Berikut ini adalah tanya jawab terkait dengan persiapan RSUD untuk menjadi BLUD, berisi rangkuman dari hasil workshop dan konsultasi yang dilakukan oleh PKMK FK UGM dengan beberapa RSUD di Indonesia. Saat membantu sebuat RSUD dalam persiapan menerapkan PPK BLUD, tim konsultan/fasilitator seringkali dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dari RSUD yang didasari pada kebutuhan untuk mempersiapkan diri dalam melakukan advokasi dengan Pemda dan DPRD.
1. Mengapa setelah menjadi BLUD, anggaran yang diperlukan oleh RSUD justru lebih banyak dibandingkan dengan sebelum BLUD?
Jawab:
Anggaran tersebut diperlukan untuk peningkatan pelayanan. Jika selama ini pelayanan RSUD mutunya dibawah SPM, maka pasti RSUD mendapat banyak komplain dari masyarakat. Bapak/ibu pejabat daerah juga enggan berobat ke RSUD, dan lebih memilih ke RS swasta atau ke luar daerah. Mengapa? Karena pelayanan di RSUD dianggap buruk, tidak bermutu, apalagi bergengsi. Jadi RSUD membutuhkan anggaran tersebut untuk mengangkat kualitas pelayanan minimal agar sesuai dengan SPM.
Menjadi BLUD bukan berarti kemudian RS menjadi sebagai mesin uang (bagi Pemda). BLUD berarti menjadikan RS lebih bermutu. Jika RS bermutu, masyarakat yang sakit akan lebih cepat sehat kembali. Jika mereka sehat, mereka akan lebih produktif, bisa kerja lebih banyak, bisa membayar pajak lebih banyak. Kalau mereka sakit lebih lama, mereka akan butuh subsidi lebih banyak. Pemda pilih mana?
2. Apa untungnya BLUD bagi Pemda kalau anggaran/subsidi untuk RSUD malah tambah banyak (dari proyeksi keuangan di RSB)?
Jawab:
Permendagri 61/2007 Pasal 1 ayat 1 berbunyi: Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan pada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Dilain pihak, BLUD atau tidak BLUD, RSUD memiliki misi untuk melayani seluruh lapisan masyarakat, termasuk orang miskin. Jadi sepanjang RS diwajibkan untuk melayani orang miskin maka sepanjang itulah subsidi dari pemerintah dibutuhkan. Karena fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, bukan oleh RS. Jika sudah jadi BLUD, diharapkan RSUD akan menjadi lebih efisien. Jadi untungnya bagi Pemda adalah anggaran daerah bisa dimanfaatkan secara lebih baik, tidak bocor (inefisiensi), tidak salah alokasi (subsidi untuk pelayanan yang dinikmati oleh bukan orang miskin), dan masih banyak lagi.
3. Lalu dimana letak bedanya antara yang sudah BLUD dengan yang belum?
Jawab:
Bedanya: yang sudah BLUD diharapkan tarifnya sesuai dengan unit cost. Jadi kalau tarif pelayanan untuk orang miskin lebih rendah dari unit cost, disitulah subsidi pemerintah terjadi. Pelayanan Kelas III tentunya boleh-boleh saja disubsidi. Namun jangan sampai pelayanan Kelas VIP dan Kelas I yang disubsidi oleh Pemerintah. Artinya jangan sampai tarif di kelas-kelas pelayanan tersebut lebih rendah dari unit cost karena itu berarti APBD mensubsidi orang mampu.
