Dampak Tekanan Berbagai Pihak terhadap Pelayanan di Rumah Sakit di Era BPJS
Swiss Belhotel, 3 – 6 September 2013
Putu Eka Andayani[i]
Hari 2: Seminar Munas
Rabu, 4 September 2013
Pengantar Munas
Ketua Umum ARSADA Pusat, Dr. Kuntjoro A. Purjanti, M.Kes menyampaikan pengantarnya dalam pembukaan Munas ARSADA. Salah satu yang disampaikan adalah mengenai pentingnya memanfaatkan teknologi informasi. Saat ini ARSADA telah memiliki portal yang harus dapat dimaksimalkan untuk peningkatan kapasitas SDM di RS. Ada 500-an RSUD yang akan diberikan bandwidth dalam salah satu program Kementerian Kesehatan. RS yang aktif menggunakan bandwidth ini dan mengajukan permintaan ke Kemkes akan diberi tambahan. Point penting lain yang menjadi titip perhatian adalah akan berlakunya UU BPJS yang menyebabkan dibutuhkannya perubahan mendasar. Oleh karena itu, Dr. Kuntjoro berharap pengurus baru ARSADA yang nantinya terpilih akan dapat lebih memfasilitasi dan membantu RSUD-RSUD dalam meningkatkan kinerjanya.
Menurut Dr. Kuntjoro, ada tiga isu besar terkait dengan hal tersebut, yaitu mutu pelayanan, disparitas dan keaktivan RSUD dalam menyukseskan universal health coverage. Diharapkan pada tahun 2019 mutu dan biaya dapat dikendalikan. Sementara itu, ada dua hal yang dapat membantu keberhasilan pencapaian tujuan RS dalam meningkatkan kinerja pelayanan, kinerja keuangan dan kinerja manfaat, yaitu menjadi PPK BLUD dan akreditasi. Jika telah menjalankan kedua hal ini, Dr. Kuntjoro yakin RSUD akan dicintai oleh customer-nya.
Munas Dibuka Secara Resmi
Munas ini menghadirkan DR. Yuswandi Tumengung dari Kementerian Dalam Negeri untuk membuka Munas ARSADA VI secara resmi. Dalam pidatonya, Yuswandi menyampaikan bahwa munas ini menjadi momentum pentig ditandai dengan tema yang diangkat yang memang sedang menjadi sorotan nasional. Bagi beberapa daerah bahkan pelaksanaan JKN tinggal menghitung hari karena RAPBD 2014 segera akan disahkan.
Yuswandi menekankan bahwa ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:
– regulasi yang berlaku harus dipahami dengan benar dan detil, karena regulasi ini yang akan memayungi implementasinya
– pada tatanan implementasi, kebijakan ini sudah tidak bisa ditunda pelaksanaannya. Oleh karenna itu RSUD harus mengikuti dan menyesuaikan.
Lebih jauh Yuswandi menambahkan bahwa jaminan kesehatan sebenarnya bukan hal baru. Banyak daerah yang telah melaksanakannya lebih dulu. Tidak ada calon kepala daerah yang tidak menjanjikan masalah kesehatan pada masyarakat dalam kampanye politiknya. Ini saatnya untuk meng-up date visi dan misi mereka dikaitkan dengan pelaksanaan JKN ini.
Aceh dan Babel telah mengalokasikan 12% dari APBD merekauntuk kesehatan. Pertanyaan selanjutnya bagaimana upaya alokasi anggaran tersebut sesuai norma, sebab yang pemting adalah kualitas belanja yang bisa menjawab tantangan.
Yuswandi juga menyoroti banyaknya kepala daerah yang berlomba-lomba mendirikan RS, apakah ini untuk memenuhi fungsi bidang kesehatan? Suatu saat hal ini tidak bisa dibatasi. Jadi hal-hal seperti itu menurut Yuswandi harus dibarengi dengan kualitas belanja. Kadang tim anggaran daerah (Bappeda, Biro Keuangan dan sebagainya) tidak paham masalah teknis. Yuswandi meminta RS berdiskusi dengan Dinas Kesehatan agar bisa memberi pemahaman yang utuh pada stakeholder kunci tersebut.
