[JAKARTA] Sejak dokter ahli bedahnya yang berinisial BHS, dilaporkan ke Polda Metro Jaya terkait dugaan malapraktik saat menangani pasien Anna Marlina (38), yang meninggal dunia pada 23 Maret lalu, Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan masih enggan memberikan keterangannya.
Jajaran direksi rumah sakit menjanjikan akan memberikan keterangan pada Selasa (23/4) sekitar pukul 16.00 WIB.
Namun, hingga sekitar pukul 18.00 WIB, belum ada keterangan yang diberikan. Menurut salah seorang staf humas rumah sakit, keterangan pers diundur hingga Rabu (24/4) sekitar pukul 09.30 WIB.
“Direksi ada kegiatan mendadak, sehingga belum dapat memberikan keterangan. Jadi keterangan pers diundur jadi besok,” katanya saat ditemui di rumah sakit, Selasa (24/4).
Sebelumnya, Wakil Kepala Humas RSUP Persahabatan, Royen Edison Lumban Gaol mengatakan hingga kini ini pihaknya masih menunggu keputusan dari direktur utama rumah sakit.
“Nanti kami masih menunggu arahan dari direktur utama, detailnya seperti apa, nanti akan kami sampaikan, harap bersahabat,”. Katanya.
Royen juga enggan berkomentar mengenai keberadaan dokter BHS yang menangani pasien Anna, ataupun terkait kasusini.
“Nanti saja semuanya akan disampaikan secara detail, tapi nanti kami masih menunggu arahan,” tegasnya.
Sebelumnya, Suami Anna, Pandapotan Manurung (41) melaporkan dokter BHS lantaran diduga telah malapraktik saat menangani istrinya ke Polda Metro Jaya dengan pasal 359 Jo 361 KUHP tentang kesalahan yang mengakibatkan meninggal dunia.
Dia mengatakan langkah ini dilakukan sebagai upayanya menuntut keadilan atas peristiwa yang menimpa istrinya yang meninggal pada 23 Maret lalu.
“Setidaknya ada efek jera supaya tidak terjadi lagi pada orang lain di kemudian hari,” katanya saat ditemui di kawasan Kayu Putih, Pulogadung, Selasa (23/4).
Kuasa Hukum Pandapotan, Yasher Panjaitan menyebutkan berbagai indikasi dugaan pelanggaran yang dilakukan dokter BHS dalam menangani istri kliennya.
Indikasi pertama, kata Yasher, sejak awal diperiksa di RSUP Persahabatan pada 20 Februari lalu, pasien tidak mendapatkan informasi mengenai penyakitnya.
Padahal hal itu merupakan hak pasien atau keluarga pasien. Hal yang sama dilakukan dokter BHS setelah mengoperasi pasien pertama kali pada 11 Maret. Bahkan, dokter ahli bedah itu pergi keluar kota setelah melakukan tindakan operasi.
“Idealnya setelah operasi dokter itu melakukan pendekatan pasien, tapi nyatanya dia pergi keluar kota. Itu yang kita sesalkan kenapa pergi keluar kota padahal pasiennya demam tinggi.
Dan suami pasien hanya dapat meminta informasi dari dokter jaga dan para perawat,” kata Yasher di kawasan Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (23/4).
Yasher melanjutkan, indikasi malapraktik juga terlihat ketika operasi pertama dilakukan. Sebelum operasi, kliennya sempat berkonsultasi dengan dokter mengenai kondisi Ana.
Dokter BHS menyebutkan, kondisinya normal dan dimungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi. Lebih jauh, Yasher menyebut, diagnosa diabetes yang disebutkan pihak rumah sakit setelah operasi kedua tidak pernah disebutkan dalam pemeriksaan sebelum operasi pertama.
“Diagnosa pertama tidak ada diabetes, dan tidak ada kanker,” katanya.
Yasher menyebutkan, dalam UU nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit disebutkan, jika suatu rumah sakit tidak dapat memenuhi standar wajib pelayanan wajib merujuk pasien.
