Seminar Advokasi Badan Layanan Umum Daerah
Hotel Aston Kuta, Bali, tanggal 14 Juni 2013
Pengantar
Saat ini berbagai lembaga pelayanan publik mendapat tekanan untuk lebih meningkatkan kinerja dan mutu pelayanannya, namun tetap dalam koridor efisiensi anggaran pemerintah. Tekanan ini berasal dari berbagai sumber, internal maupun eksternal RSUD. Tekanan eksternal berupa regulasi dan tuntutan masyarakat agar RSUD meningkatkan mutu pelayanannya. Tekanan internal berupa keinginan SDM untuk dapat bekerja dengan lebih baik dalan suasana kerja yang profesional dan pendapatan yang lebih baik. Tuntutan ini dapat dipenuhi dengan memotong alur birokrasi yang bersifat non value added activities pada sistem manajemen rumah sakit, sehingga mencegah terjadinya delay pelayanan atau pemborosan sumber daya yang tidak perlu.
Dari sisi eksternal dan internal rumah sakit, dukungan dan komitmen stakeholder menjadi faktor utama dalam pelaksanaan BLUD. Manajemen RSUD perlu secara intensif melakukan sosialisasi kepada stakeholders eksternal dan internal, serta membentuk kelompok kerja yang akan bertanggung jawab terhadap penyusunan masing-masing dokumen persyaratan administratif BLUD, yaitu Rencana Strategis Bisnis, Standar Pelayanan Minimal, Pola Tata Kelola, dan Laporan Keuangan Pokok. Untuk stakeholders ekternal diharapkan adanya komunikasi dua arah dengan manajemen RS untuk mewujudkan BLUD sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Pengelolaan keuangan pada lembaga pelayanan publik khususnya rumah sakit, merupakan salah satu aktivitas penunjang (bukan aktivitas utama) karena tidak berhubungan langsung dengan proses terapi maupun rehabilitasi pasien. Meskipun bukan aktivitas utama namun seringkali menghabiskan sumber daya (tenaga, waktu, dan sumber daya lain) yang tidak sedikit untuk melaksanakannya. Permendagri 61/2007 tentang PPK BLUD dibuat untuk memberikan kesempatan kepada lembaga pelayanan publik – termasuk rumah sakit – untuk mengurangi prosedur birokrasi yang terkait dengan keuangan, dalam koridor transparansi dan auditable. Hakekat dari Permendagri ini adalah reformasi dibidang pengelolaan keuangan negara yang mendorong institusi pelayanan publik meningkatkan kinerjanya.
Permendagri ini mengatur tentang Badan Layanan Umum Daerah, yaitu institusi di lingkungan pemerintah daerah yang diberikan fleksibilitas dalam mengelola keuangannya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sebagaimana dijelaskan di atas, pada rumah sakit pengelolaan keuangan adalah salah satu aktivitas pendukung yang prosedur-prosedurnya dapat diefisienkan sehingga institusi pelayanan publik dapat fokus pada aktivitas utamanya. Permendagri 61/2007 ini memberikan peluang bagi lembaga pelayanan publik untuk lebih fleksibel dalam pengelolaan keuangan, sehingga aturan-aturan yang bersifat terlalu birokratis dan berpotensi memperpanjang alur pelayanan dapat dikurangi. Dengan fleksibilitas ini diharapkan lembaga pelayanan publik dapat meningkatkan daya saingnya terhadap lembaga swasta sejenis. Bagi rumah sakit daerah, fleksibilitas yang diberikan pada BLUD sangat signifikan untuk memperbaiki proses pelayanan kepada masyarakat.
Implikasi dari peraturan perundangan terkait dengan fleksibilitas pengelolaan keuangan ini sangat terasa bagi institusi pelayanan kesehatan. Dengan fleksibilitas tersebut RS tidak lagi harus menunggu proses pembahasan anggaran di DPR/DPRD yang dapat memakan waktu berbulan-bulan, hanya untuk sekedar membeli persediaan obat atau mengganti alat yang rusak. Secara hukum, UU no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit menetapkan bahwa rumah sakit pemerintah harus dikelola secara BLUD. Ini mengindikasikan bahwa para wakil rakyat di pusat pun telah memahami dengan baik bahwa BLUD akan mampu meningkatkan kualitas pelayanan yang dihasilkan lembaga publik untuk masyarakat.
Seminar ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam mengenai BLUD Rumah sakit umum daerah kepada stakeholders internal.
