Padang Tingkatkan Sarana Rumah Sakit
Padang – Pemerintah Kota Padang, Sumatera Barat, terus meningkatkan sarana dan prasarana berbagai rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah setempat.
“Untuk meningkatkan sarana prasarana itu dilaksanakan melalui satu program pengadaan pada Tahun Anggaran 2013 dan didanai dengan APBD Padang tahun berjalan,” kata Wali Kota Padang Fauzi Bahar di Padang, Selasa.
Berbagai rumah sakit yang dikelola oleh pemkot setempat itu, antara lain Rumah Sakit Umum Daerah, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Daerah, Rumah Sakit Mata, dan Rumah Sakit Paru-Paru.
Dana APBD yang dialokasikan untuk pelaksanaan program pengadaan dan peningkatan RSUD, RSJ Daerah, Rumah Sakit Mata, dan Rumah Sakit Paru-Paru pada 2013 mencapai Rp4,88 miliar.
Anggaran tersebut, katanya, akan digunakan untuk membiayai delapan kegiatan dalam program pengadaan dan peningkatan itu, yang dilaksanakan oleh masing-masing manajemen rumah sakit itu.
Kegiatan yang dilaksanakan itu, katanya, meliputi pengadaan obat-obatan rumah sakit dengan anggaran Rp332,2 juta, pengadaan mebeler rumah sakit Rp119,74 juta, dan pengadaan peralatan rumah tangga untuk dapur ruang pasien, “laundry”, dan ruang tunggu RSUD Rp16,29 juta.
Selain itu, pengadaan bahan-bahan logistik rumah sakit dengan dana Rp1,66 miliar, penyediaan bahan laboratorium rumah sakit Rp284,77 juta, dan pengadaan peralatan bengkel kesehatan Rp39,93 juta.
Kegiatan lainnya, rehabilitasi gedung rumah sakit dan ruangan haemodialisa dengan dana Rp437,7 juta dan pengadaan sarana prasarana berupa peralatan ruang ICU dan IGD Rp1,99 miliar.
Jika dibandingkan dengan alokasi dana program itu pada 2012, katanya, anggaran pada 2013 mengalami kenaikan dari sebelumnya Rp4,43 miliar menjadi Rp4,88 miliar.
Naiknya alokasi anggaran itu, katanya, antara lain karena jumlah kegiatan bertambah, yakni dari sebelumnya enam kegiatan pada 2012 menjadi delapan pada 2013. (*/hen/jno)
Sumber: antarasumbar.com
Improving care: ‘It will lead to more trust in our hospitals’
Lahore – A public complaints management system (PCMS) will be introduced at public teaching hospitals to provide better health care facilities to patients, said Secretary Health Arif Nadeem on Monday.
Nadeem was presiding over a meeting of teaching hospitals’ principals and medical superintendents to devise a strategy on how to launch the PCMS. The meeting was called on the instruction of caretaker Chief Minister Najam Sethi.
He said the system would improve the performance of teaching hospitals as well as provide better treatment facilities to the patients.
“Various aspects of the PCMS were considered in the meeting. The health secretary asked to identify the hospital departments regarding which feedback would be sought from patients and attendants. He also directed that a standardised questionnaire be prepared for this purpose,” said a spokesperson of Health Department.
“The questionnaire will be prepared in light of the recommendations of senior professors, medical superintendents and principals,” he added.
The spokesman said that in the meeting it had been decided that Prof Dr Faisal Masood, the King Edward Medical University vice chancellor and other senior professors would submit their proposals to the health secretary in light of which a standardised questionnaire would be devised. Experts from the Punjab Information Technology Board would extend technical assistance for evolving the system of addressing public complaints, the spokesman said.
“Secretary Nadeem said that the public complaints management system would improve the efficiency of government hospitals, the quality of service, would act as a check on misappropriation of medicines and keeping medical equipment and machines operational due to which the confidence of people would increase in government hospitals,” he added.
Prof Faisal Masood, Prof Zameer Ahmad of Allama Iqbal Medical College, Jinnah Hospital Medical Superintendent Fazalur Rehman, Prof Muhammad Umar, Dr Rashid Maqbool of the Allied Hospital Faisalabad, Sir Ganga Ram Hospital Medical Superintendent Ijaz Ahmad Sheikh, Mayo Hospital Medical Superintendent Zahid Pervaiz, Punjab Information Technology Board Director General Waqar Qureshi, Punjab Health Sector Reforms Programme Director Farasat Iqbal and other officers attended the meeting.