4. Mengapa perlu ada insentif khusus/jasa layanan untuk tenaga yang bekerja di RS? Bukankan mereka sudah mendapat gaji?
Jawab:
Kita perlu memberi insentif tersebut karena profesionalisme, karena orang-orang yang bekerja di RS merupakan profesi-profesi yang khusus. Semakin langka suatu profesi, makin tinggi insentifnya. Dan itu berlaku dimanapun di seluruh dunia. Selain itu, terkait juga dengan masalah risiko pekerjaan. Orang yang bekerja di RS menghadapi berbagai risiko, mulai dari tertular penyakit pasien sampai risiko tuntutan kalau terjadi kesalahan. Ini perlu dilindungi, salah satunya dengan memberi insentif lebih. Kemudian terkait masalah kekhususan pekerjaan. Pelayanan di SKPD lain di daerah kebanyakan tidak buka 24 jam. Jadi Pk. 14.00 para karyawannya sudah bisa pulang dengan tenang dan besoknya baru melanjutkan pekerjaannya lagi. Orang yang bekerja di RS tidak bisa seperti itu. Meskipun yang shift pagi bisa pulang ke rumah pukul 14.00, tetap saja sewaktu-waktu mereka harus ready jika ada masalah di RS, entah dia itu manajemen, apalagi kalau dia adalah seorang dokter atau perawat.
Karena keterampilannya bersifat khusus, orang-orang yang bekerja di RS saat masih bersekolah menempuh pendidikan dengan perjuangan yang sangat tidak mudah. Maka wajar jika diberi insentif yang berbeda dengan SKPD lainnya.
Untuk mendapatkan tingkat profesionalisme seperti yang dimiliki oleh staf yang bekerja di RS sangat tidak mudah. Diperlukan pengorbanan berupa tenaga, pikiran, waktu dan finansial yang tidak sedikit untuk menjadi profesi tertentu (misal dokter spesialis, perawat khusus, dan sebagainya). Pemerintah juga harus bisa memastikan bahwa orang-orang yang bekerja di RS memiliki kompetensi yang memenuhi standar. Orang-orang yang datang ke RS dengan masalah kesehatan berarti menyerahkan “nasibnya” bahkan nyawanya pada tenaga kesehatan. Tentunya kita tidak ingin masyarakat ini kemudian dilayani oleh tenaga yang tidak kompeten.
5. Banyak kekhawatiran di kalangan pejabat Pemda, bahwa jika RSUD sudah dtetapkan menjadi BLUD maka tarifnya jadi mahal. Bagaimana menjelaskan hal ini?
Jawab:
Tarif naik atau tidak pasca BLUD, itu kembali pada kebijakan Pemda itu sendiri. Pemda bertanggung jawab untuk menjamin bahwa semua warganya bisa mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu. Jika ada warganya yang tidak mampu mengakses karena keterbatasan finansial, mana disitulah tanggung jawab Pemda untuk “membelikan” pelayanan tersebut bagi warganya yang tidak mampu dan itulah yang disebut sebagai subsidi. Untuk pelayanan di kelas-kelas lainnya, jika masih mendapat subsidi dari Pemda maka bisa saja tarifnya tidak naik atau naik sedikit, sesuai dengan selisih unit cost yang terjadi. Namun pertanyaannya adalah apakah wajar jika masyarakat yang mampu juga mendapat subsidi dari Pemda?
6. Apa saja yang harus berubah di RSUD jika telah ditetapkan sebagai BLUD?
Jawab:
Menjadi BLUD itu berarti mengubah budaya kerja. Bukan masalah uang saja, tapi mindset harus ikut berubah. Tadinya biasa dilayani, sekarang melayani. Tadinya “pasien butuh RS” sekarang “RS butuh pelanggan”. Tadinya uang disetor (ke Pemda), sekarang bisa dikelola sendiri (di rekening RSUD). Jika mindset tidak berubah, bisa dibayangkan bagaimana cara orang-orang RSUD mengelola uang yang sangat banyak tersebut.
7. Bukankan berubah menjadi BLUD prinsipnya hanya berubah dari “dulu setor, sekarang tidak”?
Jawab:
Tidak sesederhana itu. Dulu sebelum BLUD, mentalnya adalah mental “setoran” dan mental menghabiskan anggaran sebab jika anggaran tidak terserap/tidak habis, maka akan dianggap kinerjanya jelek. Sedangkan jika sudah BLUD, mentalnya kebalikan, yaitu harus berhemat, harus efisien. Jika ada dua barang yang satu seharga Rp 500 yang satubnya lagi seharga Rp 600 dengan mutu sama, mengapa harus membuang uang Rp 100 meskipun di anggaran sudah direncanakan Rp 600? Jadi tidak sesederhana “dulu setor sekarang tidak”. RS harus mulai berpikir enterpreneurship. Manajer RS dituntut untuk menjadi Manajer sungguhan, bukan sekedar Kepala RS, Kepala Keuangan, Kepala Perencanaan, Kepala Staf dan seterusnya, tapi sebagai manajer keuangan, manajer SDM, manajer operasional.