Pada prinsipnya, pelayanan yang perlu quick cash seperti RS perlu ditetapkan sebagai PPK BLUD. Namun saat ini dari 638 RSUD di seluruh Indonesia, hanya 225 yang telah ditetapkan sebagai PPK BLUD. Untuk Puskesmas ada 150-an yang telah ditetapkan.
Pembukaan Munas ditandai oleh pemukulan gong oleh DR. Yuswandi Tumenggung yang dilanjutkan dengan membuka secara resmi pameran alat-alat kesehatan. Menurut Dr. Kuntjoro, pameran alkes ini penting untuk meng-update pada pengelola pelayanan kesehatan mengenai perkembangan teknologi kedokteran saat ini.
Kuliah Umum
Nilai pluas pada penyelenggaraan Munas ARSADA kali ini bertambah dengan dilaksanakannya kuliah umum mengenai Pelaksanaan SJSN sebagai Amanat Konstitusi. Kuliah ini diberikan oleh Irman Gusman (Ketua DPD RI). Gusman memaparkan bahwa daya yaing bangsa Indonesia saat ini mencapai urutan ke 50 namun daya saing SDM ada di urutan ke 121. Hal ini pelru mendapat perhatian bersama, karena salah satu ukuran dari daya saing tersebut adalah sektor kesehatan (antara lain kesiapan teknologi dan inovasi). Artinya, sektor kesehatan ikut pula memberi kontribusi terhadap tinggi rendahnya daya saing. Jadi seharusnya menurut Gusman kesehatan jangan dipandang sebagai cost center melainkan sebagai investasi.
Indonesia mengalami anomali, dimana disatu sisi pertumbuhan ekonomi membaik namun disisi lain kesenjangan antara the have dengan the poor semakin lebar. Untuk mengatasi hal ini, DPD RI telah berhasil memperjuangkan dana otsus sebesar Rp20T bagi Papua, Papua Barat, Maluku dan NTT agar bisa mengejar ketertinggalan pembangunan.
Menurut Gusman, ARSADA, IDI dan lainnya merupakan stakeholders kesehatan. Yang membuat exciting adalah Gusman menantang ARSADA untuk membuat tim untuk memperjuangkan agar pajak alat kesehatan dihapuskan untuk menekan biaya kesehatan. Diakui bahwa ini menajdi persoalan berat bagi negara, namun disisi lain kesehatan merupakan hal rakyat. AS yang sudah memperjuangkan JKN selama puluhan tahun, baru disahkan pada era Presiden Obama setahun yang lalu, karena layanan kesehatan yang sangat mahal disana.
Pada kesempatan tersebut, Gusman menyampaian harapannya bahwa profesionalisme RS Daerah tidak kalah dengan RS Pusat, dan keberadaanya tidak diasosiasikan sebagai sesuatu yang sifatnya inferior. Untuk menunjukkan komitmennya dalam membantu RS Daerah, Gusman mengumumkan nomor telepon selulernya kepada seluruh peserta Munas, agar bisa menghubungi jika membutuhkan bantuan DPD.
Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dalam Melaksanakan UU SJSN dan UU BPJS
Sesi selanjutnya diisi dengan pemaparan dari legislatif (Komisi IX DPR RI) dan pemerintah pusat (Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan). Dr. Nova Rianti Yusuf (Wakil Ketua Komisi IX) menyatakan bahwa dalam injury time ini menurutnya masukan-masukan dari ARSADA masih bisa diakomodir untuk perbaikan. Ia menyampaikan bahwa fungsi Komisi IX adalah untuk pengawasan. Ada Rp9T yang dialokasikan untuk BPJS, sehingga yang menjadi fokus perhatiannya adalah memperkuat pelayanan kesehatan primer.
