Reportase Seminar Nasional
“Bayang-bayang Risiko Hukum, Fraud dan Abuse dalam Pelaksanaan JKN”
10 Januari 2014
Bagian 1 | Bagian 2 | Bagian 3
Bagian-4
Galeri Foto
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Reportase Seminar Nasional
“Bayang-bayang Risiko Hukum, Fraud dan Abuse dalam Pelaksanaan JKN”
10 Januari 2014
Bagian 1 | Bagian 2 | Bagian 4
Bagian-3
PKMK, Jakarta. ARSADA memanfaatkan moment berkumpulnya seluruh pengurus ARSADA Pusat dan Daerah ini untuk sekaligus mengumumkan kerjasama antara ARSADA Pusat dengan PKMK FK UGM dalam pengembangan dan pengelolaan website. Perjanjian kerjasama ditandatangani oleh Ketua Umum ARSADA Pusat, dr. Kuntjoro A. Purjanto, MKes dan Pjs. Direktur PKMK FK UGM Ni Luh Putu Eka Andayani, SKM, MKes.
Kerjasama ini dimaksudkan agar ARSADA memiliki sebuah media online yang berfungsi untuk menyebarkan informasi ke seluruh daerah dan juga pada seluruh stakeholder ARSADA. Saat ini, website ARSADA Pusat yang beralamat di www.arsada.org mendapat kunjungan rata-rata lebih dari 5000 kunjungan per minggu, angka yang cukup tinggi untuk sebuah website yang belum diumumkan secara resmi. Ini artinya, animo masyarakat perumahsakitan untuk mencari informasi melalui media internet sangat tinggi. Selain itu, kata kunci untuk pencarian sangat mudah, sehingga website ini mudah ditemukan melalui mesin pencari seperti google atau yahoo.
Ke depannya diharapkan website ini dapat digunakan untuk sebesar-besar kepentingan ARSADA dan seluruh anggotanya. Selain menyebarkan informasi, web ini rencananya juga akan digunakan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan berbagai pelatihan online, agar dapat diikuti oleh peserta dimanapun mereka berada.
Reportase Seminar Nasional
“Bayang-bayang Risiko Hukum, Fraud dan Abuse dalam Pelaksanaan JKN”
10 Januari 2014
Bagian 1 | Bagian 3 | Bagian 4
Bagian-2
PKMK, Jakarta. Dalam kesempatan ini, Dr. Hartono (Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS) menyampaikan bahwa untuk mengoptimalkan pelayanan pada 1 Januari, BPJS tetap melayani meskipun itu adalah hari libur nasional. Tingginya animo masyarakat terlihat dari banyaknya peserta yang mendaftar secara mandiri. Hartono mengatakan bahwa iuran PBI saat ini memang masih kecil. “Anggaran negara tidak cukup,” tambahnya.
Mengenai tarif INA-CBGs, Hartono mengakui bahwa tarif tersebut belum baik dan ada rencana untuk menata ulang. Bahkan masalah ini telah menjadi perhatian Presiden yang kemudian memanggil jajaran terkait untuk mendiskusikan masalah ini.
BPJS berjanji akan memberikan pelayanan terbaik bagi peserta. Sebagai contoh, mekanisme pendaftaran melalui bank sudah bisa dilakukan per Senin (13/1/2014). Selain itu, klaim akan dibayarkan pada PPK maksimal 15 hari setelah klaim diterima. “Dari sisi pelayanan, PPK I (Puskesmas, dokter keluarga, dan sebagainya) akan dioptimalkan dan kemandiriannya ditingkatkan. Distribusinya juga akan diperbaiki. Kami juga mengharapkan kedepannya dokter bisa praktek secara full-time sebagai dokter keluarga, jadi tidak lagi nyambi di RS atau tempat lain”, kata Hartono.
Seminar ini juga mengundang pembicara dari kejaksaan, Basrief Arief, yang mengatakan bahwa tuntutan hukum pidana bagi penyelenggara pelayanan kesehatan sangat dimungkinkan, jika memang terbukti. Oleh karena itu, ia berpesan bahwa ada tiga bentuk kesadaran yang harus dibudayakan diantara kalangan profesional kesehatan (medis), yaitu 1) sadar akan hak dan kewajibannya, 2) sadar akan hak dan kewajiban pasien, serta 3) sadar akan ketentuan hukum yang berkaitan dengan tugasnya.
Seorang dokter mendapat perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Sebaliknya, dokter dapat dijatuhi sanksi sesuai dengan bentuk pelanggarannya:
1) pelanggaran disiplin, sanksi oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
2) pelanggaran administrasi, misalnya mengenai izin praktek, sanksi oleh pemerintah
3) pelanggaran kode etik kedokteran Indonesia, sanksi oleh Majelis Kehormatan Etik Indonesia (MKEK)
Hal ini dipertegas juga oleh Ali Baziad, Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Ali mengatakan bahwa UU Praktek Kedokteran hanya mengatur masalah pelanggaran disiplin. Pasal 66 dan 67 UUPK memang membuka kesempatan bagi seorang dokter untuk dipidanakan atau diperdatakan jika memang terbukti melanggar. Ia menemukan bahwa kesalahan terbanyak yang dilakukan oleh seorang dokter adalah tidak kompeten dalam melakukan suatu tindakan namun tidak mau merujuk. Jika dikelompokkan, berbagai kesalahan umumnya terjadi karena komunikasi, kompetensi, peralatan dan biaya.
“MKDKI tidak mengurusi hubungan antara dokter dengan pasien, melainkan mengurusi sengketa antara dokter dengan masyarakat profesi. Jadi sengketa dokter-pasien diselesaikan secara hukum, baik perdata maupun pidana,” tegas Ali. Ia menambahkan bahwa UUPK bukan lex specialist karena didalamnya tidak disebutkan secara khusus terkait hal tersebut.. “Ini kelemahan dari UUPK tersebut” katanya. (pea)
Reportase Seminar Nasional
“Bayang-bayang Risiko Hukum, Fraud dan Abuse dalam Pelaksanaan JKN”
10 Januari 2014
Bagian 2 | Bagian 3 | Bagian 4
Bagian-1
PKMK, Jakarta. Pada 10 Januari 2014 yang lalu, ARSADA Pusat telah menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema “Bayang-bayang Risiko Hukum, Fraud dan Abuse dalam Pelaksanaan JKN” di Jakarta. Seminar yang dirangkai dengan Rapat Pleno I ini ditujukan untuk mempertemukan antara PPK khususnya RSUD dengan pemerintah (Dirjen BUK), BPJS, hingga pakar-pakar hukum dan etika kedokteran dalam satu forum, untuk membahas berbagai risiko penyelewengan dan hukum dalam implementasi JKN.
Dirjen BUK, Prof. DR. Dr. Akmal Taher, pada sesi di pagi hari menyatakan bahwa setelah implementasi JKN dalam beberapa hari ini terlihat banyak RS yang melakukan “fraud”. Misalnya obat untuk penyakit kronis yang harusnya diberikan untuk satu bulan, diberikan ke pasien hanya untuk 10 hari. Alasannya adalah agar RS tidak rugi, karena nilai klaim untuk pengobatan satu bulan lebih rendah daripada harga obatnya.
Menurut Akmal, hal itu tidak perlu dilakukan oleh RS karena penghitungan INA-CBGs sudah melalui analisis terhadap banyak kasus. Ia yakin bahwa tarif dalam INA-CBGs sudah cukup mampu menanggulangi biaya pelayanan kesehatan di RS, meskipun diakuinya juga bahwa tarif ini belum sempurna. Menurutnya, Kemenkes dan Kemenkeu akan melakukan evaluasi iuran PBI dalam 3-6 bulan ke depan. “Sudah ada roadmap-nya, PBI akan naik secara bertahap. Ini keputusan bagus,” katanya. Jika aplikasi di pelayanan primer membaik, ia yakin di INA-CBGs juga akan membaik. “Kami tidak pernah mengasumsikan bahwa apa yang sudah dibuat oleh NCC (INA-CBGs) sudah baik dan lengkap. Namun jangan sampai kita menanggapi kasus per kasus, harus dikumpulkan dulu semuanya. Kalau terjadi berulang kali, berarti kesalahannya bersifat sistemik, yang harus dibenahi adalah sistemnya”.
Ia juga mengakui bahwa masih ada banyak biaya yang belum masuk dalam daftar. Misalnya dalam Formularium Nasional baru mencakup 1500 items, dalam e-catalog baru ada 300-an items. Jika ada obat-obatan yang lebih murah dari yang ada di e-catalog, ia mempersilahkan RS untuk menggunakannya. Disamping itu, masih banyak juga obat-obatan untuk penyakit kronis, misalnya kanker dan thalasemia di rawat jalan yang tidak ditanggung. “Ini akan diperbaiki”, imbuhnya.
Terkait dengan jasa pelayanan, Akmal menyebutkan bahwa Kemenkes akan menyusun formulasinya. “Tapi ini untuk jasa layanan, bukan jasa medik lho. Dulu Askes juga seperti itu, menentukan nilai maksimum (jasa)nya saja” tambahnya.
Ke depannya, Akmal menyarankan agar direktur RS lebih banyak melibatkan komite medis, khususnya dalam pengambilan keputusan pengobatan pada pasien. Keputusan untuk memberi obat pada pasien untuk tiga hari, 10 hari atau satu bulan adalah keputusan klinis dimana komite medis yang paling berhak untuk menentukan.