8. Banyak RS yang melaksanakan morning report. Sebenarnya morning report untuk apa? Dan berapa lama diperlukan waktu untuk melakukan morning report?
Jawab:
Morning report biasanya digunakan sebagai moment untuk berkomunikasi antara manajemen dengan fungsional sekaligus membahas berbagai masalah yang ada di RS dan menyepakati solusinya. Dari berbagai masalah yang di-morning-report-kan, baru bisa diketahui butuh berapa lama untuk melakukan morning report. Idealnya antara 30-60 menit jika dilakukan setiap hari. Jika hanya seminggu sekali, tentu lebih banyak waktu yang diperlukan karena masalah yang perlu dibahas sudah terakumulasi dalam seminggu.
Morning report ini juga bisa berfungsi sebagai sarana untuk mengubah budaya organisasi. Jika pimpinan RS komitmen untuk melaksanakan morning report, harus on time. Misalnya saja semua sepakat MM dimulai Pk. 7.00. Jadi begitu waktu menunjukkan Pk. 7 MM harus dimulai, tidak perlu menunggu yang belum datang. Lama kelamaan yang biasa terlambat akan menyesuaikan diri. (Kebiasaan untuk datang terlambat ke sebuat pertemuan adalah karena pertemuan sering molor dari undangan.) Namun pimpinan harus memberi contoh. Pimpinan bukan hanya direktur tapi juga semua pejabat di RS. Semua atasan harus beri contoh pada bawahan masing-masing. Ini salah satu cara mengubah budaya organisasi. Jika ini berlangsung secara konsisten, maka komponen-komponen yang ada di dalam RS akan bisa kompak.
Semakin banyak staf RS yang paham tentang BLUD akan semakin baik, sebab nanti para pimpinan tidak terlalu susah menggerakkan orang-orangnya untuk mencapai tujuan bersama.
9. Mengapa permohonan RSUD untuk menjadi BLUD bisa ditolak? Bagaimana agar bisa lebih meyakinkan Pemda (dan DPRD)?
Jawab:
Jika syarat administratif (dari hasil penilaian BLUD oleh tim penilai) nilainya kurang dari 60, maka pasti harus ditolak. Namun ini masih bisa diperbaiki. RS harus melengkapi atau memperbaiki syarat administrasi tersebut sesuai dengan masukan dari tim penilai. Lalu kemudian dilakukan penilaian ulang. Jika penyebabnya bukan syarat administratif (misal karena politis) RS perlu gunakan pendekatan atau advokasi. Gunakan semua peraturan tentang BLUD dan semua referensi yang terkait sebagai amunisi. Untuk dapat menggunakannya sebagai amunisi, tentu harus menguasai dulu isi peraturan-peraturan tersebut, dan yang terpenting memahami prinsip BLUD. Jika semua peraturan sudah dibaca dan dikuasai, pasti bisa memberikan penjelasan yang logis dan berdasar kuat saat melakukan advokasi.
10. Apa contohnya bahwa RSUD akan lebih efisien jika sudah ditetapkan sebagai PPK BLUD?
Jawab:
Contoh dulu sebuah RSUD di Jawa Tengah membeli lift untuk pasien seharga Rp 400 juta dengan penunjukkan langsung. Jika belum BLUD, pengadaan dengan harga setinggi itu harus melalui lelang. Harga lift ditambah dengan biaya lelang dan sebagainya, maka anggaran yang dibutuhkan kira-kira menjadi Rp 600 juta. Dalam hal ini BLUD menghemat anggaran pemerintah sebesar Rp 200 juta. Ini baru dari pengadaan lift.