Dari 14 peraturan pelaksanaan UU BPJS yang harus dibuat, pemerintah baru menyelesaikan dua diantaranya, yaitu PP No 101/2011 tentang PBI dan Perpres tentang Jaminan Kesehatan. Dr. Nova menilai Kemenkes terlalu berhati-hati sehingga terkesan lambat.
Yang penting bagi ARSADA menurut Dr. Nova adalah rancangan Kemenkes tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, yang meliputi:
– syarat fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta yang boleh kerjasama dengan BPJS Kesehatan
– prosedur pendaftaran, verifikasi, perubahan data kepesertaan PBI (dari 96,4 juta menjadi 86,4 juta jiwa)
– Berkaca dari kasus Kartu Jakarta Sehat, jumlah pasien meningkat sangat drastis namun fasilitas kesehatan dan SDM tidak ditambah
Ia juga menyoroti masih banyaknya dokter yang tidak lulus uji kompetensi dasar.
Pada akhir presentasinya Dr. Nova menyimpulkan bahwa ada setidaknya empat hal yang harus diperhatikan dalam implementasi JKN ini, yaitu:
- peraturan pelaksanaan yang harus segera diselesaikan
- lonjakan pasien harus diimbangi dengan kecukupan sarana-prasarana pelayanan
- penguatan kapasitas dan sistem agar tidak terjadi chaos
- perlunya perubahan paradigma “sakit” menjadi paradigma “sehat”
Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa kewajiban pemerintah yang telah dilaksanakan antara lain: telah mengalokasikan @ Rp 500M pada setiap BPJS sebagai saldo awal untuk melaksanakan kegiatan, telah mengalokasikan dana untuk PBI sebesar Rp19.225,-/jiwa/bulan untuk 86,4 juta jiwa penduduk, atau sebesar Rp19,93T untuk PBI. Selain itu pemerintah juga telah mengalokasikan dana untuk membayar iuran PNS, TNI, Polri, Penerima Pensiun, Veteran dan Pejuang Perintis Kemerdekaan, serta menyediakan dana untuk fasilitas pelayanan kesehatan tertentu terkait dengan fungsi Kemenham.
Menurutnya, APBN merupakan proses politik. Daerah, sebagamana juga pemerintah pusat, harus melakukan negosiasi dan advokasi yang kuat agar dapat memperoleh anggaran lebih. Negosiasi kuat ini maksudnya adalah memberikan data dan argumentasi yang kuat untuk mendukung proposal pengajuan dana dari APBN tersebut untuk daerahnya masing-masing.
Kementerian Kesehatan yang diwakili oleh Dr. Dyah Setya Utami (Direktur Direktorat Kesehatan Jiwa sekaligus PLT Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan) memamparkan bahwa pemerintah pusat maupun daerah sama-sama bertanggung jawab dalam menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai dari sisi mutu maupun kapasitas untuk melayani masyarakat di era JKN. Namun jika hanya dibebankan pada pemerintah, seluruh kebutuhan tersebut tidak akan terpenuhi mengingat kemampuan pemerintah yang terbatas. Oleh karena itu menurutnya peran swasta harus lebih ditingkatkan.
Dr. Dyah menyoroti masalah pengajuan bantuan APBN untuk pengadaan alat kesehatan di daerah. Pengajuan itu seharusnya bertujuan untuk melengkapi kekurangan ynag masih ada di daerah dalam memenuhi standar pelayanan minimal. Sehingga, yang diajukan adalah kekurangannya, bukan keseluruhan kebutuhan (termasuk alat yang sudah ada diajukan lagi).
Peserta Munas menanggapi para pembicara ini dengan menyoroti bahwa banyak pekerja informal yang minta dijamin oleh pemerintah. Ini kedepannya akan menjadi masalah bagi RS, sebab di PBI para pekerja sektor informal ini tidak ter-cover, padahal sebelum era JKN mereka ditanggung oleh Jamkesda. Jika mereka sakit dan mendapat pelayanan di RS, siapa yang akan menanggung? Masalah lain adalah mengenai adanya perubahan sistem. Ada RS yang telah melakukan exercise dengan tarif INA-CBGs, namun masih skala kecil (kabupaten). Tahun 2014 akan dilakukan dalam skala nasional. Dalam hal ini, RS akan dipaksa untuk bisa cepat dalam memproses klaim, padahal dilain pihak sistem ini masih menggunakan multi–entry.
