Dalam jurnal Marketing Institut “What is digital marketing” telah didefiniskan apa itu digital marketing, yaitu penggunaan teknologi digital untuk menciptakan komunikasi terpadu, terarah dan terukur yang membantu memperoleh dan mempertahankan pelanggan sambil membangun hubungan yang lebih mendalam dengan mereka.
Pandemi COVID-19 dan Keterbatasan Jumlah Tenaga Kesehatan
CoP of Health Equity
Pandemi COVID-19 dan Keterbatasan Jumlah Tenaga Kesehatan
Pandemi COVID-19 membuat rumah sakit menghadapi keterbatasan jumlah tenaga medis terkait keahlian penyakit pernafasan. Dalam menghadapi krisis ini, para tenaga kesehatan ada untuk memberikan perawatan. Namun, separuh populasi dunia tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan esensial, apa yang terjadi ketika tidak ada cukup dokter, perawat, dan staf pendukung? Salah satu poin dalam SDG adalah cakupan kesehatan universal pada 2030, namun apakah ini dapat terwujud dengan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan dan pendukung?
Kesejahteraan, Hak, Dan Kewajiban Tenaga Medis Di Tengah Pandemi
Menjadi tenaga medis di tengah pandemi COVID-19 bukanlah hal yang mudah. Merawat pasien positif COVID-19 yang beresiko menularkan infeksi tersebut kepada tenaga medis merupakan satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi oleh para tenaga medis. Berdasarkan data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sedikitnya ada 26 dokter yang telah gugur akibat pandemi ini. Sayangnya tantangan yang dihadapi oleh tanaga medis tidak sebatas di lingkungan kerja, di lingkungan rumah mereka dihadapkan kembali pada tantangan dalam menghadapi stigma di masayarat tentang kemungkinan tenaga medis menjadi sumber penularan infeksi COVID-19.
Meskipun keinginan menolong sesama besar dirasakan oleh seluruh tenaga medis di seluruh pelosok nusantara namun tak lepas dari beberapa tantangan yang harus mereka hadapi di masa pandemic COVID-19 ini antara lain : 1) Kontak langsung dengan pasien – pasien terinfeksi yang beresiko menularkan infeksi tersebut; 2) Bekerja dengan tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi dari sebelumnya dan dengan protokol keamanan yang lebih tinggi dari sebelumnya (harus mengenakan APD berlapis); 3) Beban kerja yang tinggi, dikarenakan lonjakan jumlah pasien terinfeksi di saat pandemi yang seringnya tidak seimbang dengan kapasitas SDM yang tersedia; 4) Resiko tertular berbagai macam penyakit terutama infeksi COVID-19itu sendiri dikarenakan resiko lingkungan pekerjaan, stress kerja ataupun daya tahan tubuh yang melemah akibat beban kerja yang meningkat; 5) Stigma sebagian masyarakat yang menganggap tenaga medis sebagai salah satu sumber penularan sehingga tenaga medis tidak dapat pulang ke rumah; 6) Tertundanya bertemu suami/istri/anak karena tidak diperbolehkan pulang ke rumah oleh lingkungan sekitar rumah atau kewajiban untuk isolasi diri 14 hari setelah menangani pasien COVID-19yang mengakibatkan mereka harus tinggal di karantina / mencari hunian sementara lainnya; 7) APD berstandar yang tidak tersedia merata di seluruh rumah sakit di Indonesia; 8) Beban psikologis yang tinggi dikarenakan permasalahan-permasalahan diatas; 9) Banyaknya pasien yang tidak jujur mengenai riwayat perjalanan/kontak pada saat tenaga medis melakukan skrining, sehingga meningkatkan resiko tertular infeksi COVID-19.