Source: tribune.com
RSUD Waled Utamakan Pelayanan Pasien
CIREBON-Tekad Direktur RSUD Waled, Dr J Suwanta untuk memajukan RSUD Waled, Kabupaten Cirebon rupanya tak main-main. Ia hampir setiap hari mengontrol kinerja pegawai dan pelayanan RSUD terhadap pasien. Wajar saja kalau RSUD milik Pemerintah Kabupaten Cirebon ini terus mendulang berbagai penghargaan dari luar akibat tingginya penilaian positif dan kepercaaan masyarakat terhadap rumah sait yang satu ini.
Seperti penghargaan sebagai Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi (RSSIB) terbaik pertama tingkat Propinsi Jawa Barat dari Kementrian Kesehatan RI dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Penghargaan ini diserahkan langsung oleh Wakil Menteri Kesehatan RI Prof. dr Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD kepada Direktur RSUD Waled dr. J Suwanta Sinarya, di Jakarta.
“RSSIB merupakan salah satu program di Kementerian Kesehatan dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Sedang penilain RSSIB terbaik hanya di tingkatan propinsi dan tidak ada penilaian ditingkat nasional. Hal tersebut karena masing-masing propinsi memiliki klasifikasi yang berbeda-beda, sehingga tidak ada RSSIB tingkat nasional. Ya prestasi ini diraih setelah selama empat tahun melakukan pembenahan, baik penambahan peralatan maupun juga peningkatan kualitas SDM,” ungkap Suwanta.
Tak hanya itu, pengharagaan lainnya pun kerap diterima Rumah Sakit ini. Belum lama ini saja RSUD Waled membuka kerja sama penyuluhan di bidang hukum perdata dan lainnya dengan pihak Kejasaan. Bahkan guna meningkatkan profesionalisme profesi dokter, RSUD Waled pun membuka peresmian penggunaan gedung Pendidikan Profesi Dokter (P3D) yang bekerja sama dengan Universitas Swadaya Gunungjati (Unswagati) Cirebon. Pada kesempatan tersebut hadir Wakil Menteri Kesehatan RI, Kepala Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Muspida Kabupaten Cirebon, Bupati Cirebon, Rektor dan Dekan Unswagati beserta jajarannya, unsur Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, kepala dinas intansi terkait serta sejumlah undangan dan staf direksi dan karyawan /karyawati RSUD Waled.
Menurut Direktur RSUD Waled, Dr. Suwanta, dengan diresmikannya penggunaan gedung P3D di RSUD Waled berarti penambahan khasanah perlengkapan rumah sakit Waled dan sebagai rumah sakit perbatasan sudah seyogyanya dilengkapi dengan sarana dan prasana yang memadai sehingga rumah sakit tersebut dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada pasiennya.
Sedang menurut Dekan Fakultas Kedokteran Unswagati Cirebon, Dr. Affandi, kerja sama antara Fakultas Kedokteran Unswagati dengan RSUD Waled merupakan suatu perwujudan nyata dari kurikulum Fakultas Kedokteran Unswagati dalam rangka menciptakan dokter-dokter yang profesional, berdedikasi tinggi, berpendidikan, serta beragama sehingga pada akhirnya dapat mengabdikan darma bhaktinya kepada masyarakat luas.
“Ya semua yang kami lakukan semata-mata untuk meningkatkan kinerja pegawai dan pelayanan di rumah sakit ini. Karena yang kami inginkan adalah sebuah kemajuan bukan kemunduran dan masyarakat diharapkan bisa merasa bangga dengan apa yang sudah diberikan oleh rumah sakit, itu misi kami, intinya profesionaisme pegawai, pelayanan dan kenyamanan pasien,” ujar Suwanta lagi.
Sumber: pikiran-rakyat.com
Berhasil Kendalikan Hepatitis, RI Jadi Teladan di Asean
Jakarta – Indonesia menempatkan diri sebagai teladan dalam pengendalian Hepatitis, khususnya Hepatitis B di kawasan Asia Tenggara yang merupakan wilayah endemis Hepatitis B.
Peranan Indonesia antara lain sebagai salah satu negara penanda tangan “Melbourne Statement on Prevention of Perinatal Transmission of Hepatitis B” pada tanggal 7 Desember 2010 yang merupakan tindak lanjut dari Resolusi 63.18.
