VIVAnews – Puluhan rumah sakit di Jakarta menolak bergabung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh PT Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. JKN mulai diluncurkan pada 1 Januari 2014 lalu.
Kepala Dinas Kesehatan Dien Emmawati, mengatakan ada 71 rumah sakit swasta di Ibu Kota yang tidak bersedia melayani pasien BPJS. Kata dia, rata-rata yang tidak bersedia adalah rumah sakit swasta murni dengan pajak yang sangat tinggi.
“Jaminan kesehatan sudah kami bahas dengan BPJS, di Jakarta itu ada 152 rumah sakit yang ada, tapi hanya 81 yang bersedia ikut. Artinya hanya separuh kan,” kata Dien saat dihubungi VIVAnews, Selasa, 4 Maret 2014.
Rumah sakit yang tidak bersedia bergabung dengan BPJS di antaranya rumah sakit elit, seperti Rumah Sakit Pondok Indah, Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC) dan Rumah Sakit Medistra.
Selain harus membayar pajak tinggi, rumah sakit juga harus bayar listrik, air dan sebagainya. Rumah sakit yang tergolong elit itu juga hanya dibebani pasien kelas III antara 17 sampai 22 persen.
“Berbeda dengan rumah sakit Tarakan dan rumah sakit milik pemerintah lainnya dengan subsidi tinggi dan pajaknya juga kecil. Kalau rumah sakit daerah milik DKI kan untuk melayani pasien kelas III bisa sampai 80-90 persen,” katanya.
Sebenarnya, kata Dien, 71 rumah sakit swasta yang belum tergabung dalam BPJS itu hanya tinggal membenahi ikatan kerjasama (IKS). Sebab, rumah sakit yang tergolong elit itu pun masih memiliki ruang kelas III sebanyak 17-22 persen. Sehingga sangat disayangkan apabila tidak dioptimalkan.
“Alangkah baiknya apabila ruang kelas III di rumah sakit elit itu digunakan dalam keadaan darurat saja.” Selanjutnya, setelah masa kritis pasien berlalu, maka segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki ikatan kerjasama dengan BPJS.
Misalkan, ujar Dien, ada kecelakaan di depan RS Medistra. Pihak rumah sakit harus menolong dulu. Emergency-nya akan dibayar BPJS, setelah itu dirujuk ke RS yang IKS dengan BPJS sudah bagus.
Tak pengaruhi pelayanan
Meski ada rumah sakit yang menolak gabung, Dien memastikan itu tidak mempengaruhi pelayanan terhadap pasien BPJS di Jakarta. Menurut Dien, mereka menolak bergabung karena tidak cocok dengan sistem pembayaran Indonesian Case Based Groups (INA CBGs).
“Di Jakarta sudah banyak rumah sakit yang ikut BPJS, ada 81 rumah sakit, 340 Puskesmas dan 88 klinik. Itu sudah banyak. Coba cari di provinsi lain yang sebanyak DKI ada tidak? Ini karena masyarakatnya saja yang belum care. Jakarta ini di klinik saja ada BPJS,” ujarnya menerangkan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan lagi upaya peventif dan promotif. Promotif dilakukan supaya masyarakat lebih tahu. Sehingga, ketika sakitnya tidak terlalu parah, mereka tidak langsung datang ke rumah sakit. Tetapi bisa datang dulu ke Puskemas atau klinik.
Dengan upaya preventif, warga Jakarta bisa mencegah sebelum mengobati penyakit. Di luar negeri pun, kata dia, dilakukan hal yang seperti itu. Jadi rumah sakit tidak terlalu banyak didatangi pasien.
“Jadi inginnya supaya kita cegah supaya orang tidak sakit, di luar negeri itu rumah sakit sepi, tidak ramai. Karena di ujungnya main preventifnya. Kemudian konsultasi ke dokter pribadinya jalan. Itu yang akan kami galakkan. Sudah ada Puskesmas di pasar dan Puskesmas di rusun,” kata Dien. (umi)
Sumber: metro.news.viva.co.id