Untuk itu, Direktur RS Daerah harus sudah mulai membiasakan diri bekerja secara tim dengan komite medis. “Ini tidak mudah, apalagi kalau tidak terbiasa berkolaborasi,” katanya. Memang masih ada kendala ketersediaan dokter spesialis. Namun Akmal berharap RS tetap mematuhi standar kelas pelayanan. Misalnya jika RS Kelas B, maka harus memenuhi standar pelayanan kelas B yang sebenarnya. Di sisi lain, menurut Akmal ARSADA memiliki jejaring yang sangat luas, yang menjadi kekuatan RSUD dalam pelaksanaan JKN dan menghadapi persaingan. Selama ini asosiasi-asosiasi RS menjadi wakil untuk berbagai diskusi dengan pemerintah terkait dengan implementasi JKN. Selain itu, asosiasi harus bisa mendorong agar anggotanya juga tetap meningkatkan kompetensi (dan pemenuhan standar pelayanan) sehingga memiliki daya saing yang tinggi. “ARSADA siap nggak bersaing?” tantangnya. (pea)
Telah diselenggarakan Seminar Nasional Ikatan Keluarga Alumni dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia Makassar dengan tema “Mempertegas Peranan Farmasis dalam JKN”. Acara tersebut diselenggarakan di Hotel Boulevard, pada Sabtu (4/1/2014) di Makassar. Seminar ini merupakan salah satu rangkaian acara yang diadakan Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Sebelumnya, pada 3 Januari 2014 telah dilaksanakan musyawarah nasional (MUNAS) untuk mendengarkan laporan pertanggungjawaban ketua Ikatan Alumni (IKA) Farmasi UMI yang telah berakhir masa jabatannya. Acara dilanjutkan dengan pembentukkan panitia IKA yang baru. Pemilihan ketua berlangsung secara demokratis dan sdr. Abdul Malik S. Farm, Apt, M. Sc, kembali terpilih menjadi ketua IKA Farmasi UMI periode 2014-2019.
Seminar kali ini membahas beberapa faktor penting yang berhubungan dengan peranan farmasis dalam JKN yang telah berjalan sejak 1 Januari 2014. Berikut adalah pembicara dan materi yang disampaikan dalam seminar ini, sebagai berikut:
Peserta seminar adalah alumni dan mahasiswa Fakultas Farmasi UMI Makassar dari angkatan 2001 hingga angkatan 2013. Pembukaan acara seminar sekitar pukul 09:00 pagi WITA, dengan rangkaian acara sebagai berikut: pertama, diawali dengan tarian Padupa yaitu salah satu tarian selamat datang dari Sulawesi Selatan. Kedua, pembacaan ayat suci Al’Quran oleh sdr. Wahyu (mahasiswa Farmasi UMI Makassar). Ketiga, menyanyikan lagu Indonesia Raya. Keempat, laporan Ketua Panitia oleh sdr. Muammar Fawwaz S. Farm, Apt, M.Si. kelima, sambutan ketua BEM Farmasi UMI Makassar. Keenam, sambutan yang mewakili Dekan Farmasi UMI Makassar, Bpk. Rachmat Kostman S.Si, M.Kes, Apt. ketujuh, S
sambutan Rektor UMI yang diwakili oleh Wakil Rektor III UMI Bpk. Dr. Ahmad Dani, MM, sekaligus membuka seminar nasional secara resmi.
Sesi penyampaian materi seminar oleh masing-masing pembicara:
1. Kementrian Kesehatan RI: Kebijakan Pemerintah terhadap Farmasis dalam Penyelenggaraan JKN.
Tidak dapat hadir dan tidak ada yang mewakili untuk menggantikan. Hal ini telah diupayakan oleh panitia sejak jauh hari dan terus dilakukan koordinasi, namun sayang pada hari “H” pembicara tidak bisa hadir.
2. Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Pusat: Mengawal Peranan Farmasis dalam penyelenggaraan JKN, oleh Drs. Dani Pratomo, MM, Apt (Ketua IAI Pusat).
Dalam paparannya, Dani menyatakan saya memang berjanji sebelum masa jabatan saya ini berakhir, yang masa berakhirnya kurang dari 50 hari, saya akan ke Farmasi UMI. Masalah penggunaan kata Apoteker atau Farmasis, hingga saat ini belum ada ketentuan penggunaan Farmasis untuk menggantikan istilah Apoteker, walaupun sudah banyak pihak yang sering menggunakan kata Farmasis. Jika sejawat ingin menggunakan farmasis, penggunaan kata ini harus disetujui oleh kongres. Oleh karena itu, agar konsisten maka hingga saat ini ketentuan masih menggunakan nama Apoteker. Saat ini, kita bukan mengawal, karena Sebenarnya tidak perlu, semua aturan telah memihak pada Apt, hanya implementasinya saja yang belum optimal dilaksanakan. Apoteker perlu menunjukkan kompetensi diri dengan memberikan pengabdian pada masyarakat, hal inilah yang akan membuat profesi kita semakin mendapat pengakuan.
Prof Hasbullah Mengatakan bahwa dengan JKN, maka masy profesi di Indonesia memasuki era baru dalam dunia kesehatan. Dalam JKN ada 2 kata kunci, yaitu kendali biaya dan kendali mutu karena yang paling penting adalah keberlanjutan program. Keresahan Apt di Indonesia adalah karena isu yang berkembang bahwa Apt tidak dilibatkan dalam JKN, namun saat ini program JKN baru berjalan hingga jika kita merasa jika Apt belum dipertimbangkan; kita masih punya waktu untuk berjuang dengan profesi kita. Masih ada waktu hingga lima tahun kedepan. Apa yang berubah dengan JKN?
E-catalog belum diputuskan hingga saat ini, contoh: kebutuhan amoxicilin untuk seluruh Indonesia adalah 5 juta box/tahun. Apakah jika dihitung lebih teliti angka ini sudah tersedia? Apakah pemenang tender nantinya akan dapat menjamin ketersediaanya bagi masyarakat?. Pada pelayanan Apt, umumnya orang hanya berpikiran bahwa yang dibutuhkan adalah barangnya bukan khasiat obatnya. Padahal, penanganan obat yang dianggap “barang biasa” tersebut, membutuhkan perhatian khusus. Karena itulah Apt dibekali dengan ilmu pengetahuan tentang obat-obatan. Apakah Apt itu pedagang obat? Jika memang berpikiran sebagai pedangan obat, mendingan apotek kita dijadikan gerai IndoXXX atau AlfaXXX. Sekali lagi ditegaskan bahwa penanganan obat berbeda dengan penanganan barang kebutuhan masyarakat lainnya. Sehingga, keahlian Apt sangat dibutuhkan.
Bagaimana dengan jasa layanan bagi Apt? berapa jasa layanan yang paling sesuai? jasa pelayanan Apt menurut perhitungan IAI, minimal Rp. 20.000 (tergantung jarak dan keadaan apotek). Oleh karena itu, paradigma apotek sebagai tempat jual obat, diubah menjadi tempat pekerjaan profesi apoteker dalam pelayanan dan informasi obat. Perpres 12 tahun 2013 dan Permenkes 71 2013, apotek bukan lagi merupakan Faskes. Populasi apotek di Indonesia 22.000, berapa banyak apotek yang pelayanan pasiennya langsung dilayani oleh apoteker (saat ini sekitar 8000 orang Apt)? Apakah perbandingan ini sesuai untuk memenuhi bahwa pelayanan pasien di apotek harus benar-benar dilakukan oleh apoteker.
Apotek tidak dapat dinilai sebagai Faskes, karena: Apotek hanya bisa melaksanakan layanan administrasi, promotif, preventif dan pelayanan obat dan tidak bisa melakukan layanan medik spesialistik atau non-spesialistik (seperti puskesmas dan klinik). Apotek tidak mampu menyediakan layanan dari 8 layanan minimal yang diharuskan disediakan oleh Faskes (pasal 22 PERPRES 12/2012). Jadi apotek merupakan salah satu jejaring faskes, disamping laboratorium.
Semua aturan tentang kewenangan dispensing, hanya diperuntukkan bagi Apt, sedangkan dokter tidak diperbolehkan melakukan hal ini. Outcome akhir dari jasa dokter adalah resep (bukan obat). Hal ini masih terjadi hingga saat ini, karena apoteker yang melakukan penjualan obat ke dalam sistem panel. Jika kejadian ini terus berlangsung, makan praktek dispensing dokter akan terus berjalan. Menurut saya, sanksi tegas harus diterapkan misalnya dengan pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) Apt. Mari kita instropeksi, berapa banyak apoteker yang melakukan panel?
Saya melihat ada perbedaan perlakuan dari Kemenkes terhadap profesi dokter dengan profesi kesehatan lainnya. Padahal layanan kesehatan harus dilakukan secara komprehensif dan membutuhkan beberapa keahlian profesi kesehatan. Menurut data statistik, tingkat kesakitan masyarakat Indonesia sebanyak 15% dari total populasi rakyat Indonesia. Jadi, masih ada sekitar 85% masyarakat Indonesia yang sehat. Hal ini dapat menjadi peluang bagi apoteker, misalnya dengan promotif dan upaya-upaya prefentif. Mengurusi orang sehat, masih lebih banyak (85%), dibandingkan dengan orang sakit (15%).
Seharusnya peran apoteker diperhitungkan karena salah satu tugas utamanya merasionalkan penggunaan obat. Salah satu yang bisa dilakukan adalah menunjukkan kotribusi nyata Apt dalam pelayanan masyarakat. Sebenarnya IAI telah mengusulkan adanya kapitasi parsial: dr mendapat jasa medik dan Apt mendapat jasa obat karena membantu proses rasionalisasi penggunaan obat.Hal ini telah diperjuangkan semenjak BPJS akan diberlakukan, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya. Segala upaya telah dilakukan oleh IAI, namun belum memperoleh hasil optimal.