Selain itu, Indonesia bersama Brasil menjadi pemrakarsa keluarnya Resolusi tentang Hepatitis Virus pada Sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-63 tahun 2010 dan berhasil menerbitkan Resolusi 63.18 yang menyatakan bahwa Hepatitis virus menjadi salah satu agenda prioritas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menjelaskan, keluarnya resolusi tersebut membuat seluruh negara di dunia dan masyarakat dunia akan memberikan perhatian serius pada Pengendalian Hepatitis melalui gerakan pemerintah bersama masyarakat.
“Kita mulai melaksanakan Imunisasi Hepatitis B yang diawali dengan pilot project imunisasi pada bayi yang dilakukan selama 10 tahun dari tahun 1987–1997 dari Pulau Lombok, selanjutnya dikembangkan di provinsi-provinsi lain, dan sejak bulan April 1997 imunisasi Hepatitis B masuk dalam program imunisasi nasional,” paparnya di Jakarta, kemarin.
Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 menunjukkan prevalensi Hepatitis B sebesar 9,4 persen atau satu dari 10 penduduk Indonesia pernah terinfeksi Hepatitis B. Tjandra menilai, prevalensi hepatitis di Indonesia mencapai 9,4 persen atau sekitar 23 juta orang cukup mengkhawatirkan, padahal sebenarnya hepatitis dapat dicegah.
“Hepatitis ini sebenarnya dapat dicegah. Hepatitis A, misalnya, lebih pada masalah kebersihan sehingga perlu untuk menjaga kebersihan, makanan dan lain-lain. Hepatitis B dapat dicegah dengan imunisasi, sedangkan hepatitis C dicegah dengan perilaku yang baik, tidak ada pertukaran jarum suntik misalnya,” paparnya.
Untuk hepatitis A yang relatif tidak berbahaya, kata Tjandra, telah beberapa kali terjadi kejadian luar biasa (KLB). Biasanya sumber penularan merupakan rumah makan atau restoran yang kurang bisa menjaga kebersihan makanan. “Penyuluhan kepada masyarakat tetap memegang peranan utama dalam penanggulangan hepatitis ke masyarakat selain kegiatan surveilans yang kami lakukan,” kata Tjandra.
Selain Hepatitis B, Hepatitis A dan C juga perlu mendapat perhatian masyarakat. Hal ini mengingat untuk Hepatitis C sampai saat ini belum tersedia vaksinnya sehingga upaya pencegahan melalui promosi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), menghindari perilaku berisiko, serta penapisan darah donor menjadi hal yang utama.
Sumber: pdpersi.co.id
Flu Burung Menyerang China, RS Perlu Tingkatkan Kewaspadaan
Jakarta – Kementerian Kesehatan telah mengirimkan surat edaran kepada Dinas Kesehatan di seluruh daerah dan rumah sakit (RS) pemerintah untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap Influenza Like Illness (ILI) dan Severe Acute Respiratory Infection (SARI) yang mungkin ditemukan.
Surat edaran itu disampaikan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait munculnya kasus flu burung jenis baru H7N9 yang menyerang beberapa provinsi di China. Virus tersebut belum diketahui secara pasti asal penularannya.
Namun, jumlah kasusnya terus berkembang. Pemerintah China kemarin melaporkan ada 22 orang warganya yang terkena virus flu burung jenis baru tersebut. Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kasus tersebut telah merenggut nyawa enam orang di China.
“Kami bahkan sedang memikirkan untuk mengirimkan surat edaran kedua guna lebih meningkatkan kewaspadaan, misalnya untuk pasien dengan pneumonia berat dan tidak tahu penyebabnya,” ujar Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan, ada beberapa virus flu burung jenis H7 yang pernah menyerang manusia yaitu H7N2, H7N3, H7N5, dan H7N7. Untuk virus H7N2 dan H7N3 yang menyerang manusia biasanya keluhannya ringan seperti infeksi pernafasan dan gangguan pada mata. Sedangkan virus H7N7, tingkat kematian penderitanya relatif kecil.
“Kasus H7N9 itu berbeda dengan jenis flu burung yang lain. H5N1 menimbulkan kematian yang besar pada unggas dan penularan pada manusia terjadi setelah itu. Namun untuk H7N9 kasusnya berawal pada manusia terlebih dulu, kemudian pada unggas. Ini fenomena baru, sedang diteliti kenapa muncul di manusia dulu, baru pada unggas,” kata Tjandra.