Terhadap berbagai pertanyaan tersebut, dr. Novi menjelaskan bahwa banyak yayasan di Indonesia yang menangani pasien ganggung jiwa dengan cara-cara yang kurang tepat, misalnya memasung, mengobati dengan cambuk, tidak diberikan penutup tubuh dan sebagainya. Hal ini sering menjadi sasaran empuk media asing untuk diberitakan secara internasional.
Penanya lain mengangkat masalah pelayanan kesehatan jiwa di RSUD Duren Sawit. RSUD DS saat ini masih bertahan dengan pelayanan rawat inap dan sering melakukan visite bagi pasien-pasien yang dirawat di panti laras. Dulu kegiatan ini didanai oleh APBD, namun jika tarif INA-CBGs diterapkan, kegiatan ini tidak lagi di-cover. Risikonya pasien-pasien tersebut tidak akan mendapatkan penanganan oleh dokter spesialis.
Untuk menanggapi hal tersebut, itu dr. Dyah menyampaikan bahwa pemerintah dan Dinkes DKI telah menyediakan dana namun ternyata tidak terserap untuk mengatasi berbagai pemasungan. Pemerintah bahkan tidak yakin apakah di DKI tidak ada pemasungan pasien ganggungan jiwa. Ada perubahan sistem rujukan dimana pelayanan kesehatan jiwa di RS merupakan layanan tersier, yaitu hanya menangani kasus-kasus yang tidak mampu ditangani oleh layanan kesehatan primer dan sekunder. Kini banyak dokte rumum di Puskesmas telah dilatih untuk menangani pasien gangguan jiwa berat yang telah melalui fase penanganan di RSJ. Dr. Dyah juga meminta RSJ duduk bersama dengan Dinas Sosial membahas mengenai penanganan kasus gangguan kejiwaan di masyarakat. Dirjen BUK telah menandatangani MOU dengan Dirjen Paska Psikotik di Kemsos. Kegiatan pelayanan ekstra mural yang dilakukan leh yayasan-yayasan sosial harus dilakukan secara bekerjasama dengan Puskesmas agar dapat di-klain jke BPJS.
Ada juga peserta yang fokus pada anggaran kesehatan yang baru terpenuhi 3% dari 5% yang wajib disediakan. Jika PBI direalisasikan, maka pagu 5% ini akan terpenuhi. Kewajiban Kementerian Kesehatan untuk menyediakan fasilitas jadi berkurang.
Menurut Fajar (Kementerian Keuangan), dana 3% tersebut tidak semuanya ada di Kementerian Kesehatan, namun tersebar di beberapa kementerian lain yang juga menyelenggarakan fungsi kesehatan.
[i] Konsultan dan Peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
Link Terkait:

Sesi pertama seminar ini diisi dengan materi-materi yang terkait dengan pengaruh tekanan pemerintah, masyarakat dan media massa terhadap pelaksanaan etika dan keselamatan pasien.
Dalam kaitannya dengan implementasi tarif berdasarkan INA-DRGs, respon yang harus dilakukan oleh RS adalah mengkalkulasi setiap biaya. Akan terjadi pergeseran jika pada mekanisme fee for service terjadi hubungan yang fokus pada dokter-pasien, dengan universal coverage hubungan ini akan bergeser ke RS-dokter, RS-pasien dan RS-media massa. Jadi RS yang akan melakukan kredensial terhadap dokter mana saja yang boleh direkrut untuk bekerja di RS tersebut. Jika terjadi masalah, maka yang bertanggung jawab (di pengadilan) adalah RS, bukan dokter. Di AS, pasien tidak boleh memilih dokter melainkan memilih RS.