Contoh lain, BLUD menetapkan tarif berdasarkan unit cost. Jika tarif Kelas III lebih rendah dari unit cost, maka selisihnya disubsidi oleh pemda. Sedangkan tarif Kelas VIP dan Kelas I tidak boleh lebih kecil dari unit cost (diatur oleh Perbup). Dan karena ditetapkan dengan Perbup, maka tarif VIP dan Kelas I bisa dibuat menyesuaikan dengan kenaikan harga-harga, agar tidak dibawah unit cost. Jika tarif Kelas VIP masih dibawah unit cost (karena ditetapkan melalui Perda yang sulit diubah) siapa yang akan menanggung selisihnya? Secara tidak disadari, selisih ini ditutupi oleh APBD. Artinya APBD diserap oleh orang kaya. Dengan kata lain Pemda mensubsidi orang yang sebenarnya mampu membayar sendiri. Tentu saja ini jauh dari prinsip efisiensi.
Contoh lain lagi adalah di Perencanaan Tahunan. RBA bersifat fleksibel, jadi bisa mengikuti kebutuhan RS (pasien). Kalau tidak memerlukan suatu barang/jasa maka RS tidak perlu membeli, meskipun saat merencanakan hal tersebut dianggarkan. Jika perlu dan kurang, RS bisa menambah anggaran, meskipun saat perencanaan hal tersebut anggarannya kurang dibandingkan dengan kebutuhan saat implementasi. Dengan cara ini pasti RS menjadi jauh lebih efisien dibandingkan “butuh nggak butuh tetap beli, dan jika tidak terpakai barang akan numpuk di gudang sampai expired”.
Dalam hal kepegawaian, jika kompetensi seorang karyawan tidak pas dengan kebutuhan RS (apalagi jika perilakunya juga tidak sesuai dengan budaya kerja yang ingin dikembangkan), bisa saja dikembalikan staf tersebut ke pemda dengan alasan kinerja (karena BLUD punya ukuran kinerja). Atau diberhentikan (kalau pegawai yang bersangkutan diangkat oleh BLUD) dan RS bisa merekrut staf baru yang lebih sesuai. Tentunya ini akan lebih menghemat anggaran RS/Pemda dibandingkan dengan “mempekerjakan orang yang hanya makan gaji buta namun kinerjanya tidak jelas”.
Tulisan terkait:
Apakah BLU secara peraturan atau ketentuan dapat melakukan pembelian secara Konsinyasi?
apakah untuk buka rekening BLUD harus minta persetujuan dari kepala daerah ?.
Assalamualaikum. wr. wb
Bapak. Manejemen Yth.
Saya ingin menanyakan apakah RSUD yang sudah BLUD bisa melakukan pelelangan aset?
kemudian hasil dari pelelangan itu apa bisa menjadi pendapatan BLUD? atau disetorkan kepada PAD Pemerintah Daerah?
mohon penjelasannya terima kasih.
Waalaikumsalam Pak Bambang
Yth Pak Bambang – RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh
Berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
Permendagri No. 61 Tahun 2007:
Pasal 107
(1) BLUD tidak boleh mengalihkan dan/atau menghapus aset tetap, kecuali atas persetujuan pejabat yang berwenang.
(2) Aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan BLUD atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
(3) Kewenangan pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai dan jenis barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Hasil pengalihan aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan pendapatan BLUD dan diungkapkan secara memadai dalam laporan keuangan BLUD.
(5) Pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaporkan kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah/kepala SKPD.
(6) Penggunaan aset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan tugas dan fungsi BLUD harus mendapat persetujuan kepala daerah melalui sekretaris daerah.
PP No. 74 Tahun 2012 tentang BLU
Pasal 22
1. BLU tidak dapat mengalihkan, memindahtangankan, dan/atau menghapus aset tetap, kecuali atas persetujuan yang dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Penerimaan hasil penjualan aset tetap sebagai akibat dari pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
3. Pengalihan, pemindahtanganan, dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan kepada menteri/pimpinan lembaga/Kepala SKPD terkait.
4. Pemanfaatan aset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait atau tidak dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi BLU harus mendapat persetujuan pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan aset BLU, diatur oleh Menteri Keuangan/ gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah
Pasal 484
(1) Barang milik daerah yang digunakan oleh Badan Layanan Umum Daerah merupakan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan untuk menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum Daerah yang bersangkutan.