FORNAS sudah ada tapi hingga hari ini, belum ditentukan pemenangnya melalui E katalog. Salah satu pesan saya bagi rekan-rekan sejawat bahwa kontrak kerja dokter yang berpraktek di apotek adalah kotrak kerja dokter dengan Apt, bukan dr dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA). Hal ini sangat menyangkut dengan profesionalisme sebagai seorang dokter dan Apt.
Sesi Tanya jawab:
Tanggapan Pak Dani:
Beberapa pertanyaan, seharusnya dijawab oleh perwakilan dari bidang-bidang yang kompeten. Sehingga, saya hanya akan menjawab pertanyaan yang menurut saya, saya memiliki kompetensi atas jawaban pertanyaan tersebut.
3. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia: Kompetensi Farmasis dalam Penyelenggaraan JKN” oleh Prof. Dr.Elly Wahyuddin, DEA.,Apt
Materi tentang Masa Depan Profesi Apoteker oleh Drs. Harry Bagyo,Apt.,CPM
Pada sesi ini, pembicara banyak memaparkan bahwa kompetensi apoteker harus terus dilakukan, selain itu menjaga komunikasi dan mengikuti perkembangan informasi. Apoteker, dapat menjadi konsultan beberapa perusahaan kesehatan. Semua tergantu personal apoteker tersebut, bagaimana caranya mempromosikan keahlian yang dimiliki.
Penanya:
Reportase
Seminar Peran Sektor Farmasi Dalam Jaminan Kesehatan Nasional dan Peluncuran Web www.kebijakanobatindonesia.net
Yogyakarta, 21 Desember 2012
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta telah menyelenggarakan Seminar Peran Sektor Farmasi dalam Jaminan Kesehatan Nasional dan Peluncuran web www.kebijakanobatindonesia.net di ruang kuliah S3 Lantai 2 Gedung Pascasarjana FK UGM pada hari Sabtu, 21 Desember 2013 yang lalu. Tujuan seminar ini adalah:
Pelaksanaan acara
Waktu / Jam | Kegiatan | Pembicara / Penanggungjawab |
08.00 – 08.30 | Registrasi | Panitia |
08.30 – 08.45 | Pengantar dalam Pengembangan Web dan Monitoring BPJS | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D |
SESI I
08:45-10:30 |
Akses obat , kebijakan obat dan jaminan kesehatan nasional | dr. Budiono Santoso, Sp.FK, PhD |
Efisiensi dalam pemilihan dan pembiayaan obat dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional |
Dr. Erna Kristin, Apt Menyampaikan materi dari Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc.,Ph.D |
|
Diskusi |
Moderator: Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt |
|
10:30-11:00 | Coffee break | Panitia |
Sesi II
11:00- 13:00 |
Peran sektor farmasi (produk obat dan sumberdaya bidang obat) dalam pelayanan kesehatan & jaminan kesehatan nasional | Bayu Tedja Mulyawan, M. Farm, MM, Apt |
Optimalisasi Peran Profesi Farmasi dalam BPJS |
drs. Saleh Rustandi, Apt Wakil AIA pusat |
|
Diskusi | ||
Apa, mengapa dan bagaimana JKN dan BPJS, terutama dalam hubungannya dengan profesi farmasi? kerjasama primer (termasuk rujuk balik dan kerjasama dengan apotek) kerjasama sekunder kerjasama tertier |
dr.Donni Hendrawan, MPH | |
13:00-13:30 |
Kesimpulan dan Penutup Web Kebijakan Obat Indonesia – Interface antara pemegang kebijakan, pengelola kebijakan, pelayan kesehatan, dan peneliti mengenai obat dan pelayanan kesehatan. |
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D |
13:30-14:00 | Lunch | Panitia |
Peserta
Yang menjadi peserta pada seminar ini adalah para pemegang kebijakan obat, pengelola, tenaga pelayanan, peneliti di bidang obat dan pelayanan kesehatan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota dan Puskesmas, serta mass media.
Sesi Pengantar
Oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD.
Seminar ini merupakan satu topik dari rangkaian seminar dalam rangka JKN/ BPJS. Melalui seminar ini dapat diperoleh gambaran tentang kesiapan seluruh pihak. Salah satu sesi seminar ini adalah peluncuran website www.kebijakanobatindonesia.net yang nantinya diharapkan dapat menjadi sarana pertukaran informasi dan sebagai flatform pelatihan jarak jauh (PJJ) yaitu jenis pembelajaran baru yang dilakukan secara on line ataupun off line. On line dimaksudkan, dapat terjadi komunikasi 2 (dua) arah antara pemateri dengan peserta atau pengunjung website, yang dapat dilakukan dengan video/skype dan sejenisnya. Off line mengandung maksud bahwa pengunjung website dapat mendownload materi-materi yang disajikan dan dapat dipelajari kapan saja, bahkan berulang-ulang. Belajar dengan metode PJJ ini sangat penting karena dapat memfasilitasi penyebaran informasi dan pengetahuan farmasis. Sesi pertama akan mulai dengan materi yang akan disampaikan oleh dr. Budiono Santoso, Sp.FK, PhD dan Dr. Erna Kristin, Apt.
Sesi 1.1: National Medicine Policy, Universal Access to Health and Roles of Pharmacist
Oleh: dr. Budiono Santoso, Sp. FK, PhD.
Materi yang disampaikan oleh dr. Budiono Santoso, Sp. FK, PhD secara garis besar lebih menyoroti aksesibilitas obat (aman, berkualitas dan memberikan khasiat terapi) dan peranan farmasis terutama dalam menyambut BPJS yang tinggal menghitung hari. Diharapkan, farmasis berperan lebih aktif karena farmasis adalah salah satu ujung tombak pelaksanaan JKN. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kompetensi yang dimiliki.
Terkait dengan materi aksesibilitas obat (universal access) dr. Budiono lebih menyoroti peran masyarakat dalam memperoleh layanan kesehatan. Setiap warga negara berhak atas layanan kesehatan termasuk memperoleh layanan yang berkualitas dengan biaya terjangkau. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa hak atas dasar kesehatan selalu menjadi hal penting? Ada 3 (tiga) konfensi dunia terkait hak kesehatan bagi seluruh rakyat, yaitu:
Tiga dasar yang telah disebutkan di atas, bukan kesepakatan melainkan konfensi jadi terdapat kewajiban untuk melaksanakannya.
Di Indonesia telah banyak UUD 1945 telah mengamanatkan hal ini. Selain itu, juga banyak UU lain yang juga mengamanatkan hal serupa, bahwa negara menjamin kesejahteraan warga negaranya. Visi global adalah setiap orang memiliki akses terhadap obat dengan keamanan, mutu dan khasiat. Selain itu yang haru disadari bahwa masyarakat memperoleh resep rasional dengan penggunaan yang juga rasional. Salah satu kiat yang dapat dilakukan agar pasien menggunakan obat secara rasional adalah dengan peran apoteker di fasilitas kesehatan (FASKES). Kisah nyata yang telah dapat kita saksikan adalah kisah sukses Pak Jokowi, karena telah berusaha untuk menciptakan aksesibiliti terhadap layanan kesehatan di Jakarta melalui kartu Jakarta sehat (KJS).
Selanjutnya, pembicara memaparkan tentang obat esinsial yaitu obat yang harus selalu tersedia setiap saat dengan jarak yang paling tidak 2 (dua) Km, agar memudahkan masyarakat menjangkau fasilitas kesehatan. Obat-obatan yang digolongkan esensial, seharusnya tidak dibebani dengan tatanan birokrasi yang berbelit-belit, terutama obat-obatan yang sangat dibutuhkan. Safety, Efficacy dan quality merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Namun tidak hanya itu, perlu dilakukan kajian lain yaitu dari sisi cost effectiveness.
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling aktif dalam pengembangan obat esensial. Pada tahun 1980. Indonesia dinilai negara yang paling baik dalam hal manajemen obat di puskesmas, terutama pengelolaan obat-obat esensial. Selama 35 tahun terakhir, pemilihan obat esensial merupakan salah satu instrumen dalam kesehatan masyarakat. Dasar Obat Esensial Indonesia dimulai tahun 1978, dan semenjak itu banyak negara yang belajar dari Indonesia.
Tahun 2008, Indonesia menerbitkan DOEN 2008 yang menurut penilaian beberapa pihak jauh lebih baik dari daftar obat di Australia karena penyusunannya lebih prinsipil. Tiga tujuan obat esensial: akses, kualitas dan digunakan secara benar (rasional). Sedangkan menurut Indonesia National Medicines Policy Fundamental, tujuannya sebagai berikut:
Hal ini berbeda dengan di Amerika, dimana tidak ada kebijakan obat nasional dan merupakan satu-satunya negara di dunia yang tidak memiliki daftar obat seperti di Indonesia. Setiap layanan kesehatan di sana, diberikan keleluasaan untuk mengadakan obat-obatan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Akibatnya, sebagian warga negara Amerika tidak tercover asuransi, dan hal ini berdampak pada pembiayaan negara dibidang kesehatan.
