Community of Practice for Health Equity
https://www.freepik.com/free-vector
Kelompok rentan seperti pekerja seks komersial (PSK) merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak pandemi COVID-19 sekaligus sangat terkucilkan dari respon COVID-19. Mereka mengalami diskriminasi berbasis gender, orientasi seksual, identitas gender, ras, kasta, etnis, dan lain -lain. Kapasitas PSK untuk melindungi diri dari COVID-19 dan penyakit lainnya bergantung pada perilaku individu dan interpersonal, lingkungan kerja, dukungan komunitas, akses ke pelayanan kesehatan layak, dan lingkungan sosioekonomi, serta norma atau hukum setempat. Para PSK yang tunawisma, pengguna narkoba, atau imigran gelap menghadapi tantangan lebih dalam mencari akses pelayanan kesehatan dan lebih terancam mengalami dampak ekonomi yang berkepanjangan.
Adanya stigma dan kriminalisasi terhadap prostitusi menyebabkan para PSK ragu atau tidak dapat mendapatkan bantuan sosial dan ekonomi dari pemerintah. Dengan ketimpangan struktural yang mereka alami, para PSK memiliki risiko lebih tinggi tertular COVID-19 dan penyakit lainnya, mengalami kekerasan, dan terkena hukuman karena melanggar protokol keamanan COVID-19. Sebelum pandemi COVID-19, para PSK memiliki risiko lebih tinggi terjangkit penyakit menular seksual, terutama HIV/AIDS. Di tengah pandemi ini, akses terhadap pelayanan kesehatan terhambat, sehingga selain mereka tetap berisiko tertular HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya, mereka juga kesulitan mengakses pelayanan kesehatan yang sesuai untuk melakukan skrining maupun memperoleh pengobatan. Telah dilaporkan bahwa stok obat HIV/AIDS, yaitu ARV, tengah menipis saat awal pandemi di Indonesia. Sekarang, beberapa daerah masih kekurangan stok ARV.
Banyak PSK yang membutuhkan dukungan kesehatan mental untuk mengatasi stres dan kecemasan yang mereka alami saat ini. Menurut survei cepat yang diadakan oleh Jaringan Indonesia Positif terhadap orang dengan HIV/AIDS dan populasi terkait, lebih dari 800 dari 1000 individu membutuhkan akses terhadap pelayanan kesehatan mental dan dukungan psikososial. Tetapi, meskipun para PSK merasakan kecemasan akibat COVID-19 dan stigma dari masyarakat serta ancaman pemerintah dan aparat, mayoritas PSK tidak memiliki sumber penghidupan lain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain melanjutkan pekerjaan mereka di bidang prostitusi.
Maka dari itu, untuk menyikapi ketimpangan dan ketidakadilan yang dihadapi oleh para pekerja seks komersial, diperlukan pendekatan dari bidang sosial dan struktural serta kesehatan masyarakat. Intervensi pada bidang sosial dan struktural dapat berupa: (1) memberikan bantuan finansial dan perlindungan sosial bagi semua PSK termasuk imigran yang berstatus kependudukan ilegal, (2) penghentian protokol penangkapan, penggerebekan, dan penuntutan PSK, (3) penyediaan perumahan darurat bagi mereka yang tunawisma, merupakan korban penggusuran, atau bantuan pembayaran sewa tempat tinggal bagi mereka yang membutuhkan.
Sedangkan intervensi pada bidang kesehatan dapat berupa: (1) distribusi hand sanitizer, sabun, kondom, dan alat pelindung diri yang layak bagi para PSK; (2) pemeliharaan dan perluasan layanan kesehatan yang memenuhi kebutuhan kesehatan mental, rehabilitasi pengguna narkoba dan miras, dukungan korban kekerasan fisik dan seksual, kesehatan seksual dan reproduksi, dan penyediaan obat HIV dan perawatan terkait; (3) melakukan skrining dan contact tracing COVID-19 diantara para PSK dan pengguna narkoba.
Dalam mencapai kesehatan yang ekuitabel dan meliputi seluruh lapisan masyarakat, penting sekali untuk mengesampingkan diskriminasi dan stigma negatif, baik itu bagi para PSK ataupun bagi kelompok masyarakat lain yang dikucilkan. Cara terbaik untuk memutus rantai persebaran penyakit menular adalah dengan memastikan semua orang memiliki kapasitas untuk melindungi diri. Maka dari itu, para pekerja seksual komersial juga harus mendapat perhatian khusus dan fasilitas yang berlandaskan keadilan agar mereka dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan hidup mereka selama pandemi COVID-19. (Giovanna Renee Tan)
Referensi
Gichuna, S. et al. (2020) ‘Access to Healthcare in a time of COVID-19: Sex Workers in Crisis in Nairobi, Kenya’, Global Public Health, 15(10), pp. 1430–1442. doi: 10.1080/17441692.2020.1810298.
Howard, S. (2020) ‘Covid-19: Health needs of sex workers are being sidelined, warn agencies’, BMJ, 369. doi: 10.1136/bmj.m1867.
Platt, L. et al. (2020) ‘Sex workers must not be forgotten in the COVID-19 response’, The Lancet, 396(10243), pp. 9–11. doi: 10.1016/S0140-6736(20)31033-3.
Include Sex Workers in The Covid-19 Response (28 Juli 2020). Dari: https://www.amnesty.org/download/Documents/POL3027882020ENGLISH.pdf (Diakses pada: 3 Oktober 2020).
Sex workers adapting to COVID-19 (14 April 2020). Dari: https://www.unaids.org/en/resources/presscentre/featurestories/2020/april/20200421_indonesia (Diakses pada: 3 Oktober 2020).