Kupang–Akibat kekurangan dana operasional untuk rumah sakit, banyak pasien yang menggunakan fasilitas kartu kesehatan seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) Jaminan Kesehatan daerah (Jamkesda) dan Asuransi Kesehatan (Askes) untuk warga miskin terlantar atau tidak dilayani dengan maksimal.Hal ini mengundang reaksi keras dari masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya Kota Kupang yang menuntut pemerintah dan wakil rakyat harus mengambil tindakan keras terhadap manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. WZ Johanes. Terlebih setelah kematian Gregorius Seran, pasien yang dipulangkan oleh pihak RSUD karena menggunakan Jaskesmas, dengan dalih masa berlaku kartu tersebut sudah habis. Menanggapi hal ini Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT, Hendrik Rawambaku, mengatakan, salah satu alasan belum maksimalnya pelayanan RSUD karena dana tahun 2013 sebesar Rp 113 miliar belum dicairkan. Apalagi, RSUD harus nombok dana pelayanan kesehatan menggunakan askes, jamkesmas, dan jamkesda sebesar Rp 70 miliar. “Dananya belum cair. Dana jamkesmas, Askes dan Jamkesda hanya sebesar Rp 53 miliar, sehingga harus nombok Rp 70 miliar,” katanya. Hendrik Rawambaku menilai RSUD Johanes Kupang adalah rumah sakit rujukan, sehingga pasien yang dirawat di situ seharusnya pasien rujukan dari rumah sakit Kabupaten/kota, namun kenyataannya RSUD juga melayani pasien umum di Kota Kupang. “Sesuai hasil peninjauan di RSUD, ternyata mereka masih melayani pasien umum. Padahal, RSUD adalah rumah sakit rujukan,” katanya kepada wartawan, Kamis, 31 Januari 2013. Terkait kematian Gregorius Seran, jelasnya, Gregorius adalah pasien kanker stadium akhir dari Atambua yang dikirim ke Kupang, sehingga tidak bisa tertolong lagi. “Tidak ada yang salah dalam pelayanan di RSUD Johanes Kupang,” katanya. Sepekan terakhir ini, RSUD Johanes Kupang mendapat sorotan dari berbagai kalangan karena buruknya pelayanan dan penolakan terhadap pasien kanker yang menewaskan Gregorius Seran dan terlantarnya, Viktoria Polce Teon, serta terlantarnya pasien cuci darah, karena ketiadaan selang. Dia mengakui RSUD masih kekurangan, terutama sarana prasarana dan dokter. Namun, RSUD tidak pernah menolak pasien yang berobat ke rumah sakit itu. “Tidak ada alasan untuk menolak pasien,” katanya. Sumber: kabarindonesia.com |
Diabaikan Dokter, Pasien Obesitas Dapat Kompensasi Rp 3,5 M
SYDNEY-Seorang pasien kegemukan yang sekarang menderita kanker hati memperoleh kompensasi 350 ribu dolar AS (sekitar Rp 3,5 miliar) dari dokternya, karena dokter tersebut tidak menyarankan si pasien untuk berobat ke klinik obesitas atau operasi mengurangi berat badan. Para ahli kesehatan Australia mengatakan, kasus Luis Almario ini merupakan kasus pertama di negara bagian New South Wales, dan akan memaksa para dokter untuk memastikan para pasien yang kegemukan menurunkan berat badan, bila mereka tidak mau digugat, demikian lapor situs smh.com.au hari Kamis (7/2). Dr Emmanuel Varipatis, seorang dokter di daerah Manly di Sydney, sekarang mengajukan banding ke Mahkamah Agung Australia, karena dianggap lalai tidak mengirim Almario (68) ke klinik obesitas ataupun merujuk ke ahli bedah mengenai apakah dia bisa menjalani operasi “gastric band.” Almario yang berasal dari Colombia dan pernah menjadi calon anggota parlemen NSW, berada di bawah naungan dokter Varipatis dari tahun 1997 sampai 2011. Selama masa ini, beratnya 140 kilogram meskipun tingginya hanya 154 cm. Pengadilan menyebutkan bahwa Almario menderita kanker hati disebabkan oleh penyakit hati yang disebabkan karena kegemukan. Dia diperkirakan hanya akan hidup selama 40 minggu lagi. Dalam keputusannya, Hakim Joseph Campbell mengatakan ketika dr Varipatis bertemu dengan pasiennya pertama kali di tahun 1997, Almario “sudah sangat gemuk dan menderita berbagai penyakit – yang disebabkan karena kegemukan, termasuk penyakit hati.” Hakim mengatakan sang dokter bertanggung jawab secara hukum karena penyakit itu kemudian berkembang menjadi sirosis, gagal ginjal dan akhirnya kanker ginjal. “Saya puas bahwa kalau tergugat tidak lalai, penyakit hati ini tidak akan berkembang menjadi cirrhosis, dan kesehatan sang pasien akan meningkat tajam bila dia menjalani operasi pengikatan usus, dan dia akan mencapai berat badan ideal.” kata Hakim Campbell. Dr Varipatis didukung oleh perusahaan asuransi Avant yang sekarang mengajukan banding. Hakim menjatuhkan hukuman kompensasi senilai 569.332 dollar, namun dikurangi menjadi 364.372 dollar, dengan memperhitungkan bahwa Almario kemungkinan hanya akan bertahan hidup selama 40 minggu lagi. “Almario sekarang sudah cacat total. Dia sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Semua makanannya harus dibuat jadi bubur, dan dimasukkan lewat selang. Dia tidak bisa berjalan ke dapur. Semua obatnya harus dimasukkan lewat selang. Dia hanya bisa duduk di ruang tamu menonton televisi ataupun di ranjang melihat komputer.” kata Hakim Campbell. Ikatan Dokter Australia belum mau memberikan komentar karena masih ada banding. Namun Dr Adrian Sheen, presiden dari kelompok bernama Doctor’s Action mengatakan keputusan Mahkamah Agung ini akan memberikan “beban” berlebihan bagi para dokter. “Ini akan membuat dokter merujuk pasien untuk melakukan tes apa saja karena takut akan digugat. Biayanya bagi sistem layanan kesehatan akan sangat besar sekali.” kata Sheen. Sumber: health.kompas.com |
Warga Perbatasan Punya RS Bergerak
SENDAWAR–Keinginan masyarakat Mahakam Ulu khususnya yang berada di wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia, tepatnya di Kecamatan Long Apari dan Long Pahangai, Sendawar, Kalimantan Timur, dalam mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal telah terkabul.
Mereka tidak perlu lagi bersusah-payah harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Harapan Insan Sendawar (HIS) yang membutuhkan waktu tempuh hampir dua hari karena berlokasi di ibukota Sendawar. Kementerian Kesehatan telah mengalokasikan dana sebesar Rp 8,5 miliar untuk pembangunan rumah sakit umum bergerak atau yang dikenal dengan istilah rumah sakit pratama atau rumah sakit kelas D untuk wilayah perbatasan pada tahun anggaran 2012. Pembangunan rumah sakit Pratama yang berlokasi di Kampung Long Lunuk Kecamatan Long Pahangai tepat berada di tengah antara Kecamatan Long Apari dan Long Pahangai yang dicapai dengan waktu sekitar 1 jam. Saat ini proses pembangunan rumah sakit Pratama sudah dalam tahap pondasi berukuran 50 x 50 meter persegi di atas lahan seluas 1 hektare (ha). Lahan itu telah dihibahkan oleh masyarakat Long Lunuk dan diharapkan pada April 2013 rumah sakit ini sudah mulai beroperasi. “Rumah Sakit Pratama ini atau rumah sakit bergerak ini dibangun tidak dari bahan baku beton melainkan menggunakan partisi-partisi yang terbuat dari baja yang akan dikirimkan dari Jakarta oleh Kementerian Kesehatan. Hanya saja proses pengiriman itu tanggung jawab Kementerian Kesehatan,” ungkap dr Teguh Kabid Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kutai Barat yang juga sekaligus Kepala Pengawasan