Setiap layanan kesehatan seharusnya secara aktif melaporkan ketersediaan obat esensial karena ketersediaannya minimal 85% (idealnya 100%). Masalahnya, obat-obat murah sering tidak tersedia karena untungnya tidak ada, misalnya HCT. Obat-obatan ini, harus mendapatkan subsidi pemerintah karena sangat dibutuhkan. Di beberapa negara berkembang, HCT telah dihilangkan karena dianggap tidak menguntungkan.
Apoteker bukan hanya memberikan dan meracik obat (menggerus, mencampur, mebuat kapsul) tapi lebih dari itu bekerjasama dengan dokter dengan memberikan pelayanan kesehatan, yaitu:
Sesi 1.2 FORNAS untuk JKN
Oleh Dr. Erna Kristin, Apt (yang menyampaikan materi dari Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M. Med. Sc, PhD.)
Pada sesi ini, pembicara lebih banyak menjelaskan peran formularium nasional (FORNAS) yang akan digunakan sebagai pengendali penggunaan obat dalam JKN. Materi disampaikan dengan sangat menarik dengan tampilan power point yang mudah dipahami. Materi ini disampaikan sekitar 30 menit dan dilanjutkan dengan sesi diskusi dengan peserta seminar yang hadir.
FORNAS disusun oleh komite nasional yang ditetapkan oleh MENKES yang dalam penyusunan setiap item yang ada di dalamnya, didasarkan pada bukti ilmiah, keamanan, khasiat dengan harga terjangkau. Selain itu, beberapa aspek yang harus diperhatikan adalah:
Aspek ini perlu diperhatikan terutama indikasi karena ada beberapa perubahan yang terjadi dalam FORNAS, misalnya pengobatan untuk lini pertama penyakit malaria malaria telah berubah. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa harus ada FORNAS? Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain:
FORNAS juga digunakan sebagai pengendali harga obat yang beredar di Indonesia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan harga obat dengan nama dagang dibandingkan dengan obat dengan nama generik. Perbedaan ini sangat signifikan, bahkan ada jenis obat dengan nama dagang tertentu yang harganya 238 kali lebih mahal dibandingkan dengan harga obat generiknya. Jadi, salah satu cara adalah dengan FORNAS sehingga mewajibkan seluruh dokter dari layanan primer hingga layanan sekunder diwajibkan untuk meresepkan obat sesuai FORNAS.
Sesi Diskusi
Penanya pertama adalah Andre (dari Kupang) yang bertanya mengenai aksesibiliti terhadap pada obat dan layanan kesehatan. Tidak kurang dari 2800 PKM di daerah terpencil, tidak memiliki dokter, sehingga tugas dr digantikan oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Bagaimana jaminan hukumnya? Menurut dr. Budiono Santoso, Sp. FK, PhD, secara hukum mereka terproteksi yang penting ada supervisornya, sehingga ada pedoman supervise dokter untuk paramedik lain. Jadi, mereka yang melakukan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan dokter, sebaiknya sudah terlatih dan telah mendapatkan pelatihan dari dokter. Atau untuk asisten apoteker atau lulusan SMF, sebaiknya telah mendapatkan bekal dari Apoteker penanggungjawab. Menurut Dr. Erna Kristin, Apt, dengan obat DOEN di PKM dan Subdin Farmasi tiap wilayah, Apoteker bisa melakukan on the job training (apoteker ke asisten apoteker).
Penanya kedua adalah Prof. Mustofa, Apt mengenai pemegang kartu ASKES yang sering disia-siakan. Bagaimana kesiapan FASKES dalam menghadapi JKN. Sistem rujukan sering dirasakan menyulitkan bagi beberapa pasien karena sebelum ke FASKES sekunder, harus telah memiliki rujukan dari FASKES primer. Pertanyaan berikutnya terkait dengan farmakogenetik: bagaimana jika pasien dengan keadaan genetik berbeda dengan pasien lainnya, harus memperoleh terapi yang berbeda pula dan kemungkinan obat dan jenis terapi yang dibutuhkan tidak termasuk dalam pola jaminan BPJS? Terhadap pertanyaan ini, dr. Budiono Santoso Sp. FK, PhD menanggapi sebagai berikut. Di Srilangka, satu hari buka poliklinik RS pendidikan bosa melayani pasien sampai dengan 2.000 orang. Di puskesmas hanya melayani pasien 20-30 orang per hari. Rujukan memang diperlukan sebagai kontrol. Mengenai Farmakogenetik, teori farmakogenetik terkadang berbeda dengan kenyataan sehingga hal ini masih perlu dikaji lebih dalam.
Menurut Dr. Erna Kristin, Apt FORNAS dengan konsep obat yang paling banyak dibutuhkan masyarakat. Bagaimana dengan era genom? Di LN, sebelum diterapi harus dilihat profil genetik sehingga jika nantinya ada polimorfisme sesorang harus diberikan obat sesuai dengan genetiknya? Memang pada ketentuannya tidak disebutkan secara genetik, namun ada produk biologi. Untuk data seperti ini, bisa dilihat dari hasil penelitian di USA dan Eropa dan peneliti kita sebagian sudah mengarah ke farmakogenetik. Jika kasus terjadi, bisa dikonsulkan dulu ke tim khusus yang telah disiapkan untuk mengatasi hal semacam ini.
Penanya ketiga adalah Bapak Wasirin dari RSUD Purworejo, dengan pertanyaan sebagai berikut:
Terhadap ketiga pertanyaan tersebut, Dr. Erna Kristin, Apt menanggapi bahwa akan dijawab Pak Bayu Tedja Mulyawan, M. Farm, MM, Apt. pada sesi berikutnya.
Sesi 2.1 Peran sektor farmasi (produk obat dan sumberdaya bidang obat) dalam pelayanan kesehatan & jaminan kesehatan nasional
Oleh Bayu Tedja Mulyawan, M. Farm, MM, Apt.
Pembicara memaparkan materi peran sektor farmasi dalam pelayanan kesehatan dan JKN. Berikut adalah beberapa poin penting yang disampaikan pembicara, sebagai berikut:
Sesi 2.2: Optimalisasi Peran Profesi Farmasi dalam BPJS
Oleh Drs. Saleh Rustandi, Apt: menyampaikan materi dari ketua IAI Pusat
Peran Apoteker dalam JKN
Berikut adalah beberapa kompetensi yang seharusnya menjadi perhatian seluruh apoteker dalam JKN, sebagai berikut:
Hingga saat ini, Apoteker belum diperhitungkan sebagai tenaga strategis. Hal ini berbeda dengan dokter dan perawat. Padahal pekerjaan apoteker memerlukan keahlian khusus terutama saat menyiapkan obat-obatan yang dibutuhkan pasien. Berikut adalah standar kompetensi apoteker Indonesia
Sesi Diskusi
Penanya pertama adalah M. Ikhsan, S. Farm, Apt yang pernah bekerja sebagai apoteker di Dexa Medica. Menurutnya, adanya Permenkes No. 69 tahun 2011 membuat Apoteker berduka karena adanya penghapusan uang R/. Negara tetangga (Australia) lebih menghargai profesi farmasis. Pertanyaannya, bagaimana kurikulum profesi apoteker di Indonesia? Bagaimana optimalisasi peran apoteker, karena beberapa dianatranya kontradiksi dengan permenkes? Bayu Tedja Mulyawan, M. Farm, MM, Apt menanggapi bahwa Permenkes No. 69 tidak spesifik menyebutkan jasa apoteker, tapi bukan berarti tidak ada. IAI sedang membuat formula tentang jasa Apoteker. Usulan belum diterima, sehingga mungkin masih memerlukan waktu untuk lobby. Mekanisme sekarang adalah HET (harga eceran tertinggi), yaitu jasa kefarmasian ada di HET. Sosialisasi tentang ini akan disampaikan oleh Prof. Budi Sampurno pada hari Senin besok. Apoteker dan Asisten Apoteker sudah masuk dalam jabatan fungsional dan mendapatkan tunjangan fungsional. Jadi, sudah ada penghargaan bagi apoteker. Tanggapan Saleh terhadap hal ini adalah agar para apoteker tetap semangat untuk memperjuangkan perannya. Hal ini terus dibicarakan dengan konsep-konsep yang cukup baik, termasuk konsep jasa apoteker tidak berada dalam HET.
Penanya kedua adalah dr. Sitti Noor Zaenab dari PKMK. Dalam JKN pada layanan primer ada kapitasi, bagaimana hitungan kapitasnya? Apa ada unsur obat? Bagaimana jika dana obat dialihkan untuk promosi? Obat-obat apa yang boleh diberikan langsung apoteker tanpa R/ dokter? Tanggapan Bayu Tedja Mulyawan, M. Farm, MM, Apt., dana DAK untuk kefarmasian ada Rp 1,1 triliyun tetap diadakan; dengan konsep kapitasi, komponen obat ada dalam DAK. Hingga saat ini, dana DAK dalam bentuk fisik, untungnya saat itu obat masuk. Sebelumnya dana DAK hanya untuk alat dan fisik, namun pada pelaksanaannya obat sangat dibutuhkan; sehingga dialihkan untuk obat juga. Jadi, jika dana DAK dialihkan untuk promkes, nantinya dana obat tidak cukup. Menurut Saleh, Yang boleh diberikan Apoteker adalah DOWA. Suatu pelangaran jika apoteker memberikan AB tanpa R/.
Penanya ketiga adalah Wasirin dari RSUD Purworejo, dengan pertanyaan sebagai berikut:
Menurut Bayu Tedja Mulyawan, M. Farm, MM, Apt., tanggal 1 Januari 2014 BPJS akan tayang. Jika memang ada kendala, RS dipersilahkan untuk mengirim email dan selanjutnya bisa mengadakan diluar e-katalog. Jika lewat e-purchasing tidak dilayani RS dipersilahkan untuk bekerjasama dengan PBF. Untuk ALKES, ada beberaüa implant dan kasus lain yang belum diatur dalam INA CBG’s.