Sebagai gambaran, kunjungan pasien rawat jalan sejak dilaksanakannya Program KJS meningkat hampir dua kali lipat. Sebanyak 63% dokter harus melayani lebih dari 100 pasien rawat jalan per hari dan 30% melayani 50-100 pasien per hari. Sebanyak 55% dokter menggunakan 5-6 menit waktu untuk bertemu pasien (anamnese dan sebagainya). Hanya 27% yang mengaku berbicara dengan pasien selama 30 menit. Padahal menurut Kepmenkes No. 81/2004, ada standar baku yang diatur untuk itu. Sebagai contoh, dokter spesialis penyakit dalam berdasarkan Kepmenkes tersebut harus menggunakan setidaknya 8 menit per pasien lama dan 9 menit per pasien baru di poliklinik. Alokasi waktu ini belum termasuk waktu untuk melakukan tindakan, misalnya pemasangan kateter. Ini menyebabkan 69% dokter merasa ada peningkatan beban kerja yang melebihi kewajaran dan 60% dokter merasa mudah lelah.
Pembicara selanjutnya yaitu Ahyar, SKep, NERS, MKes, yang memaparkan megenai dampak tekanan pemerintah dan media massa terhadap motivasi dan kinerja perawat. Senada dengan yang disampaikan oleh pembicara-pembicara sebelumnya, tekanan yang muncul menyebabkan stress yang tinggi dan menurunkan motivasi serta kinerja perawat. Bahkan, pemberitaan yang tidak berimbang oleh media massa menimbulkan rasa trauma dalam melayani. Pemberitaan yang tidak imbang seringkali disebabkan oleh karena pasien tidak diberi hak sebagai pasien KJS karena tidak dapat melengkapi dokumen identitas sesuai prosedur dan kondisi kapasitas yang sudah penuh padahal ada kebijakan RS tidak boleh menolak pasien.
Jumlah kunjungan pasien yang meningkat tidak diimbangi oleh penambahan jumlah SDM, sarana yang memadai serta ketersediaan tenaga pengganti (jika ada petugas yang sakit karena kelelahan).
Yang menarik adalah bahwa pemberitaan yang tidak proporsional dapat balas oleh RS dengan hak jawab. Ada aturan bahwa dalam menulis berita, media harus melakukan cross-check agar berita yang dipublikasi lebih obyektif. Namun kenyataannya tidak selalu seperti itu. Oleh karenanya, jika RS merasa berita yang dimuat tidak berimbang, RS dapat menggunakan hak jawab yang sama banyaknya dengan dengan luas area berita tersebut. Caranya RS bisa datang langsung ke kantor media atau menulis sendiri surat untuk dimuat di media tersebut pada edisi berikutnya. Dilain pihak, menurut Atika sebenarnya masalah tersebut dapat dibicarakan secara lebih bijak. Namun jika media yang bersangkutan “bandel”, maka dapat disomasi. Pad aumumnya hak jawab ini ditanggapi baik oleh media. Dewan pers juga bisa menjadi sarana untuk menyalurkan hak jawab tersebut.

Herrysan Putra, SE, Ak, dari BPKKD Prov. Kepri bahkan secara tegas menyatakan harapannya bahwa RSUD Prov. Kepri Tanjung Pinang dan RSUD Tanjunguban yang juga merupakan RS milik Provinsi Kepri dapat ditetapkan sebagai BLUD penuh tahun ini agar kinerja bisa segera ditingkatkan. Herry berharap kedua RS tersebut memiliki standar output yang sama. Oleh karena itu, dia juga meminta agar seluruh staf RS dilibatkan untuk saling bekerjasama dalam meningkatkan kinerja RSUD.
