Chief Information Officer (CIO) Summit
Sesi ke-1 mengambil tajuk Tomorrow’s Health Today: Exploring Digital Transformation in Healthcare dengan menghadirkan tiga pembicara, yaitu Ralf Maier-Reinhardt (Roche Information Solutions), Assoc. Prof. Dr. Patravoot Vatanasapt (Khon Kaen University), dan Dr. Miswar Fattah (PT. Prodia Widyahusada Tbk.). Ketiga pembicara memaparkan inisiatif dan tantangan penerapan transformasi digital dalam tiga perspektif yang berbeda, yaitu industri, praktisi, dan peneliti. Secara umum, ketiga pembicara menyepakati bahwa dalam penerapan transformasi digital, faktor manusia jauh lebih penting dibandingkan dengan faktor teknologi. Teknologi dapat dimodifikasi sedemikian rupa dengan cepat menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna, sementara manusia sebagai user memiliki tingkat penerimaan dan juga kapabilitas yang bervariasi dalam menyikapi kemajuan teknologi. Sehingga, ketiga pembicara juga menyoroti leadership’s vision dan early involvement of staff sebagai pendorong utama berhasil-tidaknya suatu institusi dapat menerapkan transformasi digital. Berbagai inovasi yang diterapkan perlu mengedepankan transparansi dan prinsip start small, then grow bigger.
Sesi ini juga secara khusus mendiskusikan tentang penerapan artificial intelligence (AI) dengan quote yang menarik “if you are smart, AI will make you smarter. However, if you are dumb, AI will make you dumber”. Ketiga pembicara memiliki perspektif yang sama bahwa penerapan AI tidak bisa menggantikan peran manusia dalam pengambilan keputusan baik klinis maupun manajerial. Sehingga, penting untuk dapat memposisikan AI sebagai sarana empowering bagi para pengambil keputusan untuk menentukan pilihan terbaik dalam penanganan suatu kasus.
Di akhir sesi ini, Christopher Chiam dari Roche Diagnostics menggaris bawahi beberapa isu penting dalam transformasi digital, diantaranya: pertama, transformasi perlu mendefinisikan prinsip dan budaya yang akan dibangun sejak awal. Kedua, tranformasi perlu dimulai dengan adanya dasar/pondasi yang kuat (SDM, infrastruktur, standar, dan lain-lain). Ketiga, transformasi perlu mengedepankan responsible use of technology. Keempat, tranformasi perlu mengakomodir konteks sistem kesehatan dan budaya lokal. Kelima, transformasi memerlukan kemitraan dan kolaborasi.
Sesi ke-2 pada CIO Summit membahas tentang interoperabilitas dengan menghadirkan tiga pembicara. Sebagai pembicara pertama, Alexander Tined dari St Luke’s Medical Center Filipina memberikan pemaparan terkait dengan kiprahnya sebagai CIO berpengalaman yang baru masuk di dunia kesehatan. Sebagai CIO, Alex menggaris bawahi bahwa tantangan utama pengembangan inovasi digital di bidang kesehatan adalah terlalu banyak sistem dan aplikasi yang digunakan dengan berbagai standar dan format yang bervariasi. Alex menekankan bahwa kunci dari transformasi digital adalah people, culture, and process dengan fokus inovasi yang menekankan simplifikasi hal-hal yang saat ini terasa kompleks.
Selanjutnya, Louis Shun (CIO Gleneagles Hospital Hong Kong) sebagai pembicara kedua menceritakan pengalamannya dalam membangun ekosistem digital dengan tajuk “building a digital ecosystem through interoperability and beyond”. Di awal, Louis memaparkan tentang profil Gleneagles Hospital Hong Kong yang saat ini memiliki 500 lebih tempat tidur, 1750 dokter terkredensial, dan lebih dari 35 layanan medis spesialistik dan sub-spesialistik. Sejak berdiri pada 2017, Gleneagles Hospital Hong Kong telah banyak mengembangkan inovasi berbasis teknologi secara bertahap, antara lain:
- Tahap pertama (2017-2019) berfokus pada pengembangan doctor app, web booking, dan staff app.
- Tahap kedua (2020-2021) berfokus pada integrasi inovasi-inovasi yang telah dikembangkan dalam bentuk My Gleneagles SmarthHealth app yang juga mengakomodir kebutuhan telekonsultasi bagi pasien.
- Tahap ketiga (2022-2023) adalah pemanfaatan AI dengan beberapa inovasi seperti camera-based vitals, AI interpretation Chest X-Ray, AI echocardiology dan AI voicebot.
- Tahap keempat (2024), rumah sakit berfokus pada pengembangan delivery robots and wearable functions
Sebagai penutup, Louis menekankan tentang beberapa kunci sukses penerapan inovasi berbasis teknologi: Take baby steps and pivot, maintain agility, and build culture of experimenting that can allow change.
Pembicara ketiga menghadirkan Hrvoje Kopjar dari Siemens Healthineers yang memaparkan materi dengan tajuk “driving digitalization and patient-centerd innovation in healthcare based on interoperability”. Hrvoje menceritakan pengalaman dalam mendampingi Vinzenz Gruppe di Austria dalam mengoneksikan berbagai macam sistem informasi dari berbagai RS dalam satu branding dan satu compliance standard. Hrvoje menekankan pentingnya digital patient pathway sebagai awal dari pengembangan ekosistem digital. Setelah itu, seluruh pihak perlu melakukan identifikasi tantangan, mengukur digital maturity level-nya, dan membangun kapabilitas apa yang perlu dibangun (i.e., governance capabilities, information technology capabilities, dan critical capabilities) yang kemudian ditindak lanjuti dengan penyusunan digital strategies. Contoh bentuk interoperabilititas yang dikembangkan di Vinzenz Gruppe: Master patient index, adaptor set, terminology server, electronic health record, health data repository, dan healthcare provider directory.