Pembangunan Rumah Sakit Bergerak atau Pratama. Lebih jauh diceritakannya, rencana pembangunan rumah sakit bergerak di Kabupaten Kutai Barat sudah tergaung pada tahun 2010, hanya saja baru dapat terealisasi pada 2012. Kementerian Kesehatan menawarkan pembangunan rumah sakit tersebut di wilayah perbatasan Kubar, menerima lampu hijau itu, Dinas Kesehatan bekerjasama dengan DPRD Kubar dan masyarakat Kecamatan Long Apari dan Long Pahangai menyiapkan lahan seluas 1 hektar di Kampung Long Lunuk Kecamatan Long Pahangai. Lokasi tidak jauh dari Lapangan Terbang Datah Dawai. Hal ini penting sekali apabila ada pengiriman obat-obatan dari Kutai Barat atau Samarinda atau Jakarta tidak terlalu jauh untuk diantar ke rumah sakit Pratama ini. Kalau beda kampung saja, berapa besar lagi ongkos transportasi keluar agar dapat mengantar obat-obatan tersebut maupun tenaga medis yang harus segera datang. “Akhirnya dengan penuh keikhlasan masyarakat Long Lunuk menghibahkan tanah seluas 1 hektare yang berlokasi di atas gunung yang kebetulan tanah datar sehingga tidak terlalu banyak diratakan, serta utama jauh dari banjir karena kebetulan sangat dekat dengan Sungai Mahakam sekitar 100 meter,” ujar Teguh. Dia menambahkan, bangunan rumah sakit ini tidak dibangun dari beton melainkan dari partisi baja sehingga tidak berkarat dimakan cuaca. Selain itu di dalamnya terdapat sekat-sekat seperti rumah sakit umum. Seperti ruang rawat inap, ruang pelayanan kesehatan, ruang unit gawat darurat, ruang bedah, ruang obat. Rumah sakit bergerak ini juga dilengkapi dengan udara pendingin (AC), serta disiapkan dua genset berkekuatan besar yang dipergunakan secara bergantian selama 24 jam. “Kalau tidak ada halangan direncanakan April 2013, RSU Bergerak sudah beroperasi karena seluruh partisinya sudah mulai dikirimkan dari Jakarta, karena pondasinya telah selesai dibangun dan bangunan ini akan berdiri setinggi 1 meter dari tanah guna menghindar banjir,” tegas Teguh. Sumber: tribunnews.com |
Sampah rumah sakit kotori Pantai Laehari
Ambon-Puluhan kantong berisi ratusan botol plastik dan kain berdarah yang diduga limbah buangan dari satu rumah sakit mengotori tiga lokasi berbeda di Pantai Desa Laehari, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon, Maluku, pada beberapa hari ini.
“Kantong-kantong itu diduga berasal dari sampah pencucian darah yang dilakukan salah satu rumah sakit di sini,” kata Wenly Thenu, anggota DPRD Kota Ambon dalam rapat dengar pendapat antara Komisi I DPRD dengan sejumlah staf eksekutif setempat, Selasa.
Ia menyatakan khawatir, limbah rumah sakit itu membahayakan kesehatan orang di sekitarnya.
Karenanya, Wenly minta perhatian Pemerintah Kota Ambon untuk melihat dan menegur pembuang sampah tersebut.
“Paling tidak ada teguran, sebab kalau tidak, pembuangan sampah seperti itu akan dilakukan terus,” ujar Wenly yang berdomisili di Desa Hutumury yang bertetangga dengan Desa Leahari.
Sekretaris Kota Ambon Antony Latuheru berjanji pada hari itu juga meninjau lokasi untuk memastikan sampah apa saja yang dibuang di sana.
“Kalau memang sampah itu berasal dari sisa-sisa kotoran pencucian darah seperti yang disampaikan, kita akan melihat lagi sebab RS yang melakukan pencucian darah hanya satu di Ambon,” ujarnya.
Sumber: antaranews.com
RS Nur Hidayah Adakan Operasi Cacat Bawaan Gratis
Jakarta – Rumah Sakit (RS) Nur Hidayah di Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta DIY), akan mengadakan operasi bibir sumbing dan cacat bawaan lahir secara gratis bagi anak-anak kurang mampu pada Maret 2013.
