Serta ranah kompetensi keempat adalah kerja sama tim dimana kerja sama ini akan mencerminkan kinerja individu dan tim.
Dalam menerapkan konsep PCC ini juga terdapat beberapa hambatan seperti pasien yang pasif, kurangnya pengetahuan dan pelatihan terhadap nakes, serta budaya organisasi. Namun dari kesemuanya itu konsep PCC lebih banyak memberikan nilai yang positif bagi pasien dimana pasien dapat lebih patuh untuk mengikuti anjuran dokter dan nakes yang merawat mereka.
Topik selanjutnya yang dibahas adalah integrated notes dalam standar akreditasi versi 2012 yang dipaparkan oleh dr. Djoti Atmojo. Pola pikir dalam pengembangan akreditasi adalah pengumpulan bukti yang kemudian dijadikan dokumen. Dari dokumen tersebut akan menghasilkan regulasi. Dokumen akreditasi rumah sakit di dalamnya terdapat regulasi sebagai dasar pelaksanaan asuhan dan dokumentasi bukti. Komunikasi antar pemberi asuhan berisi progress note (catatan perkembangan pasien terintegrasi), ringkasan pulang, ringkasan rawat jalan, dan formulir transfer intra hospital dan intern hospital (rujukan). Progress note ini dilakukan oleh dokter, perawat, maupun tenaga kesehatan lainnya yang menjelaskan kondisi pasien dan terapi yang diberikan atau direncanakan.
Progress note ini berisi informasi mengenai pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan laboratorium, dan hal – hal yang terjadi dalam 24 jam terakhir. Setelah melakukan pengisian progress note maka selanjutnya perlu dilakukan asessment yang mengintegrasikan dan menganalisa masalah dalam asuhan pasien. Langkah selanjutnya ialah membuat rencana asuhan dan prgram berdasarkan diagnosa setiap masalah. Saat ini, penulisan progress note menggunakan model SBAR yang didalamnya menggambarkan situasi gejala yang dialami pasien, riwayat kesehatan pasien, tanda vital, dan cek permintaan perawat terhadap dokter misalnya perlu vicite, pemeriksaan laboratorium radiologi, perubahan obat, pemberian cairan intravena, maupun observasi dan pelaporan.
Paripurna 12 : Motivator
Pada sesi yang paling akhir ini, peserta diberi motivasi yang dapat menggugah semangat untuk memajukan masing-masing rumah sakitnya. Dr. (HC) Ary Ginanjar Agustian sebagai motivator ulung dan pendiri ESQ mengemukakan bahwa dalam setiap perubahan pasti ada respon. Perubahan dapat berupa sistem serta budaya dan perilaku yang dapat menimbulkan reaksi bermacam-macam. Pada penetapan program BPJS tentunya mendapat berbagai reaksi, diantaranya kecemasan oleh pengelola rumah sakit, ketakutan oleh dokter maupun pengelola rumah sakit, ancaman, perasaan bersalah, depresi, bahkan akhirnya berujung pada permusuhan. Namun ada pula yang bereaksi bahagia yaitu rakyat Indonesia yang akhirnya dapat dijamin kesehatannya oleh pemerintah. Zona reaksi yang cukup berbahaya adalah depresi dan pada akhirnya dapat mengakhiri operasional rumah sakit. Namun jika rumah sakit mau menerima malah rumah sakit tersebut akan semakin maju dan semakin bersemangat untuk bereksplorasi.
Salah satu cara untuk mengatasi perubahan adalah dengan menerima perubahan itu sendiri sehingga akan menghasilkan keefektifan. Empat hal yang menghambat sebuah organisasi untuk berubah menjadi sukses adalah low priority little action, fast start little out, anxiety frustation, dan just a dream. Lebih lanjut Ary Ginanjar memotivasi para peserta untuk menjadi agent of change not victim of change. Jika tidak, maka tidak akan bertahan dalam jangka panjang. Contoh yang diambil adalah kehidupan dan perjuangan ikan salmon di Samudera Atlantik dan Samudera Pasifik. Ikan salmon terlahir di sungai di daerah Columbia USA. Pada tahun pertama mereka pindah ke lautan selama 4 – 7 tahun. Setelah waktu tersebut ikan salmon harus kembali ke sungai. Selama perjalanan pulang ikan salmon tidak makan, banyak mati karena luka, letih, maupun dimakan pemangsa. Namun setelah sampai ke hulu sungai, seekor salmon betina dapat menelurkan 3,000 butir telur baru sebagai generasi baru salmon.
Dari cerita tersebut kita mendapat gambaran bahwa dengan diterapkannya program BPJS terkadang rumah sakit mengalami disharmoni. Dalam menghadapi perubahan di era BPJS ini, karakter gigih dan rela berkorban harus mendasari kemauan untuk berubah. Rumah sakit harus disiplin, pantang menyerah, rela berkorban, dan bekerja dalam satu tim untuk menjalankan program BPJS secara optimal. Selain itu rumah sakit harus mengetahui misi, visi, nilai, dan strategi rumah sakit, bukan hanya sebagai tulisan saja. Rumah sakit memerlukan hospital corporate culture agar dapat menjadi rumah sakit yang setaraf dengan rumah sakit di Asia Pasific. Tiga kekuatan yang harus dibentuk adalah kekuatan intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Ketiga ini yang harus disatukan agar dapat menjadikan rumah sakit Indonesia emas.
Reporter: Elisabeth Listyani
Editor: Widarti