Penanya keempat pada sesi ini adalah Dewi, Apt dari Puskesmas Banjarnegara. Dewi menyampaikan bahwa medication error dijumpai tiap hari di Puskesmas. Selain itu, Ibuprofen dan beberapa obat yang ESO-nya selalu tidak sesuai. Ia menyarankan bahwa perlu ada seminar dengan Apt dan dr ttg pemberian obat rasional. Terhadap hal ini, Bayu Tedja Mulyawan, M. Farm, MM, Apt., mengatakan bahwa apoteker itu perlu, namun kita butuh untuk mengaktualisasikan peran apoteker pada profesi lain. Terkait penggunaan obat rasional, hal ini akan diskusikan juga di Jakarta.
Sesi 2.3: Apa, Mengapa dan Bagaimana JKN dan BPJS, Terutama dalam Hubungannya dengan profesi farmas
Oleh Dr. Donni Hendrawan, MPH
Dalam pemaparannya, pembicara terakhir mengatakan bahwa ada beberapa perubahan yang terjadi di era JKN, antara lain:
Beberapa peraturan terkait dengan JKN
No | Ketentuan | Perihal | Keterangan |
1 | Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 | Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan |
Daftar peserta → Kemensos Update per 6 bulan |
2 | Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 | Jaminan Kesehatan | Tatakelola JKN |
3 | KepMenkes Nomor 455/Menkes/ 2013 | Assosiasi Faskes | Asosiasi faskes yang berwewenang melakukan nego tarif |
4 | Permenkes No. 69/Menkes/2013 | Standar Tarif Pelayanan |
Kapitasia Pelayanan Tingkat Dasar INA-CBG’s a Pelayanan Tingkat Lanjutan |
5 | Permenkes No. 71/Menkes/ 2013 | Pelayanan Kesehatan JKN | Tatakelola JKN |
Tantangan Aging Population bagi Sistem dan Layanan Kesehatan: Kasus Taiwan dan Singapura
Dari Simposium Health System in Asia, Singapura, 13-16 Desember 2013
Pengantar
Pendapat dunia terbelah mengenai Taiwan; sebagian menganggapnya sebagai negara berkembang, sebagian lainnya menggolongkannya sebagai negara maju berdasarkan berbagai indikator. Apapun itu, Taiwan telah menunjukkan dirinya sebagai salah satu macan ekonomi Asia dan menjadi contoh bagi negara berkembang lainnya. Seiring dengan meningkatkan kesejahteraan penduduk (GDP per kapita USD 20,336), Taiwan juga menghadapi masalah proporsi lansia (usia +65) yang tinggi (11,2%) dan rendahnya angka fertilitas.
Singapura dengan penduduk kurang dari 5,2 juta jiwa telah berhasil menjadi negara maju yang disegani dunia. Dengan UHH 79,6 tahun (laki-laki) dan 84,3 tahun (perempuan), Singapura juga menghadapi masalah terkait aging population. Diperkirakan tahun 2030 proporsi penduduk lansia akan mencapai 18,7%.
Strategi dan Tantangan Taiwan Menghadapi Peningkatan Proporsi Populasi Lansia
Pada era 1904 – awal 1970-an, Taiwan telah berhasil mengontrol penyakit menular dan kelahiran yang tinggi. Hal ini berdampak pada meningkatnya usia harapan hidup menjadi 76 tahun (laki-laki) dan 82,7 tahun (perempuan). Dibandingkan dengan Singapura, Jepang, Korea Selatan dan Jerman, UHH Taiwan paling rendah, namun proporsi penduduk lansianya lebih tinggi dan angka ketergantungannya lebih rendah dari Singapura.
Sebagai reaksi terhadap karakteristik populasi yang berubah tersebut, sejak tahun 1980 Taiwan telah memiliki peraturan mengenai perlindungan terhadap penduduk lansia dan orang dengan disabilitas. Aturan ini mulai diimplementasikan di bidang kesehatan sejak tahun 1980 dan 10 tahun kemudian Taiwan memiliki kebijakan asuransi kesehatan nasional. Selanjutnya sampai dengan tahun 2001 Taiwan banyak melakukan pengembangan program-program terkait kesejahteraan lansia, termasuk diantaranya program home care dan residential care.
Sejak akhir 1990-an hingga 2012 Taiwan sangat aktif mengembangkan dan memperbaharui berbagai kebijakan terkait dengan long-term care (LTC), termasuk dari aspek pembiayaannya. Melalui kebijakan ini, layanan akut ditanggung oleh national health insurance. Data menunjukkan bahwa tahun 2011 33,5% dana NHI digunakan oleh penduduk lansia. Pelayanannya meliputi home care, institutional care (perawat (nursing home) terlatih maupun tidak terlatih), elderly residential community, respite care, yang kebanyakan dimiliki oleh sketor swasta. Namun sampai dengan saat ini LTC dirasakan masih inefisien dan kualitas pelayanannya masih dipertanyakan.
Taiwan telah membuat roadmap 10 Tahun Program LTC (2007-2016) yang menekankan pada konsep “Aging in Place” (umumnya menyediakan home care dan community care). Dananya berasal dari pajak, pembiayaannya bersifat sentralisasi namun operasionalisasinya bersifat lokal. Penerima program ini adalah penduduk lansia yang berasal dari golongan berpendapatan rendah dan sedang. Namun demikian program ini tetap memungkinkan adanya co-payment, yang besarnya sesuai dengan golongan pendapatan. Besarnya variasi kapasitas pemerintah daerah menyebabkan adanya perbedaan antar-provinsi terkait dengan administrasi, supply dan demand pelayanan kesehatan. Dalam jangka panjang direncanakan ada restrukturisasi pemerintah pusat dimana Departemen Kesehatan akan berekspansi menjadi Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan untuk meng-cover kesejahteraan sosial.
Kedepannya, Taiwan masih akan menghadapi tantangan berupa independensi dari NHI dan ketersediaan provider LTC, definisi yang lebih jelas mengenai batasan penyakit akut, sub-akut dan LTC, serta adanya kemungkinan moral hazard.
Strategi Singapura Menghadapi Tantangan Perubahan Proporsi Penduduk Lansia
Sejak tahun 1984 Singapura telah mengembangkan skema pembiayaan kesehatan untuk mengantisipasi populasi yang menua. Skema ini terus berkembang hingga meng-cover biaya pelayanan bagi penduduk Singapura yang tidak mampu. Tahun 2015 akan dikembangkan skema pembiayaan universal coverage seumur hidup.
Sistem pelayanan kesehatan didesain sedemikian rupa, sehingga layanan preventif menjadi tanggung kawab Kemenkes dan asosiasi masyarakat dalam program-program kesejahteraan. Layanan primer menjadi tanggung jawab dokter praktek serta pusat kesehatan masyarakat yang akan melayani masyarakat tidak mampu. Rumah sakit pemerintah dan swasta bertanggung jawab terhadap layanan akut, sedangkan intermediate dan long term care menjadi tanggung jawab voluntary welfare organization (VWOs) dan sektor privat.
Hasil evaluasi awal terhadap program ini adalah sebagai berikut:
Saat ini telah ada public-private mix dalam hal penyediaan pelayanan kesehatan long-term, sebagaimana digambarkan melalui tabel berikut:
Privat | Publik | Voluntary | |
Layanan spesialistik |
RS Privat Pusat Layanan Spesialistik |
RS Publik Pusat Layanan Spesialistik Nasional |
? |
Layanan Primer | Klinik Dokter Umum | Poliklinik | ? |
Intermediate dan LTC |
Nursing Homes Home Care |
Transitional Care |
Community Hospital Nursing Homes Hospice Care Day Rehab Centers Home Care |
Ada agenda yang belum selesai yaitu: asuransi sosial universal (Medishield Life) yang rencananya akan dimulai tahun 2015 dan asuransi sosial universal seumur hidup (Eldershield Life/Long Term Care) yang belum dapat diperkirakan kapan akan dimulai. Implikasi kebijakan dari paper ini adalah perlunya studi komparatif untuk memberikan bukti dasar bagi penyusunan kebijakan di masa mendatang terkait dengan penyediaan layanan kesehatan dan sosial bagi lansia. Selain itu, pelajaran dapat diambil dair pengalaman berbagai negara lain di Asia yang meliputi berbagai sistem kesehatan dan latar belakang budaya. (pea)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK)
bekerjasama dengan
Magister Kebijakan dan Manajemen Kesehatan dan MMR
Prodi S2 IKM FK UGM
menyelenggarakan
Diskusi mengenai:
Berbagai Isu Strategis Dalam Sistem Kesehatan di Kabupaten
Dalam Era BPJS
Ruang R. 301 IKM FK UGM, Yogyakarta
Jumat, 20 Desember 2013
Disiarkan melalui streaming di berbagai website di PKMK FKUGM
Pengantar
Berbagai isu strategis saat ini muncul di Indonesia terkait dengan system kesehatan, terutama menjelang era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN). Beberapa hal yang masih mendapatkan kendala adalah upaya promosi dan prevensi di era BPJS dan bagaimana peran dinas kesehatan kabupaten/kota dan propinsi dalam menghadapi SJSN.