Sesi ke-3 CIO summit membahas tentang new-gen health tech, dimana pembicara pertama Anthony Lawrence dari GE HealthCare dengan memaparkan “enabling connected care: take your archive to the next level”. Anthony memulai presentasi dengan pesan bahwa sistem pelayanan kesehatan yang tergolong sukses adalah yang mampu menggabungkan pelayanan klinis, teknologi, dan juga data science. Untuk menjembatani ketiga hal tersebut, solusi digital diperlukan dalam menghubungkan multi-modal data untuk kemudian dapat digunakan untuk diagnostik, monitoring, dan terapi presisi. GE HealthCare sendiri mengembangkan produk Edison Datalogue yang merupakan solusi manajemen data yang dirancang untuk mengintegrasikan dan mengelola data pasien, gambar, dan konten enterprise secara efisien di seluruh sistem pelayanan kesehatan. Sistem ini memungkinkan akses informasi pasien yang lancar dimana saja, sehingga mendorong peningkatan kualitas kolaborasi di internal tim pelayanan kesehatan. Datalogue ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa peningkatan kualitas coordinated care dan proses rujukan pasien, efisiensi waktu dan biaya, hingga peningkatan kualitas pengambilan keputusan klinis melalui akses data yang komprehensif dan analitik.
Pembicara kedua menghadirkan Dr. Yujia Gao dari National University Health System yang menjelaskan tentang holomedicine dan 5G. Program Holomedicine NUHS di Singapura menggunakan teknologi HoloLens 2 dari Microsoft untuk mengintegrasikan mixed reality ke dalam layanan kesehatan, yang digunakan untuk membantu pelayanan bedah agar lebih presisi. Dokter bedah dapat melihat gambar holografis 3D dari pemindaian pasien, yang membantu meningkatkan akurasi dan pengambilan keputusan selama operasi. Program ini juga membantu pasien memahami kondisi medis mereka dengan lebih baik melalui visualisasi 3D. Selain itu, program ini mempercepat proses diagnostik dengan memberikan hasil yang lebih cepat dan akurat. Teknologi 5G merupakan kunci dalam menjamin kelancaran holomedicine ini agar memastikan kelancaran transmisi data hingga ke ruang operasi.
Dr. Chow Weien (Changi General Hospital) menjadi pembicara ketiga yang menyampaikan materi dengan tajuk “Clinical Apllications of Digital Twin in Healthcare to Improve Patient Outcomes and Hospital Operations”. Chow memaparkan konsep digital twin dalam konteks klinis sebagai sebuah model virtual yang mereplikasi secara rinci elemen fisik, fisiologis, dan perilaku suatu obyek yang diamati. Teknologi ini memungkinkan adanya simulasi dan analisis data secara real-time, sehingga memungkinkan prediksi dan pengambilan keputusan yang lebih baik dalam perawatan pasien. Penerapan digital twin di Changi General Hospital sendiri difokuskan pada peningkatan efisiensi operasional dan kualitas perawatan pasien melalui pemodelan alur pasien, infrastruktur, dan proses klinis mereka secara mendetail. Dengan menggunakan model ini, rumah sakit dapat menganalisis alur pasien, mengidentifikasi hambatan-hambatan yang terjadi pada alur pelayanan pasien, dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki rumah sakit.
Pembicara terakhir pada sesi ini menghadirkan Dr. Wonchul Cha (Samsung Medical Centre) yang memaparkan materi dengan tajuk “Finding the right data with Gen AI andother applications”. Generative AI sendiri merupakan model kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan untuk bisa “menciptakan” sesuatu yang baru dengan mengambil inspirasi dari data-data yang telah dipelajari sebelumnya. Samsung Medical Centre sendiri memanfaatkan teknologi Generative AI untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatannya melalui pertama, analisis data medical imaging atau electronic health record untuk membantu akurasi dan kecepatan pengambilan diagnosis. Sebagai contoh, Gen AI dimanfaatkan untuk menginterpretasikan gambar MRI atau CT scan untuk mendeteksi anomali yang mungkin tidak terdeteksi oleh manusia. Kedua, pemanfaatan algoritma Gen AI dalam menyelenggarkaan layanan precision medicine. Algoritma tersebut digunakan untuk penyesuaian dosis obat dan terapi berdasarkan profil genetic dan medis pasien. Ketiga, prediksi potensi risiko penyakit yang mungkin akan diderita oleh pasien sehingga kemudian dapat dilakukan intervensi awal sedini mungkin. Keempat, otomasi dalam pengambilan keputusan dan manajerial, seperti pengelolaan klaim asuransi, manajemen penjadwalan, manajemen antrian, dan lain-lain. Kelima, identifikasi pola dan tren yang dapat menjadi dasar pengembangan tata laksana klinis yang baru.
(Haryo Bismantara – PKMK FK-KMK UGM)
Informasi selengkapnya tentang Hospital Management Asia: https://www.hospitalmanagementasia.com
Informasi selengkapnya tentang HMA 2024, Bali: https://www.hospitalmanagementasia.com/hma-2024/