Narasumber :
- SubDit BLUD, Direktorat Jendral Keuangan Daerah
- Kepala Dinkes Provinsi NTT
- PKMK FK UGM
Peserta:
- 7 peserta dari masing-masing Kabupaten yang terdiri dari:
- Kepala Daerah/Sekretaris daerah
- Ketua DPRD/ Ketua Komisi Kesehatan
- Bappeda
- Dinas Pendapatan dan Pegeloaan Keuangan dan Aset Daerah
- Inspektorat Daerah
- Bagian Hukum Pemerintah Dearah
- Direktur RSUD
- AIPMNH
- PKMK UGM
Jadwal Seminar
| Waktu | Materi | Fasilitator |
| 08.00-08.30 | Pendaftaran Peserta | Panitia |
| 08.30-09.00 |
Pembukaan Pengantar Seminar |
Kepala Dinas Kesehatan NTT PKMK UGM |
| 09.00 – 10.00 | Peran Dinas kesehatan dalam mendukung BLUD RSUD | Kepala Dinas Kesehatan NTT |
| 10.00 –10.15 | Coffee Break | |
| 10.15 – 11.15 | Isu-isu strategis yang mempengaruhi keberhasilan program Sister Hospital dalam upaya penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir (Panel) |
|
| 11.15 – 12.15 | Peran Pemda dalam BLUD | Kementerian Dalam Negeri – Subdit BLUD |
| 12.15– 13.15 | ISHOMA | |
| 13.15 – 14.30 | Manfaat BLUD dalam pelayanan publik | Kementerian Dalam Negeri – Subdit BLUD |
| 14.30 – 15.00 | Peran RSUD Ende dalam mencapai BLUD | Sekda Ende/ RSUD Ende |
| 15.00 -16.00 | Persyaratan dan penilaian BLUD | Tim PML – PKMK FK UGM |
| 16.00 – 17.00 | Diskusi dan penutup | Kementerian Dalam Negeri – Subdit BLUD dan PKMK FK UGM |

Bali, PKMK. Masih dalam rangkaian program Sister Hospital di Provinsi NTT, pada tanggal 14 Juni 2013 telah berlangsung Seminar Advokasi Badan Layanan Umum Daerah yang diharapkan dapat menyamakan persepsi mengenai kebijakan dan pelaksanaan BLUD di Rumah Sakit Daerah. Seminar ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta yang terdiri dari anggota DPRD, Kepala Daerah beserta jajarannya yang terkait, Dinas Kesehatan Provinsi, AIPMNH dan DPC serta tim UGM.
Seminar ini dibuka oleh DR. Dr. Hyron Fernandez mewakili Kepala Dinas Kesehatan, yang menyatakan bahwa regulasi tentang BLUD sudah lama ditetapkan namun pada kenyataannya hingga saat ini masih banyak RSUD khususnya di NTT yang belum menerapkan PPK BLUD. Hal ini terkait dengan kondisi dimana persepsi yang masing berbeda-beda mengenai BLUD, padahal BLUD bersifat lec specialis. Hal ini dipertegas oleh Yos Hendra, SE, Ak., MM selaku course director acara ini yang pada pengantarnya menjelaskan bahwa BLUD bagi RS pemerintah merupakan amanat Undang-undang. Salah satu masalah krusial adalah tarif yang oleh pengambil kebijakan di daerah biasanya ditetapkan semurah mugkin padahal biaya pelayanan kesehatan cenderung lebih tinggi untuk menghasilkan mutu yang lebih baik.
Pada sesi peran Dinas Kesehatan dalam Mendukung BLUD di RSUD, DR. Hyron menegaskan bahwa Dinkes harus memfasilitasi pemenuhan syarat-syarat bagi RSUD untuk memenuhi BLUD. Fasilitasi ini dapat berupa meningkatkan SDM, fasilitas, hingga advokasi kepada stakeholder RS. Selain itu, Dinkes Provinsi juga dapat mendukung secara finansial melalui APBD provinsi, APBN dan dukungan dana dari external agencies.
Ada kekhawatiran bahwa jika menjadi BLUD, maka tarifakan dibuat sesuai dengan unit cost yang akan lebih tinggi dibandingkan dengan tarifsaat ini. Sehingga nantinya akan lebih banyak subsidi yang dibutuhkan dari APBD untuk menutupi biaya operasional BLUD. Mengenai kekhawatiran ini Prof. Laksono Trisnantoro melalui media Skype™ menyampaikan bahwa subsidi ini penting untuk menjaga mutu pelayanan di RS di NTT. Ada dana dari BPJS yang harusnya tetap bisa diakses oleh RS-RS di daerah sulit, namun ada syarat yang harus dipenuhi, misalnya pelayanan harus dilakukan oleh dokter spesialis. Jika RS di daerah sulit tidak memiliki dokter spesialis, maka nantinya tidak akan bisa mengklaim dana BPJS tersebut. Pada akhirnya dana-dana BPJS hanya akan dinikmati oleh RS maju di kota-kota besar yang dokter spesialisnya sudah lengkap.
