manajemenrumahsakit.net :: JAMBI
Relawan Sering Dimusuhi Pihak Rumah Sakit
manajemenrumahsakit.net :: [JAKARTA] Kalau tak didampingi relawan, sudah pasti pasien kelas III selalu berada di pihak yang kalah. arena itu, tak jarang para relawan harus bersitegang dengan rumah sakit swasta maupun milik pemerintah, seperti RS Persahabatan, Cipto Mangunkusumo, RS Kartika Pulo Mas RS Pasar Rebo dll, agar rumah sakit memberikan pelayanan yang berpihak pada rakyat berpenghasilan rendah dengan mengikuti aturan Jamkeskin (Jaminan Kesehatan Keluarga Miskin).
“Para relawan mengantar pasien sering harus memasang badan, membawa nama-nama partai supaya cepat ditangani rumah sakit. Alhasil, relawan sering dimusuhi oleh pihak rumah sakit,” kata Anggota DPRD DKI Jakarta, Sereida Tambunan kepada SP di Jakarta, Rabu (18/2)
Sebagai relawan, banyak pengaduan masyarakat yang masuk. Misalnya, yang pertama ditanya kepada pasien adalah pasien umum atau tidak. Kalau pasien umum, yang artinya bayar sendiri, pasien cepat ditangani. Tetapi kalau pasien bilang pakai kartu jamkesmas, askeskin, selalu langsung ditolak dengan alasan ruang perawatan kelas III sudah penuh.
“Alhasil, pasien sering kali terpaksa menjalani perawatan dengan status pasien umum. Mereka harus membayar DP. Saat mereka keluar rumah sakit, tak sedikit yang meninggalkan utang karena tak sanggup membayar biaya-biaya pengobatan. Ada yang harus menyicil Rp 20.000/bulan, Rp 50.000 dan seterusnya. Maka yang miskin pun makin miskin,” kata Ketua Departemen Kesehatan DPP PDI Perjuangan.
Pilihan sulit sering kali harus dihadapi oleh pasien. kalau dia benar-benar tak punya uang, relawan sering kali harus ngotot meminta mereka bertahan di rumah sakit yang menolak pasien kelas III. Kalau mereka di UGD terus, tak masalah. Umur di tangan Tuhan.
Mana mungkin orang sakit disuruh cari kamar dari rumah sakit ke rumah sakit lain. Kalau tak ada kamar kelas 3 di rumah sakit pertama yang didatangi pasien, adalah kewajiban rumah sakit untuk membawa pasien mencari rumah sakit lain, mengantar dengan ambulance ke rumah sakit lain yang ada kelas III.
Kenyataannya, orang yang hanya bisa tergeletak di tempat tidur disuruh cari rumah sakit lain. Selama perpindahan pasien ke rumah sakit lain, tak ada jaminan pasien akan bisa bertahan hidup, karena praktis akan menambah penyakit mereka.
Sebagai relawan, harus siap menjadi “Raja Tega”. Pasien diminta melawan rumah sakit, meskipun harus diletakkan di pintu UGD. Kalau didesak pindah, pasien diminta tetap tinggal di rumah sakit, biar rumah sakit yang urus.
Seharusnya pihak rumah sakit bertanya ke pasien, “Ada duit gak?” Kalau ada duit, pasien dimasukkan ke perawatan umum. Kalau tidak, pasien seharusnya diarahkan ke kelas III.
Yang sering kali ditanya kepada pasien yang baru masuk, “Pasien umum atau pakai kartu sehat?”. Ada yang salah dalam kepala kita? Ini menjadi introspeksi bagi Indonesia. Mengapa orang lari ke Penang? Tentu karena di sana pasien lebih diperlakukan manusiawi.
Pada sebuah pertemuan para relawan di RS Fatmawati dengan para dirut RS Umum, RS swasta, dan kepala puskesmas, ketidaksukaan mereka kepada para relawan pun terungkap. Tetapi, ketika kepada mereka ditanyakan relawan siapa yang bayar? Mereka tak bisa jawab.
Relawan tak pernah ambil untung dari pasien-pasien kelas III. Para relawan hanya memfasilitasi supaya pasien ditangani. Relawan tak ada yang bayar. Seharusnya relawan dibantu untuk biaya operasional, tapi siapa yang mau bantu?
Seharusnya semua rumah sakit milik pemerintah diisi dengan kelas III untuk pengobatan gratis bagi semua pasien yang tidak mampu. Dengan tanpa syarat, cukup dengan menunjukkan bahwa dia WNI. kalau ada orang yang pura-pura miskin, biarin aja dia menikmati perawata di kelas III.