WHO menemukan virus H7N9 tersebut pada burung merpati di Shanghai, sehingga pemerintah China menutup pasar unggas di kota itu. Pemerintah China masih meneliti cara penularan virus tersebut. “Tapi mereka sudah melaporkan kepada WHO dan menyerahkan contoh virusnya,” ucapnya.
Menurut Tjandra, penanganan pada penderita flu burung jenis H7N9 bisa dengan memberikan oseltamivir. Oseltamivir adalah obat antivirus yang memperlambat penyebaran flu burung. Di Indonesia, oseltamivir dijual dengan merek dagang Tamiflu.
“Pemeriksaan laboratorium menunjukkan oseltamivir dan zanamivir yang biasa kita gunakan, virus H7N9 tidak menunjukkan resistensi terhadap obat-obat tersebut, sehingga bisa digunakan. Tapi untuk efektivitas, secara umum belum bisa kita katakan sekarang karena pasiennya baru sedikit dan baru terjadi beberapa bulan ini,” tuturnya.
Sumber: pdpersi.co.id
Dahlan Ingin Rumah Sakit Pelat Merah Punya 1.000 Kamar
Jakarta : Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan kembali menggelar rapat pimpinan BUMN. Kali ini berlangsung di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta.
Pada kesempatan ini, Dahlan menyatakan keinginan adanya rumah sakit yang memiliki 1.000 tempat tidur. Hal tersebut diharapkan bisa terwujud pada rumah sakit milik BUMN di Jakarta.
“Seandainya seribu itu tidak satu bangunan, tapi beberapa RS dijumlahkan jadi 1.000, kami koordinasi dengan RS BUMN. Bagaimana RS BUMN apakah bisa memiliki sampai 1.000 tempat tidur dan ternyata bisa,” ujar Dahlan, Selasa (9/4/2013).
Pembangunan rumah sakit dengan 1.000 kamar merupakan konsep dari dr Fathema Djann. Dalam disertasinya, dr Fathema menilai untuk menciptakan pelayanan yang murah di rumah sakit yakni minimal 1 rumah sakit memiliki 1.000 kamar tidur. Dahlan kemudian mengaku tertarik akan konsep tersebut dan berencana menerapkannya.
Dr Fathema sendiri mengatakan konsep tersebut juga untuk mengantisipasi pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS), di mana nantinya pembayaran rumah sakit dilakukan dalam satu paket.
Selain itu konsep 1.000 tempat tidur juga bisa mempercepat layanan rumah sakit ke pasien yang ingin melakukan perawatan.”Konsep 1.000 tempat tidur bisa diterapkan ditempat lain,” pungkasnya.
Pada kesempatan ini, Dahlan juga mengaku kagum dengan manajemen RSPP. Rumah sakit ini dinilai memiliki perencanaan yang baik, seperti penyediaan alat-alat medis yang diperlukan pasien RSPP.
“Saya suprise RSPP punya perencanaan yang begitu hebat, karena lengkap dari kepemilikan dan kepengelolaan (alat),” kata Dahlan.
Rapat pimpinan tersebut digelar setiap Selasa pagi pukul 07.00 WIB. Kali ini, tepat pukul 8.30 WIB, rapat internal Kementerian yang digelar di RSPP berakhir.
Hadir pada acara ini perwakilan dari 6 rumah sakit BUMN yakni 3 rumah sakit milik Pertamina, 2 rumah sakit milik PT Pelindo II dan sebuah rumah sakit milik PT Pelni.
Sumber: bisnis.liputan6.com
Telemedicine Indonesia Terhambat Biaya Mahal
Jakarta, PKMK. Penerapan telemedicine di Indonesia terhambat oleh sejumlah faktor. Satu di antaranya adalah biaya penyelenggaran infrastruktur teknologi informasi yang masih mahal. dr. Erik Tapan, MHA, pengamat informatika kedokteran, mengatakan hal tersebut di Jakarta hari ini. Erik menyampaikan dengan infrastruktur teknologi informasi yang masih mahal, telemedicine Indonesia menjadi tidak feasible untuk dipasarkan. “Bandwidth di Indonesia itu kan terbilang mahal,” kata dia. Kecepatan perkembangan telemedicine di Indonesia, ia mengatakan, akan sejajar dengan harga infrastruktur teknologi informasi. Semakin menurun harga tersebut, semakin cepat pula perkembangan telemedicine.