Dr. Henyo Kerong dari AIPMNH mengamini apa yangtelah disampaikan oleh Prof. Laksono tersebut. Menurut Dr. Henyo, AIPMNH melihat bahwa masalah kesehatan ibu dan anak di NTT termasuk juga masalah gizinya masih perlu mendapat perhatian. Terkait dengan target mendapaian MDGs, AIPMNH menyatakan komitmennya untuk tetap mendukung upaya peningkatan status kesehatan ibu dan anak, termasuk dengan membenahi sturktur pelayanan di rumah sakit melalui penerapan PPK BLUD.
Seminar ini menjadi semakin hangat ketika memasuki sesi Peran Pemda (yang diharapkan) dalam pelaksanaan BLUD oleh Wisnu Saputro, SE (Subdit BLUD Kementerian Dalam Negeri, Wisnu Saputro, SE). Wisnu menekankan bahwa BLUD harusnya hanya menjadi alat Pemda untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Apa yang ada di RS memang sudah menjadi tugas Pemda. Pelayanan harus bagus namun disisi lain ada regulasi membatasi. Oleh karena itu tugas Pemda untuk memfasilitasi agar SKPD yang menerapkan PPK BLUD (seperti RS) tidak melanggar regulasi yang berlaku umum, yaitu dengan menetapkan SKPD terebut sebagai PPK BLUD.
Dengan ditetapkan sebagai PPK BLUD, maka ada perkecualian yang akan diterapkan pada SKPD tersebut, mulai dari pengelolaan kas, utang, piutang, asset/barang, kerjasama, pengadaan barang dan jasa dan sebagainya, semuanya untuk tujuan meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat dan meningkatkan kinerja SKPD yang bersangkutan. Yang mendapat penekanan adalah bahwa pendapatan BLUD yang berasal dari jasa layanan boleh dikelola secara langsung tanpa melalui Perpres, sedangkan pendapatan dari jasa layanan boleh dikelola dengan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Pengalaman dari RSUD Ende yang telah menerapkan PPK BLUD sejak 1 Januari 2013 sangat menarik sebab dipaparkan sebagai satu contoh yang sangat dekat dengan kondisi sebagian besar RSUD di NTT.
Meskipun baru menerapkan PPK BLUD selama enam bulan, namun RSUD Ende yang mendapat bimbingan dari RS Panti Rapih dan RSUD Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta, telah difasilitasi oleh Pemerintah Daerahnya berua peraturan kepala daerah yang dibutuhkan untuk menerapkan aturan tersebut. Namun masih banyak kendala yang dihadapi oleh RSUD Ende, antara lain tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan segera setelah RSUD menerapkan PPK BLUD, sebagaimana halnya tuntutan SDM (yang hanya memahami sebagian dari esensi BLUD) terhadap pendapatan mereka. 





Setelah program Sister Hospital untuk sebelas RSUD di Provinsi NTT berlangsung selama tiga tahun, upaya-upaya menurunkan angka kematian ibu mulai menunjukkan hasil. Program yang dilahirkan dari Strategi Revolusi KIA oleh Pemerintah Provinsi NTT ini telah berhasil memperbaiki aspek pelayanan di RSUD. Kompetensi tim PONEK ditingkatkan, fasilitas dan manajemen RS dibenahi, RS diakreditasi agar memenuhi standar pelayanan yang disyaratkan, dan advokasi kepada pemerintah daerah dilakukan terus menerus untuk mendukung perbaikan pelayanan ini, khususnya untuk mendanai keberadaan dokter spesialis yang dibutuhkan. Namun meskipun berhasil menurunkan angka kematian ibu, angka kematian bayi masih tetap tinggi bahkan cenderung meningkat. Hal ini terungkap saat Semiloka Strategi Penurunan Angka Kematian Bayi, Evaluasi Hasil Monev dan Manual Rujukan Program Sister Hospital di Surabaya, 28-30 Mei 2013 yang lalu.
Hasil audit menunjukkan bahwa penyebab kematian bayi ini adalah asfiksia, infeksi dan BBLR. Hasil penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa kematian paling banyak terjadi pada bayi usia kurang dari 28 hari. Artinya, neonatal masih merupakan masa kritis. Saat bayi dilahirkan di fasilitas kesehatan, kontak dengan petugas dan fasilitas tersebut hanya terjadi sampai dengan 6 jam kemudian. Setelah itu bayi akan berada di rumah bersama keluarga sehingga jika terjadi keadaan gawat akan sulit penanganannya.