Dalam rangka mendiskusikan isu – isu tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan bekerjasama, Minat KMPK dan MMR FK UGM menyelenggarakan Diskusi Satu Hari dalam membedah Isu – Isu Strategis dalam Sistem Kesehatan di Kabupaten dalam Era BPJS.
Agenda
Waktu | Keterangan | Pembicara |
08.00 – 08.30 | Registrasi | |
TOPIK: Upaya Promosi dan Prevensi di Era BPJS | ||
08.30 – 09.00 | Pengantar: Situasi Upaya Pencegahan dan Promosi saat ini dan Kemungkinannya di Era BPJS | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D |
09.00 – 11.00 |
SESI DISKUSI: Penyusunan Rencana Strategis untuk Program Pencegahan dan Promosi |
Dr. Bambang Sulistomo, MPH – Penasehat Khusus Menteri Kesehatan RI Pembahasan oleh:
|
11.00 – 13.30 | ISHOMA | |
TOPIK : Peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Propinsi dalam Era BPJS | ||
13.30 – 14.00 | Pengantar Diskusi | Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D |
14.00 – 16.30 |
SESI DISKUSI: Peranan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Propinsi dalam Era BPJS dan Hubungan Antara Dinas Kesehatan dan RSD dan RS Swasta |
Metode: Round table discussion Pembahasan oleh:
|
*) melalui Skype®
Tempat:
Ruang R. 301 IKM FK UGM Yogyakarta
Peserta
Peserta yang hadir adalah:
Pengantar
Situasi Upaya Pencegahan dan Promosi saat ini dan Kemungkinannya di Era BPJS
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD
Acara ini dibuka oleh Prof. dr.Laksono Trisnantoro, MSc.,PhD dengan sekaligus memberikan pengantarnya dengan tema Situasi Upaya Pencegahan dan Promosi Saat ini dan Kemungkinannya di Era BPJS. Menurut Prof. Laksono, diskusi hari ini membawa konteks yang sangat penting karena pada Januari 2014, BPJS mulai diberlakukan. Harapannya hasil diskusi ini dapat menjadi masukan untuk pemerintah. Saat ini Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerjasama dengan 15 universitas di Indonesia sedang menyusun proposal yang tujuannya untuk memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaan BPJS. “Untuk mengetahui informasi terkait hal ini, silahkan kunjungi proposalnya di pojok kanan atas pada website manajemen-pembiayaankesehatan.net. Pada saat ini kita akan meneliti sebelum dan setelah pelaksanaan BPJS dan juga akan membahas seputar promkes” katanya.
BPJS akan beroperasi ditingkat BPJS pusat, di level kabupaten, cabang dan regional. BPJS akan mengelola dana yang sangat besar, yaitu sekitar Rp 20 trilyun. Ada banyak pertanyaan yang masih membutuhkan diskusi panjang untuk menemukan solusinya. Apakah BPJS membawa perubahan? Bagaimana fungsi dinkes dalam mutu pelayanan? Pada era BPJS, siapa yang bertanggung jawab melaksanakan promosi kesehatan? Bagaimana memantau mutu pelayanannya?
Usai melontarkan berbagai pertanyaan tersebut, Prof. Laksono mempersilahkan pembicara selanjutnya, yaitu dr. Bambang Sulistomo untuk menyajikan materinya.
DISKUSI SESI 1
Penyusunan Rencana Strategis untuk Program Pencegahan dan Promosi
Dr. Bambang Sulistomo, MPH – Penasehat Khusus Menteri Kesehatan RI
Pembahas:
DR. Yayi Suryo Probandari, M.Si. (Pusat Promosi Kesehatan FK UGM)
Dr. Krishnajaya, MS (Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan)
Menurut Dr. Bambang, Promosi kesehatan meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan edukatif, namun selama ini kaitan derajat kesehatan masyarakat dengan upaya promosi dan prevensi masih belum maksimum. Dalam Konas Promkes tahun ini, disebutkan juga upaya promosi yang akan dilakukan. Namun, rencana strategis promosi untuk menyambut BPJS belum ada yang merumuskannya. “Saran saya, silahkan buat proporsi upaya promosinya, sebelum menyusun anggaran”, ungkap Dr. Bambang Sulistomo. Upaya kesehatan melalui sekolah perlu digalakkan kembali. Selama ini, semangat promkes hanya sampai pada LSM dan ormas-ormas, belum sampai ke bawah. Hal yang terpenting yaitu mencegah orang sakit. Namun yang terlihat adalah sebaliknya: banyak RS Internasional didirikan agar tidak banyak yang ke luar negeri, yang artinya lebih ditekankan pada upaya kuratif.
Deklarasi Jakarta
Dr. Bambang kemudian memaparkan isi Deklarasi Jakarta yang disepakati pada November 2013 oleh pemerintah pusat, pemda, kelompok profesi, organisasi kemasyarakatan, swasta, dan masyarakat. Deklarasi tersebut merupakan hasil pertemuan Konas Promkes keenam tahun 2013 yang menyatakan:
Bagaimana upaya untuk menyambut era BPJS ini? “Saya berkhayal bangsa ini sehat tumbuh dari bawah, bagaimana masyarakat sadar akan kesehatannya”, tambah Bambang.
Promosi Kesehatan “Kurang Seksi”
Dr. Yayi Suryo Probandari, dari S2 IKM Minat Perilaku dan Promkes, FK UGM menyampaikan bahwa promkes belum menjadi isu yang ‘seksi’ karena memang banyak hal yang harus dibenahi. Setidaknya ada beberapa catatan dari Yayi, antara lain:
– pencegahan primer belum dilakukan (pendidikan dan penyuluhan yang belum atraktif dan interaktif),
– belum ada pelatihan Life Skills (yang sebenarnya bisa dilakukan dengan pihak swasta) maupun pemasaran sosial (kampanye cuci tangan dengan pihak swasta)
– komunikasi kesehatan (meski dengan pembayaran yang sama, tayangan kampanye anti tembakau pernah ditolak oleh TV swasta).
Kegiatan dapat dilakukan melalui media massa maupun menggunakan IT (website based-social media). Saat ini promkes masih dilakukan dengan cara-cara tradisional. Salah satu contoh menarik yang diungkap oleh Yayi adalah banyaknya billboard rokok berganti setiap bulan dengan gambar menarik sedangkan banner berisi ajakan untuk tidak merokok sudah dalam kondisi robek.
Menurut Yayi, ada banyak masalah yang kita hadapi saat ini, antara lain struktur di tingkat provinsi kurang jelas, anggaran terbatas, pemahaman petugas berbeda, serta komunikasi-advokasi yang terbatas. Pada RUU Pengendalian Produk Tembakau, ada banyak pasal (penting) yang dihilangkan, misalnya Pasal 3 yang seharusnya berisi tentang perlindungan masyarakat non-perokok dari dampak tembakau.
Prof. Laksono menambahkan bahwa pemerintah Thailand mengharuskan berbagai rokok produki Indonesia yang masuk ke negara ini untuk menggunakan desain kemasan bergambar organ yang rusak akibat dampak rokok. Filipina berhasil menggunakan sin tax dari cukai rokok untuk promkes. Indonesia sendiri sebagai penghasil tembakau dan rokok justru tidak melakukan perlindungan apapun bagi warganya yang tidak merokok.
Dr. Krisnajaya, MS, Kepala Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes) menyampaikan harapan-harapannya, antara lain:
– ada ahli sospol yang fokus untuk memperjuangkan regulasi dibidang ini.
– Menurutnya Dirjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan (P2PL) memiliki tugas utama promotif, bukan menanggulangi penyakit. Jadi sebaknya Kemenkes menempatkan tenaga promkes di 98 kabupaten tertinggal. Sebagai contoh, NTT memiliki jargon revolusi KIA (preventif), meskipun dana kesehatannya kurang dari 3%.
– Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebaiknya menegaskan seluruh upaya promotif dan preventif.
– Kadinkes dilatih birokrasi manajemen pemerintahan selama tiga bulan pertama. Jika tidak ada anggaran dari pusat, maka daerah harus menyediakannya. Pusat perlu melihat kemampuan fiskal dan SDM daerah.
Momentum bagi Para Promotor Kesehatan
Dr. Bambang menambahkan bahwa antara organisasi Dinkes dengan tenaga kesehatan belum ada visi yang sama, sehingga promosi belum dianggap sebagai suatu yang wajib dan harus dilakukan secara lebih baik. Maka dari itu, ia menganggap ini adalah suatu momentum yang baik untuk memasukkan upaya promosi kesehatan dalam rencana strategis dan SJSN sebagai momentum politik. “Salah satu poin yang ditekankan yaitu kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan. Nantinya, strategi ini bisa dibawa ke DPR dan Menkes. Jika perlu, strategi ini disepakati dan ditandatangani oleh pengurus IAKMI, ARSADA, IBI dan ADINKES se-Indonesia” katanya lagi.
Terhadap hal tersebut, Prof Laksono menanggapi bahwa para pelaku promkes kurang militan karena sibuk mengurus Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sering dimutasi sehingga programnya terganggu. Maka, upaya promkes ini tergantung pada siapa yang menjadi pemimpinnya: apakah Dinkes (yang politis), Ormas atau LSM? Pertanyaan selanjutnya, promotor kesehatan lebih baik dari Dinas Kesehatan atau swasta?
Menurut Yayi, promkes bukan hanya birokrat tetapi juga swasta dan akademisi. Jika hanya mengandalkan pemerintah, terlalu banyak hambatan politis. Yayi memaparkan pengalamannya saat aka nada pertemuan dalam rangka World Tobbaco Day Kepala Dinas Kesehatan salah satu kabupaten sudah bersedia datang, namun dicegah Sekda. Pengalamannya yang lain adalah saat memberi konseling berhenti merokok di kawasan Jawa Barat, 20 dari 30 peserta yang mengikuti konseling tersebut dimutasi dari Puskesmas.