Namun, nyatanya janji rumah sakit mendatangkan dokter ahli Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk menangani Anna tidak pernah dipenuhi hingga pasien meninggal dunia.
Pandapotan menuturkan, saat datang ke rumah sakit itu pada 20 Februari lalu, istrinya hanya mengeluhkan adanya benjolan di bagian leher. Petugas loket langsung mengarahkan ke poli bedah dan diperiksa oleh dokter BHS.
“Sambil memainkan handphone, dokter itu hanya menyentuh benjolan di leher dan menyuruh istri saya untuk menelan ludah agar diketahui apakah sakit saat menelan. Saat itu juga langsung mendiagnosa istri saya mengalami penyakit kelenjar tiroid. Ternyata saya tanya-tanya, seharusnya kalau susah menelan dan ada benjolan di leher diperiksa ke bagian THT atau penyakit dalam dulu, tidak langsung ke poli bedah,” tutur Pandapotan.
Dokter BHS, kata Pandapotan, menyarankan agar pasien segera dioperasi untuk mengangkat kelenjar tiroid agar tidak berkembang menjadi kanker ganas, dan menjalar ke bagian lainnya. Bahkan disebutkan, jika dikaruniai anak akan lahir dengan kondisi cebol.
“Sementara kata dokter itu, tidak ada efek setelah operasi, selain harus meminum obat seumur hidupnya. Atas dasar itulah saya dan istri saya akhirnya setuju untuk dioperasi,” paparnya.
Sebelum dioperasi, pasien yang sehari-hari bekerja di perusahaan ekspedisi menjalani pemeriksaan darah, paru-paru, USG dan jantung yang hasilnya disebutkan normal.
Pandapotan melanjutkan, operasi pertama dilakukan pada 11 Maret lalu tanpa didampingi dirinya yang sedang mengurus administrasi.
Usai operasi, perawat hanya memberikannya sebuah botol kecil berisi seperti gumpalan daging. Sementara sang istri yang sudah tak sadarkan diri dipindahkan ke ruang rawat.
Paska operasi, tidak ada penjelasan apapun dari dokter mengenai kondisi pasien. Saat sadarkan diri, Anna justru mengeluh sakit di bagian leher, hingga tak dapat makan atau minum.
Ketika ditanyakan, dokter jaga dan suster menyebut kondisi itu adalah efek dari operasi. Dokter yang menangani Anna sendiri tidak dapat ditemui dengan berbagai alasan.
Setelah bersikeras, sang dokter baru dapat ditemui dan memberikan penjelasan yang mengagetkan keluarga pasien.
“Katanya harus dilakukan operasi yang kedua karena penyebab rasa sakit yang dirasakan di leher akibat adanya pembekuan darah yang menutup saluran tiroid. Dia bilang operasi pertama dianggap gagal. Pengangkatan tiroid membuat saluran makan dan pernafasan menjadi tipis. Selain itu dokter itu bilang tiroid yang diderita istri saya sudah menjadi kanker ganas yang telah melekat pada saluran makan dan pernafasan,” tuturnya.
Paska operasi kedua pada Rabu (13/3), kondisi Anna semakin menurun. Dia mengalami demam tinggi hingga sempat koma dan dirawat di ICU.
Pengaduan yang dilayangkan Pandapotan ditanggapi dengan digelarnya pertemuan antara rumah sakit dan keluarga. Saat itu, pihak rumah sakit berjanji, pasien akan ditangani oleh tim dokter dari RSCM.
Namun, hingga pasien menghembuskan nafasnya pada Sabtu (23/3) janji itu tidak pernah ditepati. Keheranan Pandapotan semakin bertambah ketika salah satu dokter menyebutkan tidak kunjung redanya panas sang istri, karena mengidap diabetes.
“Saya bilang, sebelum dilakukan operasi telah ada pemeriksaan, termasuk darah, dan disebutkan semuanya normal,” katanya.
Hingga berita ini diturunkan pihak rumah sakit masih enggan berkomentar.
Sumber: suarapembaruan.com