Sebenarnya 70% kematian bayi dapat dicegah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh RSUP Dr. Karyadi Semarang, jika sejak masa kehamilan perawatan antenatal care sudah dilakukan dengan benar, maka banyak bayi yang bisa diselamatkan. Masalah lain yang juga dihadapi adalah endemi malaria. Banyak ibu hamilyang juga sekaligus menderita penyakit malaria sehingga perlu penanganan khusus. Oleh karena itu Puskesmas, Posyandu dan seluruh tenaga kesehatan yang ada di masyarakat harus diperkuat. RS perlu memberikan bimbingan teknis dan meng-update manual rujukan. Kemitraan antara RSUD, Pemda Provinsi dan Kabupaten serta perguruan tinggi (Undana) sangat diperlukan untuk bersama-sama menurunkan angka kematian bayi tersebut.
Ada faktor non teknis yang berpengaruh terhadap kematian neonatal, yaitu:
Namun diakui juga bahwa selama program SH ini berlangsung, fokus diletakkan pada penanganan ibu. Hal ini karena ibu lebih mudah dipantau terutama jika telah terdeteksi sebagai ibu hamil dengan risiko tinggi.Namun pada bayi, karena kontak dengan rumah sakit hanya terjadi sampai dengan enam jam setelah dilahirkan, maka pada proses perawatan selanjutnya yang dilakukan di rumah tidak terpantau lagi oleh RS.
Strategi yang akan dilakukan untuk menurunkan angka kematian bayi adalah sebagai berikut:


Kupang. Kegiatan Sister Hospital dan Performance Management & Leadership untuk 11 RSUD di Provinsi NTT terus berlanjut. Memasuki Bulan Mei 2013 ini, tim UGM bersama dengan Undana, POGI dan IDAI Kupang (yang sebagian besar merupakan tenaga medis di RSUD Prof. Yohannes), Dinas Kesehatan Provinsi NTT serta Bapelkes Kupang melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui progress yang telah dicapai oleh 11 RSUD tersebut bersama dengan Mitra A-nya masing-masing. Selain Monev, kegiatan yang juga diagendakan pada bulan Mei ini adalah pelatihan RBA untuk Manajer Keuangan RSUD serta capacity building untuk tim Monev.
Pada tahun 2013 ini, peran mentor lokal hilang dan digantikan oleh koordinator yang ada di masing-masing RSUD (staf internal RSUD). Selain itu, peran tim Undana, organisasi profesi dan Dinkes Provinsi juga ditingkatkan dengan melibatkan mereka pada proses monev di 11 RSUD. Tentunya sebelum melakukan monev ada proses brainstorming untuk menjelaskan program, progress yang telah dicapai pada 2011 dan bagaimana rencana kegiatan di tahun 2013 yang akan dimonitoring dan dievaluasi.
Masih di Bulan Mei dilakukan juga capacity building untuk melatih tim monev tersebut lebih lanjut sehingga pada kegiatan berikutnya tim lokal akan memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya, dan tim UGM bisa secara bertahap menyerahkan tanggung jawab kepada tim lokal. Capacity Building yang berlangsung tiga hari ini juga bertujuan untuk membentuk tim pendamping persiapan BLUD bagi RSUD-RSUD di NTT. Diharapkan nantinya RSUD di Provinsi NTT yang membutuhkan pendampingan dapat memanfaatkan sumber daya lokal sehingga bisa menghemat anggaran rumah sakit, dibandingkan jika mengambil tenaga dari luar NTT. Selain itu, penguasaan tenaga ahli lokal terhadap akar masalah dan budaya di NTT tentunya lebih baik dibandingkan dengan penguasaan konsultan dari luar NTT, dimana pemahaman ini nantinya menuntun pada alternatif solusi, strategi dan program kegiatan untuk meningkatkan kinerja RSUD.
Kegiatan capacity building ini dihadiri oleh kurang lebih 30 peserta yang berasal dari P2K3 (Pusat Penelitian Kebijakan Kedokteran dan Kesehatan) yang berada di bawah Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana Kupang, pengurus dan anggota POGI dan IDAI ynag juga merupakan staf medis di RSUD Prof. Yohannes Kupang, serta tim dari PKMK FK UGM. Kegiatan ini menghasilkan suatu kesepakatan mengenai:








