Reportase
Seminar Nasional PERSI XV, Seminar Tahunan Patient Safety XI, Hospital Expo XXX
Hari 4, 21 Oktober 2017
Paripurna 9
Akreditasi Rumah Sakit
Pada paripurna ke 9 di hari terakhir Seminar Nasional XV Persi mengangkat topik mengenai Akreditasi Rumah Sakit. Sesi pertama didahului oleh dr. Triono Soendoro, M. Sc, Ph. D (Ketua KEPPKN dan Litbang Persi) dengan topik Inovasi Medik Berbasis Stem Cell – Ethic, Unethic, dan Akreditasi KEPK. Saat ini stem cell banyak diperbincangkan karena tinjauan unethical yang tanpa mempertimbangkan manusia sebagai subyek, mengeksploitasi harapan pasien, mengurangi kepercayaan pasien, dan uji klinis yang belum akurat. Pemrosesan dan pembuatan produk stem cell penuh dengan tantangan dan ketidakpastian.
Menurut penelitian yang dimuat di SIC Research and Clinical Translation pada 2016, inovasi medik hanya memberikan manfaat individual, syarat tidak dipenuhi, resiko lebih besar daripada manfaat, regulasi kurang jelas, standar terapi kurang, standar pengolahan dan pembuatan sel dipertanyakan, tetap harus mengikuti tinjauan ilmiah dan etis. Sedangkan riset klinis lebih memberikan manfaat kolektif, syarat terpenuhi, manfaat lebih besar daripada resiko, regulasi jelas, sesuai standar, tetap harus mengikuti uji klinis, dan etis.
Semua penelitian kesehatan yang melibatkan manusia harus mendapatkan persetujuan etik dari KEPPKN dan peneliti harus memiliki sertifikasi etik. Ethical justification mendasari apakah penelitian tersebut layak dilakukan seperti mengikuti kaidah sosial etik dan dapat mendukung kemajuan ilmu pengetahuan. Prinsip etik diantaranya nilai, desain, resiko dan manfaat, bujukan, privasi dan kerahasiaan, informed consent. Sehingga penelitian stem cell harus mempunyai rencana dan prosedur tertulis, pimpinan lembaga ikut bertanggung jawab, kualifikasi SDM terpenuhi, dan membentuk komite peer review.
Topik selanjutnya mengenai Standar Akreditasi Edisi 1 KARS, Kelebihan Edisi 1 Dibanding Versi 2012 Bagi Rumah Sakit dipaparkan oleh Dr. dr. Sutoto, M. Kes (Ketua KARS). Pada 1 Januari 2018, Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) akan diberlakukan. Bagi rumah sakit yang akan melakukan akreditasi harus mengikuti standar yang baru. Standar akreditasi harus dilakukan secara berkelanjutan. KARS memiliki standar yang mengacu pada standar internasional (ISQUA) dan sudah diuji pada 10 rumah sakit. Evaluasi terhadap Standar Akreditasi Versi 2012 dilakukan dari sisi bahasa, substansi, penyajian, dan munculnya masalah baru. Pasalnya permasalahan yang muncul di rumah sakit harus diberi solusi.
Di SNARS disebutkantata kelola rumah sakit termasuk membahas contracting out yang di dalamnya memuat kontrak klinis dan kontrak non klinis, misalnya pembelian alat kesehatan dan obat. Di dalamnya dibahas mengenai bagaimana memilih rekanan atau pihak ketiga dan bagaimana membuat kontrak. Dari berbagai hasil akreditasi yang telah dilakukan, capaian rata-rata nilai akreditasi dengan skor terendah adalah pendidikan terhadap pasien dan keluarga dan skor tertinggi adalah hak pasien dan keluarga. Maka pada SNARS diperbaiki menjadi manajemen komunikasi dan edukasi. SNARS mencakup kelompok standar pelayanan berfokus pasien, standar pelayanan manajemen rumah sakit, sasaran keselamatan pasien, program nasional, dan integrasi pendidikan kesehatan dalam pelayanan.
Selanjutnya dr. Djoti Atmodjo, Sp. A, MARS (KARS) memaparkan mengenai Strategi Aplikasi Akreditasi Untuk Peningkatan Mutu Pelayanan di Rumah Sakit, Peran Pemilik / Pimpinan Untuk Merubah Budaya di Rumah Sakit. Akreditasi wajib dilakukan menurut undang-undang untuk perbaikan pelayanan pasien. Menurut PMK 34 / 2017, akreditasi juga sebagai upaya peningkatan mutu berkesinambungan. Dilihat dari sisi pola pikir survei, rumah sakit harus membuat produk hukum sendiri dan tidak mencontek milik rumah sakit lain, implementasi harus berdasar regulasi, dan telusur terhadap implementasi untuk mencari bukti. Rumah sakit harus membuat regulasi baik itu pedoman, kebijakan, maupun SOP yang tidak bertentangan dengan regulasi nasional. Kemudian dari sisi pola pikir mutu, rumah sakit harus membangun unit kerja dengan peran manajemen.