Kompetensi bagi Leader Promotor Kesehatan
Kepala Dinas Kesehatan harus memiliki kompetensi teknis-manajerial pemerintahan, kepemimpinan lembaga. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Krisnajaya. Ia mengusulkan agar Kementerian Dalam Negeri mengundang Kadinkes dan Sekda (birokrat) untuk mengingatkan tentang hal ini. Dilain pihak, menurut Suwarta (ARSADA) ada salah kebijakan karena selama ini fokus hanya pada kuratif. Era desentralisasi pemerintahan seharusnya ada pembagian leadership antara kabupaten dan kota. Jadi daerah harus bisa mengatur dirinya sendiri dan tenaga kesehatan harus mengerti tentang promkes. Menurutnya, pemimpin promkes sebaiknya Kadinkes dengan kompetensi terukur.
Pada diskusi ini, Dr. Sitti Zaenab, MKes (PKMK FK UGM, mantan Kadinkes Kab. Bantul) mengusulkan agar Dinkes dan Pemda dapat berperan sebagai regulator, sedangkan LSM (yang sudah teruji kapasitasnya) sebagai eksekutor. Ada kemungkinan Dinkes mengkontrakkan promkes ke swasta supaya bisa berjalan dengan baik. Peserta diskusi lain, Dra. Ayu Diah Puspandari, Apt.,MBA., MPH (KPMAK) melihat dari sisi yang lain. Menurutnya, fungsi Bappeda perlu dilihat kembali, karena salah satu peran pentingnya adalah mengatur alokasi anggaran dengan nuansa kesehatan. Oleh karena itu, Dinkes perlu dibekali dengan leadership skill dan kemampuan menjalin kemitraan dengan pihak lain.
Peserta diskusi lainnya, yaitu Drg. Puti Aulia Rahma, MPH (PKMK FK UGM) mengatakan jurnalisme warga penting digalakkan dengan memanfaatkan media massa, misalnya Kompasiana, Facebook dan jejaring sosial lainnya. Doni (mahasiswa S2 MMR) memiliki pendapat lain lagi. Menurutnya, perlu ada integrasi promkes melalui standing comitte dengan partner lain. Ini diperlukan untuk efisiensi anggaran dan keberlanjutannya-inklusi materi kesehatan dalam pendidikan termasuk pendidikan seks (MOU dengan Kementrian Pendidikan).
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam diskusi, Dr. Kuntjoro A.P, MKes (Ketua Umum ARSADA Pusat) berpendapat bahwa ada ketidakmampuan daerah melaksanakan kebijakan. Oleh karena itu, menurutnya dibutuhkan pemetaan (road map) dengan rundown yang jelas. Dinkes-Puskesmas-sekolah harus bergerak bersama.
Peran Dinas Kesehatan dalam Pelaksanaan BPJS
Melalui Skype® para peserta diskusi terhubung dengan Dr. Anung Sugiyantono, M. Kes, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Dalam kesempatan ini, Dr. Anung menyampaikan pelrunya klinik promosi dan pusat promkes di daerah. Strategi promkes perlu diikuti oleh anggaran dan leadership untuk advokasi. Banyak aspirasi eksekutif yang disuarakan legislatif. Promotif & preventif lebih murah untuk dilakukan (dibandingkan dengan kuratif). Dengan pendidikan masyarakat yang masih rendah, angka kuratif sangat tinggi.
Berbagai tanggapan dan pertanyaan muncul pada sesi ini. Anna (mahasiswa S2 MMR) khawatir jika Dinkes dianggap gagal dan program diserahkan pada LSM akan sulit menjamin kesinambungannya karena cenderung mengincar anggaran. Ia mengusulkan diserahkan ke SKPD. Firman (mahasiswa S2 KMPK) mengusulkan adanya pusat informasi di Puskesmas agar informasi lebih jelas dan masyarakat kembali saat dirujuk balik oleh RS.
Dra. Retna Siwi Padmawati, MA, (PKMK FK UGM) mengangkat kasus dana keistimewaan DIY. Universitas diminta Dinkes dan Pemprov untuk mendampingi SKPD. “Ini alternatif yang lain disamping LSM, terutama jika universitas (bukan personal melainkan pusat studinya) bisa membuat road map yang menyesuaikan dengan kebutuhan daerah. Untuk Kawasan Tanpa Rokok (KTR), universitas sudah mendampingi hingga tersusunnya Perda. LSM mungkin sudah mampu, namun (masih) dianggap sebagai pihak yang menganggu Pemda” katanya.
Yayi setuju dengan adanya jejaring. Namun harus jelas siapa pelaku promkesnya termasuk LSM yang terlibat harus berwawasan kesehatan. Perlu menggandeng perusahaan atau swasta yang memiliki CSR yang tidak temporer. Terhadap hal tersbeut, Dr. Krisnajaya menanggapi bahwa kesehatan melibatkan banyak pihak, sehingga pelru ada leadership yang kuat. Ia juga menyampaikan bahwa ADINKES saat ini sedang membuat materi kompetensi, dimana membuat jejaring adalah salah satu yang harus dimiliki oleh seorang kepala dinas kesehatan.
Dr. Bambang menekankan kembali bahwa promosi dan prevensi lebih baik. Hal yang patut dikejar dari keduanya ialah produktivitas manusia, kebersamaan, hubungan antar masyarakat yang lebih baik dalam kerangka promosi dan prevensi dibanding kurasi. Menurutnya perlu ada pernyataan bersama dan audiensi dengan pejabat terkait.
Kesimpulan
Untuk menyimpulkan, Dr. Bambang mengatakan bahwa pada waktu pelaksanaan BPJS nanti harus terjadi pembagian tugas yang proporsional antara LSM dan kerjasama dengan kementrian serta dinas-dinas terkait.
DISKUSI SESI 2
Peranan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Propinsi dalam Era BPJS dan Hubungan Antara Dinas Kesehatan dengan RSD dan RS Swasta
Narasumber:
Dr. Anung Sugihantono, M.Kes (Kadinkes Propinsi Jawa Tengah)
Dr. Ronny Rukmito, M.Kes (Kadinkes Kabupaten Klaten)
Dr. Krishnajaya, MS (Ketua Umum ADINKES)
Dr. Kuntjoro AP., M.Kes (Ketua Umum ARSADA Pusat)
“Sebaiknya dana untuk BPJS sekitar 19,6 Trilyun dialokasikan juga untuk upaya promosi prevensi. Kewirausahaan dibidang promkes perlu dikembangkan, karena promkes yang digerakkan swasta bisa bebas politik, militan dan agresif” kata Prof. Laksono membuka diskusi sesi kedua ini. Pada sesi ini, para peserta diskusi dibebaskan untuk mengajukan pertanyaan atau mengemukakan pendapat yang terkait dengan topik diskusi.
Doni (mahasiswa S2) mengatakan bahwa di NTT ada 29 lembaga internasional dan 45 lembaga local. Mereka sulit untuk diajak bekerjasama karena masing-masing memiliki value yang berbeda. LSM lokal banyak yang hany amuncul jika ada dana. Menurut Agus Rahmadi (mahasiswa S2 MMR), perlu ada kriteria LSM yang akan dilibatkan dan leader dari upaya ini dari institusi pendidikan, yang kemudian didukung oleh organisasi profesi.
Dr. Anung Sugihantono, MKes berpendapat bahwa BPJS memiliki kepentingan juga untuk melakukan promosi kesehatan, yaitu jika derajat kesehatan meningkat maka klaim akan menurun. Namun di Dinkes, jika AKI turun maka anggaran juga akan menurun. Jadi strategi prmosi seperti apa yang tepat untuk dilaksanakan dan darimana anggaran diluar BPJS akan di-cover merupakan pertanyaan mendasar yang perlu ada solusinya. Saat ini merupakan momen yang bagus untuk membuat bagaimana sistem promosi kesehatan yang efektif.
Dr. Sitti Zaenab, MKes mengusulkan untuk menggandeng organisasi keagamaan misalnya NU dan Muhammadiyah (Ormas) dalam kegiatan promkes. Dr. Sasongko berpendapat, perlu awa wadah yang jelas untuk penyamaan persepsi upaya kesehatan promosi prevensi untuk memudahkan proses lobby.
Dalam kesempatan ini, Dr. Bambang menyarankan PKMK untuk menghubungi Direktur Utama BPJS (Dr. Fahmi Idris) untuk mengetahui progress BPJS terkait hal ini. Ia berjanji akan membawa isu ini ke kementerian, namun ia juga berpesan agar antar-asosiasi organisasi kesehatan harus memiliki visi yang sama, sebab upaya kesehatan yang strategis harus dikelola dengan kuat, untuk menghadapi kelompok dunia usaha.
Baru-baru ini Badan Mutu DIY memaparkan hasil survey kepuasan pasien dan PPK terhadap jaminan kesehatan, khususnya jamkes yang disubsidi oleh pemerintah. Penelitian ini melibatkan lebih dari 600 orang pasien pemegang kartu jaminan kesehatan (jenisnya mencakup Jamkesda, Jamkesos, Jamkesmas), 44 RS (pemerintah, swasta, pendidikan, non pendidikan), 121 Puskesmas dan 54 BPS di Provinsi DIY.