Hal – hal diatas tentunya mengkhawatirkan, jika melihat secara umum, tentunya semua pekerjaan memilki resiko pekerjaan, namun seharusnya resiko ini dapat diminimalisasi dengan adanya peraturan mengenai hak dan kewajiban yang jelas. Adalah kewajiban bagi setiap rumah sakit ataupun penyedia lapangan kerja untuk memaparkan hak dan kewajiban sejelas-jelasnya kepada tiap tenaga medis. Untuk tenaga medis sendiri sering dibahas mengenai kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap tenaga medis yang bekerja di tengah pandemi COVID-19. Seperti halnya WHO yang menulis bahwa terdapat 10 kewajiban yang harus dipatuhi dalam bekerja di tengah pandemi ini yaitu : • mengikuti prosedur keselamatan dan kesehatan kerja yang telah ditetapkan, menghindari kemungkinan memaparkan orang lain pada risiko kesehatan dan keselamatan, dan berpartisipasi dalam pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja yang disediakan rumah sakit; • menggunakan protokol yang disediakan untuk menilai, melakukan triase, dan merawat pasien; • memperlakukan pasien dengan hormat, kasih sayang, dan bermartabat; • menjaga kerahasiaan pasien; • dengan cepat mengikuti prosedur pelaporan kesehatan masyarakat tersangka dan kasus yang dikonfirmasi; • menyediakan atau mendukung pencegahan dan pengendalian infeksi melalui informasi kesehatan masyarakat yang akurat, termasuk kepada orang-orang beresiko yang tidak memiliki gejala; • mengenakan, menggunakan, melepas dan membuang alat pelindung diri dengan benar; • memantau sendiri tanda-tanda penyakit dan mengisolasi diri atau melaporkan penyakit kepada atasan, jika itu terjadi; • memberi tahu manajemen jika mereka mengalami tanda-tanda stres yang tidak semestinya atau tantangan kesehatan mental yang memerlukan intervensi dukungan; dan • melaporkan kepada atasan langsung mereka setiap situasi yang mereka yakini memiliki alasan yang masuk akal untuk menimbulkan bahaya serius bagi kehidupan atau kesehatan.
Kemudian apakah yang sebenarnya menjadi hak – hak tenaga medis terutama sebagai menjadi pihak yang berkontak langsung dengan para pasien yang terinfeksi COVID-19ataupun hak – hak mereka dalam menangani pasien secara keseluruhan di tengah pandemi COVID-19? WHO menyebutkan terdapat 14 hak dari tenaga medis yang wajib dipenuhi rumah sakit: • seluruh tenaga medis dan staf rumah sakit memikul tanggung jawab bersama secara keseluruhan untuk memastikan bahwa semua tindakan pencegahan dan perlindungan yang diperlukan diambil untuk meminimalkan risiko keselamatan dan kesehatan kerja (termasuk penerapan keselamatan dan sistem manajemen kesehatan kerja untuk mengidentifikasi bahaya dan menilai risiko terhadap kesehatan dan keselamatan; tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi (IPC)) ; kebijakan tanpa toleransi terhadap kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.); • memberikan informasi, instruksi dan pelatihan tentang keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk Pelatihan penyegaran tentang pencegahan dan pengendalian infeksi (IPC) serta tentang Menggunakan, mengenakan, melepas dan membuang alat pelindung diri (APD); • menyediakan persediaan IPC dan APD yang memadai (masker, sarung tangan, kacamata, gaun, pembersih tangan, sabun dan air, persediaan pembersih) dalam jumlah yang cukup untuk tenaga medis atau staf lain yang merawat pasien terduga atau terkonfirmasi sebagai pasien COVID-19, sehingga tenaga medis tidak perlu mengeluarkan biaya untuk persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja; • membiasakan personel dengan pembaruan teknis tentang COVID-19 dan menyediakan alat yang tepat untuk menilai, melakukan triase, menguji dan merawat pasien dan untuk berbagi informasi pencegahan dan pengendalian infeksi dengan pasien dan masyarakat; • sesuai kebutuhan, berikan langkah-langkah keamanan yang sesuai untuk keselamatan pribadi; • menyediakan lingkungan yang bebas dari kesalahan atua “blame-free” bagi tenaga medis untuk melaporkan insiden, seperti paparan darah atau cairan tubuh dari sistem pernapasan atau untuk kasus – kasus kekerasan, dan untuk mengadopsi langkah-langkah untuk tindak lanjut segera, termasuk dukungan kepada para korban; • memberi tahu tenaga medis tentang penilaian mandiri, pelaporan gejala dan tinggal di rumah saat sakit; • mempertahankan jam kerja yang sesuai dengan waktu istirahat; • melaporkan segera kepada bagian keselamatan dan kesehatan kerja tentang kasus penyakit akibat kerja; • tidak diharuskan untuk kembali ke situasi kerja di mana terdapat bahaya serius bagi kehidupan atau kesehatan, sampai pihak rumah sakit mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan; • memungkinkan para tenaga medis untuk menggunakan hak untuk memindahkan diri mereka dari situasi kerja yang mereka yakini memiliki alasan yang masuk akal untuk menghadirkan bahaya serius dan segera bagi kehidupan atau kesehatan mereka. Ketika seorang tenaga medis kesehatan menggunakan hak ini, mereka harus dilindungi dari segala konsekuensi yang tidak semestinya; • menghormati hak atas kompensasi, rehabilitasi, dan layanan kuratif jika terinfeksi COVID-19 setelah paparan di tempat kerja. Ini akan dianggap sebagai paparan pekerjaan dan penyakit yang dihasilkan akan dianggap sebagai penyakit akibat pekerjaan, • menyediakan akses ke kesehatan mental dan sumber daya konseling; dan • memungkinkan kerjasama antara manajemen dan tenaga medis dan / atau perwakilan mereka.