Namun, hanya segelintir RS swasta yang mau bekerja sama dengan BPJS. Malah, pasien pemegang kartu BPJS sering ditolak RS swasta yang kerja sama karena sulit untuk mengklaim, selain itu biaya untuk pelayanan kesehatan sangat kecil. [N-6/L-8]
Sumber: beritasatu.com
Ahok minta warga ke RSUD Tarakan jika sakit, bukan ke RSCM
manajemenrumahsakit.net :: Warga Jakarta mengeluhkan buruknya pelayanan yang diterima dari rumah sakit jika menggunakan Badan Penjamin (BPJS). Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (
Edisi Minggu ini: 24 Februari – 2 Maret 2015
Dear Pengunjung Website, Artikel: Customer Value Mindset Menunjang Patient-Centered Care di Rumah Sakit “Patient-Centered Care” merupakan jargon yang selalu digaungkan pada setiap upaya meningkatkan pelayanan RS, khususnya jika RS ingin memenuhi standar akreditasi. Sebenarnya sebagai organisasi yang bergerak dibidang jasa, RS perlu memahami dan menjadikan pelayanan yang berpusat pada pasien sebagai nilai dasar pada setiap aktivitasnya. Hal ini karena pasien merupakan customer yang harus dipenuhi hak-haknya sesuai dengan yang telah diatur dalam UU dan regulasi lain. Mengintegrasikan customer value di RS juga menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola dan staf RS, khususnya para dokter. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan bagaimana seharusnya tenaga kesehatan di RS khususnya dokter dalam mempersepsikan dan memperlakukan pasien sebagai customer. + Artikel Penelitian Ping Zhou, M Kate Bundorf, Jianjun Gu, Xiaoyan He and Di Xue
|
|||
Website ini akan update setiap Selasa pagi. Nantikan Informasi terbaru setiap minggunya. | |||
+ Arsip Pengantar Minggu Lalu |
|||
|
Kanker Anak dan Kesiapan RS di Indonesia |
Customer Value Mindset Menunjang Patient-Centered Care di Rumah Sakit
Customer Value Mindset Menunjang Patient-Centered Care di Rumah Sakit
dr. Robertus Arian Datusanantyo, MPH*
Pasien Sebagai Customer
Sebelum Apple Computer menciptakan iPod, tidak dikenal alat pemutar musik digital yang praktis sekaligus keren. Dengan strategi pemasaran tertentu, mereka menciptakan pasar sampai titik penting sehingga para customer menjadi alasan utama mereka untuk terus mengembangkan iPod. Orientasi pada keinginan untuk memberikan apa yang menjadi harapan customer adalah urusan terpenting di Apple Computer dan banyak perusahaan dunia lainnya.
Kondisi ini terbalik dengan kondisi rumah sakit kita. Kebutuhan pasien belum menjadi urusan yang benar-benar paling penting. Walau mutu rumah sakit dan keselamatan pasien mulai mengemuka, tetap saja bukan kebutuhan pasien yang menjadi urusan terpenting rumah sakit, melainkan bagaimana menjalankan bisnis rumah sakit dengan aman.
Para dokter sering mengatakan tabu menyebut pasien sebagai customer karena istilah ini menggambarkan hubungan jual-beli yang dianggap kurang pas dengan hubungan dokter-pasien. Padahal customer berbeda dengan pelanggan yang dalam bahasa Indonesia berarti pembeli yang berulang datang kembali. Customer adalah siapa saja yang mempergunakan hasil kerja seseorang atau tim. Customer belum tentu end-user.
Tidak Ada Anggaran, Rekuitmen Dokter Spesialis RSUD Tipe C Tertunda
manajemenrumahsakit.net :: Tarakan
DPRD Sulut Dorong Peningkatan Fasilitas RS Ratumbuisang
manajemenrumahsakit.net :: MANADO
Badan Pengawas Rumah Sakit Harus Dibentuk
manajemenrumahsakit.net :: Medan. Banyak masyarakat kecewa atas pelayanan rumah sakit di Medan, khususnya masyarakat kurang mampu. Ada juga yang merasa sakitnya bertambah karena lambannya penanganan medis
Ketua Komisi E (bidang kesejahteraan sosial) DPRD Sumut Efendi Panjaitan menilai perlunya dibentuk Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) di Medan.
“BPRS mengawasi pelayanan rumah sakit. Ini sebenarnya sangat mendesak mengingat tidak adanya pengawasan, penilaian, dan sanksi yang diberi kepada rumah sakit yang selama ini nakal,” kata Efendi, Minggu (22/2).
BPRS diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Badan Pengawas Rumah Sakit. Pembentukan BPRS di Sumut sangat dimungkinkan mengingat jumlah rumah sakit di Sumut sudah lebih dari 10 rumah sakit.
Dijelaskan, Pasal 23 Ayat PP 49 disebutkan dibentuk oleh Gubernur apabila jumlah Rumah Sakit di provinsi paling sedikit 10 (sepuluh) rumah sakit. BPRS Provinsi merupakan unit nonstruktural di dinas kesehatan provinsi yang bertanggungjawab, menjalankan tugasnya bersifat independen.
Menurutnya, BPRS ini mengawasi dan menindaklanjuti aduan dan keluhan masyarakat. Selama ini, sudah banyakmasyarakat datang maupun mengirimkan surat ke Komisi E DPRD Sumut terkait dengan pelayanan rumah sakit. Pengguna BPJS juga kerap mengalami perlakuan diskriminatif dari pihak rumah sakit.
“Memang ada konter pengaduan BPJS Kesehatan di setiap rumah sakit. Akan tetapi jika pasien BPJS mengadu, petugas BPJS justru terkesan kalah dengan aturan main rumah sakit,” katanya.
Akhirnya pasien tetap mendapatkan perlakuan diskriminatif dari pihak rumah sakit jika dibandingkan dengan pasien mandiri yang berobat ke rumah sakit yang sama dengan jenis penyakit yang sama. Hal seperti ini bisa berlangsung cukup lama karena selama ini tidak ada lembaga atau badan yang mengawasi kinerja rumah sakit.
“Dinas Kesehatan yang salah satu tugasnya untuk melakukan pengawasan selama ini kurang maksimal karena sifatnya hanya memberi rekomendasi perbaikan saja,” kata politisi PDIP ini. (edward f bangun)
Sumber: medanbisnisdaily.com
Rumah Sakit di Sleman Minim Fasilitas NICU dan PICU
manajemenrumahsakit.net :: SLEMAN — Rumah Sakit di Kabupaten Sleman sampai saat ini masih minim ruangan untuk