CIREBON, (PRLM).- Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Jati kesulitan melakukan pengadaan obat, menyusul penolakan sebagian distributor obat terhadap skema harga obat baru yang ditetapkan pemerintah. Pascapemberlakuan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pemerintah telah menetapkan harga baru untuk obat.
Menurut Direktur Utama RSUD Gunung Jati Heru Purwanto, sebagian distributor menolak mengirimkan obat-obatan berdasarkan harga baru yang ditetapkan pemerintah. Mereka menolak karena menilai harga baru obat yang ditetapkan pemerintah lebih murah.
Dikatakan Heru, setiap distributor obat memberlakukan harga yang berbeda dan ia tidak hapal besaran masing-masing.
“Sebagian distributor tetap menolak mengirimkan obat karena menilai harga baru yang ditetapkan pemerintah dinilai lebih murah. Makanya kami jadi kesulitan mengadakan persediaan obat,” katanya.
Saat ini, lanjut Heru, pihaknya membatasi pembelian obat tidak lebih dari Rp 200 juta. Heru sangat mengkhawatirkan persediaan obat tak mencukupi, hingga berimbas pada minimnya pelayanan obat bagi pasien asal Kota Cirebon.
Menurut Heru, pihaknya sudah menyampaikan kesulitan tersebut ke DPRD Kota Cirebon. “Selain agar dewan tahu posisi RSUD Gunung Jati, kami juga berharap ada solusi dari masalah ini,” ucapnya.
Heru memastikan, kalau tidak segera diatasi atau ada solusi, masalah tersebut bakal berdampak kepada pelayanan rumah sakit. “Kalau situasi seperti ini, persediaan obat tidak akan bisa mencukupi. Karena bersamaan dengan diberlakukannya program BPJS terjadi kenaikan kunjungan pasien,” jelasnya.
Pemberlakuan program BPJS, lanjutnya, telah menyebabkan peningkatan kunjungan pasien ke rumah sakit. Kenaikan itu diantaranya terjadi pada pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) 50%, rawat jalan 40%, dan rawat inap 30%. “Satu sisi terjadi kenaikan kunjungan pasien, namun di sisi lain malah stok obat terbatas,” katanya.
Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Cirebon Andi Rianto Lie meminta pemerintah harus bisa menekan distributor obat agar menerima harga baru yang sudah ditetapkan. Pasalnya, jika distributor bersikeras menggunakan harga lama, rumah sakit pasti rugi. Kalau rugi terus menerus, rumah sakit tidak mungkin akan bisa bertahan.
Andi mengakui kondisi dilematis yang dihadapi rumah sakit. “Harga obat lama kan memang lebih mahal dibanding harga obat baru yang ditetapkan pemerintah. Kalau rumah sakit pakai harga baru, distributor obat menolak mengirimkan obatnya. Namun kalau menggunakan harga lama, rumah sakit rugi,” ujarnya.
Menurut Andi, solusi yang memungkinkan adalah pemerintah harus menekan distributor obat supaya pengadaan obat di rumah sakit tidak dipersulit.
Sementara itu, Kepala Cabang BPJS Kota Cirebon Bona Evita menyatakan, harga obat didasarkan keputusan Menteri Kesehatan. Terkait adanya penolakan distributor obat untuk melakukan pengadaan ke rumah sakit, dia meminta dilaporkan kepada pihaknya.
Dia menegaskan, prinsip sistem pelayanan jaminan kesehatan nasional (JKN), adalah tidak boleh ada pembedaan dalam pelayanan kepada pasien. “Di Kota Cirebon, peserta BPJS mencapai 200 ribu jiwa, diantaranya terdiri dari 102.702 jiwa peserta Jamkesmas, 39.084 jiwa peserta Askes dan 25.565 jiwa peserta Jamsostek, dan lainnya,” katanya. (A-92/A-89)***
Sumber: pikiran-rakyat.com