Sementara itu, tenaga medis juga tidak luput dari perlindungan hukum dalam menjalankan tugas profesinya. Sebagai contoh mengenai permasalahan pasien yang berbohong mengenai kondisinya, dapat dijerat pasal dan dijatuhi hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku. Beberapa undang-undang atau keputusan yang mengatur hal ini yaitu : UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; UU No.6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan; Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular; dan Permenkes No.4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien.
Perlu diketahui terlebih dahulu mengenai yang dimaksud dengan pasien dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien (“Permenkes 4/2018”) adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung, di rumah sakit.
Kewajiban pasien, yaitu: mematuhi peraturan yang berlaku di rumah sakit; menggunakan fasilitas rumah sakit secara bertanggung jawab; menghormati hak pasien lain, pengunjung dan hak tenaga kesehatan serta petugas lainnya yang bekerja di rumah sakit; memberikan informasi yang jujur, lengkap dan akurat sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya tentang masalah kesehatannya; memberikan informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan kesehatan yang dimilikinya; mematuhi rencana terapi yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit dan disetujui oleh pasien yang bersangkutan setelah mendapatkan penjelasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; menerima segala konsekuensi atas keputusan pribadinya untuk menolak rencana terapi yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan dan/atau tidak mematuhi petunjuk yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk penyembuhan penyakit atau masalah kesehatannya; dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Sebelumnya patut diketahui bahwa COVID-19 telah ditetapkan sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Pasal 5 ayat (1) huruf bUndang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular(“UU 4/1984”) menyatakan bahwa setiap orang berperan serta juga untuk: memberikan informasi adanya penderita atau tersangka penderita penyakit wabah; membantu kelancaran pelaksanaan upaya penanggulangan wabah; menggerakkan motivasi masyarakat dalam upaya penanggulangan wabah; kegiatan lainnya.
Jadi, pasien yang berbohong tentang informasi kesehatannya, sehingga menghalangi penanggulangan wabah COVID-19, padahal ia patut diduga terinfeksi atau membawa COVID-19, bisa dikenai Pasal 14 ayat (1) atau (2) UU 4/1984, yang berbunyi:
- Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
- Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
(Saraswati S Putri)
Percepatan Penanganan COVID-19 di Lingkungan Pemerintah Daerah
Coronavirus adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa jenis coronavirus diketahui menyebabkan infeksi saluran nafas pada manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus jenis baru yang ditemukan menyebabkan penyakit COVID-19. Penyebaran Corona Virus Disease 2019 di dunia cenderung meningkat dari waktu ke waktu, menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang lebih, dan telah berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi sehingga perlu dilakukan langkah – langkah antisipasi dan penanganan dampak penularan COVID-19.
Equity dan Equality Dalam Kesehatan
Equity, diartikan sebagai keadilan, dan equality, diartikan sebagai persamaan. ‘Adil’ dan ‘sama’, adalah kata yang mempunyai makna tidak begitu jauh sebatas dari pengertian kita sebagai masyarakat biasa. Akan tetapi, di dunia kesehatan, ekonomi, ataupun untuk para ahli yang lainnya, dua kata tersebut mempunyai makna yang sangat berbeda secara signifikan. Secara sederhana, equity memastikan hasil yang sama melalui pemberian pertolongan yang berbeda, dan disisi lain equality memberikan pertolongan yang sama yang tidak memandang perbedaan dari hasil akhir. Konsep ini mudah dimengerti melalui analogi, dimana tiga anak dengan tinggi badan berbeda ingin melihat pertandingan sepak bola tetapi ditutupi oleh sebuah pagar. Dengan konsep equity, kita dapat memberikan blok tapak kaki, dengan jumlah dua blok untuk yang paling pendek, satu blok untuk yang menengah dan tidak memberikan blok tapak kaki pada anak paling tinggi. Dengan itu, semua anak dapat melihat pertandingan sepak bola. Hasil akan berbeda jika ketika mengikuti konsep equality, tiga blok tersebut akan dibagi sama rata yang membuat semuanya mendapatkan satu blok. Anak yang paling pendek akan tetap tidak bisa melihat pertandingan sepak bola karena satu blok tidak cukup untuk melewati tinggi pagar tersebut.