(2) Pengelolaan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempedomani ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan Barang Milik Daerah, kecuali terhadap barang yang dikelola dan/atau dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Layanan Umum Daerah mempedomani ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Badan Layanan Umum Daerah.
Berdasarkan peraturan diatas, RSUD yang BLUD bisa saja melakukan pelelangan aset, tetapi dengan mendapatkan persetujuan dan sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 107 permendagri 61/2007 dan Pasal 22 PP 27/2012)
apakah RSUD yang telah berstatus BLUD Penuh dapat mengelola apotek yang menjual obat bagi masyarakat. bagaimana persayaratannya. Trimakasi manajemenrumahsakit
Yth Ibu Marselina,
Pada prinsipnya boleh. yang harus dilakukan adalah membuat peraturan kepala daerah tentang apotek swakelola, jika dana nya menggunakan surplus. karena kalau menggunakan dana APBD untuk membuka apotek swakelola, berarti sudah melenceng dari tujuan BLUD, yaitu meningkatkan pelayanan
demikian yang dapat kami sampaikan
terimakasih
RSUD kami telah dimulai sejak tahun 2010 dengan status penuh, sudah 2 kali berganti keanggotaan dewan pengawas, berkembang pertanyaan yang mohon pencerahan Tim MRS, al:
1. Mengingat fungsi, tugas dan tanggung jawab dewas yang sangat penting maka honorarium yang diberikan dengan ukuran 40:36: dan 15 % gaji direktur/pimpinan BLUD sangatlah kecil (tidak berimbang), dapatkah melakukan perhitungan berbasis persentase tersebut dikalikan total take home pay direktur/pimpinan BLUD? atau adakah rumus penetapan gaji direktur yang dapat digunakan namun memenuhi faktor2 kemampuan keuangan, pendapatan, aset dan gaji direktur (gaji pokok dan tunjangan jabatan/istri)..?
2. apakah Dewas dapat diberikan fasilitas kesehatan tertentu apabila mereka dirawat di rumah sakit tempat mereka sebagai pengawasnya? aturan apakah yang dikuti atau yang harus disiapkan?
Terima kasih atas pendapatnya…salam
2.
Kepada Yth Pak Yusuf,
1. Mengingat fungsi, tugas dan tanggung jawab dewas yang sangat penting maka honorarium yang diberikan dengan ukuran 40:36: dan 15 % gaji direktur/pimpinan BLUD sangatlah kecil (tidak berimbang), dapatkah melakukan perhitungan berbasis persentase tersebut dikalikan total take home pay direktur/pimpinan BLUD? atau adakah rumus penetapan gaji direktur yang dapat digunakan namun memenuhi faktor2 kemampuan keuangan, pendapatan, aset dan gaji direktur (gaji pokok dan tunjangan jabatan/istri)..?
Sesuai dengan Permendagri No. 61 Tahun 2007, Pasal 52:
Honorarium dewan pengawas ditetapkan sebagai berikut:
Disini tidak dijelaskan apakah gaji tersebut gaji pokok atau gaji take home pay. Apakah gaji sebagai PNS, kalau direkturnya PNS, kalau direkturnya bukan PNS?
Jadi, untuk memudahkan, dibuat peraturan kepala daerah ttg honorarium Dewan Pengawas. Tentunya honor tersebut berdasarkan kinerja dari dewas. Kalau dewas cuma datang sekali dalam sebulan, bahkan sekali dalam tiga bulan, tentu tidak layak diberikan honor yang cukup besar.
2. apakah Dewas dapat diberikan fasilitas kesehatan tertentu apabila mereka dirawat di rumah sakit tempat mereka sebagai pengawasnya? aturan apakah yang dikuti atau yang harus disiapkan?
Dewas dapat diikutkan BPJS, diambil dari honorarium yang diterima oleh dewas
Terimakasih, semoga bisa menjawab apa yang ditanyakan
Maaf saya mau tanya apa yang dimaksud dengan badan layanan umum rumah sakit itu.