Pada acara sosialisasi ini hadir pula Wisnu Saputra, SE, narasumber dari Subdit BLUD Kementerian Dalam Negeri dan Putu Eka Andayani, SKM, MKes, narasumber dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Pada sesi diskusi, Wisnu menegaskan bahwa pemerintah pusat maupun daerah harus memiliki persepsi yang sama mengenai konsep dasar dan esensi BLUD. Masyarakat memiliki kebutuhan yang tidak dapat ditunda, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak jarang berkaitan dengan keselamatan jiwa atau pencegahan dari kecacatan. Jika mengikuti aturan yang berlaku umum, maka instansi pemerintah tidak akan bisa memberikan layanan pada masyarakat secara optimal. Oleh karena itu, muncullah berbagai regulasi setingkat UU hingga Permendagri untuk memfasilitasi instansi pemerintah dalam merespon kebutuhan masyarakat.
Namun sering didapati bahwa RSUD disatu sisi dituntut untuk bermutu tinggi, disisi lain kebutuhan anggaran tidak dipenuhi. Padahal rencana anggaran dengan mutu sangat terkait erat. Hal ini terungkap pada penyajian Putu Eka Andayani. Putu mengatakan bahwa target pencapaian SPM harus termuat dalam RSB dan kemudian dituangkan dalam RBA. Sehingga dengan demikian, semakin tinggi target pencapaian SPM maka biasanya semakin tinggi pula anggaran yang dibutuhkan untuk mencapainya.



Tim dari Mayo Clinic Hospital USA berkunjung ke Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta pada Rabu (30/7/2013). Kunjungan tersebut bertujuan untuk menjajaki peluang kerjasama sekaligus melakukan diskusi ilmiah dengan civitas academica FK UGM dengan topik Continuing Medical Education for Doctor and Other Health Professionals. Diskusi yang bertempat di ruang senat lantai 2 FK UGM ini dibuka oleh Dekan FK UGM, Prof. DR. Dr. Teguh Aryandono, SpB(K)Onk dan dimoderatori oleh Dr. Firdaus Hafidz As Shiddieq, MPH, AAK (KPMAK FK UGM). Partisipan dalam pertemuan ini adalah para praktisi kesehatan (internist, dokter anak, perawat) dari FK UGM, RSUP Dr. Sadjito, RSA UGM, mahasiswa S2 FK UGM dan para residen FK UGM.
Zaman bisa berubah, namun salah satu prinsip pendidikan kedokteran adalah dapat mengetahui apa yang terjadi di lapangan dan apa yang diharapkan oleh pasien. Selain itu, perubahan zaman menuntut seluruh tindakan dokter harus didasarkan bukti-bukti ilmiah dan bukan hanya berdasarkan pengalaman (seperti dokter zaman dulu). Singkatnya dokter sekarang harus selalu up to date dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dengan pesatnya perkembangan ilmu-ilmu biomedical dan terus meningkatnya jumlah pasien di RS dengan keinginan yang semakin bervariasi.
Dari sudut pandang RSD yang berada di daerah sulit, Drg. Mercy (Direktur RSUD Bajawa, Kab. Ngada, NTT) menyampaikan mengenai Kebutuhan RS di daerah sulit untuk menggunakan telehealth dan telemedicine dari aspek klinis dan nonklinis. Teleconference sebagai pemicu tenaga kesehatan untuk terus belajar (mempersiapkan diri minimal 1 hari sebelumnya untuk teleconference). Dampak lainnya adalah hal ini menjadi salah satu cara untuk menarik minat dokter untuk bertahan lebih lama mengabdi di daerah terpencil. Namun masih ada bambatan yang ditemui dalam menggunakan teknologi ini, yaitu masih lemahnya signal serta kompetensi SDM dalam mengoperasikan peralatan Teleconference yang belum memadai.
Direktorat Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia, telah mengadakan pertemuan bimbingan teknis untuk RS khusus daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur di Hotel Mutiara, Yogyakarta pada 3-5 Juli 2013. Acara ini diadakan di daerah Yogyakarta karena mengingat 30 persen RS khusus di Indonesia berlokasi di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pertemuan ini bertujuan untuk mensosialisasikan usaha pengembangan RS khusus di Indonesia dan mendiskusikan isu-isu seputar RS khusus. Agenda pertemuan ini juga akan membahas sistem pembiayaan RS khusus di era SJSN pada 2014 mendatang. 