“Ini program kerja sama kami dengan kegiatan corporate social responsibility (CSR) dari PT Tempo Scan Pacific Tbk yang bernama Program Sosial Indonesia Tersenyum. Program ini sudah berjalan sejak 2008 dan tahun ini kami adakan lagi Maret nanti,” kata Direktur RS Nur Hidayah Arrus Ferry.
Sepanjang 2008 hingga 2012 ada 157 pasien penderita cacat bawaan yang telah dioperasi melalui program tersebut. “Respons masyarakat cukup bagus, bukan Cuma dari Bantul yang datang tetapi juga dari seluruh wilayah DIY bahkan Jawa Tengah,” kata Arrus.
Syarat penerima program ini, masyarakat tidak mampu dengan umur maksimal 14 tahun dengan cacat bawaan lahir seperti bibir sumbing, kelebihan jumlah jari, jari dempet, tidak memiliki anus, alat kelamin tidak sempurna, dan lainnya.
“Bagi yang ingin mengikuti operasi gratis bisa langsung mendaftar ke RS atau bisa juga menelepon dulu untuk menjelaskan keluhannya. Selanjutnya kami akan memeriksa pasien apakah layak untuk dioperasi atau tidak,” kata Arrus.
Tak ada batasan jumlah pasien yang ingin mendapatkan layanan operasi gratis. Pihak RS justru berharap bisa mengoperasi penderita cacat bawaan lahir sebanyak-banyaknya. “Agar mereka tidak rendah diri dan bisa tersenyum menatap hidup yang lebih indah,” kata Arrus.
Sumber: pdpersi.co.id
Tak Mampu Beli Obat , Pasien RS Jafar Harun Pulang Paksa
Lasusua, Mengaku tidak mampu menebus harga obat yang diberikan petugas Rumah Sakit Jafar Harun Lasusua, seorang pasien di rumah sakit plat merah tersebut memilih pulang paksa, meskipun masa perawatan yang ditentukan dokter belum selesai.
Sementara ditempat terpisah, anggota DPRD komisi I Kolut, Imanuddin menyangkan jika benar hal tersebut dilakukan oleh pihak RS Jafar Harun.
“Rumah sakit itu pelayanan, artinya pasien dirawat dulu baru pasien mengurus administrasinya jika akan keluar, tentang mahalnya biaya itu memang terkadang ada obat tertentu yang harganya lumayan mahal, tapi petugas yang memberi resep pun harus memberi rinciannya secara detail,” bebernya.
Anggota komisi I lainnya, Tasrim mengungkapkan rumah sakit sudah memiliki aturan biaya ruangan inap tergatung kelasnya dan obat-obatan rumah sakit ada biayanya dari daerah dalam setahun.
“yang salah jika memang terjadi pemaksaan terhadap pasien untuk membeli, yang seharusnya pasien diberikan pengetian karena pada prinsipnya obat yang diberikan dokter tujuannya juga untuk membantu penyembuhan pasien, hanya proses penjelasannya yang harus dilakukan dengan baik, tapi kalau itu benar kita akan minta keterangan dari pihak rumah sakit,” tegas politisi PAN ini.
Sumber: kendarinews.com
Pemkab Berau Berencana Bangun Rumah Sakit Baru
Tanjung Redeb-Pemerintah Kabupaten Berau merencanakan membangun rumah sakit baru sebagai pengganti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Rivai di Jl Pulau Panjang Tanjung Redeb yang tidak mungkin lagi diperluas.
“Untuk mewujudkan rencana tersebut, Pemkab Berau pada tahun 2013 telah mengalokasikan anggaran perencanaan sekitar Rp5 miliar,” ungkap Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Berau Ir H Taupan Majid di Tanjung Redeh, Selasa.
Rencana pelelangan perencanaan tersebut juga telah ditindaklanjuti melalui unit layanan pengadaan (ULP) untuk segera diumumkan melalui layanan pengadaan secara elektronik (LPSE), katanya.
Dijelaskan Taupan, kalau proses perencanaan dipastikan tidak ada masalah. Perencanaan akan dilakukan sesuai dengan tiga lokasi alternatif yang diwacanakan Pemkab Berau, salah satunya berada di kawasan Ringroad Kelurahan Sei Bedungun Tanjung Redeb, yang akan menjadi akses utama keluar dan masuk Kota Tanjung Redeb.