Apakah blud dapat berkontribusi ke pendapatan asli daerah, syaratnya apa. Trmksh
Yth Pak Hendra,
O iya pak, karena pendapatan BLUD merupakan PAD, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 26:
(1) Kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas:
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah;
c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
d. Iain-Iain pendapatan asli daerah yang sah.
(2) Jenis pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
(3) Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup:
a. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD;
b. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN; dan
c. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
(4) Jenis Iain-Iain pendapatan asli daerah yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang antara lain:
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan secara tunai atau angsuran/cicilan;
b. jasa giro;
c. pendapatan bunga;
d. penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
e. penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
f. penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
g. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
h. pendapatan denda pajak;
t. pendapatan denda retribusi;
j. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
k. pendapatan dari pengembalian;
I. fasilitas sosial dan fasilitas umum;
m. pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
n. dihapus; dan
o. pendapatan dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Pak, rsud kami sudah blud. Kami berencana mengajukan honorarium untuk pengelola keuangan blud, yang terdiri dari pimpinan blud, pejabat keuangan, pejabat penatausahaan keuangan dan bendahara. Pertanyaan saya apakah kepala daerah dalam hal ini bupati bisa diberikan honorarium atau tidak, dan apakah ada aturan untuk hal tersebut, saya mohon penjelasnnya. Terimakasih..
Dear Liza Gusmawati,
di permendagri 61/2007, tidak ada aturan yang menyatakan bisa diberikan honorarium kepada kepala daerah, jadi sebaiknya tidak diberikan honor kepada kepala daerah
salam,
rumah sakit tempat saya bekerja 6,5 tahun berstatus blud. mohon penjelasannya mengenai cara mengevaluasi kinerja keuangan blud. terima kasih
Dear Pak Hatta,
Evaluasi kinerja keuangan dilakukan dengan memperhatiakn aspek keuangan secara menyeluruh. mulai dari penganggaran sampai dengan laporan keuangan. contohnya, apakah BLUD sudah menyusun RBA untuk penganggaran? apakah lapkeu BLUD sudah dilaporkan ke keuangan daerah pertriwulaan? bagaimana pendapatan dan biaya selama menjadi BLUD?
apakah terjadi efisiensi biaya yang dapat dilihat dari penurunan biaya yang tidak diperlukan dan lain-lain
Yth:
RS Kami baru ditetapkan sebagai PPK-BLUD penuh sejak 1 Januari 2015, saat ditetapkan kami belum menyusun Tarif layanan dan RBA, namun sejak 1 januari 2015 kami telah menggunakan langsung penerimaan RS untuk belanja operasinal. apakah ini bertentangan dengan regulasi ? terimakasih untuk penjelasan, selamat beraktivitas. wasalam
1. Untuk bisa menjadi BLUD, harus mengikuti persyaratan Teknis, Substantif dan administratif. Tarif berdasarkan UC bukan menjadi persyaratan. tetapi, setelah menjadi BLUD, maka tarif harus berdasarkan UC, sesuai dengan permendagri 61 tahun 2007, pasal 57 – 59.
2. pada saat penetapan menjadi BLUD, apakah APBD 2015 sudah disahkan?? jika belum, maka RS menyusun RBA untuk APBD 2015. tp jika APBD sudah disahkan, maka RS yang sudah menjadi BLUD, mengikuti RKA yang sudah dibuat. fleksibilitas BLUD hendaknya diikuti oleh aturan kepala daerah. jadi apabila APBD 2015 sudah disahkan, kemudian RS disahkan menjadi BLUD setelah pengesahan APBD, maka Perkada tentang Penjabaran APBD dirubah mengikuti dirubahnya RS menjadi BLUD…..
Demikian yang dapat disampaikan,
salam,
RS kami sudah 4 tahun blud, target belum tercapai atau target pendapatan RS belum tercapai.
1. Apakah direktur RS sudah boleh mendapatkan gaji blud diluar gajinya sebagai PNS.
2. Apakah kabid dan kabag di RS sudah boleh diberikan tunjangan kabid atau kabag disamping tunjangan
Struktural yang sudah diberi Pemda dan gaji PNS ?