Erik menambahkan untuk saat ini yang lebih berkembang di Indonesia adalah telemedicine yang tidak memerlukan bandwidth besar. Salah satunya yaitu layanan yang bersifat konsultatif antara dokter dengan pasien. “Pokoknya, yang berkembang lebih cepat adalah telemedicine yang tidak bersifat real time,” kata Erik. Seperti apa bentuk telemedicine yang ideal di Indonesia saat ini? Erik menjawab, sekarang ada rumah sakit yang menerapkan teleconferencedengan institusi pelayanan kesehatan di luar negeri. Hal yang harus diingat bahwa telemedicine yang baik adalah yang bersifat D to D, bukan D to P. Pada prinsipnya, telemedicine adalah pengobatan jarak jauh menggunakan teknologi. Itu sedari layanan konsultasi, diagnosis, sampai pengobatan. “Termasuk di situ adalah operasi,” jelas Erik.
Tulisan Terkait:
Telemedicine: Harapan baru untuk meningkatkan kapasitas RS daerah terpencil
Rekam Medis Elektronik Masih Banyak Berstandar Lokal
Jakarta, PKMK. Penerapan sistem rekam medis elektronik di rumah sakit seluruh Indonesia sudah lebih berkembang daripada sebelumnya. Meskipun seperti itu, dapat dikatakan bahwa rumah sakit yang menggunakan rekam medis elektronik standar internasional masih sedikit jumlahnya. Dengan demikian, rekam medis elektronik itu belum memungkinkan adanya komunikasi internasional. hal ini diungkapkan Prof. Johan Harlan, Kepala Pusat Studi Informatika Kedokteran Universitas Gunadarma di Jakarta (8/4/2013).
Demi mengatasi hal tersebut, rumah sakit ataupun lembaga kesehatan lain se-Indonesia perlu memperjelas standar rekam medis elektronik yang digunakan. Dalam hal ini, yang perlu diperjelas adalah tipe standar internasional yang hendak digunakan: versi awal atau versi open source yang kini mulai banyak ditawarkan. Saat ini yang menggunakan standar internasional masih sedikit. Sebuah rumah sakit besar di Yogyakarta sudah mulai menggunakan standar internasonal itu. Demikian pula dengan beberapa rumah sakit di Jakarta. “Tetapi, mayoritas mereka membeli software. Bukan mengembangkan sendiri,” ucap Johan lagi.
Kini sistem rekam medis elektronik di Indonesia digunakan untuk keperluan internal sebuah lembaga. Bukan untuk komunikasi antar-lembaga kesehatan. “Kementerian Kesehatan RI mencoba membuat interkoneksi itu. Namun, itu untuk koneksi data yang sudah terakumulasi bagi keperluan Dinas Kesehatan. Jadi, bukan untuk interkoneksi data pasien,” demikian Johan menjelaskan. Selanjutnya, selain memperjelas standar internasional yang akan digunakan, sudah seharusnya lembaga kesehatan di Indonesia selanjutnya mempersiapkan tenaga mumpuni untuk itu. Kemudian standar yang disepakati bersama itu perlu diimplementasikan ke seluruh lingkungan manajemen kesehatan di Indonesia. Dari segi regulasi, sebenarnya tidak ada hambatan berarti bagi Indonesia untuk lebih intensif mengembangkan rekam medis elektronik. Regulasi terbaru menyatakan bahwa, dengan syarat-syarat tertentu, data digital berstatus sama dengan data kertas. Nah, kita tinggal memerjelas definisi syarat-syarat tertentu itu.
Dokter yang Berpakaian Putih Justru Membuat Pasien Makin Stres
Sebagai ilustrasinya, bagaimana ekspresi seorang pasien yang menjalani pemeriksaan penyakitnya di salah satu ruangan di hotel yang menyediakan klinik, sementara dokternya berpakaian bebas. Tentu ketegangan psikisnya tidak akan separah di rumah sakit untuk urusan yang sama. Ini contoh vulgar pengaruh asesoris rumah sakit terhadap psikologis pasien.