Terkait akreditasi, rumah sakit menghadapi tantangan untuk mengubah perilaku dan mempertahankan perilaku terhadap pelayanan pasien. Perlu adanya pengawasan terhadap hal tersebut sehingga dapat menciptakan budaya mutu dan keselamatan pasien. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan komitmen dari seluruh personil rumah sakit. Untuk persiapan menghadapi akreditasi rumah sakit dapat membuat plan of action. Buatlah agar akreditasi itu mudah dan menyenangkan sehingga tercapai akreditasi paripurna.
Topik yang tidak kalah penting terkait akreditasi adalah Peran Case Manager Dalam Menjaga Mutu Pelayanan di Rumah Sakit, Dimensi Budaya QS, BPJS. Dr. Nico A. Lumenta, K. Nefro, MM, MH, Kes (KARS) memaparkan mengenai peran Manajer Pelayanan Pasien (MPP) di rumah sakit. Peran MPP menggabungkan beberapa karakteristik seperti koordinator, problem solver, fasilitator, konselor, maupun manajer perencanaan. Rasio MPP terhadap pasien sekitar 25 – 50 tergantung kompleksitas pasien dan kebutuhan rumah sakit. Peran case manager menjadi penting karena merupakan fasilitator kebutuhan asuhan pasien, optimalisasi pelayanan pasien, dan optimalisasi reimbursement di era JKN.
Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh MPP diantaranya kompetensi manajemen pelayanan pasien, prinsip praktek manajemen pasien, reimbursement pelayanan kesehatan, psikososial pasien, rehabilitasi, maupun pengembangan terhadap profesionalismenya. Beberapa aspek yang harus dikuasai oleh MPP adalah komunikasi dan manajemen. Tidak semua pasien membutuhkan MPP sehingga harus diseleksi terlebih dulu. Keterlibatan MPP menyusun sasaran pasien yang dikolaborasikan dengan sasaran PPA dan memaksimalkan pasien dalam mengambil keputusan.
Dengan keterlibatan MPP diharapkan asuhan sesuai kebutuhan pasien, memahami asuhan pasien, kepatuhan, dan kualitas hidup. Keuntungan menerapkan case manager menunjukkan layanan yang lebih banyak, okupansi lebih tinggi, biaya lebih sedikit, dan ROI lebih tinggi.
Sesi terakhir dipaparkan topik Aplikasi Parameter Akreditasi Rumah Sakit Dalam Mendukung Indonesia bebas TB Tahun 2035 oleh dr. Mohammad Ali Toha, MARS (TB DOTS). Tuberculosis (TB) merupakan ancaman endemik. Menurut Global TB Report, kasus TB paru di dunia sebanyak 10.4 juta dimana 5.9 juta diderita laki-laki, 3.4 juta diderita perempuan, 1 juta diderita anak, dan 1,2 juta merupakan penderita TB HIV. Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang kasus TB terbanyak selain India, Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan.
Di dunia, sebanyak 1.8 juta orang per tahun meninggal karena TB, sedangkan di Indonesia sebanyak 100,000 orang per tahun yang meninggal. Jika tidak ada penanggulangan kasus TB maka penurunan kasus tersebut hanya sekitar 1.5%. Sebanyak 57% – 60% kasus TB ditemukan di rumah sakit dan sebanyak 59% – 64% kasus tersebut ditemukan di rumah sakit pemerintah. Penyakit infeksi yang mematikan adalah TB, MDR – TB, dan TB HIV. Beban TB di Indonesia masih tinggi dan cenderung meningkat ditambah dengan ditemukannya TB resisten terhadap obat, serta manajemen dan kepemimpinan TB yang dirasa masih lemah. Strategi TB yang dapat diterapkan seperti pelayanan terintegrasi, berfokus pasien, pencegahan TB, akreditasi rumah sakit dan tata laksana pasien TB dengan pengkajian pasien yang lengkap, pelaksanaan DOTS secara konsisten, penanganan dan rujukan kasus, dan lain-lain.
Namun berbagai tantangan tetap harus dihadapi terhadap tingginya kasus TB seperti media KIE belum optimal, pergantian petugas yang cepat, cakupan penemuan TB rendah, algotima diagnosa TB saat ini sedang dijalankan, transportasi rujukan sampel masih rendah, lemahnya supply chain management, baru 50% saja rumah sakit yang menerapkan DOTS, masih mengandalkan bantuan pendanaan dari luar negeri untuk penanganan kasus TB, dan jaringan public private mix yang belum maksimal.
Reporter : Elisabeth Listyani.