Mohon penjelasannya, terima kasih.
Dear Ibu Komariatun,
Pencapaian kinerja BLUD dan pemberian remunerasi pada pejabat pengelola BLUD adalah dua hal yang berbeda.
Pencapaian kinerja BLUD, sesuai dengan Permendagri 61/2007, dapat diukur dari kinerja pelayanan, kinerja keuangan dan kinerja manfaat setelah RSUD ditetapkan sebagai BLUD. Pengukuran ini (seharusnya) dilakukan secara reguler dan menjadi basis bagi penetapan status selanjutnya setelah RSUD menerapkan BLUD selama 3 tahun (apakah akan tetap, dinaikkan atau diturunkan statusnya). Pencapaian kinerja ini setiap tahun harus dimonitor, dievaluasi dan dilaporkan oleh Dewan Pengawas kepada Kepala Daerah (Pasal 44). Jika RSUD tidak punya Dewas, maka penilaian kinerja dilakukan oleh Kepala daerah (Pasal 127 – 129). Selain itu, BLUD juga harus melakukan pengukuran pencapaian kinerja disertai analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhinya (Pasal 69).
Pemberian remunerasi pada pejabat BLUD memang dipengaruhi oleh pencapaian kinerja, namun itu bukan satu-satunya. Ada hal lain yang juga ikut mempengaruhi yaitu ukuran jumlah aset dan produktivitas RS, pertimbangan persamaan dengan industri lain yang sejenis, serta kemampuan keuangan BLUD (Pasal 51). Pemberian remunerasi ini harus diatur dulu dalam Peraturan Kepala Daerah (Pasal 50). Jadi meskipun kinerja BLUD baik (mencapai target), jika tidak ada Perkada yang mengatur tentang remunerasi pengelola RSUD maka remuenrasi itu tidak dapat diberikan. Sebaliknya, meskipun target kinerja belum tercapai, jika Perkada memungkinkan (tergantung bagaimana bunyi pasal-nya), maka remunerasi dapat diberikan.
Semoga penjelasan ini dapat diterima.
Salam,
Apabila pendapatan kita melebihi pagu bahkan ambang batas yang telah kita asumsikan dalam RBA, apakah kelebihan tersebut dapat kita belanjakan? Apakah ada referensi aturan untuk menetapkan besaran ambang batas dalam RBA kita?
Dear Pak Mudhi,
Kita boleh menggunakan kelebihan pendapatan yang masih DALAM ambang batas RBA secara LANGSUNG, namun dengan SURAT PEMBERITAHUAN kepada Bagian Keuangan Daerah.
Jika pendapatan sudah melebihi ambang batas, untuk menggunaannya harus dengan IJIN kepala daerah.
Aturannya: Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Umum APBD, pada bagian “Hal-hal yang mendesak”
Semoga cukup jelas,
Terima kasih.
Saya mau tanya: 1. Untuk tim penilai RS yg mau BLUD biasanya yg menilai siapa?, 2. Apakah bisa blud dengan perbup bupati
Dear Pak Natsir,
1. Permendagri No 61/2007, pasal 19 Ayat (2):
(2) Tim penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), beranggotakan paling sedikit terdiri dari:
Sekretaris daerah sebagai ketua merangkap anggota;
PPKD sebagai sekretaris merangkap anggota;
Kepala SKPD yang mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah sebagai anggota;
Kepala SKPD yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah sebagai anggota; dan
Tenaga ahli yang berkompeten di bidangnya apabila diperlukan sebagai anggota.
2. Permendagri 61/2007 Pasal 21:
(1) Penerapan, peningkatan, penurunan, dan pencabutan status PPK-BLUD ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(2) Keputusan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada pimpinan DPRD.
(3) Penyampaian keputusan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal penetapan.
Semoga cukup jelas.
rumah sakit kami sdh 3 tahun blud penuh tetapi masih kinerjanya seperti sebelum blud. apa kiat kami dan apa saja yang kami lakukan jika kami ingin mendapatkan kinerja yang baik dan mengukur kinerja semua staf.