Setiap perencanaan juga disesuaikan dengan luasan lahan rumah sakit baru yang diperkirakan sekitar 10 hektare.
“Kami masih koordinasikan lagi soal ketetapan lokasi. Kalau perencanaan sudah siap diawal tahun ini,” ungkapnya.
Proses perencanaan ditarget bisa selesai dalam waktu singkat. Sehingga bisa segera ditindaklanjuti dengan pembangunan fisik yang juga diharapkan bisa dikerjakan pada tahun 2013.
“Begitu perencanaan selesai, kita langsung usulkan fisiknya dan kita harapkan bisa segera,” tandasnya.
Mendesaknya pembangunan rumah sakit baru di Berau, diakui Kepala Dinas Kesehatan Berau drg. Totoh Hermanto yang menyebutkan kalau kondisi rumah sakit yang ada saat ini sudah tidak layak.
Pasalnya, kondisi RSUD Abdul Rivai sudah berada di tengah pemukiman masyarakat, yang sulit untuk dikembangkan. Selain itu, aktivitas rumah sakit juga akan berpengaruh dan terpengaruh dari aktivitas masyarakat di sekitarnya.
“Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal, ya memang harus segera direalisasikan pembangunan rumah sakit baru ini,” katanya.
Sumber: kaltim.antaranews.com
Mayat Membusuk karena RS Tidak Punya Freezer Pengawet
SOE – Jenazah Jeni Tahuni (27) yang ditemukan tewas di rumah Dominggus Benu (49) di Mnelalete, Kabupaten TTS, sejak Sabtu (2/2/2013), belum diambil pihak keluarga.
Mayat warga Desa Kalali, Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang, dibiarkan di kamar mayat tanpa pengawetan, sehingga mengeluarkan bau tak sedap.
Pantauan Pos Kupang (Tribunnews.com Network), Senin (4/2/2013), para pasien dan pengunjung rumah sakit sangat terganggu ketika berada di dalam kompleks RSUD SoE.
Servince Selan dan Albert Nomleni, ketika ditemui di RSUD setempat, mengatakan, mereka dan pasien yang dikunjungi sangat terganggu ketika mencium bau tak sedap di sekitar kamar mayat.
“Kami dengar ada mayat di dalam kamar mayat yang belum diambil keluarga. Kenapa sampai bau hingga mengganggu lingkungan sekitar. Kami tidak tahu kenapa mayat itu sampai membusuk,” ujar Selan.
Direktur RSUD SoE dr Musa Salurante ketika ditemui di kantor Bupati TTS, mengakui ada mayat yang belum diambil pihak keluarga.
“Mayat diletakkan saja di atas meja mayat. Kami tidak punya freezer pengawet mayat. Sudah ada dua kasus yang sama, sehingga akan kami usulkan pengadaan freezer dalam perubahan anggaran 2013 nanti. Mumpung pembahasan ABPD 2013 belum final, apakah pemda besedia menganggarkan dalam tahun ini,” paparnya.
Ketua Komisi D DPRD TTS Yoksan Benu, menanggapi kasus tersebut menuturkan, pemerintah daerah wajib menyediakan freezer untuk pengawetan mayat di RSUD SoE.
Mengingat kondisi mayat Tahuni mulai membusuk, pihak Polres dan RSUD SoE berkoordinasi dengan Pemda TTS menguburkannya, Senin (4/2/2013).
“Pihak Polres sudah berupaya mencari tahu keluarga korban di Desa Kalali, Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang, namun tidak ditemukan. Bahkan, kepala desa juga tidak mengenal korban. Hari ini (kemarin) atas kerja sama dengan Polres TTS, pemda siap menguburkannya di Pekuburan Umum Nunumeu,” beber Sekretaris Dinas Sosial Welem Wadu.
Sumber: id.berita.yahoo.com
Dokter Terlambat, Pasien RSUD Terlantar
SUKOHARJO – Sejumlah pasien Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sukoharjo terlantar selama berjam-jam dan belum mendapatkan layanan, Senin (4/2/2013). Para pasien penyakit dalam itu mengantri sejak pagi dan baru dilayani sekitar pukul 11.00 WIB.