Implementasi Hospital Disaster Plan (HDP) Dalam Menghadapi Pandemi COVID-19
Menanggapi pandemi COVID-19 yang sedang terjadi di Indonesia, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menerbitkan anjuran yang menyatakan bahwa HDP yang selama ini dipakai dalam menghadapiu sebuah bencana alam, harus diterapkan dalam menghadapi pandemi COVID-19 untuk kepentingan melindungi tenaga kesehatannya. Penerapan Hospital Disaster Plan (HDP) ini untuk menghadapi puncak kasus COVID-19 di Indonesia yang diperkirakan baru akan terjadi di akhir minggu pada April 2020. Menurut Standar MFK sebuah rumah sakit dianjurkan mengembangkan, memelihara program manajemen disaster untuk menanggapi keadaan disaster dan bencana alam atau lainnya yang memiliki potensi terjadi di masayarakat. Dimana dalam hal ini disaster/bencana yang terjadi dapat berupa bencana alam atau bencana non alam dalam hal ini adalah sebuah wabah penyakit.
Menyeimbangkan Risiko dan Manfaat Kecerdasan Buatan Sektor Kesehatan
Pada dekade terakhir, peningkatan daya komputasi dan ketersediaan sejumlah besar data telah mendorong penggunaan praktis kecerdasan buatan dalam perawatan kesehatan. Jurnal kesehatan dan medis sekarang umumnya mencakup laporan tentang pembelajaran mesin dan data besar, dan deskripsi risiko yang ditimbulkan oleh, dan tata kelola yang diperlukan untuk mengelola, teknologi ini. Algoritma pembelajaran mesin digunakan untuk membuat diagnosa, mengidentifikasi perawatan dan menganalisis ancaman kesehatan masyarakat, dan sistem ini dapat dipelajari dan ditingkatkan secara terus menerus dalam menanggapi data baru. Ketegangan antara risiko dan kekhawatiran di satu sisi versus potensi dan peluang di sisi lain telah membentuk masalah Buletin WHO tentang tantangan etika baru kecerdasan buatan dalam kesehatan masyarakat.
Stigma, Diskriminasi di Masyarakat dan Mereka yang Bertaruh Nyawa di Garda Depan
CoP Health Equity
Stigma, Diskriminasi di Masyarakat dan Mereka yang Bertaruh Nyawa di Garda Depan
Bagaimana Ahli Kesehatan Masyarakat Dapat Menangani Stigma Terkait COVID-19 dan Memberikan Keadilan Bagi Semua Lapisan Masyarakat?
Pandemi COVID-19 dampaknya tidak hanya pada fasilitas kesehatan, namun juga pada masyarakat termasuk tenaga kesehatan. Munculnya wabah global ini telah menempatkan lembaga kesehatan masyarakat dalam kewaspadaan tinggi. Untuk praktisi kesehatan masyarakat, penting untuk mengidentifikasi risiko yang semakin meningkat terhadap kesehatan terkait dengan peningkatan stigma dan diskriminasi baik terhadap ras dan individu (pasien maupun tenaga kesehatan). Sebagai contoh, stigma dan diskriminasi dapat mengancam rasa aman dan kesejahteraan seseorang; untuk anak – anak dan remaja dapat memiliki dampak yang merugikan selama masa hidup. Stigma juga menghadirkan hambatan untuk mengakses layanan kesehatan dan sosial. Lebih khusus lagi, bukti menunjukkan bahwa banyak orang mungkin menunda mencari perawatan atau menghindari pengungkapan kondisi kesehatan karena takut ditolak fasilitas layanan atau diperlakukan dengan bias.
Pencegahan dan Perawatan HIV Sebagai Bagian dari Universal Health Coverage
Majelis Umum PBB telah mengadopsi Political Declaration of the High-Level Meeting mengenai Universal Health Coverage (UHC) pada 10 Oktober 2019, hal tersebut menandakan puncak dari kumpulan usaha untuk membawa kumpulan komunitas kesehatan global dalam satu payung. Gerakan UHC tersebut adalah sebuah kesempatan emas untuk memperkukuhkan agenda intervensi dan penyakit, terutama pada negara berpenghasilan menengah ke bawah, dimana bantuan eksternal mempunyai peran yang besar dalam pendanaan faktor kesehatan. Inti dari konsep UHC adalah universalitas, non – diskriminatif, kualitas, akses dan proteksi dari beban finansial, dimana semua hal tersebut adalah suatu hal relevan dalam pelayanan HIV.
CDC Comprehensive Hospital Preparedness Checklist for Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)
Pandemi COVID-19 masih mewabah di berbagai belahan dunia. Jumlah pasien yang terinfeksi pun terus bertambah. Berdasarkan laporan situasi IGD no 78 tanggal 7 April 2020 jumlah kasus terkonfirmasi di seluruh dunia mencapai 1.279.722 dengan 72.614 kasus kematian. Menanggapi Pandemi COVID-19 yang sedang terjadi di dunia, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) telah mengeluarkan sebuah panduan berupa checklist yang dapat digunakan untuk menentukan kesiapan rumah sakit dalam menghadapi pandemic COVID-19 termasuk dalam melakukan penanganan terhadap pasien yang positif terinfeksi COVID-19.