Dear Bapak Jamiri,
Pertama-tama tentu saja mereview SPM dan RSB karena didalamnya banyak ukuran kinerja yang menjadi target (janji) RSUD yang harus dicapai. Upaya untuk mencapai target2 tersebut harus masuk dalam rencana yang lebih operasional (RBA) dan dianggarkan, serta ada penanggung jawabnya. Direktur perlu membentuk tim Monitoring dan Evaluasi untuk memantau pencapaian dan mengevaluasi hasil-hasil yang telah dicapai, apa yang belum, apa saja kendalanya, apa lesson learn-nya, dan seterusnya.
Jika tidak ada perubahan kinerja, biasanya bukan sekedar tidak menjalankan RSB, melainkan ada unsur perilaku dan budaya disitu. Mungkin mindset dan cara-cara kerja masih seperti sebelum BLUD. Ini yang harus diubah. Dengan adanya kesadaran bersama mengenai apa itu BLUD, mengapa penting dan apa dampaknya terhadap seluruh staf, maka akan lebih mudah menggerakkan staf menuju perubahan cara berpikir dan cara bekerja. Kalau mindset dan cara bekerja berubah, hasilnya pasti beda. Berdasarkan perubahan cara bepikir dan cara bekerja, maka RS dapat membangun sistem monev (evaluasi kinerja bagian(unit kerja dan evaluasi kinerja individu). Monev ini harus memberi dampak yang signifikan, yang bekerja baik harus mendapat hasil dan perlakuan berbeda dengan yang tidak bekerja baik. Jika tidak ada bedanya, maka perubahan tersebut akan kurang efektif.
Semoga jawaban ini bisa ini memberi pandangan baru pada Bapak Jamiri mengenai BLUD.
Terima kasih
ass, yang ingin saya tanyakan di sini tentang berbagi pencairan dana di blud.
di sini dewan pengawas tidak lagi melakukan audit keuangan blud.. dan pihak rumah sakit merasa telah mengeluarkan uang sesuai prosedur.
apakah jika ada audit di kemudian hari oleh lembaga independen dan cara pengelolaannya kurang tepat
.
yang harus di salahkan rumah sakit ataukan auditor.
RSUD kami sudah berstatus BLUD penuh. Yang saya ingin tanyakan:
1. Pembagian sistem remunerasi sudah ada perbupnya,tetapi diperbup kami persentase pembagian honorarium/remunerasi Dewan Pengawas dikalikan dari remunerasi pemimpin BLUD.
2. Untuk remunerasi karyawan rumah sakit, ada perhitungan PENGALAMAN/MASA KERJA/BASIC INDEX.Diperbup kami perhitungan ini menggunakan lamanya masa kerja karyawan. Misalnya: Masa kerja 25 tahun dihitung 25, Masa kerja 4 tahun dihitung 4. Jauh sekali perbandingannya dan berbeda sekali dengan pengalaman saya pernah mengikuti pelatihan yang mana narasumbernya mengatakan “DIHARAMKAN menggunakan lamanya masa kerja karyawan dalam perhitungan PENGALAMAN/MASA KERJA/BASIC INDEX, tetapi harus menggunakan GAJI POKOK KARYAWAN.
Dua pertanyaan diatas apakah menyalahi permendagri? Apakah bisa terkait dengan tindak pidana apabila tidak dilakukan perubahan? Mohon masukan dan pencerahannya.Terima kasih.
Bapak/Ibu …. Yth,
1. Untuk Dewas:
a. Ketua maksimal 40% dari GAJI (BUKAN REMUNERASI) PEMIMPIN BLUD.
b. ANGGOTA maksimal 36% dari GAJI PEMIMPIN BLUD.
c. Sekretaris maksimal 15 % dari GAJI PEMIMPIN BLUD.
2. Terkait masa kerja, yang dihitung adalah indeksnya, bukan jumlah tahunnya. Bapak/Ibu bisa lihat peraturan PNS terkait Gaji Berkala. Untuk BLUD seharusnya yang utama adalah Capaian Kinerja.
Demikian, semoga dapat diterima.
Salam,