Tidak heranlah bila seorang arsitektur mengatakan kepada saya, apa salahnya cirikhas rumah sakit diubah sedemikian rupa, sehingga ketika pasien yang datang tidak lagi merasa semakin sakit. Toh banyak alternatif untuk itu tanpa mengurangi kewibawaan petugas medis.
Ayo, ekstrimnya, mendingan mana: “dokter berpakaian putih polos tetapi pasien sudah gugup” atau “dokter berpakaian warna-warna tetapi pasien terasa enjoy?”
Di Amerika banyak rumah sakit yang beberapa ruangannya memberikan suasana lucu. Di ruang kelas anak, misalnya, tampak beragam gambar kartun. Belum lagi asesoris lainnya. Demikian juga dengan seragam tidurnya. Singkatnya yang mereka lupa dengan keluarganya di rumah. Sampai-sampai tidak sedikit dari mereka yang memintanya untuk dibawa pulang.
Berbeda jauh dengan apa yang kita lihat di rumah sakit di tanah air. Baru saja mendekati ruang pemeriksaan, anak langsung merengek, menangis, atau menjerit.
Apalagi bila di rumahnya, dokter sering digambarkan sebagai sosok yang menakutkan. Mendingan si dokter mau tersenyum, menyapa, atau apalah, pokoknya yang membuat anak-anak senang. Ini tidak, dalam artian, hanya memperlihatkan sikap polos. Orang dewasa pun sama, hanya dipendamnya.
Belum lagi suasana rumah sakit yang sudah menjadi karakter klasik, sekaligus mengkristal pada pikiran pasien, seperti bau obat, seragam yang dikenakan petugas medis, sampai cat tembok yang didominasi warna putih.
Mungkin maksudnya supaya memberi kesan bersih. Tapi percuma bila membuat pasien mengekpresikan wajah berbeda ketika mereka berada di tempat lain seperti pasar swalayan atau supermarket. Lagian tidak ada dasar medisnya.
Anne Manyande, psikolog dari Universitas College, pernah memeriksa kadar dua hormon stres, adrenalin dan kortisol, dalam darah sejumlah pasien yang menjalani operasi, yaitu sebelum, saat, dan sesudahnya.
Kedua hormon itu diyakini bisa menurunkan berat badan maupun daya tahan, yang ditandai adanya rasa lelah. Ini relevan dengan para peneliti dari Jepang, stres menguras puluhan otot untuk menghasilkan tenaga, sementara senyum hanya satuan saja.
Mereka antara lain menyarankan, agar menjelang operasi, hubungan pasien dengan tim dokter memperlihatkan keakraban atau persaudaraan. Walaupun tetap tidak menghilangkan rasa takut, minimal bisa berkurang.
Penulis rasa, esensi peneliti itu paralel dengan topik tulisan ini.
Idealnya ekspresi pasien mengalami perubahan ke arah ceria ketika sudah berada di rumah sakit, sebagaimana orang lapar ketika memasuki rumah makan. Karena salah satu misi hakiki rumah sakit memang demikian.
Ini sesuai kandungan nilai filosofi di dalam istilah itu sendiri.
Sayangnya sering terbalik. Sangat banyak pasien malah merasa semakin menderita. Yang ketika masih di rumahnya masih sempat ketawa ceria, berubah menjadi loyo. Bayangan harapan sembuh seolah-olah tenggelam oleh asumsi akan malapetaka yang akan menimpa dirinya.
Penulis pernah melakukan dialog dengan sejumlah orang yang tentu sering terlibat dengan rumah sakit. Mereka umumnya mengakui bahwa citra dokter yang berpakian putih sering memberi kesan yang menyeramkan atau menegangkan untuk pasiennya. Karenanya mereka pun setuju, agar pakaiannya diiganti/dimodifikasi, tanpa meninggalkan fungsinya yang antara lain sebagai perlindungan dari segala bentuk kontaminasi. Jadi tidak salahnya bila dokter juga berpakaian warna warni.
Memang perubahan paradigma itu sudah terjadi di beberapa tempat praktik dokter. Antara lain dengan memodifikasi pakaian dan memperbanyak asesoris.
Selain bertujuan membuat pasien enjoy, semua petugas medis dituntut untuk memperlihatkan sikap simpatik. Hanya belum merata.
Mungkin perlu kebijaksanaan pemerintah untuk melakukan pengkajian ulang tentang manajemen suasana rumah sakit yang bisa meningkatkan kenyamanan dan ketenganan para pasien.
Sumber: analisadaily.com