Secara keseluruhan, pelayanan fasilitas kesehatan khususnya RS terhadap pasien pemegang kartu jamkes sangat baik. Hal ini ditunjukkan oleh hasil survey, dimana 95% responden merasa puas dengan pelayanan. Namun jika ditelusuri lebih jauh, ada beberapa bagian dari pelayanan di RS yang belum memuaskan pasien.
Tingkat kepuasan pasien terendah ada pada biaya dan administrasi (masing+-masing kurang dari 70%). Kurang dari 5% responden pernah mengalami penolakan di RS, yang sebagian besar alasannya adalah penuhnya kamar kelas III untuk melayani pasien dengan jaminan sosial. Namun demikian, kepuasan pasien menunjukkan peningkatan terhadap pelayanan yang diakses tahun 2009-2011. Saat mengakses pelayanan RS di tahun 2009, tingkat kepuasan responden mencapai kurang dari 93% dan saat mengakses pelayanan RS tahun 2011 kepuasan ini meningkat menjadi lebih dari 97%.
Dari sisi RS sebagai penyedia pelayanan kesehatan, kejelasan informasi merupakan variabel dengan tingkat kepuasan paling rendah diantara semua variabel yang ditanyakan. Jika ditelusuri lebih lanjut, kejelasan informasi ini menyangkut juga masalah informasi mengenai jenis layanan yang dijamin, prosedur jaminan, alur rujukan hingga informasi mekanisme klaim. Selain itu, kesepakatan tarif, waktu tunggu dan jumlah pembayaran merupakan variabel yang banyak muncul sebagai sebagai penyebab ketidakpuasan provider layanan kesehatan.
Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa provider menghendaki adanya kesetaraan posisi dan informasi dalam kontrak. Muncul kesan bahwa provider berada pada posisi yang lebih lemah, dimana tidak cukup waktu yang diberikan untuk mempelajari dan mendiskusikan isi kontrak dan perbaharuan isi kontrak tidak selalu diinformasikan. Ada beberapa jenis layanan (baru) yang belum masuk dalam kontrak sehingga pasien yang membutuhkan layanan tersebut belum bisa mengakses menggunakan jaminan sosial yang mereka miliki.
Dari aspek verifikasi, provider merasa bahwa prosesnya masih terlalu lambat sehingga menghambat pencairan dana klaim. Ini tentu saja mempengaruhi kelancaran kegiatan operasional pelayanan kesehatan di RS dan sarana lainnya. Selain itu, saat ini belum ada informasi yang jelas mengenai alasan klaim ditolak, sehingga provider tidak mendapat lesson learn dari proses klaim tersebut untuk tidak mengulangi kesalahannya. Cukup banyak yang menganggap bahwa petugas verifikator belum sesuai dengan bidangnya. Hal ini sempat terungkap juga pada diskusi Membedah Isu-isu Strategis dalam Sistem Kesehatan di Kabupaten di Era BPJS yang diselenggarakan oleh PKMK FK UGM pada Jumat, 20 Desember yang lalu. Dalam diskusi tersebut muncul pernyataan bahwa ada verifikator dengan IQ kurang dari 70. Tentu saja ini dapat menghambat proses kelancaran dan validitas data hasil verifikasi, yang pada akhirnya dapat merugikan PPK maupun pasien. Di sisi lain, PPK merasa tidak diberi kesempatan untuk mengajukan komplain terhadap hasil verifikasi tersebut. Selain kualitas, kuantitas tenaga verifikator juga perlu ditingkatkan seiring dengan peningkatkan jumlah peserta.
Pengelola dana jaminan kesehatan diharapkan melakukan evaluasi kerjasama secara reguler dan menyiapkan fasilitas pusat informasi untuk menampung keluhan atau menjawab pertanyaan dari provider. Dengan demikian, akan mengurangi berbagai ketidakjelasan informasi yang akan lebih memudahkan PPK dalam memberikan layanan pada pasien. Aspek yang lebih penting adalah perlunya tanggapan dan tindak lanjut bagi keluhan-keluhan yang muncul.
Dari hasil survey tersebut, tampak bahwa meskipun pengelola jaminan sudah melakukan sosialisasi namun ternyata masih kurang intensif. Hal ini terlihat dari masih banyaknya informasi yang belum diketahui khususnya oleh PPK. Faktanya, survey dilakukan untuk mengevaluasi penyelenggaraan jaminan kesehatan yang programnya sudah berlangsung beberapa tahun. Dari sini terlihat bahwa tantangan dalam pelaksanaan BPJS yang tinggal beberapa hari lagi sangat besar. Masih banyak puskesmas yang tidak paham mengenai kapitasi, apalagi aspek teknis dari pelaksanaan kapitasi tersebut. Banyak juga RS yang tidak paham mengenai persyaratan untuk menjadi provider.
Hal yang menarik yaitu untuk menjadi provider yang bekerjasama dengan BPJS, ada syarat yang harus dipenuhi sebagaimana tabel di atas dan ada proses kredensial yang harus dilewati. Proses kredensial ini meliputi penilaian terhadap aspek kepuasan peserta, pelayanan, pemenuhan standar mutu pelayanan kesehatan dan aspek pembiayaan.
Di sisi lain, RS sebagai provider besar pelayanan kesehatan dituntut untuk selalu memberikan pelayanan yang bermutu pada pasien. Mutu merupakan keseimbangan optimal antara output yang paling mungkin untuk dihasilkan dengan kerangka norma dan nilai (Mitchell, 2008). Namun untuk mencapai keseimbangan tersebut perlu waktu lama bahkan mungkin bertahun-tahun. Monitoring terhadap input (sumber daya) yang dikeluarkan untuk menghasilkan output yang diharapkan harus dilakukan secara terus menerus dengan pengamatan terhadap data yang detil. Hasilnya harus digunakan untuk membentuk formula baru dan menguji keseimbangan baru yang terjadi. Kita bisa belajar dari negara lain, misalnya Thailand sudah bisa dikatakan sukses menerapkan UHC setelah berjalan 10 tahun. Indonesia mungkin juga akan butuh waktu lebih lama untuk bisa berhasil mengimplementasikan kebijakan ini, mengingat heterogenitas yang lebih kompleks dibandingkan dengan Thailand. Namun jika kita mengambil banyak pelajaran dari pengalaman negara lain, maka banyak short cut yang sebenarnya bisa dilakukan. Semuanya tergantung pada pengambil kebijakan dan para politisi yang (sayangnya) tidak semua paham dengan masalah mendasar di sistem kesehatan, khususnya pembiayan kesehatan di Indonesia. (pea)
Sesi panel hari terakhir ini diisi oleh 3 orang panelis dan 3 orang pembahas. Sesi ini menjadi penghujung acara simposium dengan menekankan pada apa yang terjadi pada sistem kesehatan di Asia, yang sedang bergerak untuk terutama membenahi sistem pembiayaan kesehatannya.
Panelis pertama, Jack Langenbrunnen dari DFAT mencoba membandingkan beberapa Negara di Asia, diantaranya: Cina, Thailand, Filipina, Vietnam dan Indonesia. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh negara-negara pada umumnya dianalogikan seperti burger (sejenis fast food) namun bagian tengahnya hilang. Pemerintah sudah menjamin biaya kesehatan bagi masyarakat bawah, sedangkan masyarakat ekonomi atas umumnya telah mampu menjamin biaya kesehatannya sendiri. Apa yang terjadi dengan masyarakat bagian tengah yang sangat beragam dan umumnya berasal dari sektor informal. Tidak ada yang menjamin mereka, sedangkan kemampuan mereka untuk menjamin diri sendiri dan keluarganya seringkali belum bisa diandalkan. Menurut Langenbrunner, ini menjadi isu besar di sebagian negara berkembang di Asia dan hal ini harus menjadi perhatian di masa mendatang.
Langenbrunner mencoba mengupas beberapa opsi yang mungkin bisa muncul sebagai solusi bagi kondisi tersebut.
Cina adalah salah satu negara yang sukses dalam menerapkan opsi ketiga di pedesaan pada penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai petani. Jumlah dana semakin bertambah karena semakin banyak petani yang sukarela mendaftarkan diri untuk mengikuti asuransi ini. Para pemimpin di tingkat masyarakat mendorong secara aktif agar anggota masyarakatnya ter-cover, karena adanya insentif bagi mereka jika mencapai target 100% kepesertaan masyarakatnya. Komposisi biaya kesehatan yang terjadi adalah 70% premi dibayar oleh pemerintah pusat, 20% oleh pemerintah daerah dan 10% oleh para petani.
Namun sayangnya, negara lain banyak yang kurang atau tidak sukses dalam menerapkan asuransi untuk masyarakat kelas menengah. Mengapa? Menurut Langenbrunner, ada beberapa faktor.
Filipina adalah satu contoh negara yang belum berhasil, dimana hanya 10% masyarakat kelas menengahnya yang ter-cover asuransi meskipun pemerintah telah menerapkan sistem penyebaran informasi melalui sms. Vietnam memiliki kebijakan subsidi untuk masyarakat hampir miskin, namun tetap saja sangat sedikit yang masyarakat kelompok menengah ini yang ter-cover asuransi. Indonesia masih lebih baik dari kedua negara tersebut karena memiliki skema Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek dan sebagainya untuk menjamin berbagai kelompok masyarakat. Namun tetap saja, ada sekitar 28% masyarakat Indonesia yang belum ter-cover asuransi kesehatan. Ini menjadi tantangan tersendiri, dimana awal tahun depan negara ini akan menerapkan UHC untuk pertama kalinya. (pea)