Pantauan Solopos.com di depan poliklinik penyakit dalam RSUD Sukoharjo, para pasien sudah berada di depan poliklinik tersebut sejak pagi. Setelah mendaftar dan mengambil nomor antrian, mereka duduk-duduk di depan poliklinik. Sedangkan beberapa pasien lain yang tak kebagian tempat duduk terpaksa harus berdiri di depan poliklinik itu.
Salah satu warga Dukuh Cebukan, Desa Sonorejo, Kecamatan Sukoharjo, Warjono, mengaku sejak pukul 08.00 WIB tiba di RSUD. Ia mengantarkan istrinya yang sakit nyeri pada kaki.
“Sudah tiga jam lebih saya menunggu, tapi istri saya tidak dipanggil-panggil untuk pemeriksaan,” ujar Warjono saat ditemui wartawan di RSUD, Senin.
Hal serupa juga diungkapkan pasien lain, Harto. Ia juga sudah berjam-jam menunggu untuk diperiksa namun hingga pukul 11.30 WIB dia belum juga dilayani. Harto mengalami sakit maag dan baru kali ini dia periksa ke RSUD. “Seharusnya tidak begini pelayanannya. Kami sebagai pasien tidak perlu menunggu terlalu lama bahkan sampai tiga jam lebih belum juga dilayani,” papar Harto.
Sementara itu, saat dimintai konfirmasi, Direktur RSUD Sukoharjo, Gunadi, mengakui bahwa selama sebulan ini pasien penyakit dalam overload. Sebetulnya poliklinik tersebut akan dibagi menjadi dua agar memudahkan pelayanan. Namun hingga kini palayanan itu belum terwujud karena pihaknya masih kekurangan dokter penyakit dalam.
Gunadi mengatakan, saat ini pihaknya hanya memiliki tiga orang dokter ahli penyakit dalam. Sedangkan idealnya RSUD Sukoharjo memiliki empat orang dokter penyakit dalam. Tiga orang dokter itu pun, sambungnya, tidak bisa full melayani pasien karena satu dokter ada yang menempuh pendidikan lagi dan satu dokter lagi sedang menjalani pelatihan penanganan penyakit dalam di RSUD Moewardi, Solo.
“Satu orang dokter yang masuk itu pun tidak hanya melayani pasien di poliklinik penyakti dalam, tapi sebelumnya juga harus visit ke bangsal pasien yang mengalami penyakit dalam,” papar Gunadi.
Sumber: solopos.com
Beban Kerja Tinggi, Dokter Bahayakan Pasien
Beban kerja yang tinggi dan banyaknya pasien yang harus ditangani dokter bisa membahayakan pasien. Keterbatasan waktu juga membuat dokter tidak bisa leluasa berdiskusi dengan pasiennya.
Demikian menurut survei yang dilakukan di Amerika, meliputi 500 rumah sakit dan dokter yang menangani pasien. Hampir 40 persen responden mengatakan setidaknya sebulan sekali mereka menangani pasien lebih banyak dari yang bisa ditangani.
Hampir seperempat dokter mengatakan beban kerja yang tinggi membuat mereka tidak bisa berdiskusi dengan pasiennya mengenai terapi yang harus diambil. Bahkan 22 persen menngatakan mereka terpaksa meminta pasiennya melakukan tes yang tidak perlu karena tidak punya waktu lama untuk memeriksa.
“Jika dokter hanya punya waktu pendek dan pasien mengeluh nyeri dada, misalnya, maka dokter akan menyuruh pasien melakukan tes tambahan, meresepkan aspirin dan menelepon dokter spesialis jantung. Semua karena tidak ada cukup waktu untuk mengevaluasi pasien secara penuh,” kata Dr.Henry Michtalik dari Johns Hopkins University School of Medicine.
Sejumlah kecil dokter (sekitar 5 persen) mengakui beban kerja yang tinggi itu menyebabkan efek samping berbahaya, seperti pasien harus ditransfer ke unit gawat darurat atau bahkan kematian.
Pihak rumah sakit disarankan untuk mengevaluasi jam kerja dokter dan menciptakan standar keamanan.
Sumber: health.kompas.com